Tuesday, June 5, 2012

Pengetahuan Tentang Kejawen

Prakata

Orang Jawa percaya bahwa Tuhan adalah pusat alam semesta dan pusat segala kehidupan karena sebelum semuanya terjadi di dunia ini Tuhanlah yang pertama kali ada. Tuhan tidak hanya menciptakan alam semesta beserta isinya tetapi juga bertindak sebagai pengatur, karena segala sesuatunya bergerak menurut rencana dan atas ijin serta kehendak-Nya.

Pusat yang dimaksud dalam pengertian ini adalah sumber yang dapat memberikan penghidupan, keseimbangan dan kestabilan, yang dapat juga memberi kehidupan dan penghubung individu dengan dunia atas. Pandangan orang Jawa yang demikian biasa disebut Manunggaling Kawula Lan Gusti,yaitu pandangan yang beranggapan bahwa kewajiban moral manusia adalah mencapai harmoni dengan kekuatan terakhir dan pada kesatuan terakhir, yaitu manusia menyerahkan dirinya selaku kawula terhadap Gustinya.
Puncak gunung dalam kebudayaan Jawa dianggap suatu tempat yang tinggi dan paling dekat dengan dunia diatas, karena  pada awalnya dipercayai bahwa roh nenek moyang tinggal di gunung-gunung.

Sebagian besar orang Jawa termasuk dalam golongan yang telah berusaha mencampurkan beberapa konsep  dan cara berpikir islam, dengan pandangan asli mengenai alam kodrati (dunia ini) dan alam adikodrati (alam gaib atau supranatural).

Pandangan hidup merupakan suatu abstraksi dari pengalaman hidup. Pandangan hidup adalah sebuah pengaturan mental dari pengalaman hidup yang kemudian dapat mengembangkan suatu sikap terhadap hidup.

Ciri pandangan hidup orang Jawa realitas yang mengarah kepada pembentukan kesatuan Numinus antara alam nyata, masyarakat dan alam adikodrati yang dianggap keramat. Alam adalah ungkapan kekuasaan yang menentukan kehidupan. Orang Jawa percaya bahwa kehidupan mereka telah ada garisnya, mereka hanya menjalankan saja.

Dasar kepercayaan Jawa atau Javanisme adalah keyakinan bahwa segala sesuatu yang ada didunia ini pada hakekatnya adalah satu, atau merupakan kesatuan  hidup. Javanisme memandang kehidupan manusia selalu terpaut erat dalam kosmos alam raya. Dengan demikian kehidupan manusia merupakan suatu perjalanan yang penuh dengan pengalaman-pengalaman yang religius.

Alam pikiran orang Jawa merumuskan kehidupan manusia berada dalam dua kosmos (alam) yaitu makrokosmos dan mikrokosmos.

Makrokosmos dalam pikiran orang Jawa adalah sikap dan pandangan hidup terhadap alam semesta, yang mengandung kekuatan-kekuatan supranatural (adikodrati). Tujuan utama dalam hidup adalah mencari serta menciptakan keselarasan atau keseimbangan antara kehidupan makrokosmos dan mikrokosmos.

Dalam makrokosmos pusat alam semesta adalah Tuhan. Alam semesta memiliki hirarki yang ditujukan dengan adanya jenjang alam kehidupan dan adanya tingkatan dunia yang semakin sempurna ( dunia atas - dunia manusia -  dunia bawah ). Alam semesta terdiri dari empat arah utama ditambah satu pusat yaitu Tuhan yang mempersatukan dan memberi keseimbangan.

Sikap dan pandangan terhadap dunia nyata ( mikrokosmos ) adalah tercermin pada kehidupan manusia dengan lingkungannya, susunan manusia dalam masyarakat, tata kehidupan manusia sehari-hari dan segala sesuatu yang nampak oleh mata. Dalam menghadapi kehidupan manusia yang baik dan benar didunia ini tergantung pada kekuatan batin dan jiwanya.

Bagi orang Jawa dahulu, pusat dunia ini ada pada pimpinan atau raja dan keraton, Tuhan adalah pusat makrokosmos sedangkan raja dianggap perwujudan wakil Tuhan di dunia, sehingga dalam dirinya terdapat keseimbangan berbagai kekuatan dari dua alam. Jadi raja dipandang sebagai  pusat komunitas di dunia seperti halnya raja menjadi mikrokosmos dari wakil Tuhan dengan keraton sebagai tempat kediaman raja. Keraton merupakan pusat keramat kerajaan dan bersemayamnya raja karena rajapun dianggap merupakan sumber kekuatan-kekuatan kosmis yang mengalir ke daerah kedaulatannya dan membawa ketentraman, keadilan dan kesuburan wilayah.

Hal hal  diatas merupakan gambaran umum tentang alam pikiran serta sikap dan pandangan hidup yang dimiliki oleh orang Jawa pada jaman kerajaan. Alam pikiran ini telah berakar kuat dan menjadi landasan falsafah dari segala perwujudan yang ada dalam tata kehidupan orang Jawa.  


Kejawen


“Tak uwisi gunem iki                         
Niyatku mung aweh wikan    
Kabatinan akeh lire                           
Lan gawat ka liwat-liwat                   
Mulo dipun prayitno                          
Ojo keliru pamilihmu                         
Lamun mardi kebatinan.”                             

Tembang ini menggambarkan nasihat seorang tua (pinisepuh) kepada mereka yang ingin mempelajari kabatinan cara kejawen. Kiranya perlu dipahami bahwa tujuan hakiki dari kejawen adalah berusaha mendapatkan ilmu sejati untuk mencapai hidup sejati, dan berada dalam keadaan harmonis hubungan antara kawula (manusia) dan Gusti (Pencipta) (jumbuhing kawula Gusti)/ pendekatan kepada Yang Maha Kuasa secara total.

Keadaan spiritual ini bisa dicapai oleh setiap orang yang percaya kepada Tuhan, yang mempunyai moral yang baik, bersih dan jujur. beberapa laku harus dipraktekkan dengan kesadaran dan ketetapan hati yang mantap. Pencari dan penghayat ilmu sejati diwajibkan untuk melakukan sesuatu yang berguna bagi semua orang serta melalui kebersihan hati dan tindakannya. Cipta, rasa, karsa dan karya harus baik, benar, suci dan ditujukan untuk mamayu hayuning bawono. Ati suci jumbuhing Kawulo Gusti: hati suci itu adalah hubungan yang serasi antara Kawulo dan Gusti. Kejawen merupakan aset dari orang Jawa tradisional  yang berusaha memahami dan mencari makna dan hakekat hidup yang mengandung nilai-nilai.

Dalam budaya jawa dikenal adanya simbolisme, yaitu suatu faham yang menggunakan lambang atau simbol untuk membimbing pemikiran manusia kearah pemahaman terhadap suatu hal secara lebih dalam. Manusia mempergunakan simbol sebagai media penghantar komunikasi antar sesama dan segala sesuatu yang dilakukan manusia merupakan perlambang dari tindakan atau bahkan karakter dari manusia itu selanjutnya. Ilmu pengetahuan adalah simbol-simbol dari Tuhan, yang diturunkan kepada manusia, dan oleh manusia simbol-simbol itu ditelaah dibuktikan dan kemudian diubah menjadi simbol-simbol yang lebih mudah difahami agar bisa diterima oleh manusia lain yang memiliki daya tangkap yang berberda-beda.

Biasanya sebutan orang Jawa adalah orang yang hidup di wilayah sebelah timur sungai Citanduy dan Cilosari (bukan berarti wilayah di sebelah baratnya bukan wilayah pulau Jawa). Masyarakat Jawa adalah masyarakat yang menjunjung tinggi rasa kekeluargaan dan suka bergotong-royong dengan semboyannya saiyeg saekoproyo yang berarti sekata satu tujuan.

Kisah suku Jawa diawali dengan kedatangan seorang satriya pinandita yang bernama Aji Saka, sampai kemudian satriya itu menulis sebuah sajak yang kemudian sajak tersebut diakui menjadi huruf jawa dan digunakan sebagai tanda dimulainya penanggalan tarikh Caka. (red. Sebagian orang menganggap ini hanya legenda saja)

Kejawen adalah faham orang jawa atau aliran kepercayaan yang muncul dari masuknya berbagai macam agama ke jawa. Kejawen mengakui adanya Tuhan Gusti Allah tetapi juga mengakui mistik yang berkembang dari ajaran tasawuf agama-agama yang ada.
Tindakan tersebut dibagi tiga bagian yaitu tindakan simbolis dalam religi, tindakan simbolis dalam tradisi dan tindakan simbolis dalam seni. Tindakan simbolis dalam religi, adalah contoh kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa Tuhan adalah zat yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia, karenanya harus di simbolkan agar dapat di akui keberadaannya misalnya dengan menyebut Tuhan dengan Gusti Ingkang Murbheng Dumadi, Gusti Ingkang Maha Kuaos, dan sebagainya.

Tindakan simbolis dalam tradisi dimisalkan dengan adanya tradisi upacara kematian yaitu medo’akan orang yang meninggal pada tiga hari, tujuh hari, empatpuluh hari, seratus hari, satu tahun, dua tahun, tiga tahun, dan seribu harinya setelah seseorang meninggal (tahlillan). Dan tindakan simbolis dalam seni dicontohkan dengan berbagai macam warna yang terlukis pada wajah wayang kulit, warna ini menggambarkan karakter dari masing-masing tokoh dalam wayang.

Perkembangan budaya jawa yang mulai tergilas oleh perkembangan teknologi yang mempengaruhi pola pikir dan tindakan orang jawa dalam kehidupan. Maka orang mulai berfikir bagaimana bisa membuktikan hal gaib secara empiris tersebut dengan menggunakan berbagai macam metode tanpa mengindahkan unsur kesakralan. Bahkan terkadang kepercayaan itu kehilangan unsur kesakralannya karena dijadikan sebagai obyek exploitasi dan penelitian.

Kebiasaan orang Jawa yang percaya bahwa segala sesuatu adalah simbol dari hakikat kehidupan, seperti syarat sebuah rumah harus memiliki empat buah soko guru (tiang penyangga) yang melambangkan empat unsur alam yaitu tanah, air, api, dan udara, yang ke-empatnya dipercaya akan memperkuat rumah baik secara fisik dan mental penghuni rumah tersebut. Namun dengan adanya teknologi konstruksi yang semakin maju, keberadaan soko guru itu tidak lagi menjadi syarat pembangunan rumah. Dengan analisa tersebut dapat diperkirakan bagaimana nantinya faham simbolisme akan bergeser dari budaya jawa. Tapi bahwa simbolisme tidak akan terpengaruh oleh kehidupan manusia tapi kehidupan manusialah yang tergantung pada simbolisme. Dan sampai kapanpun simbolisme akan terus berkembang mengikuti berputarnya sangkakala.


Mangkunegara IV

Mangkunegara IV memiliki empat ajaran utama yang meliputi sembah raga, sembah cipta (kalbu), sembah jiwa, dan sembah rasa.

Sembah raga ialah menyembah Tuhan dengan mengutamakan gerak laku badaniah atau amal perbuatan yang bersifat lahiriah. Cara bersucinya sama dengan sembahyang biasa, yaitu dengan mempergunakan air (wudhu). Sembah yang demikian biasa dikerjakan lima kali sehari semalam dengan mengindahkan pedoman secara tepat, tekun dan terus menerus, seperti bait berikut:
“Sembah raga puniku / pakartining wong amagang laku / sesucine asarana saking warih / kang wus lumrah limang wektu / wantu wataking wawaton”

Sembah raga, sebagai bagian pertama dari empat sembah yang merupakan perjalanan hidup yang panjang ditamsilkan sebagai orang yang magang laku (calon pelaku atau penempuh perjalanan hidup kerohanian), orang menjalani tahap awal kehidupan bertapa (sembah raga puniku pakartining wong amagang laku). Sembah ini didahului dengan bersuci yang menggunakan air (sesucine asarana saking warih). Yang berlaku umum sembah raga ditunaikan sehari semalam lima kali. Atau dengan kata lain bahwa untuk menunaikan sembah ini telah ditetapkan waktu-waktunya lima kali dalam sehari semalam (kang wus lumrah limang wektu). Sembah lima waktu merupakan shalat fardlu yang wajib ditunaikan (setiap muslim) dengan memenuhi segala syarat dan rukunnya (wantu wataking wawaton). Sembah raga yang demikian ini wajib ditunaikan terus-menerus tiada henti (wantu) seumur hidup. Dengan keharusan memenuhi segala ketentuan syarat dan rukun yang wajib dipedomani (wataking wawaton). Watak suatu waton (pedoman) harus dipedomani. Tanpa mempedomani syarat dan rukun, maka sembah itu tidak sah.
Sembah raga tersebut, meskipun lebih menekankan gerak laku badaniah, namun bukan berarti mengabaikan aspek rohaniah, sebab orang yang magang laku selain ia menghadirkan seperangkat fisiknya, ia juga menghadirkan seperangkat aspek spiritualnya sehingga ia meningkat ke tahap kerohanian yang lebih tinggi.

Sembah Cipta, kadang-kadang disebut sembah kalbu, seperti terungkap pada Pupuh Gambuh bait 1 dan Pupuh Gambuh bait 11 berikut :
“Samengkon sembah kalbu / yen lumintu uga dadi laku / laku agung kang kagungan narapati / patitis teteking kawruh / meruhi marang kang momong”

Apabila cipta mengandung arti gagasan, angan-angan, harapan atau keinginan yang tersimpan di dalam hati, kalbu berarti hati, maka sembah cipta di sini mengandung arti sembah kalbu atau sembah hati, bukan sembah gagasan atau angan-angan. Apabila sembah raga menekankan penggunaan air untuk membasuh segala kotoran dan najis lahiriah, maka sembah kalbu menekankan pengekangan hawa nafsu yang dapat mengakibatkan terjadinya berbagai pelanggaran dan dosa (sucine tanpa banyu, amung nyunyuda hardaning kalbu).

Thaharah (bersuci) itu, demikian kata Al-Ghazali, ada empat tingkat. Pertama, membersihkan hadats dan najis yang bersifat lahiriah. Kedua, membersihkan anggota badan dari berbagai pelanggaran dan dosa. Ketiga, membersihkan hati dari akhlak yang tercela dan budi pekerti yang hina. Keempat, membersihkan hati nurani dari apa yang selain Allah. Dan yang keempat inilah taharah pada Nabi dan Shiddiqin. Jika thaharah yang pertama dan kedua menurut Al-Ghazali masih menekankan bentuk lahiriah berupa hadats dan najis yang melekat di badan yang berupa pelanggaran dan dosa yang dilakukan oleh anggota tubuh. Cara membersihkannya dibasuh dengan air. Sedangkan kotoran yang kedua dibersihkan dan dibasuh tanpa air yaitu dengan menahan dan menjauhkan diri dari pelanggaran dan dosa. Thaharah yang ketiga dan keempat juga tanpa menggunakan air. Tetapi dengan membersihkan hati dari budi jahat dan mengosongkan hati dari apa saja yang selain Allah.

Sembah jiwa adalah sembah kepada Hyang Sukma (Allah) dengan mengutamakan peran jiwa. Jika sembah cipta (kalbu) mengutamakan peran kalbu, maka sembah jiwa lebih halus dan mendalam dengan menggunakan jiwa atau al-ruh. Sembah ini hendaknya diresapi secara menyeluruh tanpa henti setiap hari dan dilaksanakan dengan tekun secara terus-menerus, seperti terlihat pada bait berikut:
“Samengko kang tinutur / Sembah katri kang sayekti katur / Mring Hyang Sukma suksmanen saari-ari / Arahen dipun kecakup / Sembahing jiwa sutengong”

Dalam rangkaian ajaran sembah Mangkunegara IV yang telah disebut terdahulu, sembah jiwa ini menempati kedudukan yang sangat penting. Ia disebut pepuntoning laku (pokok tujuan atau akhir perjalanan suluk). Inilah akhir perjalanan hidup batiniah. Cara bersucinya tidak seperti pada sembah raga dengn air wudlu atau mandi, tidak pula seperti pada sembah kalbu dengan menundukkan hawa nafsu, tetapi dengan awas emut (selalu waspada dan ingat/dzikir kepada keadaan alam baka/langgeng), alam Ilahi. Betapa penting dan mendalamnya sembah jiwa ini, tampak dengan jelas pada bait berikut:
“Sayekti luwih perlu / ingaranan pepuntoning laku / Kalakuan kang tumrap bangsaning batin / Sucine lan awas emut / Mring alaming lama amota”

Berbeda dengan sembah raga dan sembah kalbu, ditinjau dari segi perjalanan suluk, sembah ini adalah tingkat permulaan (wong amagang laku) dan sembah yang kedua adalah tingkat lanjutan. Ditinjau dari segi tata cara pelaksanaannya, sembah yang pertama menekankan kesucian jasmaniah dengan menggunakan air dan sembah yang kedua menekankan kesucian kalbu dari pengaruh jahat hawa nafsu lalu membuangnya dan menukarnya dengan sifat utama. Sedangkan sembah ketiga menekankan pengisian seluruh aspek jiwa dengan dzikir kepada Allah seraya mengosongkannya dari apa saja yang selain Allah.

Pelaksanaan sembah jiwa ialah dengan berniat teguh di dalam hati untuk mengemaskan segenap aspek jiwa, lalu diikatnya kuat-kuat untuk diarahkan kepada tujuan yang hendak dicapai tanpa melepaskan apa yang telah dipegang pada saat itu. Dengan demikian triloka (alam semesta) tergulung menjadi satu. Begitu pula jagad besar dan jagad kecil digulungkan disatupadukan. Di situlah terlihat alam yang bersinar gemerlapan. Maka untuk menghadapi keadaan yang menggumkan itu, hendaklah perasaan hati dipertebal dan diperteguh jangan terpengaruh apa yang terjadi. Hal yang demikian itu dijelaskan Mangkunegara IV pada bait berikut:
"Ruktine ngangkah ngukud / ngiket ngruket triloka kakukud / jagad agung ginulung lan jagad alit / den kandel kumandel kulup / mring kelaping alam kono."

Sembah rasa ini berlainan dengan sembah-sembah yang sebelumnya. Ia didasarkan kepada rasa cemas. Sembah yang keempat ini ialah sembah yang dihayati dengan merasakan intisari kehidupan makhluk semesta alam, demikian menurut Mangkunegara IV.

Jika sembah kalbu mengandung arti menyembah Tuhan dengan alat batin kalbu atau hati seperti disebutkan sebelumnya, sembah jiwa berarti menyembah Tuhan dengan alat batin jiwa atau ruh, maka sembah rasa berarti menyembah Tuhan dengan menggunakan alat batin inti ruh. Alat batin yang belakangan ini adalah alat batin yang paling dalam dan paling halus yang menurut Mangkunegara IV disebut telenging kalbu (lubuk hati yang paling dalam) atau disebut wosing jiwangga (inti ruh yang paling halus).

Dengan demikian menurut Mangkunegara IV, dalam diri manusia terdapat tiga buah alat batin yaitu, kalbu, jiwa/ruh dan inti jiwa/inti ruh (telengking kalbu atau wosing jiwangga) yang memperlihatkan susunan urutan kedalaman dan kehalusannya.

Pelaksanaan sembah rasa itu tidak lagi memerlukan petunjuk dan bimbingan guru seperti ketiga sembah sebelumnya, tetapi harus dilakukan salik sendiri dengan kekuatan batinnya, seperti diungkapkan Mangkunegara IV dalam bait berikut:
“Semongko ingsun tutur / gantya sembah lingkang kaping catur / sembah rasa karasa wosing dumadi / dadi wus tanpa tuduh / mung kalawan kasing bato”.

Apabila sembah jiwa dipandang sebagai sembah pada proses pencapaian tujuan akhir perjalanan suluk (pepuntoning laku), maka sembah rasa adalah sembah yang dilakukan bukan dalam perjalanan suluk itu, melainkan sembah yang dilakukan di tempat tujuan akhir suluk. Dengan kata lain, seorang salik telah tiba di tempat yang dituju. Dan di sinilah akhir perjalanan suluknya. Untuk sampai di sini, seorang salik masih tetap dibimbing gurunya seperti telah disebut di muka. Setelah ia diantarkan sampai selamat oleh gurunya untuk memasuki pintu gerbang, tempat sembah yang keempat, maka selanjutnya ia harus mandiri melakukan sembah rasa.

Pada tingkatan ini, seorang salik dapat melaksanakan sendiri sembah rasa sesuai petunjuk-petunjuk gurunya. Pada tingkat ini ia dipandang telah memiliki kematangan rohani. Oleh karena itu, ia dipandang telah cukup ahli dalam melakukan sembah dengan mempergunakan aspek-aspek batiniahnya sendiri.

Di sini, dituntut kemandirian, keberanian dan keteguhan hati seorang salik, tanpa menyandarkan kepada orang lain. Kejernihan batinlah yang menjadi modal utama. Hal ini sesuai dengan wejangan Amongraga kepada Tambangraras dalam Centini bait 156. Sembah tersebut, demikian dinyatakan Amongraga, sungguh sangat mendalam, tidak dapat diselami dengan kata-kata, tidak dapat pula dimintakan bimbingan guru. Oleh karena itu, seorang salik harus merampungkannya sendiri dengan segala ketenangan, kejernihan batin dan kecintaan yang mendalam untuk melebur diri di muara samudera luas tanpa tepi dan berjalan menuju kesempurnaan. Kesemuanya itu tergantung pada diri sendiri, seperti terlihat pada bait berikut:
“Iku luwih banget gawat neki / ing rar’asantang keneng rinasa / tan kena ginurokake / yeku yayi dan rampung / eneng onengira kang ening / sungapan ing lautan / tanpa tepinipun / pelayaran ing kesidan / aneng sira dewe tan Iyan iku yayi eneng ening wardaya”.



Budaya  Kebatinan

Di dalam serat Wulang Reh, karya kasusastran Jawa (dalam bentuk syair) yang ditulis oleh Sunan Paku Buono IV, terdapat juga ajaran untuk hidup secara asketik, dengan mana usaha menuju kasampurnaning urip (kesempurnaan hidup) dan mendekat Yang Maha Widi (Allah Yang Maha Kuasa) bisa dicapai.

Dalam tembang Kinanthi ajaran itu bertutur:
“Pada gulangen ing kalbu ing sasmita amrih lantip aja pijer mangan nendra kaprawiran den kaesti pesunen sarira nira sudanen dhahar lan guling”
(Intinya, orang harus melatih kepekaan hati agar tajam menangkap gejala dan tanda-tanda. Orang pun tak boleh mengumbar nafsu makan serta tidur).



Mistik Kebatinan
Menurut pandangan ilmu mistik kebatinan orang Jawa, kehidupan manusia merupakan bagian dari alam semesta secara keseluruhan, dan hanya merupakan bagian yang sangat kecil dari kehidupan alam semesta yang abadi, dimana manusia itu seakan-akan hanya berhenti sebentar untuk minum.

Sikap, gaya hidup, dan banyak aktivitas sebagai latihan upacara yang harus diterima dan dilakukan oleh seorang, yang ingin menganut mistik dibawah pimpinan guru dan panuntun agama itu, pada dasarnya sama pada berbagai gerakan kebatinan jawa yang ada. Hal yang mutlak perlu adalah kemampuan untuk melepaskan diri dari dunia kebendaan, yaitu memiliki sifat rila (rela) untuk melepaskan segala hak milik, pikiran atau perasaan untuk memiliki, serta keinginan untuk memiliki. Melalui sikap rohaniah ini orang dapat membebaskan diri dari berbagai kekuatan serta pengaruh dunia kebendaan di sekitarnya. Sikap menyerah serta mutlak ini tidak boleh dianggap sebagai tanda sifat lemahnya seseorang; sebaliknya ia menandakan bahwa orang seperti itu memiliki kekuatan batin dan keteguhan iman.

Kemampuan untuk membebaskan diri dari dunia kebendaan dan kehidupan duniawi juga melibatkan sikap narima yaitu sikap menerima nasib, dan sikap bersabar, yang berarti sikap menerima nasib dengan rela. Kemampuan untuk memiliki sikap-sikap semacam itu dapat diperoleh dengan hidup sederhana dalam arti yang sesungguhnya, hidup bersih, tetapi juga dengan jalan melakukan berbagai kegiatan upacara kegiatan upacara yang meningkatkan kemampuan berkonsentrasi dengan jalan mengendalikan diri, dan melakukan berbagai latihan samadi. Melalui latihan bersemedi di harapkan agar orang dapat membebaskan dirinya dari keadaan sekitarnya, yaitu menghentikan segala fungsi tubuh dan keinginan serta nafsu jasmaninya.

Hal ini dapat memberikan keheningan pikiran dan membuatnya mengerti dan menghayati hakekat hidup serta keselarasan antara kehidupan rohaniah dan jasmaniah. Apabila orang sudah bebas dari beban kehidupan duniawi (pamudharan), maka orang itu setelah melalui beberapa tahap berikutnya, pada suatu saat akan dapat bersatu dengan Tuhan (jumbuhing kawula Gusti, atau manunggaling kawula-Gusti) / Pendekatan kepada Illahi.

Namun dengan tercapainya pamudharan, yang memungkinkan orang untuk melepaskan diri dari kehidupan dunia kebendaan, orang itu juga tidak terbebas dari kewajiban-kewajibannya dalam kehidupan yang konkret, bahkan, orang yang sudah mencapai pamudharan, wajib amemayu ayuning bawana, atau berupaya memperindah dunia, yaitu berusaha memelihara dan memperindah dengan jalan melakukan hal-hal yang baik, dan hidup dengan penuh tanggung jawab.


Gerakan Untuk Purifikasi Jiwa
Semua organisasi kebatinan yang besar umumnya, memang bersifat mistis; banyak gerakan kebatinan, terutama yang jumlah anggotanya sedikit, hanya berusaha untuk mencapai purifikasi jiwa,  Hal yang mereka inginkan adalah memperoleh suatu kehidupan kerohanian yang mantap, tanpa rasa takut dan rasa ketidak-pastian. Inilah yang oleh orang jawa disebut orang yang sudah “bebas” (kamanungsan, kasunyatan).

Cara untuk kamanungsan pada umumnya sama dengan cara untuk mencapai pamudharan tersebut diatas. Kecuali beberapa variasi kecil, maka cara untuk mencapai purifikasi jiwa pada dasarnya adalah dengan menjalankan kehidupan yang penuh tanggung jawab, baik secara moral, sederhana, mampu membebaskan diri dari keduniawian, mempunyai sikap yang baik terhadap kehidupan, nasib dan kematian dan melakukan samadi secara ketat. Oleh karena gerakan-gerakan kebatinan ini berusaha mencari kebebasan rohaniah individu, maka orang mudah mengerti bahwa sifatnya agak individualis; gerakan-gerakan seperti itu paling tidak menarik bagi orang-orang yang membutuhkan kehidupan keagamaan, tanpa harus mentaati peraturan-peraturan keagamaan yang resmi secara ketat, namun menyesuaikan dengan adat istiadat.


Kebatinan Yang Berdasarkan Ilmu Gaib
Di seluruh daerah tempat tinggal orang jawa banyak terdapat gerakan-gerakan kebatinan yang hanya beranggotakan beberapa puluh orang saja. Kebanyakan dari gerakan seperti itu berpusat di kota-kota dan pada umumnya bersifat rahasia, yaitu dengan tujuan-tujuan yang bersifat mistik, moralis, atau etis dan dipimpin oleh seorang guru. Untuk mencapai tujuannya, para anggota gerakan seperti itu banyak melakukan praktek-praktek ilmu gaib, disamping studi dan bersamadi.

Banyak dari budaya semacam itu pada awalnya adalah suatu organisasi yang mengajar seni bela diri pencak. Kecuali memberi latihan fisik, gurunya juga melatih murid-muridnya untuk melakukan meditasi. Untuk menciptakan suasana keramat, ada juga yang  ditambah berbagai ritus ilmu gaib secara rahasia yang dimaksudkan agar para muridnya, memperoleh kekebalan dan kesaktian tertentu.



Latihan Cipta Tunggal

Cipta bermakna pengareping rasa, tunggal artinya satu atau difokuskan ke satu obyek. Jadi Cipta Tunggal bisa diartikan sebagai konsentrasi cipta.  

Cipta karsa (kehendak) dan pakarti (tindakan) selalu aktif selama orang itu masih hidup. Pakarti bisa berupa tindakan fisik maupun non fisik, pakarti non fisik misalnya seseorang bisa membantu memecahkan atau menyelesaikan masalah orang lain dengan memberinya nasehat, nasehat itu berasal dari cipta atau rasa yang muncul dari dalam. Sangatlah diharapkan seseorang itu hanya menghasilkan cipta yang baik sehingga dia juga mempunyai karsa dan pakarti / tumindak yang baik, dan yang berguna untuk diri sendiri atau syukur-syukur pada orang lain.

Untuk bisa mempraktekkan hal tersebut diatas, orang itu harus selalu sabar, konsestrasikan cipta untuk sabar, orang itu bisa makarti dengan baik apabila kehendak dari jiwa dan panca indera serasi lahir dan batin. Ingatlah bahwa jiwa dan raga selalu dipengaruhi oleh kekuatan api, angin, tanah dan air.

Untuk memelihara kesehatan raga, antara lain bisa dilakukan :
  1. Minumlah segelas air dingin dipagi hari, siang dan malam sebelum tidur, air segar ini bagus untuk syarat dan bagian-bagian tubuh yang lain yang telah melaksanakan makarti.
  2. Jagalah tubuh selalu bersih dan sehat, mandilah secara teratur di negeri tropis sehari dua kali.
  3. Jangan merokok terlalu banyak.
  4. Konsumsilah lebih banyak sayur-sayuran dan buah-buahan dan sedikit daging, perlu diketahui daging yang berasal dari binatang yang disembilah dan memasuki raga itu bisa berpengaruh kurang baik, maka itu menjadi vegetarian ( tidak makan daging ) adalah langkah yang positif.
  5. Kendalikanlah kehendak atau nafsu, bersikaplah sabar, narima dan eling. Janganlah terlalu banyak bersenggama, seminggu sekali atau dua kali sudah cukup.

Berlatihlah supaya cipta menjadi lebih kuat, pusatkan cipta kontrol panca indera. Tenangkan badan (heneng) dengan cipta yang jernih dan tentram (hening). Bila cipta bisa dipusatkan dan difokuskan kearah satu sasaran itu bagus, artinya cipta mulai mempunyai kekuatan sehingga bisa dipakai untuk mengatur satu kehendak.

Buatlah satu titik (.) atau biru ditembok atau dinding, duduklah bersila dilantai menghadap ke tembok, pandanglah titik itu tanpa berkedip untuk beberapa saat, konsentrasikan cipta, kontrol panca indera, cipta dan pikiran jernih ditujukan kepada titik tersebut. Jangan memikirkan yang lain, jarak mata dari titik tersebut kira-kira tujuh puluh lima sentimeter, letak titik tersebut sejajar dengan mata, lakukan itu dengan santai.

Lakukan latihan pernafasan dua kali sehari, pada pagi hari sebelum mandi demikian juga pada sore hari sebelum mandi tarik nafas dengan tenang dalam posisi yang enak. Lakukan olah raga ringan (senam) secara teratur supaya badan tetap sehat, sehingga mampu mendukung latihan olah nafas dan konsentrasi. Hisaplah kedalam badan Sari Trimurti pada hari sebelum matahari terbit dimana udara masih bersih, lakukan sebagai berikut :

Tarik nafas       Tahan Nafas     Keluarkan Nafas          Jumlah
10 detik            10 detik            10 detik            30 detik  minggu I   :  3 kali
15 detik            10 detik            15 detik            40 detik  minggu II  :  3 kali
20 detik            10 detik            20 detik            50 detik  minggu III :  3 kali
26 detik              8 detik            26 detik            60 detik  minggu IV :  3 kali

Untuk memperkuat otak tariklah nafas dengan lobang hidung sebelah kiri, dengan cara menutup lobang hidung sebelah kanan dengan jari, lalu tahan nafas selanjutnya keluarkan nafas melalui lobang hidung sebelah kanan, dengan menutup lobang hidung sebelah kiri dengan jari.

Tarik nafas       Tahan Nafas     Keluarkan Nafas          Jumlah
  4 detik              8 detik            4 detik              16 detik  minggu I                     :  7 kali
10 detik              7 detik            10 detik            27 detik  minggu II                    :  7 kali
10 detik            10 detik            10 detik            30 detik  minggu III & IV         :  7 kali
20 detik            20 detik            20 detik            60 detik  minggu V                   :  7 kali

Karsa akan terpenuhi apabila nasehat-nasehat diatas dituruti dengan benar, praktekkan samadi pada waktu malam hari, paling bagus tengah malam ditempat atau kamar yang bersih. Kontrol panca indera, tutuplah sembilan lobang dari raga, duduk bersila dengan rilek, fokuskan pandangan kepada pucuk hidung. Tarik nafas, tahan nafas, dan keluarkan nafas dengan tenang dan santai, konsentrasikan cipta lalu dengarkan suara nafas. Pertama-tama akan dirasakan sesuatu yang damai dan apabila telah sampai saatnya orang akan bisa berada berada dalam posisi hubungan harmonis antara kawula dan Gusti ALLAH

Cobalah lakukan sebagai berikut :
  1. Lupakan segalanya selama dua belas detik
  2. Dengan sadar memusatkan cipta kepada dzat yang agung selama seratus empat puluh detik.
  3. Jernihkan pikiran dan rasa selama satu, dua atau tiga jam ( semampunya )

Tujuh macam tapa raga, yang perlu dilakukan:
  1. Tapa mata, mengurangi tidur artinya jangan mengejar pamrih.
  2. Tapa telinga, mengurangi nafsu artinya jangan menuruti kehendak jelek.
  3. Tapa hidung, mengurangi minum artinya jangan menyalahkan orang lain
  4. Tapa bibir, mengurangi makan artinya jangan membicarakan kejelekan orang lain
  5. Tapa tangan, jangan mencuri artinya jangan mudah memukul orang
  6. Tapa alat seksual, mengurangi bercinta dan jangan berzinah
  7. Tapa kaki, mengurangi jalan artinya jangan membuat kesalahan

Tujuh macam tapa jiwa yang perlu dilakukan:
  1. Tapa raga, rendah hati melaksanakan hanya hal yang baik
  2. Tapa hati, bersyukur tidak mencurigai orang lain melakukan hal yang jahat
  3. Tapa nafsu, tidak iri kepada sukses orang lain, tidak mengeluh dan sabar pada saat menderita
  4. Tapa jiwa, setia tidak bohong, tidak mencampuri urusan orang
  5. Tapa rasa, tenang dan kuat dalam panalongso
  6. Tapa cahaya, bersifat luhur berpikiran jernih
  7. Tapa hidup, waspada dan eling

Berketetapan hati:
  1. Tidak ragu-ragu
  2. Selalu yakin orang yang kehilangan keyakinan atas kepercayaan diri adalah seperti pusaka yang kehilangan yoninya atau kekuatannya

Menghormati orang lain tanpa memandang jenis kelamin, kedudukan, suku, bangsa, kepercayaan dan agama, semua manusia itu sama. Saya adalah kamu (tat twan asi). Artinya kalau kamu berbuat baik kepada orang lain, itu juga baik buat kamu, kalau kamu melukai orang lain itu juga melukai dirimu sendiri.


Sedulur papat kalimo pancer

Orang Jawa tradisional percaya eksistensi dari sedulur papat (saudara empat) yang selalu menyertai seseorang dimana saja dan kapan saja, selama orang itu hidup didunia. Mereka memang ditugaskan oleh kekuasaan alam untuk selalu dengan setia membantu, mereka tidak tidak punya badan jasmani, tetapi ada baik dan kamu juga harus mempunyai hubungan yang serasi dengan mereka yaitu:
  1. Kakang kawah, saudara tua kawah, dia keluar dari gua garba ibu sebelum kamu, tempatnya di timur warnanya putih.
  2. Adi ari-ari, adik ari-ari, dia dikeluarkan dari gua garba ibu sesudah kamu, tempatnya di barat warnanya kuning.
  3. Getih, darah yang keluar dari gua garba ibu sewaktu melahirkan, tempatnya di selatan warnanya merah
  4. Puser, pusar yang dipotong sesudah kelahiranmu, tempatnya di utara warnanya hitam.

Selain sedulur papat diatas, yang lain adalah Kalima Pancer. Pancer kelima itulah badan jasmani kamu. Merekalah yang disebut sedulur papat kalimo pancer, mereka ada karena kamu ada. Sementara orang menyebut mereka keblat papat lima tengah, (empat jurusan yang kelima ada ditengah). Mereka berlima itu dilahirkan melalui ibu, mereka itu adalah Mar dan Marti, berbentuk udara. Mar adalah udara, yang dihasilkan karena perjuangan ibu saat melahirkan bayi, sedangkan Marti adalah udara yang merupakan rasa ibu sesudah selamat melahirkan si jabang bayi. Secara mistis Mar dan Marti ini warnanya putih dan kuning, kamu bisa meminta bantuan Mar dan Marti hanya sesudah kamu melaksankan tapa brata (laku spiritul yang sungguh-sungguh).


Sedulur papat kalimo pancer (Jowo)

Ing Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa. Kewan cacah papat mau nggambarake nafsu patang warna yaiku: Macan nggambarake nafsu Amarah, Bantheng nggambarake nafsu Supiyah, Kethek nggambarake nafsu Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake nafsu Mutmainah.

Njupuk sumber saka Kitab Kidungan Purwajati seratane, diwiwiti saka tembang Dhandanggula kang cakepane mangkene :
“Ana kidung ing kadang Marmati / Amung tuwuh ing kuwasanira / Nganakaken saciptane Kakang Kawah puniku / Kang rumeksa ing awak mami / Anekakake sedya Ing kuwasanipun / Adhi Ari-Ari ingkang Memayungi laku kuwasanireki / Angenakken pangarah Ponang Getih ing rahina wengi / Ngrerewangi ulah kang kuwasa / Andadekaken karsane Puser kuwasanipun / Nguyu-uyu sabawa mami / Nuruti ing panedha Kuwasanireku / Jangkep kadang ingsun papat / Kalimane wus dadi pancer sawiji Tunggal sawujud ingwang”
Ing tembang dhuwur iku disebutake yen  Sedulur Papat iku Marmati, Kawah, Ari-Ari, lan Getih kang kaprahe diarani Rahsa. Kabeh kuwi mancer neng Puser (Udel) yaiku mancer ing Bayi.

Cethane mancer marang uwonge kuwi. Geneya kok disebut Marmati, kakang Kawah, Adhi Ari-Ari lan Rahsa kuwi? Marmati iku tegese Samar Mati! Lire yen wong wadon pas nggarbini iku sadina-dina pikirane uwas Samar Mati. Rasa uwas kawatir pralaya anane dhisik dhewe sadurunge metune Kawah, Ari-Ari lan Rahsa kuwi mau, mulane Rasa Samar Mati iku banjur dianggep minangka Sadulur Tuwa. Wong nggarbini yen pas babaran kae, kang dhisik dhewe iku metune Banyu Kawah sak durunge laire bayi, mula Kawah banjur dianggep Sadulur Tuwa kang lumrahe diarani Kakang Kawah. Yen Kawah wis mancal medhal, banjur disusul laire bayi, sakwise kuwi banjur disusul wetune Ari-Ari. Sarehne Ari-Ari iku metune sakwise bayi lair, mulane Ari-Ari iku diarani Sedulur Enom lan kasebut Adhi Ari-Ari. Lamun ana wong abaran tartamtu ngetokake Rah (Getih) sapirang-pirang. Wetune Rah (Rahsa) iki uga ing wektu akhir, mula Rahsa iku uga dianggep Sedulur Enom. Puser iku umume pupak yen bayi wis umur pitung dina. Puser kang copot saka udel kuwi uga dianggep Sedulure bayi. Iki dianggep Pancer pusate Sedulur Papat. Mula banjur tuwuh unen-unen "sedulur papat lima pancer"

Kekayon wayang purwa kang kaprahe kasebut Gunungan, ana kono gambar Macan, Bantheng, Kethek lan Manuk Merak. Kocape kuwi mujudake Sedulur Papat mungguhing manungsa.

Kewan cacah papat mau nggambarake nafsu patang warna yaiku: Macan nggambarake nafsu Amarah, Bantheng nggambarake nafsu Supiyah, Kethek nggambarake nafsu Aluamah, lan Manuk Merak nggambarake nafsu Mutmainah kang kabeh mau bisa dibabarake kaya ukara ing ngisor iki:

Amarah, Yen manungsa ngetutake amarah iku tartamtu tansaya bengkerengan lan padudon wae, bisa-bisa manungsa koncatan kasabaran, kamangka sabar iku mujudake alat kanggo nyaketake dhiri marang Allah SWT.
Supiyah/Kaendahan, Manungsa kuwi umume seneng marang kang sarwa endah yaiku wanita (asmara). Mula manungsa kang kabulet nafsu asmara digambarake bisa ngobong jagad.
Aluamah/Srakah, Manungsa kuwi umume padha nduweni rasa srakah lan aluamah, mula kuwi yen ora dikendaleni, manungsa kepengine bisa urip nganti pitung turunan. Mutmainah/Kautaman, Senajan kuwi kautaman utawa kabecikan, nanging yen ngluwihi wates ya tetep ora becik.

Contone, menehi duwit marang wong kang kekurangan kuwi becik, nanging yen kabeh duwene duwit diwenehake satemah uripe dewe rusak, iku cetha yen ora apik. Mula kuwi, sedulur papat iku kudu direksa lan diatur supaya aja nganti ngelantur. Manungsa diuji aja nganti kalah karo sedulur papat kasebut, kapara kudu menang, lire kudu bisa ngatasi krodhane sedulur papat. Yen manungsa dikalahake dening sedulur papat iki, ateges jagade bubrah. Ing kene dununge pancer kudu bisa dadi paugeran lan dadi pathokan. Bener orane, nyumanggakake.


Tirakat

Liring sepuh sepi hawa / Awas roroning atunggal / Tan samar pamoring sukma / Sinukmanya winahya ing ngasepi / Sinimpen telenging kalbu / Pambukaning wanara / Tarlen saking liyep layaping ngaluyup / Pindha sesating supena / Sumusiping rasa jati / Sajatine kang mangkana / Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi / Bali alaming asuwung / Tan karem karameyan / Ingkang sipat wisesa-winisesa wus / Milih mula-mulanira / Mulane wong anom sami”.

Manusia jawa (tiyang Jawi) pada saat tertentu  rela/mau dengan sengaja, menempuh kesukaran dan ketidaknyamanan untuk maksud-maksud ritual dalam budaya spiritualnya, yang berakar dari pikiran bahwa usaha-usaha seperti itu dapat membuat orang teguh imannya dan mampu mengatasi kesukaran-kesukaran, kesedihan dan kekecewaan dalam hidupnya melalui latihan keprihatinannya pada jalan tirakatnya. Mereka juga beranggapan bahwa orang bisa menjadi lebih tekun, dan terutama bahwa orang yang telah melakukan usaha semacam itu kelak akan mendapatkan pahala.

Tirakat kadang-kadang dijalankan dengan berpantang makan kecuali nasi putih saja (Mutih) pada hari Senin dan Kamis, dengan jalan berpuasa pada bulan Puasa (Siyam) ada terkadang juga berpuasa selama beberapa hari (Nglowong) menjelang hari-hari besar Islam, seperti pada Bakda Besar (Bulan pertama menurut perhitungan orang Jawa), yaitu bulan Sura. Orang Jawa juga mempunyai adat untuk hanya makan sedikit sekali (tidak lebih daripada yang dapat dikepal dengan satu tangan) ngepel, untuk jatah makannya selama satu atau dua hari, atau adat untuk berpuasa dan menyendiri dalam suatu ruangan (ngebleng), bahkan ada juga yang melakukannya di dalam suatu ruangan yang gelap pekat, yang tidak dapat ditembus oleh sinar cahaya (patigeni).

Tirakat dapat juga dijalankan pada saat-saat khusus, misalnya pada waktu orang menghadapi suatu tugas berat, waktu mengalami krisis dalam keluarga, jabatan, atau dalam hubungan dengan orang lain, tetapi dapat juga pada waktu suatu masyarakat atau negara berada dalam suatu masa bahaya, pada waktu terkena bencana alam, epidemi dan sebagianya. Dalam keadaan seperti itu melakukan tirakat dapat dianggap sebagai tanda rasa prihatin yang dianggap perlu oleh orang Jawa bila seseorang berada dalam keadaan bahaya.

Tapabrata (bertapa)  
Tapabrata dianggap oleh para penganut agami Jawi sebagai suatu hal yang sangat penting, Dalam kesusateraan kuno orang kuno, konsep tapa dan tapabrata diambil langsung dari konsep Hindu tapas, yang berasal dari buku-buku Veda. Selama berabad-abad para pertapa dianggap sebagai orang keramat, dan anggapan bahwa dengan menjalankan kehidupan yang ketat dengan disiplin tinggi, serta mampu menahan hawa nafsu, orang dapat mencapai tujuan-tujuan yang sangat penting. Dalam cerita-cerita  wayang kita sering dapat menjumpai adanya tokoh pahlawan yang menjalankan tapa.

Orang jawa mengenal berbagai cara bertapa, dan cara-cara itu telah disebutkan oleh J. Knebel (1897 : 119-120 ) dalam karangannya mengenai kisah Darmakusuma, murid dari seorang wali di abad ke 16, berbagai cara menjalankan tapa adalah:
1.   Tapa mangan, dilakukan dengan jalan tidak tidur, tetapi boleh makan. 
2.   Tapa ngalong, dengan bergantung terbalik, dengan kedua kaki diikat pada dahan sebuah pohon.
3.   Tapa nguwat, yaitu bersamadi disamping makam nenek moyang anggota keluarga, atau orang keramat, untuk suatu jangka waktu tertentu.
4.   Tapa bisu, dengan menahan diri untuk tidak berbicara, cara bertapa semacam ini biasanya didahului oleh suatu janji.
5.   Tapa bolot, yaitu tidak dan tidak membersihkan diri selama jangka waktu tertentu.
6.   Tapa ngidang, dengan jalan menyingkir sendiri ke dalam hutan.
7.   Tapa ngramban, dengan menyendiri di dalam hutan dan hanya makan tumbuh-tumbuhan
8.   Tapa ngambang, dengan jalan merendam diri di tengah sungai selama beberapa waktu yang sudah ditentukan.
9.   Tapa ngeli, adalah cara bersamadi dengan membiarkan diri dihanyutkan arus air di atas sebuah rakit.
10. Tapa tilem, dengan cara tidur untuk suatu jangka waktu tertentu tanpa makan apa-apa.
11. Tapa mutih, yaitu hanya makan nasi saja, tanpa lauk pauk.

Ketiga jenis tapa yang tersebut terakhir, sebenarnya juga dilakukan oleh orang-orang yang hanya menjalankan tirakat aja, oleh karena itu batas antara tirakat dan tapabrata itu tidak begitu jelas. Walaupun demikian bahwa kita harus memperhatikan bahwa ke 11 jenis tapabrata itu jarang dilakukan secara terpisah, semua biasanya dijalankan dengan tata urut tersendiri, atau dilakukan dengan cara menggabung-gabungkan.

Oleh karena itu tapa semacam itu mirip dengan tapa pada orang hindu dahulu, sehingga dengan demikian ada suatu perbedaan fungsional antara tirakat dan tapabrata. Namun sering terjadi bahwa orang melakukan tapabrata bersamaan dengan samadi, dengan maksud untuk memperoleh wahyu. Tentu saja tujuan dari tapa semacam ini adalah untuk mendapatkan kenikmatan duniawian, akhirnya perlu disebutkan bahwa pada orang Jawa tapa merupakan salah satu cara penting dan utama untuk bersatu dengan Tuhan.


Meditasi

Bahwa meditasi dan tapa adalah sama, serta perbedaan antara keduanya hanya terletak pada intensitas menjalankannya saja. Teknik-teknik serta latihan-latihan untuk melakukan meditasi ada bermacam-macam, yaitu dari yang sangat sederhana, seperti memusatkan perhatian pada titik-titik hujan yang jatuh ditanah, hingga yang sukar dan berat dijalankan, seperti menatap cahaya yang terang benderang dari dalam sebuah gua yang gelap ditepi pantai, dengan gemuruh ombak sebagai latar belakangnya, sambil berdiri dengan posisi yang sukar selama 12 jam berturut-turut.

Meditasi atau semedi memang biasanya dilakukan bersama-sama dengan tapabrata, orang yang melakukan tapa ngeli misalnya, tidak hanya duduk diatas rakitnya saja sambil bengong, tidak berbuat apa-apa, ia biasanya juga bermeditasi. Sebaliknya meditasi seringkali juga dijalankan bersama dengan suatu tindakan keagamaan lain, misalnya dengan berpuasa atau tirakat.

Maksud yang ingin dicapai dengan bermeditasi itu ada bermacam-macam, misalnya untuk memperoleh kekuatan iman dalam menghadapi krisis sosial ekonomi atau sosial politik, untuk memperoleh kemahiran berkreasi atau memperoleh kemahiran dalam kesenian, untuk mendapatkan wahyu, yang memungkinkannya melakukan suatu pekerjaan yang penuh tanggung jawab atau untuk menghadapi suatu tugas berat yang dihadapinya. Namun banyak orang melakukan meditasi untuk memperoleh kesaktian (kasekten) disamping untuk menyatukan diri dengan sang Pencipta.

Dalam olah batin, meditasi menjadi salah satu topik pembicaraan yang tiada habis-habisnya. Tentu hal tersebut ada sebabnya, sebabnya tiada lain karena meditasi adalah salah satu usaha proses untuk meningkatkan pengembangan pribadi seseorang secara total.

Mengusahakan rumus yang pasti mengenai arti meditasi tidaklah mudah, yang dapat dilakukan adalah memberi gambaran berbagi pengalaman dari mereka yang melakukan meditasi, berdasarkan pengalaman meditasi dapat berarti :
1.   Melihat ke dalam diri sendiri
2.   Mengamati, refleksi kesadaran diri sendiri
3.   Melepaskan diri dari pikiran atau perasaan yang berobah-obah, membebaskan keinginan duniawi sehingga menemui jati dirinya yang murni atau asli.
Tiga hal tersebut diatas baru awal masuk ke alam meditasi, karena kelanjutan meditasi mengarah kepada sama sekali tidak lagi mempergunakan panca indera (termasuk pikiran dan perasaan) terutama ke arah murni mengalami kenyataan yang asli.

Perlu segera dicatat, bahwa pengalaman meditasi akan berbeda dari orang ke orang yang lain, karena pengalaman dalam bermeditasi banyak dipengaruhi oleh latar belakang temperamen, watak dan tingkat perkembangan spiritualnya serta tujuan meditasinya dengan kulit atau baju kebudayaan orang yang sedang melaksanakan meditasi.

Secara gebya- uyah (pada umumnya) orang yang melakukan meditasi yakin adanya alam lain selain yang dapat dijangkau oleh panca indera biasa. Oleh karena itu mungkin sekali lebih tepat jika cara-cara meditasi kita masukkan ke golongan seni dari pada ilmu. Cara dan hasil meditasi dari banyak pelaku olah batin dari berbagai agama besar maupun perorangan dari berbagai bangsa, banyak menghasilkan kemiripan-kemiripan yang hampir-hampir sama, tetapi lebih banyak mengandung perbedaan dari pribadi ke pribadi orang lain. Oleh karena itu kita dapat menghakimi hasil temuan orang yang bermeditasi, justru keabsahan meditasinya tergantung kepada hasilnya, umpamanya orang yang bersangkutan menjadi lebih bijaksana, lebih merasa dekat dengan Tuhan, merasa kesabarannya bertambah, mengetahui kesatuan alam dengan dirinya dan lain-lainnya.
Keadaan hasil yang demikian, sering tidak hanya dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh orang-orang (masyarakat) di sekitar diri orang tersebut karena tingkah-lakunya maupun ucapan-ucapannya serta pengabdiannya kepada manusia lain yang membutuhkan bantuannya, mencerminkan hasil meditasinya.

Cara bermeditasi banyak sekali. Ada yang memulai dengan tubuh, arti meditasi dengan tubuh adalah mempergunakan menyerahkan tubuh ke dalam situasi hening. Lakunya adalah dengan mempergunakan pernafasan, untuk mencapai keheningan, kita menarik nafas dan mengeluarkan nafas dengan teratur. Posisi tubuh carilah yang paling anda rasakan cocok / rileks, bisa duduk tegak, bisa berbaring dengan lurus dan rata. Bantuan untuk lebih khusuk jika anda perlukan, pergunakan wangi-wangian dan atau mantra, musik yang cocok dengan selera anda, harus ada keyakinan dalam diri anda, bahwa alam semesta ini terdiri dari energi dan cahaya yang tiada habis-habisnya. Keyakinan itu anda pergunakan ketika menarik dan mengeluarkan nafas secara teratur.

Ketika menarik nafas sesungguhnya menarik energi dan cahaya alam semesta yang akan mengharmoni dalam diri anda, tarik nafas tersebut harus dengan konsentrasi yang kuat. Ketika mengelurkan nafas dengan teratur juga, tubuh anda sesungguhnya didiamkan untuk beberapa saat. Jika dilakukan dengan sabar dan tekun serta teratur, manfaatnya tidak hanya untuk kesehatan tubuh saja tetapi juga ikut menumbuhkan rasa tenang.

Bermeditasi dengan usaha melihat cahaya alam semesta, yang dilakukan terus menerus secara teratur, akan dapat menumbuhkan ketenangan jiwa, karena perasaan-perasaan negatif seperti rasa kuatir atau takut, keinginan yang keras duniawi, benci dan sejenisnya akan sangat berkurang, bahkan dapat hilang sama sekali, yang hasil akhirnya tumbuh ketenangan. Meditasi ini harus juga dilakukan dengan pernafasan yang teratur.

Kesulitan yang paling berat dalam bermeditasi adalah mengendalikan pikiran dengan pikiran artinya anda berusaha mengelola pikiran-pikiran anda, sampai mencapai keadaan pikiran tidak ada dan anda tidak berpikir lagi. Salah satu cara adalah mengosongkan pikiran adalah dengan cara menfokuskan pikiran anda kepada suatu cita-cita, umpamanya cita-cita ingin menolong manusia manusia lain, cita-cita ingin manunggal dengan Tuhan. Cita-cita ingin berbakti kepada bangsa dan negara, cita-cita berdasarkan kasih sayang dan sejenis itu menjadi sumber fokus ketika hendak memasuki meditasi.

Secara fisik ada yang berusaha mengosongkan pikiran dengan memfokuskan kepada bunyi nafas diri sendiri ketika awal meditasi, atau ada juga yang menfokuskan kepada nyala lilin atau ujung hidung sendiri.

Jika proses meditasi yang dilukiskan tersebut diatas dapat anda lakukan dengan tepat, maka anda dapat menghasilkan sesuatu yang bermanfaat dalam pengertian spiritual, yang akibatnya pasti baik untuk diri anda sendiri, mungkin juga bermanfaat untuk manusia lain.

Sesuatu itu jangan dijadikan tujuan meditasi, karena hasil sesuatu itu adalah hasil proses meditasi, bukan tujuan meditasi. Jika dalam proses tersebut pikiran anda belum dapat anda kuasai atau hilangkan janganlah putus asa atau berhenti, tetapi juga memaksakan diri secara keterlaluan. Pengembangan selanjutnya dari proses meditasi tersebut, anda sendiri yang akan menemukan dan meneruskannya, karena berciri sangat pribadi.
Untuk dapat berhasil anda sangat perlu memiliki motivasi yang cukup pekat dan dalam, sehingga dengan tiada terasa anda akan bisa khusuk dalam keheningan bermeditasi. Jika menemui sesuatu, apakah itu cahaya atau suara atau gambaran-gambaran, jangan berhenti, teruskan meditasi anda.

Pengalaman sesudah keadaan demikian, hanya andalah yang dapat mengetahui dan merasakannya, karena tiada kata kalimat dalam semua bahasa bumi yang dapat menerangkan secara gamblang. Dalam keadaan demikian anda tidak lagi merasa lapar, mengantuk bahkan tidak mengetahui apa-apa lagi, kecuali anda tersadar kembali. Biasanya intuisi anda akan lebih tajam sesudah mengalami proses meditasi yang demikian itu, dan mungkin pula memperoleh pengetahuan tentang alam semesta atau lainnya.  


Semedi

Samadi berasal dari kata Sam artinya besar dan Adi artinya bagus atau indah. Seseorang yang melakukan samadi adalah seseorang yang mengambil posisi-patrap untuk meraih budi yang besar, indah dan suci. Budi suci adalah budi yang diam tanpa nafsu, tanpa keinginan dan pamrih apapun. Inilah kondisi suwung (kosong) tetapi sebenarnya ada aktifitas dari getaran hidup murni, murni sebagai sifat-sifat hidup dari Tuhan.

Budi suci terlihat seperti cahaya atau sinar yang disebut Nur. Nur itu adalah hati dari budi. Kesatuan dari budi dan nur secara mistis disebut curigo manjing warongko atau bersatunya kawula dan Gusti atau juga biasa digambarkan Bima manunggal dengan Dewa Ruci.

Istilah lainnya ialah Pangrucatan atau Kamukswan. Pangrucatan itu artinya dilepas. Apa yang dilepas? Pengaruh dari nafsu. Mukswa artinya dihapus. Apa yang dihapus? Pengaruh dari nafsu. Oleh karena itu samadi adalah satu proses dari penyucian budi. Budi menjadi nur. Di dalam nur ini, kawula bisa berkomunikasi dengan Gusti untuk menerima tuntunan sesuai dengan kedudukannya sebagai kawula.

Waktu bersamadi orang bisa mengambil posisi duduk atau tidur telentang diatas tempat tidur. Pilihlah tempat yang bersih, tenang dan aman, bernafaslah dengan santai, pada posisi tidur kaki diluruskan, kedua tangan diletakkan didada. Dengarkanlah dengan penuh perhatian suara nafas dengan tenang, menghirup dan mengeluarkan udara melalui hidung. Ini akan membuat pikiran menjadi tidak aktif. Nikmatilah suara nafas dengan jalan menutup mata, ini sama seperti kalau memusatkan pandangan kepada pucuk hidung.
Dengan melakukan ini, pikiran dinetralisir demikian juga angan-angan dan pengaruh panca indera. Sesudah itu nafsu dinetralisir didalam indera ke enam. Bila berhasil orang akan berada dalam suwung dan nur mendapatkan tuntunan mistis yang simbolis.

Manusia diciptakan oleh Tuhan, manusia adalah makluk yangmempunyai :
1.      Badan jasmani = badan kasar.
2.      Badan jiwa = badan alus.
3.      Badan cahaya = nur atau suksma
Dengan susunan seperti tersebut diatas, diharapkan akan mampu mengetahui Sangkan Paraning Dumadi (makna perjalanan kehidupan).

Memahami Jagad Raya.
Sebelum adanya jagad raya, tidak ada apa-apa kecuali kekosongan dan suwung. Didalam suwung terdapat sifat-sifat hidup dari Tuhan. Jagad Raya adalah suatu Causa prima. Sifat-sifat hidup Tuhan terasa seperti getaran dan getaran ini terus menerus.

Ada tiga elemen yang terdiri dari :
1.      Elemen merah dengan sinar merah, ini panas
2.      Elemen biru dengan sinar biru, ini dingin
3.      Elemen kuning dengan sinar kuning, ini menakjubkan.
Elemen-elemen ini selalu bergetar. Sebagai hasil dari perpaduan ketiga elemen tersebut, elemen ke-empat lahir dengan warna putih atau putih keperak-perakan dan inilah yang disebut nur. Nur itu adalah sari dari jagad raya, ada yang menjadi calon planet, ada yang menjadi badan budi atau jiwa yaitu badan jiwa dari manusia. Ketika nur menjadi sari dari badan jasmani manusia, itu artinya di dalam jagad raya dan galaksi akan selalu dilahirkan planet-planet dan bintang-bintang baru. Kondisi dari plenet-planet yang baru dilahirkan bisa berbeda antara yang satu dengan yang lain, karena tergantung kepada pengaruh dari tiga elemen tersebut, ada planet yang bisa dihuni dan yang tidak bisa dihuni.  

“Miyos saking renteging hawa / ambedah anggit prayitnaing piker / sesumeh bayu ayuning asih / njembari pajar latuning titah / ilang lunganing ngawang / nemoni asrep reseping wening / ono sanepa kagem pepiling”

Wong kang ambudi daya kalawan anglakoni tapa utawa semedi kudu kanthi kapracayan kang nyukupi apa dene serenging lan kamempengan anggone nindhakake. Atine kudu santosa temenan supaya wong kang nindhakake sedyane mau ora nganti kadadeyan entek pengarep-arepe yen kagawa saka kuciwa dening kahanane badane, wong mau kudu nindakake pambudi dayane luwih saka wewangening wektu saka katamtuwaning laku kang dikantekake marang sawiji-wijining mantram lan ajaran ilmu gaib awit gede gedening kagelan iku ora kaya wong kang gagal enggone nindakake lakune rasa kuciwa kang mangkono iku nuwuhake prihatin lan getun, nganti andadekake ciliking ati lan enteking pangarep-arep. Sawise wong mau entek pangarep arepe lumrahe banjur trima bali bae marang panguripan adat sakene mung dadi wong lumrah maneh.

Kawruhana wong kang lagi miwiti ngyakinake ilmu gaib sok-sok dheweke iku mesthi nemoni kagagalan-kagagalan kang nuwuhake rasa kuciwa. Sawijining wewarah kang luwih becik tumrap wong kang lagi nglakoni kasutapan iya iku ati kang teguh santosa aja kesusu-susu lan aja bosenan ngemungake wong kang anduweni katetepan ati lan santosaning sedya-sumedya ambanjurake ancase iya iku wong kang bakal kasembadan sedyane. Wong ngyakinake prabawa gaib iku anduweni kekarepan supaya dadi wong lanang temenan kang diendahake dening wong akeh, iya anaa ing ngendi wae enggone nyugulake dirine, Amarehe diwedeni ing wong akeh panguwuhe gawe kekesing wong yen anyentak dadi panggugupake lan gawe gemeter dirine, ditrisnani ing wong akeh pitembungane digatekake lan pakartine diluhurake ing wong akeh, iya pancen nyata wong liyane mesthi tunduk marang sawijining wong kang ahli ilmu.

Wong ahli kasutapan tansah yakin enggone ngumpulake kekuwatan gaib ing dalem dhirine. Ana paedahe kang migunani banget manawa wong nindakake pambudi daya kalawan misah dheweke ana ing papan kang sepi karana tinimune kekuwatan gaib iku sok-sok tinemu dhewekan ana ing sepen. Wong ahli kasutapan kudu budidaya bisane nglawan marang nepsune kekarepan umum (kekarepan wong akeh kang campur bawur ngumandang ana ing swasana), kalawan tumindak mangkono wong ahli kasutapan mau dadi nduweni pikiran-pikiran kang mardhika, iya pikiran-pikiran kang mangkono iku kang bisa nekakake kasekten gaib.

Sangsaya akeh kehing kang kena tinides, uga sangsaya gedhe tumandhoning kekuwatan gaib kang kinumpulake. Kekuwatan gaib iku tansah makarti tanpa kendhat enggone mujudake sedya lan nganakake kekarepan. Wong ahli kasutapan kudu anduweni ati kang tetep lan kekarepan kan dereng, kalawan ora maelu marang anane pakewuh pakewuhe lan kagagalan-kagagalaning. Kasekten iku kaperang ana rong warna, iya iku kasekten putih (Witte magie/white magic) utawa kasekten ireng (Zwarte magie/Black Magic). Awit saka anane perangan mau banjur dadi kanyatan yen perangan kang sawiji iku becik, dene perangan liyane ala.

Kasekten putih iku satemene ilmu Allah Kang Maha Luhur wis mesthi bae kapigunakake mligi kanggo kaslametane wong akeh. Dene kasekten ireng iku ilmu kaprajuritan kang kapigunakake luwih-luwih kanggo nelukake kalayan paripaksa, sarta bakal anjalari kacilakaning wong liya. Ananing sakaro karone saka sumber ilmu Allah sarta sakaro karane iku padha dipigunakake kalawan atas asma Allah. Tinemune ilmu-ilmu kasekten iki saranane kalawan kekuwataning pikiran pikiran iku manawa kagolongake meleng sawiji bisa nuwuhake kekuwatan kaya panggendeng kang rosa banget tumrap marang apa bae kang dipikir lan disedya.

Wong kang nglakonitapa kalawan nindakake laku-laku kang tinemtokake wis mesthi bae gumolonging pikirane bebarengan padha kumpul dadi siji sarta katujokake marang apa kang disedya kalawan mangkono iku kekuwatan daya anarik migunakake sarosaning kekuwatane banjur anarik apa kang dikarepake. Swasana kang katone kaya dene kothong bae iku satemene ana drate rupa-rupa kayata : geni murub emas kayu lemah waja, electrieiteit zunrstof koolzunr sarpaning Zunr lan isih akeh liya-liyane maneh.
Samengko umpamane ban ana sawijining wong kang lagi tapa kalawan duwe sedya supaya andarbeni daya prabawa kang luwih gedhe sarta anindakake sakehing kekuwatan pikiran kalawan ditujokake marang sedyane mau nganti nuwuhake daya prabawa. Kekuwataning daya anarik saka pikiran iku banjur anarik dzat ing swasana kang pinuju salaras karo daya prabawa mau kalawan saka sathithik sarta sareh dzat daya prabawa kang ing swasana iku katarik mlebu ing dalem badane wong kang lagi tapa mau. Kalawan mangkono dzat prabawa iku dadi kumpul ing dalem badane wong narik dzat iku nganti tumeka wusanane badane wong ahli tapa, iku bisa metokake daya prabawa kang gedhe daya karosane.

Wong kang andarbeni ilmu kang mangoko iku dadi sawijining wong kang sakti mandraguna. Tumrap wong-wong kang nglakoni tapa ditetepake pralambang telu : Diyan, Jubah lan Teken. Diyan minangka pralambanging pepadhang, tumrap kahanan kang umpetan utawa gaib. Jubah minangka dadi pralambange katentremaning ati kang sampurna, dene teken minangka dadi pralambanging kekuwatan gaib.

Ing dalem sasuwene wong nglakoni tapa iku prelu banget kudu migateake marang sirikane, kayata : wedi, nepsu, sengit, semang-semang lan drengki. Rasa wedi iku sawijining pangrasa kang luwih saka angel penyegahe. Menawa isih kadunungan rasa wedi ing dalem atine wong ora bakal bisa kasambadan apa kang disedyaak. Kalawan rasa wedi iku atining wong dadi ora bisa anduweni budi daya apa-apa.

Sajrone nglakoni tapa utawa salagine ngumpulake kekuwatan gaib, atining wong iku mesthi kudu tetep tentrem lan ayem sanadyan ana kadadeyan apa wae. Manawa atine wong iku nganti gugur, kasutapan iya uga dadi gugur lan kudu lekas wiwit maneh. Gegeman kalawan wadi sakehing ilmu gaib lkang lagi pinarsudi, luwih becik murih nyataning kasekten tinimbang karo susumbar kalawan kuwentos kayakenthos.

Nepsu iku andadekake tanpa dayane kekuwataning batin. Semang-semang iku andadekake ati kang peteng ora padhang terang. Sengit utawa drengki iku uga dadi mungsuhing kekuwatan gaib. Wong kang lagi nindakake katamtuwan ing dalem kasutapan kudu kalawan ati kang sabar anteng lan tetep.

Patrapebadan kang kaku lan kagugupan kudu didohake:
  • Aja sok singsot
  • Aja duwe lageyan sok nethek nethek kalawan driji tangan marang meja kursi utawa papan liyane.
  • Aja ngentrok-entrokake sikil munggah mudhun.
  • Aja sok anggigit kukuning dariji tangan.
  • Aja mencap-mencepake lambe.
  • Aja molahake lidhah lan andhilati lambe.
  • Aja narithilake kedheping mata.
  • Ngedohake sakehing saradan utawa bendana kang ora becik, kayata glegak-glegek molah-molahake sirah, kukur-kukur sirah, ngangkat pundhak lan liya-liyane sabangsane saradan kabeh.

Satemene perlu banget nyirnakake kekarepan drengki luk wit ngrasaning karep drengki iku banget nindhih marang diri pribadi. Ana maneh drengki iku kaya anggawa sawijining pikulan abot kang tansah nindhes marang dhiri lan sarupa ana barang atos medhokol kang angganjel pulung ati. Drengki lan meri iku mung anggawa karugiyan bae tumrap kita, ora ana gunane sathithik -thithika. Salawase wong isih anduweni pangrasan karep drengki lan meri iku ora bakal bisa tumeka kamajuwane tumrap dunya prabawaning gaib.

Ora mung tumindak bae tumrap sawijining wong bae bisa maluyakake wong liya kalawan kekuwatan gaib nanging uga tumindak tumrap sawijining wong maluyakake dhiri pribadi kalawan kekuwatan iku. Bisane maluyakake larane wong liya, mesthine kudu ngirima kekuwatan waluya marang sajroning badane wong kang lara. Manawa wong gelem naliti yen wong iku bisa ngumpulake kekuwatan gaib ing dalem badane dhewe lan ngetokake sabageyan kekuwatan gaib kawenehake marang wong liyane mestheni uwong bisa ngreti yen arep migunakake kekuwatan iku nganggo paedahe dhiri dhewe uga luwih gampang.

Supaya bisa nindhakake pamaluya marang dhirine dhewe kalawan sampurna wong ngesthi kudu mahamake cara-carane maluyakake panyakit. Iya iku cara-cara kang katindakake kanggo maluyakake wong liya lan wusanane ambudidaya supaya bisa migunakake obah-obahan iku marang awake dhewe.

Kawitane wong kudu nindakake patrape mangreh napas, kanggo negahake asabat. Dene carane ngatur napas iku kaprathelakake kalayan ringkes kaya ing ngisor iki:
  • Madika panggonan kang sepi.
  • Lungguha ing sawijining palinggihan kang endhek lan kepenak, sikil karo pisan tumapak ing lemah.
  • Badan kajejegake lan janggute diajokake.
  • Benik-beniking klambi kang kemancing padha kauculan, sabuk uga diuculi supaya sandangan dadi longgar lan kepenak kanggo tumindhak ing napas.
  • Pikiran katarik mlebu, supaya luwar saka sakehing geteran pikiran kaya saka ing jaba.
  • Sakehing urat-urat kakendokake.
  • Banjur narika napas kalawan alon lan nganti jero banget tahanen napas iku sawatara sekon/detik (kira-kira 6 detik) lan wusanane wetokna napas iku kalawan sareh.

Anujokna gumolonging pikiran kalawan ngetut marang napas kang mlebu metu iku kalawan giliran. Cara nindakake napas kaya ing ngisor iki:
  • Narik napas kalawan alon lan nganti jero ing sabisane, nganti dhadha mekar lan weteng dadi nglempet.
  • Nahan napas iku kira-kira nem saat utawa luwih suwe ing dalem paru-paru dhadhane cikben lestari mekare, lan wetenge cikben lestaringlempetake kalawan mangkono iku gurung dalaning napas tansah tetep menga.
  • Ambuangna napas kalawan alon nganti entek babar pisan nganti dhadha dadi kempes, lan weteng dadi mekar.
  • Banjurna marambah-rambah matrapake mangkono iku suwene kira-kira saka lima tumeka limolas menit utawa luwih suwe nganti bisa nemoni pangrasa anteng lan tentrem ing sajroning badan.

Carane matrapake kasebut ing dhuwur iku sawijining cara kanggo napakake napas, iki kena lan kudu ditindakake saben dina telung rambahan, dening sapa bae kang nglakoni tapa supaya oleh ilmu gaib. Daya kang luwih bagus iya iku miwiti makarti miturut pituduhan. Aja weya nindakake patrap kanggo napakake napas iku.

Cara matrapake tumindaking napas iku kena uga ditindakake kalayan leyeh-leyeh mlumah : ngendokake sakabehing urat-urat nyelehake tangan karo pisan sadhuwuring weteng lan nindakake lakuning napas miturut aturan. Daya ngisekake Prana Ngadeg kalawan jejeg sikil karo pisan kapepetake dadi siji lan driji -drijining tangan karo pisan dirangkep dadi siji kalawan longgar.

Banjur matrapa lakuning napas sawatara rambahan miturut aturan. Gawe segering utek lungguha kalawan jejeg lan nyelehna tangan karo pisan ing sandhuwuring pupu kiwa tengen: mripat mandheng marang arah ing ngarep kalawan tetep: sikil karo pisan tumadak ing lemah. Kalawan jempol tangan tengen anutup lenging grana sisih tengen lan anarika napas liwat lenging grana sisih kiwa, wusana nglepasake jempol iku banjur ambuwang napas lan nutupa lenging grana kiwa kalawan driji narika napas liwat lenging grana tengen, lepasna driji panutup iku lan ambuwanga napas. Mangkono sabanjure kalawan genti-genten kiwa lan tengen.  


Ilmu Kesampurnaan

Serat Kekiyasanning Pangracutan salah satu buah karya sastra Raja Sultan Agung (1613 - 1645). Ini adalah keterangan Serat, suatu pelajaran tentang Pangracutan yang telah disusun oleh Baginda Sultan Agung Prabu Anyakrakusuma di Mataram atas berkenan beliau untuk membicarakan dan temu nalar dalam hal ilmu yang sangat rahasia, untuk mendapatkan kepastian dan kejelasan dengan harapan dapat dirembuk dengan para ahli ilmu kasampurnaan.

Adapun mereka yang diundang dalam temu nalar itu adalah: Panembahan Purbaya, Panembahan Juminah, Panembahan Ratu Pekik di Surabaya, Panembahan Juru Kithing, Pangeran di Kadilangu, Pangeran di Kudus, Pangeran di Tembayat, Pangeran Kajuran, Pangeran Wangga, dan Kyai Pengulu Ahmad Katengan.

Adapun yang menjadi pembicaraan, beliau menanyakan apa yang telah terjadi setelah manusia itu meninggal dunia, ternyata mengalami bermacam-macam kejadian pada jenazahnya dari berbagai cerita umum, juga menjadi suatu kenyataan bagi mereka yang sering menyaksikan keadaan jenazah yang salah kejadian atau berbagai macam kejadian. Pada keadaan jenazah adalah berbagai yang diketengahkan: langsung membusuk, jenazahnya utuh, tidak berbentuk (hilang bentuk jenazah), meleleh menjadi cair, menjadi mustika (permata), ada yang menjadi hantu, bahkan ada yang menjelma menjadi hewan.

Dan masih banyak lagi kejadianya, lalu bagaimana hal itu dapat terjadi dan apa yang menjadi penyebabnya. Adapun menurut para pakar setelah mereka bersepakat disimpulkan suatui pendapat sebagai berikut: “Sepakat dengan pendapat Sultan Agung bahwa manusia itu setelah meninggal keadaan jenazahnya berbeda-beda itu suatu tanda bahwa disebabkan karena ada kelainan atau salah kejadian (tidak wajar), makanya demikian karena pada waktu masih hidup berbuat dosa setelah menjadi mayat pun akan mengalami sesuatu masuk kedalam alam penasaran. Karena pada waktu pada saat sedang memasuki proses sakaratul maut hatinya menjadi ragu, takut, kurang kuat tekadnya, tidak dapat memusatkan pikiran hanya untuk satu ialah menghadapi maut.”

Maka ada berbagai bab dalam mempelajari ilmu ma’rifat, seperti berikut ini:

1.   Pada waktu masih hidupnya, siapapun yang senang tenggelam dalam kekayaan dan kemewahan, tidak mengenal tapa brata, setelah mencapai akhir hayatnya, maka jenazahnya akan menjadi busuk dan kemudian menjadi tanah liat sukmanya melayang gentayangan dapat diumpamakan bagaikan rama-rama tanpa mata sebaliknya, bila pada saat hidupnya gemar menyucikan diri lahir maupun batin. Hal tersebut sudah termasuk lampah maka kejadiannya tidak akan demikian.

2.   Pada waktu masih hidup bagi mereka yang kuat pusaka tetapi tidak mengenal batas waktunya bila tiba saat kematiannya maka mayatnya akn terongok menjadi batu dan membuat tanah perkuburannya itu menjadi sanggar adapun rohnya akan menjadi danyang semoro bumi walaupun begitu bila masa hidupnya mempunyai sifat nrima atau sabar artinya makan tidur tidak bermewah-mewah cukup seadanya dengan perasaan tulus lahir batin kemungkinan tidaklah seperti diatas kejadiannya pada akhir hidupnya.

3.   Pada masa hidupnya  seseorang yang menjalani lampah tidak tidur tetapi tidak ada batas waktu tertentu pada umumnya disaat kematiannya kelak maka jenaahnya akan keluar dari liang lahatnya karena terkena pengaruh dari berbagai hantu yang menakutkan. Adapun sukmanya menitis pada hewan. Walaupun begitu bila pada masa hidupnya disertai sifat rela bila meninggal tidak akan keliru jalannya.

4.   Siapun yang melantur dalam mencegah syahwat atau hubungan seks tanpa mengenal waktu pada saat kematiannya kelak jenazahnya akan lenyap melayang masuk kedalam alamnya jin, setan, dan roh halus lainnya sukmanya sering menjelma menjadi semacam benalu atau menempel pada orang seperti menjadi gondaruwo dan sebagainya yang masih senang mengganggu wanita kalau berada pada pohon yang besar kalau pohon itu di potong maka benalu tadi akan ikut mati walaupun begitu bila mada masa hidupnya disertakan sifat jujur tidak berbuat mesum, tidak berzinah, bermain seks dengan wanita yang bukan haknya, semuanya itu jika tidak dilanggar tidak akan begitu kejadiannya kelak.

5.   Pada waktu masih hidup selalu sabar dan tawakal dapat menahan hawa nafsu berani dalam lampah dan menjalani mati didalamnya hidup, misalnya mengharapkan janganlah sampai berbudi rendah, rona muka manis, dengan tutur kata sopan, sabar dan sederhana semuanya itu janganlah sampai belebihan dan haruslah tahu tempatnya situasi dan kondisi dan demikian itu pada umumnya bila tiba akhir hayatnya maka keadaan jenazahnya akan mendapatkan kemuliaan sempurna dalam keadaannya yang hakiki. Kembali menyatu dengan zat yang Maha Agung, yang dapat mneghukum dapat menciptakan apa saja ada bila menghendaki datang menurut kemauannya apalagi bila disertakan sifat welas asih, akan abadilah menyatunya Kawulo Gusti.
6.   Oleh karenanya bagi orang yang ingin mempelajari ilmu ma’arifat haruslah dapat menjalani : Iman, Tauhid dan Ma’rifat.

Pada ketika itu Baginda Sultan Agung Prabu Hanyangkra Kusuma merasa senang atas segala pembicaraan dan pendapat yang telah disampaikan tadi. Kemudian beliau melanjutkan pembicaraan lagi tentang berbagai jenis kematian misalnya: mati kisas, mati kias, mati sahid, mati salih, mati tewas, dan mati apes.

Semuanya itu beliau berharap agar dijelaskan apa maksudnya maka yang hadir memberikan jawaban sebagai berikut:
Mati Kisas, adalah suatu jenis kematian karena hukuman mati. Akibat dari perbuatan orang itu karena membunuh, kemudian dijatuhi hukuman karena keputusan pengadilan atas wewenang raja.
Mati Kias, adalah suatu jenis kematian akibatkan oleh suatu perbuatan misalnya: nafas atau mati melahirkan.
Mati Syahid, adalah suatu jenis kematian karena gugur dalam perang, dibajak, dirampok, disamun.
Mati Salih, adalah suatu jenis kematian karena kelaparan, bunuh diri karena mendapat aib atau sangat bersedih.
Mati Tiwas, adalah suatu jenis kematian karena tenggelam, disambar petir, tertimpa pohon, jatuh memanjat pohon, dan sebagainya.
Mati Apes, suatu jenis kematian karena ambah-ambahan, epidemi karena santet atau tenung dari orang lain yang demikian itu benar-benar tidak dapat sampai pada kematian yang sempurna atau kesedanjati bahkan dekat sekali pada alam penasaran.

Berkatalah beliau: “Sebab-sebab kematian tadi yang mengakibatkan kejadiannya lalu apakah tidak ada perbedaannya antara yang berilmu dengan yang bodoh? Andaikan yang menerima akibat dari kematian seornag pakarnya ilmu mistik, mengapa tidak dapat mencabut seketika itu juga?”

Dijawab oleh yang menghadap: “Yang begitu itu mungkin disebabkan karena terkejut menghadapi hal-hal yang tiba-tiba. Maka tidak teringat lagi dengan ilmu yang diyakininya dalam batin yang dirasakan hanyalah penderitaan dan rasa sakit saja. Andaikan dia mengingat keyakinan ilmunya mungkin akan kacau didalam melaksanakannya tetapi kalau selalu ingat petunjuk-petunjuk dari gurunya maka kemungkinan besar dapat mencabut seketika itu juga.”

Setelah mendengar jawaban itu beliau merasa masih kurang puas menurut pendapat beliau bahwa sebelum seseorang terkena bencana apakah tidak ada suatu firasat dalam batin dan pikiran, kok tidak terasa kalau hanya begitu saja beliau kurang sependapat oleh karenanya beliau mengharapkan untuk dimusyawarahkan sampai tuntas dan mendapatkan suatu pendapat yang lebih masuk akal.

Kyai Ahmad Katengan menghaturkan sembah: “Sabda paduka adalah benar, karena sebenarnya semua itu masih belum tentu , hanyalah Kangjeng Susuhunan Kalijogo sendiri yang dapat melaksanakan ngracut jasad seketika, tidak terduga siapa yang dapat menyamainya.”

Adapun Pangracutan Jasad yang dipergunakan oleh Kangjeng Susuhunan Kalijogo, penjelasannya yang telah diwasiatkan kepada anak cucu seperti ini caranya:
“Badan jasmaniku telah suci, kubawa dalam keadaan nyata, tidak diakibatkan kematian, dapat mulai sempurna hidup abadi selamanya. Di dunia aku hidup, sampai di alam nyata (akherat) aku juga hidup, dari kodrat iradatku, jadi apa yang kuciptakan, yang kuinginkan ada, dan datang yang kukehendaki”.

Adapun pesan beliau Kangjeng Susuhunan di Kalijogo sebagai berikut: “Siapapun yang menginginkan dapat menghancurkan tubuh seketika atau terjadinya mukjizat seperti para Nabi, mendatangkan keramat seperti para Wali, mendatangkan ma’unah seperti para Mukmin Khos, dengan cara menjalani tapabrata seperti pesan dari Kangjeng Susuhunan di Ampel Denta: menahan hawa nafsu selama seribu hari siang dan malamnya sekalian, menahan syahwat (seks) selama seratus hari siang dan malam, tidak berbicara (artinya membisu) dalam empat puluh hari siang dan malam, puasa padam api tujuh hari tujuh malam, terjaga (tidak tidur) tiga hari tiga malam, dan mati raga (tidak bergerak) sehari semalam.”

“Adapun pembagian waktunya dalam lampah seribu hari seribu malam itu beginilah caranya: manahan hawa nafsu, bila telah mendapat 900 hari lalu teruskan dengan, menahan syahwat, bila telah mencapai 60 hari, lalu dirangkap juga dengan membisu tanpa berpuasa selama 40 hari, lalu lanjutkan dengan puasa pati selama 7 hari tujuh malam, lalu dilanjutkan dengan tidak tidur (terjaga) selama tiga hari tiga malam, lanjutkan dengan pati raga selama sehari semalam.”

“Adapun caranya Pati Raga adalah: tangan bersidakep kaki membujur dan menutup sembilan lobang ditubuh, tidak bergerak-gerak, menahan tidak berdehem, batuk, tidak meludah, tidak berak, tidak kencing selama sehari semalam tersebut. Yang bergerak tinggallah kedipnya mata, tarikan nafas, anapas, tanapas nupus, artinya tinggal keluar masuknya nafas, yang tenang jangan sampai bersengal-sengal campur baur.”


Dunia  Mahkluk  Halus

Pada kenyataannya banyak orang yang tertarik menelaah pada dunia mahkluk halus, barang kali mereka mendengar beberapa cerita atau membaca tulisan atau dari buku-buku. Bagi orang yang telah mencapai ilmu sejati dalam kejawen atau mungkin yang sudah menguasai metafisika, dunia mahkluk halus itu biasa adanya, bukannya omong kosong. Dibawah ini digambarkan informasi dari dunia-dunia mereka versi kejawen, dimana (lebih dari satu dunia) paling tidak yang terjadi ditanah Jawa.

Banyak ahli kejawen mempunyai pendapat yang sama bahwasanya di dalam dunia yang satu dan sama ini, sebenarnya dihuni oleh tujuh macam alam kehidupan, termasuk alam yang dihuni oleh manusia. Di dunia ini memiliki tujuh saluran kehidupan yang ditempati oleh bermacam-macam mahkluk. Mahkluk-mahkluk dari tujuh alam tersebut, pada prinsipnya mereka mengurusi alamnya masing-masing, aktivitas mereka tidak bercampur setiap alam mempunyai urusannya masing-masing. Dari tujuh alam itu hanyalah alamnya manusia yang mempunyai matahari dan penduduknya yang terdiri dari manusia, binatang dan lain-lain mempunyai badan jasmani.

Penduduk dari 6 alam yang lain mereka mempunyai badan dari cahaya (badan cahya) atau yang secara populer dikenal sebagai mahkluk halus (wong alus, mahkluk yang tidak kelihatan). Di 6 alam itu tidak ada hari yang terang berderang karena tidak ada matahari. Keadaannya seperti suasana malam yang cerah dibawah sinar bulan dan bintang-bintang yang terang, maka itu tidak ada sinar yang menyilaukan seperti sinar matahari atau bagaskoro.

Konon ada 2 macam mahkluk halus: mahkluk halus asli yang memang dilahirkan (diciptakan) sebagai mahkluk halus dan mahkluk halus yang berasal dari manusia yang telah meninggal. Seperti juga manusia ada yang baik dan jahat, ada yang pintar dan bodoh.

Mahkluk-mahkluk halus yang asli mereka tinggal di dunianya masing-masing, mereka mempunyai masyarakat maka itu ada mahkluk halus yang mempunyai kedudukan tinggi seperti Raja-raja, Ratu-ratu, Menteri-menteri dan lain-lain, sebaliknya ada yang berpangkat rendah seperti prajurit, pegawai, pekerja dan lain-lain.

Merkayangan
Kehidupan di saluran ini hampir sama seperti kehidupan di dunia manusia, kecuali tidak adanya sinar terang seperti matahari. Dalam dunia merkayangan mereka merokok, rokok yang sama seperti dunia manusia, membayar dengan uang yang sama, memakai macam pakaian yang sama, ada banyak mobil yang jenisnya sama di jalan-jalan, ada banyak pabrik-pabrik persis seperti di dunia manusia. Yang mengherankan adalah, mereka itu memiliki tehnologi yang lebih canggih dari manusia, kota-kotanya lebih modern ada pencakar langit, pesawat-pesawat terbang yang ultra modern dan lain-lain.

Ada juga hal-hal yang mistis di dunia merkayangan ini, kadang-kadang bila perlu ada juga manusia yang diundang oleh mereka antara lain untuk melaksanakan pertunjukkan wayang kulit, menghadiri upacara perkawinan, bekerja di batik, rokok dan manusia-manusia yang telah melakukan pekerjaan di dunia tersebut, mereka itu dibayar dengan uang yang syah dan berlaku seperti mata uang di dunia ini.

Jin - Siluman
Mahkluk halus ini konon suka tinggal didaerah yang ber-air seperti di danau-danau, laut , samudera dan lain-lain, masyarakat siluman diatur seperti masyarakat jaman kuno. Mereka mempunyai Raja, Ratu, golongan aristokrat, pegawai-pegawai kerajaan, pembantu-pembantu, budak-budak dll. Mereka bisa tinggal di keraton-keraton, rumah-rumah bangsawan, rumah-rumah yang bergaya kuno dan lain-lain.

Kalau orang pergi berkunjung ke Solo-Yogyakarta atau Jawa Tengah, orang akan mendengar cerita tentang beberapa siluman antara lain: Kanjeng Ratu Kidul (Ratu Laut Selatan), Ratu legendaris, berkuasa dan amat cantik, yang tinggal di istananya di Laut Selatan, dengan pintu gerbangnya Parangkusumo.

Parangkusumo ini terkenal sebagai tempat pertemuan antara Panembahan Senopati dan Kanjeng Ratu Kidul, dalam pertemuan itu, Kanjeng Ratu Kidul berjanji untuk melindungi semua raja dan kerajaan Mataram.

Beliau mempunyai seorang patih wanita yang setia dan sakti yaitu Nyai Roro Kidul, kerajaan laut selatan ini terhampar di Pantai Selatan Pulau Jawa, di beberapa tempat kerajaan ini mempunyai Adipati. Seperti layaknya disebuah negeri kuno di kerajaan laut selatan ini juga ada berbagai upacara, ritual dan lain-lain dan mereka juga mempunyai angkatan perang yang kuat.

Sarpo Bongso (Penguasa Rawa Pening)
Sebuah danau besar yang terletak di dekat kota Ambarawa antara Magelang dan Semarang. Sarpo Bongso ini siluman asli, yang telah tinggal di telaga itu untuk waktu yang lama bersama dengan penduduk golongan siluman. Sedangkan kanjeng Ratu Kidul bukanlah asli siluman, beberapa abad yang lalu beliau adalah seorang Gusti di kerajaan di Jawa, tetapi patihnya Nyai Roro Kidul adalah siluman asli sejak beberap ribu tahun yang lalu.

Kajiman
Mereka hidup dirumah-rumah kuno di dalam masyarakat yang bergaya aristokrat, hampir sama dengan bangsa siluman tetapi mereka itu tinggal di daerah-daerah pegunungan dan tempat-tempat yang berhawa panas. Orang biasanya menyebut meraka Jim.

Demit
Bangsa ini bertempat tinggal di daerah-daerah pegunungan yang hijau dan lebih sejuk hawanya, rumah-rumah mereka bentuknya sederhana terbuat dari kayu dan bambu, mereka itu seperti manusia hanya bentuk badannya lebih kecil. Disamping masyarakat yang sudah teratur seperti merkayangan, siluman, kajiman, dan demit masih ada dua lagi (perlu penjelasan lebih detail), secara singkat kedua masyarakat itu adalah untuk mereka yang jujur, suci dan bijak.

Mahkluk halus yang tidak sempurna.
Disamping tujuh macam alam permanen tersebut, ada sebuah saluran yang terjepit, dimana roh-roh dari manusia-manusia yang jahat menderita karena kesalahan yang telah mereka perbuat pada masa lalu, ketika mereka hidup sebagai manusia.

Manusia yang salah itu pasti menerima hukumaan untuk kesalahan yang dilakukannya, hukuman itu bisa dijalani pada waktu dia masih hidup di dunia atau lebih jelek pada waktu sesudah kehidupan (afterlife) diterima oleh orang-orang yang sudah melakukan: fitnah, tidak jujur, prewangan (orang yang menyediakan raganya untuk dijadikan medium oleh mahkluk halus) blakmagic, guna-guna yang membuat orang lain menderita, sakit atau mati, pengasihan supaya dikasihi oleh orang lain dengan cara-cara yang tidak wajar, membunuh orang, perbuatan yang nista, dll. 

Memuja berhala untuk menjadi kaya (pesugihan) yang dimaksud dengan berhala dalam kejawen bukanlah patung-patung batu, tetapi adalah sembilan macam mahkluk halus yang katanya, suka menolong manusia supaya menjadi kaya dengan kekayaan meterial yang berlimpah. Pemujaan terhadap kesembilan mahkluk jahat itu merupakan kesalahan fatal, mereka itu bila dilihat dengan mata biasa kelihatan seperti: Jaran Penoreh (kuda yang kepalanya menoleh kebelakang), Srengara Nyarap (anjing menggigit), Bulus Jimbung (kura-kura yang besar), Kandang Bubrah (kandang yang rusak), Umbel Molor (ingus yang menetes tak henti-hentinya), Kutuk Lamur (ikan gabus yang penglihatannya tidak terang), Gemak Melung            (burung hantu yang berkicau), Codot Ngising (kelelawar berak), dan Bajul Putih (buaya putih).

Bagi mereka yang telah melakukan kesalahan dengan jalan memuja atau menggunakan  jasa-jasa baik berhala diatas, mereka tentu akan mendapat hukuman sesudah kematiannya, badan dan jiwa mereka mendapat hukuman persyaratan sangkan paraning dumadi (datang dari suci, di dunia ini hidup suci dan kembali lagi ke suci).

Ini merupakan hukuman yang teramat berat, tidak ada penderitaan yang seberat ini, maka itu setiap orang harus berusaha untuk menghindarinya. Bagaimana caranya? Mudah saja: bersyukur kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan melakukan perbuatan yang baik dan benar, berkelakuan baik, jujur, suka menolong, jangan menipu, jangan mencuri, jangan membunuh, jangan menyiksa, jangan melakukan hal-hal yang jelek dan nista. Ada pepatah Jawa yang bunyinya: “Urip iku mung mampir ngombe. “ Artinya hidup didunia ini hanyalah untuk mampir minum, itu artinya orang hidup didunia ini hanya dalam waktu singkat maka itu berbuatlah yang pantas (pener).


Tri Bawana (Jabaran tiga dunia)

Ayat ingkang sapisan, dipun wastani pambukaning tata mahligai ing dalem Baitalmakmur, kados makaten wewedharanipun:
“Sajatine ingsun nata malige ing dalem / Baitalmakmur iya iku enggon parameyaningsun jumeneng ana sirahing Adam, kang ana sajroning sirah iku dimak, iya iku utek kang ana antaraning Dimak iku manik, sajroning pranawa iku sukna, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun ora ana pangeran, anging ingsun dzat kang anglimputi ing kahanan jati”.

Ayat ingkang kaping kalih dipun wastani pambukaning tata mahlige ing dalem Baitalmukharam, kados makten wewedharanipun:
“Sajatine ingsun anata malige ing dalem baitalmukharam, iya iku enggon laranganingsun jumeneng ana jajaning Adam, kang ana sajroning dhada iku ati, kang ana antaraning ati iku jantung, sajroning jantung iku budi, sajroning budi iku jinem, sajroning jinem iku sukma, sajroning sukma iku rahsa, sajroning rahsa iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun dzat kang anglimputi kahanan jati.”

Ayat ingkang kaping tiga dipun wastani pambukaning tata mahlige ing dalem Baitalmukadas, mekaten wewejanganipun:
“Sajatine ingsun anata Malige ing dalem Baitalmukadas, iya iku enggon pasucen ingsun jumeneng ana ing kontholing Adam, kang ana ing sajroning konthol iku pringsilan, kang ada antaraning iku mutfah, iya iku mani sajroning mutfah iku madi, sajroning madi iku wadi, sajroning wadi iku manikem, sajroning manikem iku rahso sajroning rahso iku ingsun, ora ana Pangeran anging ingsun dzat kang anglimputi ing kahanan jati”.

Menggah ingkang sami kapareng amedharaken wedharan triloka wau para wali 8: Susuhunan ing Giri Kadhaton, Susuhunan ing Kudus, Susuhunan ing Panggung, Susuhunan ing Majagung, Susuhunan ing Pancuran, Susuhunan ing Cirebon, Syeh  Maulana Ibrahim Jatiswara, Susuhunan ing Kajenar.

Dene anggenipun sami karsa amedharaken Triloka punika saking anggenipun sami ambabar kaelokaning Ilmi kasampurnan, ingkang kaangge witting Ilmi bangsa Sorogan, kadosta:
  1. Kawasa saget andhatengaken salwiring sedya.
  2. Anggenipun kawasa saget adamel lumpuhing para cidra, inggih punika bangsaning pangetisan.
  3. Sami kawasa saget adamel sarana wewelikaning pandulu inggih punika kalebet Aji Sesulapan.
  4. Sami anggelaraken bangsaning gendam, urawi puter giling sapanunggalanipun, nanging sadya kal wau nalika pakumpulan kaliyan Kanjeng Susuhunan ing Kalijogo inggih sami ajrih anggelaraken.

Purunipun adamel kaelokan sareng Kanjeng Susuhunan Ing Kalijaga sampun kayun widaraini, tegesipun gesang toya kalih wonten ing donya gesang, ing kahanan akhir inggih gesang, sanyata langgeng boten ewah gingsir mila waget jumeneng Gosul Alam, tegesipun dados musthikaning Sapta Bawana, inggih punika winenang mengku Bumi langit sap pitu, tetep gesang piyambak boten wonten ingkang anggesangi

(Mereka membuat keanehan setelah Sunan Kalijogo sudah kayun widaraini artinya hidup di akherat pun hidup. Ternyata abadi tidak berubah oleh karenanya dapat menyandang  sebagai Gosul Alam, artinya menjadi mustikanya tujuh lapis Bawana mempunyai wewenang menguasai Bumi dan langit lapis tujuh.)



Bahasa Jawa:
“Kalawan asma Allah kang Maha Murah ugi Maha Asih. Kabeh pangalembana kagunganing Allah Pangeran, Sesembahaning alam jagad-rat pramudita. Kang Maha Murah Maha Asih. Kang Ngratoni ing dina Piwales. Namung dhumateng Paduka piyambak kita sami menembah ngibadah, saha namung dhumateng Paduka piyambak kita sami anyenyadhong pitulungan. Dhuh Gusti Allah, mugi Paduka paring pitedah ing kita sadaya lumampah wonten ing margi ingkang leres. Inggih punika margi, agaminipun para tetiyang ingkang sampun Paduka paringi kani’matan, sanes ingkang sami kabendon, tuwin sanes ingkang sami sasar.”


1.  Tentang  kaimanan, itu merupakan kewajiban yang utama, yang kemudian diajarkan demikian pula oleh rosul-rosul sebelumnya. Yang terpenting bertuhan yang satu Allah   menjadi permulaan dari pelajaran agama, dan semua para nabi (utusan) memang hanya diperintahkan untuk tugas pokok tersebut, serta memberantas segala kemusyrikan dan mengajak umat agar supaya beribadah menyembah kepada Allah semata serta meninggalkan semua larangannya.

2. Ibadah, atau berbakti dan menyembah hanya kepada Allah, adalah kewajiban semua makhluk, lebih-lebih manusia (karena manusia adalah makhluk yang berbudidaya di dunia).

3. Tata-tertib dan Hukum,

4. Janji serta ancaman, artinya supaya ada keadilan dan kebenaran yang sesungguhnya, meskipun di dunia dapat terhindar dari hukuman penjara, tetapi di akherat nanti pada hari pembalasan belum tentu dapat terhindar dari penyiksaan.

5. Sejarah, maksudnya yang dapat menjadi tauladan di dalam pergaulan umat manusia, agar tidak membuat sejarah yang jelek, hidup di dinia hanya sekali.  





Allah ora ana Pangeran kang sinembah kajaba mung Panjenengane piyambak kang Sugeng sarta kang Jumeneng Pribadi, Allah iku ora kataman ngantuk lan ora kataman sare, Kagungane Allah samubarang kang ana ing langit lan samubarang kang ana ing bumi.Ora ana kang bisa aweh syafa’at ana ing ngarsaning Allah, kajaba manawa oleh palilahe. Allah iku Ngawuningani samubarang kang ana ing ngarep lan sak mburine wong-wong mau, dheweke mau ora ana kang padha bisa nglimputi sathithik bae saka ilmuNe Allah, kajaba barang kang dadi kaparenging Karsane. Jembare kursine Allah iku amot langit lan bumi, Panjenengane ora rekaos anggone rumeksa ing sakarone langit lan bumi, lan Panjenengane Allah iku Maha Luhur tur Maha Agung.



Kautamaning Laku

  1. Wong eling ing ngelmu sarak dalil sinung kamurahaning Pangeran.
  2. Wong amrih rahayuning sesaminira, sinung ayating Pangeran.
  3. Angrawuhana ngelmu gaib, nanging aja tingal ngelmu sarak, iku paraboting urip kang utama.
  4. Aja kurang pamariksanira lan den agung pangapunira.
  5. Agawe kabecikan marang sesaminira tumitah, agawea sukaning manahe sesamaning jalma.
  6. Aja duwe rumangsa bener sarta becik, rumangsa ala sarta luput, den agung, panalangsanira ing Pangeran Kang Maha Mulya, lamun sira ngrasa bener lawan becik, ginantungan bebenduning Pangeran.
  7. Angenakena sarira, angayem-ayema nalarira, aja anggrangsang samubarang kang sinedya, den prayitna barang karya.
  8. Elinga marang Kang Murbeng Jagad, aja pegat rina lan wengi.
  9. Atapaa geniara, tegese den teguh yen krungu ujar ala.
  10. Atapaa banyuara, tegese ngeli, basa ngeli iku nurut saujaring liyan, datan nyulayani.
  11. Tapa ngluwat, tegese mendhem atine aja ngatonake kabecikane dhewe.
  12. Aprang Sabilillah, tegese prang sabil iku, sajroning jajanira priyangga ana prang Bratayudha, prang ati ala lan ati becik

“Sing sapa reka arsa anglakoni / amutiha lawan amawasa / patangpuluh dina wae /
lan tangi wektu subuh lan den sabar sukur ing ati / Isya Allah tinekan sak karsaniku /
nyawabi nakrakyatira / saking sawab ing ilmu pangiket mami / duk uneng Kalijaga”


Ruwatan

Adalah Tradisi ritual Jawa sebagai sarana pembebasan dan penyucian, atas dosa/kesalahannya yang diperkirakan bisa berdampak kesialan didalam hidupnya.
Kebudayaan Jawa sebagai subkultur Kebudayaan Nasional Indonesia, telah mengakar bertahun-tahun menjadi pandangan hidup dan sikap hidup umumnya orang Jawa. Sikap hidup masyarakat Jawa memiliki identitas dan karakter yang menonjol yang dilandasi direferensi nasehat-nasehat nenek moyang sampai turun temurun, hormat kepada sesama serta berbagai perlambang dalam ungkapan Jawa, menjadi isian jiwa seni dan budaya Jawa.

Dalam ungkapan “Crah agawe bubrah, rukun agawe santosa" menghendaki keserasian dan keselarasan dengan pola pikir hidup saling menghormati. Perlambang dan ungkapan-ungkapan halus yang mengandung pendidikan moral, banyak kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari, misalnya: Ojo Dumeh (merasa dirinya lebih), Mulat sarira, hangrasa wani (mawas diri, instropeksi diri), Mikul dhuwur, mendhem jero (menghargai dan menghormati serta menyimpan rahasia orang tua), Jer basuki mawa beya (kesuksesan perlu atau butuh pengorbanan), dan Ajining diri saka obahing lati (harga diri tergantung ucapannya).

Prinsip pengendalian diri dengan Mulat Sarira, suatu sikap bijaksana untuk selalu berusaha tidak menyakiti perasaan orang lain, serta Ojo Dumeh adalah peringatan kepada kita bahwa jangan takabur dan jangan sombong, tidak mementingkan diri sendiri dan lain sebagainya yang masih mempunyai arti sangat luas.

Kepercayaan terhadap keberadaan roh nenek moyang, menyatu dengan kepercayaan terhadap kekuatan alam yang mempunyai pengaruh terhadap kehidupan manusia, menjadi ciri utama dan bahkan memberi warna khusus dalam kehidupan religiusitas serta adapt-istiadat masyarakat Jawa, yaitu: Sinkretisme, Tantularisme dan Kejawen yang bersifat Toleran, Akomodatif serta Optimistik.

Berbagai ucapan dan ungkapan Jawa, merupakan cara penyampaian terselubung yang bisa bermakna Piwulang atau pendidikan moral, karena adanya pertalian budi pekerti dengan kehidupan spiritual, menjadi petunjuk jalan dan arah terhadap kehidupan sejati.
Terkemas hampir sempurna dalam seni budaya gamelan dan gending-gending serta kesenian wayang kulit purwa yang perkembanganya mempunyai warna yang unik, yaitu dari akar yang kuat, berpegang pada kepercayaan terhadap roh nenek moyang, kemudian bertambah maju setelah mengenal segala bentuk kesenian dari India dan menjadi sempurna begitu masuk agama Islam di Pulau Jawa.

Paham mistik Jawa yang berpokok “Manunggaling Kawula Gusti" (persatuan manusia dengan Tuhannya) dan "Sangkan Paraning Dumad " (asal dan tujuan ciptaan) bersumber pada pengalaman religius. Berawal dari sana, manusia itu rindu untuk bersatu dengan yang Illahi, ingin menelusuri arus kehidupan sampai ke sumber muaranya. Perumusan pengalaman religius Jawa dalam sejarahnya tidak lepas dari pengaruh-pengaruh agama besar seperti Hindu, Budha dan Islam beserta dengan mistiknya yang khas, seperti terlihat dalam kitab-kitab Tutur, Kidung dan Suluk.

Wayang sebagai pertunjukan, merupakan ungkapan-ungkapan dan pengalaman religius yang merangkum bermacam-macam unsur lambang, bahasa gerak, suara, warna dan rupa. Dalam wayang terekam ungkapan pengalaman religius yang kuno seperti tampak bahwa pada tahap perkembangannya dewasa ini, masih berperan pula mitos dan ritus, misalkan pada lakon Ruwat atau Murwa Kala.

Secara tradisional, wayang merupakan intisari kebudayaan masyarakat Jawa yang diwarisi secara turun temurun, tidak hanya sekedar tontonan dan tuntunan bagaimana manusia harus bertingkah laku dalam kehidupannya, namun juga merupakan tatanan yang harus dititeni kanti titis (merupakan hukum alam yang maha teratur yang harus diketahui dan disikapi secara bijaksana) untuk menuju kasunyatan serta mencapai kehidupan sejati. Bagi manusia Jawa (manusia yang mengerti sejati) wayang merupakan pedoman hidup, bagaimana mereka bertingkah laku dengan sesama dan bagaimana menyadari hakekatnya sebagai manusia serta bagaimana dapat berhubungan dengan sang penciptanya.

Tradisi upacara /ritual ruwatan hingga kini masih dipergunakan orang jawa, sebagai sarana pembebasan dan penyucian manusia atas dosa/kesalahannya yang berdampak kesialan didalam hidupnya. Dalam cerita wayang" dengan lakon Murwakala pada tradisi ruwatan di jawa ( jawa tengah) awalnya diperkirakan berkembang didalam cerita jawa kuno, yang isi pokoknya memuat masalah pensucian, yaitu pembebasan dewa yang telah ternoda, agar menjadi suci kembali, atau meruwat berarti: mengatasi atau menghindari sesuatu kesusahan bathin dengan cara mengadakan pertunjukan/ritual dengan media wayang kulit yang mengambil tema/cerita Murwakala.

Dalam tradisi Jawa, orang yang keberadaannya dianggap mengalami nandang sukerto (berada dalam dosa), maka untuk mensucikan kembali, perlu mengadakan ritual tersebut. Menurut ceriteranya, orang yang manandang sukerto ini, diyakini akan menjadi mangsanya Batara Kala. Tokoh ini adalah anak Batara Guru (dalam cerita wayang) yang lahir karena nafsu yang tidak bisa dikendalikannya atas diri Dewi Uma, yang kemudian sepermanya jatuh ketengah laut, akhirnya menjelma menjadi raksasa, yang dalam tradisi pewayangan disebut "Kama salah kendang gumulung". Ketika raksasa ini menghadap ayahnya (Batara guru) untuk meminta makan, oleh Batara guru diberitahukan agar memakan manusia yang berdosa atau sukerta. Atas dasar inilah yang kemudian dicarikan solosi, agar tak termakan Sang Batara Kala ini diperlukan ritual ruwatan.

Kata Murwakala/purwakala berasal dari kata purwa (asalmuasal manusia), dan pada lakon ini, yang menjadi titik pandangnya adalah kesadaran, atas ketidak sempurnanya diri manusia, yang selalu terlibat dalam kesalahan serta bisa berdampak timbulnya bencana (salah kedaden).

Untuk pagelaran wayang kulit dengan lakon Murwakala biasanya diperlukan perlengkapan sebagai berikut: Gamelan (alat musik jawa), Wayang (komplit satu kotak), Kelir atau (kain layar), dan Blencong yaitu lampu dari minyak. 

Selain peralatan tersebut diatas masih diperlukan sesajian yang berupa:
1.  Tuwuhan, yang terdiri dari pisang raja setudun, yang sudah matang dan baik, yang ditebang dengan batangnya disertai cengkir gading (kelapa muda), pohon tebu dengan daunnya, daun beringin, daun elo, daun dadap serep, daun apa-apa, daun alang-alang, daun meja, daun kara, dan daun kluwih yang semuanya itu diikat berdiri pada tiang pintu depan sekaligus juga berfungsi sebagai hiasan/pajangan dan permohonan. Dua kembang mayang yang telah dihias diletakkan dibelakang kelir (layar) kanan kiri, bunga setaman dalam bokor di tempat di muka dalang, yang akan digunakan untuk memandikan Batara Kala, orang yang diruwat dan lain-lainya.
2.  Api (batu arang) di dalam anglo, kipas beserta kemenyan (ratus wangi) yang akan dipergunakan Kyai Dalang selama pertunjukan.
3.  Kain mori putih kurang lebih panjangnya 3 meter, direntangkan dibawah debog (batang pisang) panggungan dari muka layar sampai di belakang layar dan ditaburi bunga mawar dimuka kelir sebagai alas duduk Ki Dalang, sedangkan di belakang layar sebagai tempat duduk orang yang diruwat dengan memakai selimut kain mori putih.
4.  Gawangan kelir bagian atas (kayu bambu yang merentang diatas layar) dihias dengan kain batik yang baru 5 (lima) buah, diantaranya kain sindur, kain bango tulak dan dilengkapi dengan padi segedeng (4 ikat pada sebelah menyebelah).
5.  Bermacam-macam nasi antara lain: Nasi golong dengan perlengkapannya, goreng-gorengan, pindang kluwih, pecel ayam, sayur menir, dan sebagainya. Nasi wuduk dilengkapi dengan ikan lembaran, lalaban, mentimun, cabe besar merah dan hijau bawang merah, kedele hitam. Nasi kuning dengan perlengkapan; telur ayam yang didadar tiga biji. Srundeng asmaradana.
6.  Bermacam-macam jenang (bubur) yaitu: jenang abang, jenang putih, jenang kaleh, jenang baro-baro (aneka bubur).
7.  Jajan pasar (buah-buahan yang bermacam-macam jajanan) seperti: pisang raja, jambu, salak, sirih yang diberi uang, gula jawa, kelapa, makanan kecil berupa blingo yang diberi warna merah, kemenyan bunga, air yang ditempatkan pada cupu, jarum dan benang hitam-putih, kaca kecil, kendi yang berisi air, empluk (periuk yang berisi kacang hijau, kedele, kluwak, kemiri, ikan asin, telur ayam dan uang satu sen).
8.  Lawe (benang untuk teneun), minyak kelapa yang dipergunakan untuk lampu blencong (walaupun siang tetap memakai lampu blencong).
9.  Yang berupa hewan seperti burung dara satu pasang ayam jawa sepasang, bebek sepasang.
10.Yang berupa sajen antara lain: rujak ditempatkan pada bumbung, rujak edan (rujak dari pisang klutuk ang dicampur dengan air tanpa garam), bambu gading lima ros. Kesemuanya itu diletakan di atas tampah yang berisi nasi tumpeng, dengan lauk pauknya seperti kluban, panggang telur ayam yang direbus, sambel gepeng, ikan sungai/laut dimasak tanpa garam dan ditempatkan di belakang layar tepat pada muka Kyai Dalang.
11.Sajen buangan yang ditunjukkan kepada dhayang yang berupa takir besar atau kroso yang berisi nasi tumpeng kecil dengan lauk-pauk, jajan pasar (berupa buah-buahan mentah serta uang satu sen). Sajen itu dibuang di tempat angker disertai do’a (puji/mantra) mohon keselematan.
12.Sumur atau sendang diambil airnya dan dimasuki kelapa. Kamar mandi yang untuk mandi orang yang diruwat dimasuki kelapa utuh.
13.Selesai upacara ngruwat, bambu gading yang berjumlah lima ros ditanam pada kempat ujung rumah disertai empluk (tempayan kecil) yang berisi kacang hijau , kedelai hitam, ikan asin, kluwak, kemiri, telur ayam dan uang dengan diiringi doa mohon keselamatan dan kesejahteraan serta agar tercapai apa yang dicita citakan.

Yang perlu atau harus di Ruwat
Menurut kepustakaan "Pakem Ruwatan Murwa Kala" Javanologi gabungan dari beberapa sumber, antara lain dari Serat Centhini (Sri Paku Buwana V), bahwa orang yang harus diruwat disebut anak atau orang Sukerta ada 60 macam penyebab malapetaka, yaitu sebagai berikut :

1.     Ontang-Anting, yaitu anak tunggal laki-laki atau perempuan.
2.     Uger-Uger Lawang, yaitu dua orang anak yang kedua-duanya laki-laki dengan catatan tidak anak yang meninggal
3.     Sendhang Kapit Pancuran, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu laki-laki sedang anak yang ke 2 perempuan
4.     Pancuran Kapit Sendhang, yaitu 3 orang anak, yang sulung dan yang bungsu perempuan sedang anak yang ke 2 laki-laki
5.     Anak Bungkus, yaitu anak yang ketika lahirnya masih terbungkus oleh selaput pembungkus bayi (placenta).
6.     Anak Kembar, yaitu dua orang kembar putra atau kembar putri atau kembar dampit yaitu seorang laki-laki dan seorang perempuan (yang lahir pada saat bersamaan)
7.     Kembang Sepasang, yaitu sepasang bunga yaitu dua orang anak yang kedua-duanya perempuan
8.     Kedhana-Kedhini, yaitu dua orang anak sekandung terdiri dari seorang laki-laki dan seorang perempuan
9.     Saramba, yaitu 4 orang anak yang semuanya laki-laki
10.   Srimpi, yaitu 4 orang anak yang semuanya perempuan
11.   Mancalaputra atau Pandawa, yaitu 5 orang anakyang semuanya laki-laki
12.   Mancalaputri, yaitu 5 orang anak yang semuanya perempuan
13.   Pipilan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang anak perempuan dan 1 orang anak laki-laki
14.   Padangan, yaitu 5 orang anak yang terdiri dari 4 orang laki-laki dan 1 orang anak perempuan
15.   Julung Pujud, yaitu anak yang lahir saat matahari terbenam
16.   Julung Wangi, yaitu anak yang lahir bersamaan dengan terbitnya matahari
17.   Julung Sungsang, yaitu anak yang lahir tepat jam 12 siang
18.   Tiba Ungker, yaitu anak yang lahir, kemudian meninggal
19.   Jempina, yaitu anak yang baru berumur 7 bulan dalam kandungan sudah lahir
20.   Tiba Sampir, yaitu anak yang lahir berkalung usus
21.   Margana, yaitu anak yang lahir dalam perjalanan
22.   Wahana, yaitu anak yang lahir dihalaman atau pekarangan rumah
23.   Siwah atau Salewah, yaitu anak yang dilahirkan dengan memiliki kulit dua macem warna, misalnya hitam dan putih
24.   Bule, yaitu anak yang dilahirkan berkulit dan berambut putih bule.
25.   Kresna, yaitu anak yang dilahirkan memiliki kulit hitam
26.   Walika, yaitu anak yang dilahirkan berwujud bajang atau kerdil
27.   Wungkuk, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung bengkok
28.   Dengkak, yaitu anak yang dilahirkan dengan punggung menonjol, seperti punggung onta
29.   Wujil, yaitu anak yang lahir dengan badan cebol atau pendek
30.   Lawang Menga, yaitu anak yang dilahirkan bersamaan keluarnya Candikala, yaitu ketika warna langit merah kekuning-kuningan
31.   Made, yaitu anak yang lahir tanpa alas (tikar)
32.   Orang yang ketika menanak nasi, merobohkan Dandhang (tempat menanak nasi)
33.   Memecahkan Pipisan dan mematahkan Gandik (alat landasan dan batu penggiling untuk menghaluskan ramu-ramuan obat tradisional).
34.   Orang yang bertempat tinggal di dalam rumah yang tak ada tutup keyong-nya.
35.   Orang tidur di atas kasur tanpa sprei (penutup kasur).
36.   Orang yang membuat pepajangan atau dekorasi tanpa samir atau daun pisang.
37.   Orang yang memiliki lumbung atau gudang tempat penyimpanan padi dan kopra tanpa diberi alas dan atap.
38.   Orang yang menempatkan barang di suatu tempat (dandhang, misalnya) tanpa ada tutupnya.
39.   Orang yang membuat kutu masih hidup.
40.   Orang yang berdiri ditengah-tengah pintu.
41.   Orang yang duduk didepan (ambang) pintu.
42.   Orang yang selalu bertopang dagu.
43.   Orang yang gemar membakar kulit bawang.
44.   Orang yang mengadu suatu wadah atau tempat (misalnya dandhang diadu dengan dandhang)
45.   Orang yang senang membakar rambut.
46.   Orang yang senang membakar tikar dengan bambu (galar).
47.   Orang yang senang membakar kayu pohon kelor.
48.   Orang yang senang membakar tulang.
49.   Orang yang senang menyapu sampah tanpa dibuang atau dibakar sekaligus.
50.   Orang yang suka membuang garam.
51.   Orang yang senang membuang sampah lewat jendela.
52.   Orang yang senang membuang sampah atau kotoran dibawah (di kolong) tempat tidur.
53.   Orang yang tidur pada waktu matahari terbit.
54.   Orang yang tidur pada waktu matahari terbenam (wayah surup).
55.   Orang yang memanjat pohon disiang hari bolong atau jam 12 siang (wayah bedhug)
56.   Orang yang tidur di waktu siang hari bolong jam 12 siang.
57.   Orang yang menanak nasi, kemudian ditinggal pergi ketetangga
58.   Orang yang suka mengaku hak orang lain.
59.   Orang yang suka meninggalkan beras di dalam lesung (tempat penumbuk nasi)
60.   Orang yang lengah, sehingga merobohkan jemuran wijen (biji-bijian)

Menurut Pustaka Raja Purwa (jilid I halaman 194) karya pujangga R.Ng Ranggawarsito disebutkan ada 136 macam Sukerta. Menurut mereka yang percaya, orang-orang yang tergolong di dalam kriteria tersebut di atas dapat menghindarkan diri dari malapetaka (menjadi makanan Betara Kala) tersebut, jika ia mempergelarkan wayangan atau ruwatan dengan cerita Murwakala. Ada juga lakon ruwatan yang lain misalanya: Baratayuda, Sudamala, Kunjarakarna dan lain-lain.

Selain Sukerta, terdapat juga Ruwat Sengkala atau Sang Kala, yang artinya menjadi mangsa Sangkala yaitu jalan kehidupannya sudah terbelenggu serta penuh kesulitan, tidak bisa sejalan dengan alur hukum alam (ruang dan waktu) ini disebabkan oleh kesalahan-kesalahan perbuatan atau tingkah lakunya pada masa lalu.



Bibit, Bobot, Bebet

Fatwa leluhur tersebut bermaksud agar orangtua malaksanakan pemilihan yang seksama akan calon menantunya atau bagi yang berkepentingan memilih calon teman hidupnya. Pemilihan ini jangan dianggap sebagai budaya pilih-pilih kasih, tapi sebenarnya lebih kepada kecocokan multi dimensi antara sepasang anak manusia. Kriteria yang dimaksud yaitu: Bibit yang berarti biji/benih, Bebet yang berarti jenis/tipe, dan Bobot yang berarti nilai/kekuatan.

Untuk memilih menantu pria atau wanita, memilih suami atau isteri oleh yang berkepentingan, sebaiknya memilih yang berasal dari benih (bibit) yang baik, dari jenis (bebet) yang unggul dan yang nilai (bobot) yang berat. Fatwa itu mengandung anjuran pula, janganlah orang hanya semata-mata memandang lahiriyah yang terlihat berupa kecantikan dan harta kekayaan. Pemilihan yang hanya berdasarkan wujud lahiriah dan harta benda dapat melupakan tujuan ngudi tuwuh mendapatkan keturunan yang baik, saleh, berbudi luhur, cerdas, sehat wal afiat, dan sebagainya.

Peribahasa mengatakan cinta itu buta. Berpedoman, bahwa hidup suami isteri itu mengandung cita-cita luhur yaitu mendapatkan keturunan yang baik, maka janganlah menuruti kata peribahasa tersebut. Pada hakekatnya peribahasa itu sendiri pun mengandung peringatan. Memperingatkan, agar supaya dalam bercinta tidak buta mata hati, mata kepala, dan pikiran.

Cinta kasih yang berhubungan erat dengan cita-cita justru harus diliputi oleh waspada dalam hati dan pikiran. Waspada akan tingkah kelakuan satu sama lain dan waspada akan penggoda di dalam hatinya sendiri. Kewaspadaan itu menghendaki pengamatan dan penghayatan satu sama lain mengenai sikap dan pendirian terhadap hal-hal yang penting yang sudah pasti dijumpai dalam hidup antara lain soal keluarga, agama, kemasyarakatan, dan sebagainya.

Perbedaan sikap dan pendirian terhadap hal-hal yang penting (prinsip) seperti diatas, niscaya akan mengakibatkan kesukaran dikemudian hari. Persesuaian haruslah timbul dari keyakinan dan tidak dengan membohongi diri sendiri, misalnya dengan berjanji atau memberi berkesanggupan dengan sumpah lisan atau tulisan, pernikahan di muka kantor pencatatan sipil, dan lain sebagainya tetapi di dalam hati masih ada keraguan.

Pertunangan dengan atau tanpa tukar cincin adalah usaha untuk mendekatkan pria dan wanita yang menjalin kisah dan hendak hidup sebagai suami isteri. Pertunangan tidak boleh diartikan lalu boleh bergaul sebebas-bebasnya hingga perbuatan sebagai suami isteri. Dalam hal itu calon isteri haruslah teguh hati, mencegah jangan sampai terjamah kehormatannya. Ingatlah, bahwa calon suami atau istri itu bukan atau belum suami atau istrinya. Sekali terjadi peristiwa dan sang wanita hamil tidak mustahil menjadi persoalan sebagai pangkal persengketaan. Kalau sang pria ingkar, pertunangan putus, sang wanita menjadi korban.



Gunung  Lawu

Di atas ketinggian 3.265 meter dari permukaan laut, puncak Gunung Lawu yang merupakan bentukkan dari sisa kawah tak aktif, menjadi daerah tujuan wisatawan menikmati lembah Tawangmangu yang menawan, Sarangan dengan danau indahnya, birunya Laut Selatan, hingga suguhan sunset dan sunrise. Bahkan, desa dan kota-kota di sekitarnya, termasuk Solo, menyuguhkan pesona dan keindahan luar biasa jika dinikmati dari Puncak Lawu. Keindahan kian mencekam saat awan datang menebarkan selimut mayanya. Perbukitan sontak disulap bak pulau kecil berbatas lautan awan. Tak ubahnya, pengunjung seolah berada di atas awan laiknya kahyangan.

Di balik keindahan yang memukau, Puncak Lawu merupakan sosok angker yang menyimpan misteri. Setidaknya ada tiga tempat yang dikeramatkan, yaitu: Puncak Argo Dalem, Argo Dumilah dan Argo Dumiling. Diyakini Argo Dalem adalah tempat pamoksan Prabu Bhrawijaya, sedangkan Arga Dumiling sebagai tempat pamoksan Ki Sabdopalon. Sementara Arga Dumilah masih tetap menjadi misteri yang sering dipakai sebagai arena olah batin dan meditasi. Keangkeran Puncak Lawu tak lepas dari cerita tentang Raja Majapahit, Prabu Brawijaya.

Konon, melihat salah seorang anaknya, Raden Patah, masuk Islam dan mendirikan kerajaan islam di Demak, Sang Prabu yang memeluk agama Budha merasa gelisah. Muncul kegamangan tentang kelangsungan Kerajaan Majapahit. Untuk itu, dia bermeditasi, memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Wisik pun datang yang mewartakan adanya kerajaan dan agama baru. Rampung meditasi Sang Prabu berpesan kepada para abdinya mengenai saatnya ia turun dari kejayaan. Sang Prabu juga berbagi wilayah kepada para abdinya, siapa yang menguasai Gunung Lawu dan semua mahluk gaib hingga batas yang ia tentukan. Yakni ke barat hingga Merapi/Merbabu, ke Timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan, dan ke utara sampai pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu.

Dan Prabu Barawijaya pun moksa di Argo Dalem, dan abdinya, Sabdopalon moksa di Arga Dumiling. Tinggalah dua abdinya yang lainnya, Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Prabu Brawijaya.

Selain tiga puncak tadi, masih banyak tempat lain di Gunung lawu yang diyakini mempunyai nilai spiritual, diantaranya:
o    Sumur Jolotundo, lokasi yang diyakini Prabu Brawijaya menerima wangsit dalam perjalanan naik ke Puncak Lawu. Gua yang gelap dan curam sedalam kurang lebih 5 meter sering dipakai untuk bertapa.
o    Lumbung Selayur, di lokasi ini terdapat sumur yang digunakan untuk menyimpan bahan makanan para pengikut Prabu Brawijaya.
o    Pawon Sewu, terletak pada pertengahan perjalanan pendakian menuju ke Puncak Lawu. Di tempat ini para pengikut Prabu Brawijaya mendirikan dapur untuk memasak makanan.
o    Gua Selarong, gua ini dimanfaatkan para pengikut Prabu Brawijaya untuk bermalam sekaligus sebagai tempat pemantauan.
o    Sendang Intan, menurut kepercayaan penduduk setempat, di sendang ini para wisatawan dapat memohon berkah dengan cara minum air langsung ke mulut masing-masing dengan menengadahkan muka. Semakin banyak air yang didapat semakin banyak pula berkah yang diperoleh.
o    Jurang Pangari-Arip, bila para pendaki sudah mencapai tempat ini, mereka mempunyai harapan untuk dapat mencapai Puncak Lawu. Dari tempat ini para pendaki dapat melihat Kawah Condrodimuko.
o    Sendang Derajad, menurut kepercayaan masyarakat setempat, apabila para wisatawan mempunyai cita-cita atau niat tertentu dapat terkabul apabila mandi di sendang ini.
o    Kepatihan Tengen, lokasi ini merupakan tempat peristirahatan pengikut Prabu Brawijaya.
o    Pasar Diyeng, disini para pengikut Prabu Brawijaya mendirikan pasar untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
o    Pandean Suroloyo, di tempat ini para pengikut Prabu Brawijaya membuat pusaka dan persenjataan mereka.
o    Telaga Kuning, telaga ini merupakan tempat mandi putra-putri pengikut Prabu Brawijaya.
o    Argo Fruso, di tempat ini Raja Brawijaya menyimpan pusaka-pusakanya.
o    Kayangan, tempat ini merupakan taman yang sangat indah tempat istirahat sambil menikmati pemandangan alam yang indah.
o    Selo Pundutan, merupakan tempat untuk latihan olah kanuragan pengkiut Prabu Brawijaya dan masih dipergunakan sampai sekarang oleh para pendaki puncak Lawu.

Karena keangkerannya, siapa pun yang hendak pergi ke puncaknya diharap mematuhi aturan, yakni larangan-larangan untuk tidak melakukan sesuatu, baik bersifat perbuatan maupun perkataan. Bila pantangan itu dilanggar di pelaku diyakini bakal bernasib naas.
Menurut penduduk setempat, beberapa pantangan yang tak boleh dilanggar, diantaranya jangan mendaki jika jumlahnya ganjil, karena penguasa gunung akan menggenapkannya dengan mengambil salah satu dari mereka. Pantangan lain, jangan pernah sekali-kali menyombongkan diri, misalkan dengan angkuh mengatakan bahwa mendaki Gunung Lawu tidak sulit dan sebagainya, karena akan mengalami celaka.



Gunung  Merapi

Kepercayaan serta kosmologi manusia Gunung Merapi didasarkan dalam Legenda Kyai Sapujagad. Cerita legenda itu terjadi pada waktu Kerajaan Mataram kedua muncul dan mengambarkan hubungan pendiri kerajannya yaitu Panembahan Senopati dengan dunia gaib.

Kosmologi manusia Daerah Gunung Merapi terdiri dari lima bagian yaitu Kraton Mataram Yogyakarta di tengah yang berada di dunia manusia dan Kraton Mahluk Halus Gunung Merapi ke utara, Kraton Laut Selatan ke selatan, Gunung Lawu ke timur dan Khayangan, Dlephih ke barat yang berada dalam dunia gaib. Akibatnya dari Legenda Kyai Sapujagad adalah perjanjian bahwa Kraton Mataram Yogyakarta bertanggungjawab untuk memberi sesajian kepada para mahluk halus di empat tempat yang lain dalam kosmologi manusia. Dalam kembalinya rakyatnya akan dilindungi oleh para mahluk halus tersebut. Perjanjian itu berbentuk Upacara Labuhan yang dilakukan setiap tahun sekali dan mulai pada tanggal 25 bulan Bakdamulud di Laut Selatan.

Kraton Mahluk Halus Merapi di dalam kosmologi Kraton Yogyakarta dipercayai oleh penduduk dipimpin oleh mahluk halus bernama Empu Rama dan Permadi dan menurut orang yang lain oleh Kyai Merlapa. Selain pemimpin di dalam kratonnya penduduk juga percaya dalam macam-macam tokoh lain yang mendiami kraton itu. Kepercayaan manusia tentang Kraton Mahluk Halus Merapi tidak hanya dipercayai oleh Kraton Yogyakarta tetapi juga memperluas sampai  rakyat desa-desa di lereng gunungnya. Rakyat tersebut punya kepercayaan tentang dunia akhirat.

Menurut mereka waktu manusia meninggal rohnya akan mendiami tempat-tempat yang tergantung pada perlakuan hidupnya. Kalau orang waktu manusia melakukan hidupnya yang baik, rohnya akan tinggal di dalam Kraton Mahluk Halus Merapi atau Kraton laut Selatan. Sebaliknya kalau orang waktu manusia melakukan hidupnya yang tidak baik, rohnya akan dibuang dari kratonnya dan mendiami batu, pohon, tempat sepi dan sebagainya. Selain kepercayaan dunia akhirat itu manusia Gunung Merapi juga punya kepercayaan mengenai tempat-tempat angker serta binatang-binatang sakral di daerahnya.

Menurut kepercayaan penduduk daerah Gunung Merapi kalau gunungnya akan meletus mahluk halus Kraton Merapi akan memberikan tanda kepada manusia. Biasanya tanda itu dalam bentuk mimpi yang termia oleh para dukun atau juru kunci Gunung Merapi.

Dari dua daerah penelitian ditemukan beberapa persamaan dan hanya sedikit saja perbedaan. Walaupun kepercayaan manusia di dalam kedua daerah penelitian memang adalah kepercayaan berbeda, kepercayaannya didasarkan dalam asal usul yang sama. Dalam pemeriksaan ke dalam asal usulnya ditemukan tiga unsur yang bersama. Semua legenda dan upacara didasarkan dan disah dalam sejarah, yaitu Daerah Tengger bersejarah kerajaan Majapahit dan Daerah Gunung Merapi bersejarah kerajaan Mataram kedua.

Lagi pula kebanyakan kepercayaan manusia terhadap gunung berunsur agama Hindu-Budha dari zaman kerajaan Hindu-Budha atau kepercayaan animisme dari zaman prasejarah. Kalau orang Jawa beragama Islam, Kristen atau agama yang lain biasanya mereka juga punya kepercayan yang berasal Jawa. Dalam kepercayaan manusia berasal Jawa tersebut gunung-gunung memang berperan yang sangat penting.



Ha Na Ca Ra Ka



Filsafat ha-na-ca-ka-ra yang diungkapan Paku Buwana IX dikutip oleh Yasadipura sebagai bahan sarasehan yang diselenggarakan Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Yogyakarta pada tanggal, 13 Juli 1992. Judul makalah yang dibawakan Yasadipura adalah "Basa Jawi Hing Tembe Wingking Sarta Haksara Jawi kang Mawa Tuntunan Panggalih Dalem Hingkang Sinuhun Paku Buwana IX Hing Karaton Surakarta Hadiningra ". Dalam makalah itu dikemukakan oleh Yasadipura, bahwa Paku Buwana IX memberikan ajaran (filsafat hidup) berdasarkan aksara ha-na-ca-ra-ka dan seterusnya, yang dimulai dengan tembang kinanthi, sebagai berikut:  

  • Nora kurang wulang wuruk (tak kurang piwulang dan ajaran)
  • Tumrape wong tanah Jawi (bagi orang tanah Jawa)
  • Laku-lakune ngagesang (perilaku dalam kehidupan)
  • Lamun gelem anglakoni (jika mau menjalaninya)
  • Tegese aksara Jawa (maknanya aksara Jawa)
  • Iku guru kang sejati (itu guru yang sejati)



Punakawan

Punakawan adalah karakter yang khas dalam wayang Indonesia. Mereka melambangkan orang kebanyakan. Karakternya mengindikasikan bermacam-macam peran, seperti penasihat para ksatria, penghibur, kritisi sosial, badut bahkan sumber kebenaran dan kebijakan. Dalam wayang Jawa karakter punakawan terdiri atas Semar, Gareng, Bagong, dan Petruk. Dalam wayang Bali karakter punakawan terdiri atas Malen dan Merdah (abdi dari Pandawa) dan Delem dan Sangut (abdi dari Kurawa)

Semar adalah pengasuh dari Pendawa. Alkisah, ia juga bernama Hyang Ismaya. Meskipun ia berwujud manusia jelek, ia memiliki kesaktian yang sangat tinggi bahkan melebihi para dewa.

Gareng adalah anak Semar yang berarti pujaan atau didapatkan dengan memuja. Nalagareng adalah seorang yang tak pandai bicara, apa yang dikatakannya kadang- kadang serba salah. Tetapi ia sangat lucu dan menggelikan. Ia pernah menjadi raja di Paranggumiwang dan bernama Pandubergola. Ia diangkat sebagi raja atas nama Dewi Sumbadra. Ia sangat sakti dan hanya bisa dikalahkan oleh Petruk.

Bagong berarti bayangan Semar. Alkisah ketika diturunkan ke dunia, Dewa bersabda pada Semar bahwa bayangannyalah yang akan menjadi temannya. Seketika itu juga bayangannya berubah wujud menjadi Bagong. Bagong itu memiliki sifat lancang dan suka berlagak bodoh. Ia juga sangat lucu.

Petruk anak Semar yang bermuka manis dengan senyuman yang menarik hati, panda berbicara, dan juga sangat lucu. Ia suka menyindir ketidak-benaran dengan lawakan-lawakannya. Petruk pernah menjadi raja di negeri Ngrancang Kencana dan bernama Helgeduelbek. Dikisahkan ia melarikan ajimat Kalimasada. Tak ada yang dapat mengalahkannya selain Gareng


Semar

Semar dalam bahasa Jawa sering disebut Badranaya. Bebadra artinya membangun sarana dari dasar, Naya (nayaka), utusan mangrasul. Arti selengkapnya: “Mengembani sifat membangun dan melaksanakan perintah Allah demi kesejahteraan manusia.”

Secara Javanologi, Semar artinya: haseming samar-samar (fenomena harafiah makna kehidupan Sang Penuntun). Semar tidak lelaki dan bukan perempuan, tangan kanannya keatas dan tangan kirinya kebelakang. Maknanya sebagai pribadi tokoh semar hendak mengatakan simbul Sang Maha Tumggal. Sedang tangan kirinya bermakna berserah total dan mutlak serta selakigus simbul keilmuaan yang netral namun simpatik.

Domisili Semar adalah sebagai Lurah Karangdempel (karang = gersang, dempel = keteguhan jiwa). Rambut semar kuncung (jarwadasa/pribahasa jawa kuno) maknanya hendak mengatakan “akuning sang kuncung sebagai kepribadian pelayan”. Semar sebagai pelayan mengejawantah melayani umat, tanpa pamrih, untuk melaksanakan ibadah amaliah sesuai dengan sabda Ilahi. Semar barjalan menghadap keatas maknanya: dalam perjalanan anak manusia perwujudannya ia memberikan teladan agar selalu memandang keatas (sang Khaliq) yang maha pengasih serta penyayang.

Kain Semar Parangkusumorojo, perwujudan Dewonggowantah (untuk menuntun manusia) agar memayu hayuning bawono: mengadakan keadilan dan kebenaran di bumi.

Ciri-ciri sosok semar adalah: berkuncung seperti kanak kanak namun juga berwajah sangat tua, tertawannya selalu diakhiri nada tangisan, berwajah mata menangis namun mulutnya tertawa, berprofil berdiri sekaligus jongkok dan tak pernah menyuruh namun memberikan konsekwensi atas nasehatnya.

Kebudayaan Jawa telah melahirkan religi dalam wujud kepercayaan terhadap Tuhan yang Maha Esa, yaitu adanya wujud tokoh wayang Semar, jauh sebelum masuknya kebudayaan Hindu, Budha dan Isalam di tanah Jawa. Dikalangan spiritual Jawa ,Tokoh wayang Semar ternyata dipandang bukan sebagai fakta historis, tetapi lebih bersifat mitologi dan symbolis tentang keesaan, yaitu suatu lambang dari pengejawantahan expresi, persepsi dan pengertian tentang Illahi yang menunjukkan pada konsepsi spiritual.

Pengertian ini tidak lain hanyalah suatu bukti yang kuat bahwa orang Jawa sejak jaman prasejarah adalah Relegius dan ber keTuhan-an Yang Maha Esa. Dari tokoh Semar wayang ini akan dapat dikupas, dimengerti dan dihayati sampai dimana wujud religi yang telah dilahirkan oleh kebudayaan Jawa.

Gambar tokoh Semar nampaknya merupakan simbol pengertian atau konsepsi dari aspek sifat Ilahi, yang kalau dibaca bunyinya katanya ber bunyi: Semar (pralambang ngelmu gaib, kasampurnaning pati). Bojo sira arsa mardi kamardikan, ajwa samar sumingkiring dur-kamurkan Mardika. Artinya merdekanya jiwa dan sukma, maksudnya dalam keadaan tidak dijajah oleh hawa nafsu dan keduniawian, agar dalam menuju kematian sempurna tak ternodai oleh dosa. Manusia jawa yang sejati dalam membersihkan jiwa ora kebanda ing kadonyan, ora samar marang bisane sirna durka murkamu, artinya: dalam menguji budi pekerti secara sungguh-sungguh akan dapat mengendalikan dan mengarahkan hawa nafsu menjadi suatu kekuatan menuju kesempurnaan hidup.

Dalam Etika Jawa disebutkan bahwa Semar dalam pewayangan adalah punakawan, abdi pamomong yang paling dicintai. Apabila muncul didepan layar, ia disambut oleh gelombang simpati para penonton. Seakan-akan para penonton merasa berada dibawah pengayomannya. Simpati para penonton itu ada hubungannya dengan mitologi Jawa atau Nusantara yang menganggap bahwa Semar merupakan tokoh yang berasal dari Jawa atau Nusantara. Ia merupakan dewa asli Jawa yang paling berkuasa. Meskipun berpenampilan sederhana, sebagai rakyat biasa, bahkan sebagai abdi, Semar adalah seorang dewa yang mengatasi semua dewa. Ia adalah dewa yang ngejawantah menjelma menjadi manusia  yang kemudian menjadi pamong para Pandawa dan ksatria utama lainnya yang tidak terkalahkan. Oleh karena itu para Pandawa merupakan nenek moyang raja-raja Jawa.

Semar diyakini sebagai pamong dan danyang pulau Jawa dan seluruh dunia. Ia merupakan pribadi yang bernilai paling bijaksana berkat sikap bathinnya dan bukan karena sikap lahir dan keterdidikannya. Ia merupakan pamong yang sepi ing pamrih, rame ing ngawe, sepi akan maksud, rajin dalam bekerja dan memayu hayuning bawana, menjaga kedamaian dunia.

Dari segi etimologi, Joinboll berpendapat bahwa Semar berasal dari Sar yang berarti Sinar cahaya. Jadi Semar berarti suatu yang memancarkan cahaya atau dewa cahaya, sehingga ia disebut juga Nurcahya atau Nurrasa yang didalam dirinya terdapat atau bersemayam Nur Muhammad, Nur Illahi atau sifat Ilahiah. Semar yang memiliki rupa dan bentuk yang samar, tetapi mempunyai segala kelebihan yang telah disebutkan itu, merupakan simbol yang bersifat Ilahiah pula. Sehubungan dengan itu, Prodjosoebroto  berpendapat dan menggambarkan (dalam bentuk kaligrafi) bahwa jasat Semar penuh dengan kalimat Allah.

Sifat ilahiah itu ditunjukkan pula dengan sebutan badranaya yang berarti pimpinan rahmani, yakni pimpinan yang penuh dengan belas kasih. Semar juga dapat dijadikan simbol rasa eling (rasa ingat), yakni ingat kepada Yang Maha Pencipta dan segala ciptaanNya yang berupa alam semesta. Oleh karena itu sifat ilahiah itu pula, Semar dijadikan simbol aliran kebatinan Sapta Darma.

Berkenaan dengan mitologi yang merekfleksikan segala kelebihan dan sifat ilahiah pada pribadi Semar, maka timbul gagasan agar dalam pementasan wayang disuguhkan lakon Semar Mbabar Jati Diri. Gagasan itu muncul dari presiden Suharto dihadapan para dalang yang sedang mengikuti Rapat Paripurna Pepadi di Jakarta pada tanggal, 20-23 Januari 1995. Tujuanya agar para dalang ikut berperan serta menyukseskan program pemerintah dalam pembangunan manusia seutuhnya, termasuk pembudayaan P4.  Gagasan itu disambut para dalang dengan menggelar lakon tersebut. Para dalang yang pernah mementaskan lakon itu antara lain: Gitopurbacarita, Panut Darmaka, Anom Suroto, Subana, Cermomanggolo dan Manteb Soedarsono.

Dikemukakan oleh Arum  bahwa dalam pementasan wayang kulit dengan lakon Semar Mbabar Jadi Diri  diharapkan agar khalayak mampu memahami dan menghayati kawruh sangkan paraning dumadi, ilmu asal dan tujuan hidup yang digali dari falsafat aksara Jawa Ha-Na-Ca-Ra-Ka. Pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi yang bersumber filsafat aksara Jawa itu sejalan dengan pemikiran Soenarto Timoer  bahwa filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka mengandung makna sebagai sumber daya yang dapat memberikan tuntunan dan menjadi panutan ke arah keselamatan hidup. Sumber daya itu dapat disimbolkan dengan Semar yang berpengawak sastra dentawyanjana. Bahkan jika mengacu pendapat Warsito, bahwa aksara Jawa itu diciptakan Semar, maka tepatlah apabila pemahaman dan penghayatan kawruh sangkan paraning dumadi tersebut bersumberkan filsafat Ha-Na-Ca-Ra-Ka.

Paradoks Semar
Para pencinta wayang kulit Jawa tentu tak asing lagi dengan tokoh Semar. Setiap pertunjukan tokoh ini selalu hadir. Semar dan anak-anaknya selalu menjadi pelayan atau pembantu kesatria yang baik, umumnya Arjuna atau anak Arjuna, penengah Pandawa. Semar adalah sebuah filsafat, baik etik maupun politik. Di balik tokoh hamba para kesatria ini, terdapat pola pikir yang mendasarinya.

Tokoh Semar juga disebut Ismaya, yang berasal dari Manik dan Maya. Manik itu Batara Guru, Maya itu Semar. Batara Guru menguasai kahyangan para dewa dan manusia, sedangkan Semar menguasai bumi dan manusia. Manik dan Maya lahir dari sebuah wujud sejenis telur yang muncul bersama suara genta di tengah-tengah kekosongan mutlak (suwung-awang-uwung). Telur itu pecah menjadi kenyataan fenomena, yakni langit dan bumi (ruang, kulit telur), gelap dan terang (waktu, putih telur), dan pelaku di dalam ruang dan waktu (kuning telur menjadi Dewa Manik dan Dewa Maya). Begitulah kisah Kitab Kejadian masyarakat Jawa.

Kenyataannya, ruang-waktu-pelaku itu selalu bersifat dua dan kembar. Langit di atas, bumi di bawah. Malam yang gelap, dan siang yang terang. Manik yang tampan dan kuning kulitnya, Semar (Ismaya) yang jelek rupanya dan hitam kulitnya. Paradoks pelaku semesta itu dapat dikembangkan lebih jauh dalam rangkaian paradoks-paradoks yang rumit.

Batara Guru itu mahadewa di dunia atas, Semar mahadewa di dunia bawah. Batara Guru penguasa kosmos (keteraturan) Batara Semar penguasa keos. Batara Guru penuh etiket sopan santun tingkat tinggi, Batara Semar sepenuhnya urakan. Batara Guru simbol dari para penguasa dan raja-raja, Semar adalah simbol rakyat paling jelata. Batara Guru biasanya digambarkan sering tidak dapat mengendalikan nafsu-nafsunya, Semar justru sering mengendaikan nafsu-nafsu majikannya dengan kebijaksanaan-kebijaksanaan.

Batara Guru berbicara dalam bahasa prosa, Semar sering menggunakan bahasa wangsalan (sastra). Batara Guru lebih banyak marah dan mengambil keputusan tergesa-gesa, sebaliknya Semar sering menangis menyaksikan penderitaan majikannya dan sesamanya serta penuh kesabaran. Batara Guru ditakuti dan disegani para dewa dan raja-raja, Semar hanyalah pembantu rumah tangga para kesatria. Batara Guru selalu hidup di lingkungan yang wangi, sedang Semar suka kentut sembarangan. Batara Guru itu pemimpin, Semar itu rakyat jelata yang paling rendah.

Seabrek paradoks masih dapat ditemukan dalam kisah-kisah wayang kulit. Pelaku kembar semesta di awal penciptaan ini, Batara Guru dan Batara Semar, siapakah yang lebih utama atau lebih tua? Jawabannya terdapat dalam kitab Manik-Maya (abad ke-19).

Ketika Batara Semar protes kepada Sang Hyang Wisesa, mengapa ia diciptakan dalam wujud jelek, dan berkulit hitam legam bagai kain wedelan (biru-hitam), maka Sang Hyang Wisesa (Sang Hyang Tunggal?) menjawab, bahwa warna hitam itu bermakna tidak berubah dan abadi, hitam itu untuk menyamarkan yang sejatinya ada itu tidak ada, sedangkan yang tidak ada diterka bukan, yang bukan diterka ya. Dengan demikian Batara

Semar lebih tua dari adiknya Batara Guru. Semar itu kakak dan Batara Guru itu adik, suatu pasangan kembar yang paradoks pula. Semar itu lambang gelap gulita, lambang misteri, ketidaktahuan mutlak, yang dalam beberapa ajaran mistik sering disebut-sebut sebagai ketidaktahuan kita mengenai Tuhan.

Mengingat genealogi Semar yang semacam itu dalam budaya Jawa, maka tidak mengherankan bahwa tokoh Semar selalu hadir dalam setiap lakon wayang, dan merupakan tokoh wayang yang amat dicintai para penggemarnya. Meskipun dia hamba, rakyat jelata, buruk rupa, miskin, hitam legam, namun di balik wujud lahir tersebut tersimpan sifat-sifat mulia, yakni mengayomi, memecahkan masalah-masalah rumit, sabar, bijaksana, penuh humor.

Kulitnya, luarnya, kasar, sedang dalamnya halus. Dalam ilmu politik, Semar adalah pengejawantahan dari ungkapan Jawa tentang kekuasaan, yakni manunggaling kawula-Gusti (kesatuan hamba-Raja). Seorang pemimpin seharusnya menganut filsafat Semar ini.

Seorang pemimpin sebesar bangsa Indonesia ini harus memadukan antara atas dan bawah, pemimpin dan yang dipimpin, yang diberi kekuasaan dan yang menjadi sasaran kekuasaan, kepentingan hukum negara dan kepentingan objek hukum. Hukum-hukum negara yang baik dari atas, belum tentu berakibat baik, kalau yang dari atas itu tidak disinkronkan dengan kepentingan dan kondisi rakyat. Manunggaling kawula-Gusti. Pemimpin sejati bagi rakyat itu bukan Batara Guru, tetapi Semar. Pemimpin sejati itu sebuah paradoks.

Semar adalah kakak lebih tua dari Batara Guru yang terhormat dan penuh etiket kenegaraan-kahiyangan, tetapi ia menyatu dengan rakyat yang paling papa. Dengan para dewa, Semar tidak pernah berbahasa halus, tetapi kepada majikan yang diabdinya (rakyat) ia berbahasa halus. Semar menghormati rakyat jelata lebih dari menghormati para dewa-dewa pemimpin itu. Semar tidak pernah mengentuti rakyat, tetapi kerjanya membuang kentut ke arah para dewa yang telah salah bekerja menjalankan kewajibannya. Semar itu hakikatnya di atas, tetapi eksistensinya di bawah. Badan halusnya, karakternya, kualitasnya adalah tingkat tinggi, tetapi perwujudannya sangat merakyat. Semar gampang menangis melihat penderitaan manusia yang diabdinya, itulah sebabnya wayang Semar matanya selalu berair. Semar lebih mampu menangisi orang lain daripada menangisi dirinya sendiri. Pemimpin Semar sudah tidak peduli dan tidak memikirkan dirinya sendiri, tetapi hanya memikirkan penderitaan orang lain. Ego Semar itu telah lenyap, digantikan oleh yang lain.

Semar itu seharusnya penguasa dunia atas yang paling tinggi dalam fenomena, tetapi ia memilih berada di dunia bawah yang paling bawah. Karena penguasa tertinggi, ia menguasai segalanya. Namun, ia memilih tidak kaya. Semar dan anak-anaknya itu ikut menumpang makan dalang, sehingga kalau suguhan tuan rumah kurang enak karena ada yang basi, maka Semar mencegah anak-anaknya, yang melalui dalang, mencela suguhan tuan rumah. Makanan apa pun yang datang padanya harus disyukuri sebagai anugerah. Batara Semar, di tanah Sunda, dikenal dalam wujud Batara Lengser.

Lengser, longsor, lingsir, selalu berkonotasi turun. Semar itu adalah pemimpin tertinggi yang turun ke lapis paling bawah. Seorang pemimpin tidak melihat yang dipimpinnya dari atas singgasananya yang terisolasi, tetapi melihat dari arah rakyat yang dipimpinnya. Seorang pemimin tidak menangisi dirinya yang dihujat rakyat, tetapi menangisi rakyat yang dihujat bawahanbawahannya. Seorang pemimpin tidak marah dimarahi rakyatnya, tetapi memarahi dirinya akibat dimarahi rakyat.

Pemimpin sejati itu, menurut filsafat Semar, adalah sebuah paradoks. Seorang pemimpin itu majikan sekaligus pelayan, kaya tetapi tidak terikat kekayaannya, tegas dalam keadilan untuk memutuskan mana yang benar dan mana yang salah namun tetap berkasih sayang. Filsafat paradoks kepemimpinan ini sebenarnya bersumber dari kitab Hastabrata atau Delapan Ajaran Dewa.

Dewa Kekayaan berseberangan dengan Desa Kedermawanan, yang bermakna seorang pemimpin harus mengusahakan dirinya (dulu, sebagai raja) agar kaya raya, tetapi kekayaan itu bukan buat dirinya, tetapi buat rakyat yang dipimpinnya. Pemimpin Indonesia sekarang ini selayaknya seorang enterpreneur juga, yang lihai menggali kekayaan buat negara. Dewa Keadilan berseberangan dengan watak Dewa Kasih Sayang.
Seorang pemimpin harus membela kebenaran, keadilan, tetapi juga mempertimbangkan rasa keadilannya dengan kasih sayang untuk memelihara kehidupan.

Dewa Api (keberanian) itu berseberangan dengan Dewa Laut (air), yakni keberaniannya bertindak melindungi rakyatnya didasari oleh pertimbangan perhitungan dan kebijaksanaan yang dingin-rasional. Dewa Maut berseberangan dengan watak Dewa Angin.

Menumpas kejahatan dalam negara itu harus dipadukan dengan ketelitiannya dalam mengumpulkan detail-detail data, bagai angin yang mampu memasuki ruang mana pun.
Ajaran tua tentang kekuasaan politik bersumber dari Hastabrata tersebut, dan dimitoskan dalam diri Semar yang paradoks itu. Etika kekuasaan itu ada dalam diri tokoh Semar. Ia Dewa Tua tetapi menjadi hamba.

Ia berkuasa tetapi melayani. Ia kasar di kalangan atas, tetapi ia halus di kalangan bawah. Ia kaya raya penguasa semesta, tetapi memilih memakan nasi sisa. Ia marah kalau kalangan atas bertindak tidak adil, ia menyindir dalam bahasa metafora apabila yang dilayaninya berbuat salah. Bentuk badan Semar juga paradoks, seperti perempuan tetapi juga mirip lelaki, kombinasi ketegasan dan kelembutan


Semar Dan Antaga 
(Panembahan Pramana Seta ing Girimaya)

Dandanggulo:
“Ingsun meling mring sira kalihnya / kang dadya sesenggemane / ngirida gung lelembut / bala siluman Nusa Jawi / kabyantokna Sang Nata / Herucakra Prabu / Nata tedhaking Barata / wijilira ing Ketangga Sonyaruri / sajroning alas Pudhak”.

“Duk timurnya babaran Surandhil / ingkang ibu tedhaking Mataram / kang rama trahing Rasule / ginaip miyosipun / sang Tunjung Seta jejuluk neki / duk sih kineker marang / Hyang kesampar kesandung / jalma samya katambuhan / tan wikan mring Pudhak Sinumpet sinandi / Dewa Mangejawantah.”

“Wus pinasti kang Murbeng Dumadi / sang Tunjung Seta kinarya dhuta / jumeneng paranparane / ngadili nusanipun / ngastha darmaning umum / kalis ing mayane ndoya
/ wus wineleg mukti wibawaning diri / ing Ketangga Siluman.”

“Satru mungsuh samya hangemasi / tumpes tapis kataman prabawa / kasekten sabda ciptane / nggegirisi balanipun / wujud kalabang kalajengking / Sirullah ajinipun
/ prajurit lelembut/ iku kang wekas ingwang / sira nderek angemong ing tembe wuri
/ sang nata binathara”

“Wong cilik samya suka ing ati / gumuyu murah sandhang lan tedha / guyub rukun sesamane / samya madhep sumujud / ngarseng Hyang Widhi lan njeng Ghusti / wedi  wewalatira / wingiting Sang Ratu / manangka jaman kencana / kakang Semar gya tindakna weling mami / ngiridta gung lelembut”

“Mmanangka welinge sang Aji / Sri Jayabaya Nata binathara / mring sang pamong kalihe / kakang Semar umatur / Pukulun Jayabaya Aji / pun kakang wus anampa
/ kabeh sabdanipun / dadya paseksening jangka / mangeja wantahira paduka Aji
/ sang nata binathar”

“Jumenengira gusthi pribadi / lamun jangkaning nusa tumeka / nora endhas lan buntute
/ pun kakang wus sumagguh / ngemong sang Tunjung Seta Aji / lan ngirid byantokna
/ sagunging lelembut / sinegeg wawan sabdanya / Sri Jayabaya lan pamongnya kekalih
/ meca jangkaning nusa”



Dewa Ruci

Cerita Ajaran Dewa Ruci tentang Arya Wrekudara / Arya Sena / Bima ketika masuk ke dasar samudera guna memenuhi tugas gurunya mencari air penghidupan (Tirtamerta), yang disadur dari bentuk kakawin (tembang) oleh Pujangga Surakarta, Yosodipuro berjudul Serat Dewaruci Kidung yang disampaikan dalam bentuk macapat, berbahasa halus dan sesuai rumus-rumus tembang, dengan bahasa Kawi, Sanskerta dan Jawa Kuna.

Intisari kisahnya yaitu bahwa pihak kaum Kurawa dengan dinegeri Amarta, ingin menjerumuskan pihak Pandawa di negeri Astina, (yang sebenarnya adalah bersaudara) ke dalam kesengsaraan, melalui perantaraan Guru Durna. Sena yang juga adalah murid Guru Durno diberikan ajaran: bahwa dalam mencapai kesempurnaan demi kesucian badan, Sena diharuskan mengikuti perintah sang guru untuk mencari air suci penghidupan ke hutan Tibrasara. Sena mengikuti perintah gurunya dan yakin tidak mungkin teritipu dan terbunuh oleh anjuran gurunya, dan tetap berniat pergi mengikuti perintah sang guru walaupun sebenarnya ada niat sang Guru Durno untuk mencelakaannya.

Kemudian Durno memberi petunjuk kepada Sena, bahwa jika ia telah menemukan air suci itu ,maka akan berarti dirinya mencapai kesempurnaan, menonjol diantara sesama makhluk, dilindungi ayah-ibu, mulia, berada dalam triloka, akan hidup kekal adanya. Selanjutnya dikatakan, bahwa letak air suci ada di hutan Tibrasara, di bawah  Gandawedana, di gunung Candramuka, di dalam gua. Kemudian setelah ia mohon pamit kepada Druna dan Prabu Suyudana, lalu keluar dari istana, untuk mohon pamit, mereka semua tersenyum, membayangkan Sena berhasil ditipu dan akan hancur lebur melawan dua raksasa yang tinggal di gua itu, sebagai rasa optimisnya, untuk sementara mereka merayakan dengan bersuka-ria, pesta makan minum sepuas-puasnya.

Setelah sampai di gua gunung Candramuka, air yang dicari ternyata tidak ada, lalu gua disekitarnya diobrak-abrik. Raksasa Rukmuka dan Rukmakala yang berada di gua terkejut, marah dan mendatangi Sena. Namun walau telah dijelaskan niat kedatangannya, kedua raksasa itu karena merasa terganggu akibat ulah Sena, tetap saja mengamuk. Terjadi perkelahian, namun dalam perkelahian dua raksaksa tersebut kalah, ditendang, dibanting ke atas batu dan meledak hancur lebur. Kemudian Sena mengamuk dan mengobrak-abrik lagi sampai lelah. Dalam hatinya ia bersedih hati dan berfikir bagaimana mendapatkan air suci tersebut.

Karena kelelahan, kemudian ia berdiri di bawah pohon beringin. Tak lama kemudian, Sena mendengar suara tak berwujud:  "Wahai cucuku yang sedang bersedih, engkau  mencari tidak menjumpai, engkau tidak mendapat bimbingan yang nyata, tentang tempat benda yang kau cari itu, sungguh menderita dirimu".  Diceritakan saat Sena sudah pasrah, suara itu  yang ternyata adalah dua dewa, Sang Hyang Endra dan Batara Bayu, yang  memberitahu bahwa dua raksasa yang dibunuh Sena, ternyata memang sedang dihukum Hyang Guru. Lalu dikatakan juga agar untuk mencari air kehidupan, Sena diperintahkan agar kembali ke Astina. Perintah inipun dituruti lagi.

Setibanya di serambi Astina, saat lengkap dihadiri Guru Druna, Bisma, Suyudana, Patih Sangkuni, Sindukala, Surangkala, Kuwirya Rikadurjaya, Jayasusena, lengkap bala Kurawa, dan lain-lainnya, terkejut atas kedatangan Sena. Ia memberi laporan tentang perjalannya dan dijawab oleh Guru Druna, bahwa ia sebenarnya hanya diuji, sebab tempat air yang dicari, sebenarnya ada di tengah samudera. Suyudana juga membantu bicara untuk meyakinkan Sena.

Karena tekad yang kuat maka Senapun nekat untuk pergi lagi, yang sebelumnya ia sempat mampir dahulu ke Ngamarta (tempat para kerabatnya berada). Sementara itu di Astina keluarga Sena yang mengetahui tipudaya pihak Kurawa mengirim surat kepada prabu Harimurti / Kresna di Dwarawati, yang dengan tergesa-gesa bersama bala pasukan datang ke Ngamarta. Setelah menerima penjelasan dari Darmaputra, Kresna mengatakan bahwa janganlah Pandawa bersedih, sebab tipu daya para Kurawa akan mendapat balasan dengan jatuhnya bencana dari dewata yang agung.

Ketika sedang asyik berbincang-bincang, datanglah Sena, yang membuat para Pandawa termasuk Pancawala, Sumbadra, Retna Drupadi dan Srikandi, dan lain-lainnya, senang dan akan mengadakan pesta. Namun tidak disangka, karena Sena ternyata melaporkan bahwa ia akan meneruskan pencarian air suci itu, yaitu ke tengah samudera. Nasehat dan tangisan, termasuk tangisan semua sentana laki-laki dan perempuan, tidak membuatnya mundur.

Sena berangkat pergi, tanpa rasa takut keluar masuk hutan, naik turun gunung, yang akhirnya tiba di tepi laut. Sang ombak bergulung-gulung menggempur batu karang bagaikan menyambut dan tampak kasihan kepada yang baru datang, bahwa ia di tipu agar masuk ke dalam samudera, topan datang juga riuh menggelegar, seakan mengatakan bahwa Guru Druna memberi petunjuk sesat dan tidak benar.

Bagi Sena, lebih baik mati dari pada pulang menentang sang Maharesi, walaupun ia tidak mampu masuk ke dalam air, ke dasar samudera. Maka akhirnya ia berpasrah diri, tidak merasa takut, sakit dan mati memang sudah kehendak dewata yang agung, karena sudah menyatakan kesanggupan kepada Guru Druna dan Prabu Kurupati, dalam mencari Tirta Kamandanu, masuk ke dalam samudera.

Dengan suka cita ia lama memandang laut dan keindahan isi laut, kesedihan sudah terkikis, menerawang tanpa batas, lalu ia memusatkan perhatian tanpa memikirkan marabahaya, dengan semangat yang menyala-nyala mencebur ke laut, tampak kegembiraannya, dan tak lupa digunakannya ilmu Jalasengara, agar air menyibak.
Alkisah ada naga sebesar segara anakan, pemangsa ikan di laut, wajah liar dan ganas, berbisa sangat mematikan, mulut bagai gua, taring tajam bercahaya, melilit Sena sampai hanya tertinggal lehernya, menyemburkan bisa bagai air hujan. Sena bingung dan mengira cepat mati, tapi saat lelah tak kuasa meronta, ia teringat segera menikamkan kukunya, Kuku Pancanaka, menancap di badan naga, darah memancar deras, naga besar itu mati, seisi laut bergembira.

Sementara itu Pandawa bersedih hati dan menangis memohon penuh iba, kepada Prabu Kresna. Lalu dikatakan oleh Kresna, bahwa Sena tidak akan meninggal dunia, bahkan mendapatkan pahala dari dewata yang nanti akan datang dengan kesucian, memperoleh cinta kemuliaan dari Hyang Suksma Kawekas, diijinkan berganti diri menjadi batara yang berhasil menatap dengan hening. Para saudaranya tidak perlu sedih dan cemas

Kembali dikisahkan Sang Wrekudara yang masih di samudera, ia bertemu dengan dewa berambut panjang, seperti anak kecil bermain-main di atas laut, bernama Dewa Ruci. Lalu ia berbicara: "Sena apa kerjamu, apa tujuanmu, tinggal di laut, semua serba tidak ada tak ada yang dapat di makan, tidak ada makanan, dan tidak ada pakaian. Hanya ada daun kering yang tertiup angin, jatuh didepanku, itu yang saya makan". Dikatakan pula:"Wahai Wrekudara, segera datang ke sini, banyak rintangannya, jika tidak mati-matian tentu tak akan dapat sampai di tempat ini, segalanya serba sepi. Tidak terang dan pikiranmu memaksa, dirimu tidak sayang untuk mati, memang benar, disini tidak mungkin ditemukan.”

"Kau pun keturunan Sang Hyang Pramesthi, Hyang Girinata, kau keturunan dari Sang Hyang Brama asal dari para raja, ayahmu pun keturunan dari Brama, menyebarkan para raja, ibumu Dewi Kunthi, yang memiliki keturunan, yaitu Sang Hyang Wisnu Murti. Hanya berputra tiga dengan ayahmu, Yudistira sebagai anak sulung, yang kedua dirimu, sebagai penengah adalah Dananjaya, yang dua anak lain dari keturunan dengan Madrim, genaplah Pandawa, kedatanganmu disini pun juga atas petunjuk Dhang Hyang Druna untuk mencari Air Penghidupan berupa air jernih, karena gurumu yang memberi petunjuk, itulah yang kau laksanakan, maka orang yang bertapa sulit menikmati hidupnya", lanjut Dewa Ruci.

Kemudian dikatakan : "Jangan pergi bila belum jelas maksudnya, jangan makan bila belum tahu rasa yang dimakan, janganlah berpakaian bila belum tahu nama pakaianmu. Kau bisa tahu dari bertanya, dan dengan meniru juga, jadi dengan dilaksanakan, demikian dalam hidup, ada orang bodoh dari gunung akan membeli emas, oleh tukang emas diberi kertas kuning dikira emas mulia. Demikian pula orang berguru, bila belum paham, akan tempat yang harus disembah".

Wrekudara masuk tubuh Dewa Ruci menerima ajaran tentang Kenyataan.
" Segeralah kemari Wrekudara, masuklah ke dalam tubuhku ", kata Dewa Ruci.

Sambil tertawa Sena bertanya:"Tuan ini bertubuh kecil, saya bertubuh besar, dari mana jalanku masuk, kelingking pun tidak mungkin masuk".Dewa Ruci tersenyum dan berkata lirih: "Besar mana dirimu dengan dunia ini, semua isi dunia, hutan dengan gunung, samudera dengan semua isinya, tak sarat masuk ke dalam tubuhku".

Atas petunjuk Dewa Ruci, Sena masuk ke dalam tubuhnya melalui telinga kiri. Dan tampaklah laut luas tanpa tepi, langit luas, tak tahu mana utara dan selatan, tidak tahu timur dan barat, bawah dan atas, depan dan belakang. Kemudian, terang, tampaklah Dewa Ruci, memancarkan sinar, dan diketahui lah arah, lalu matahari, nyaman rasa hati.
Ada empat macam benda yang tampak oleh Sena, yaitu hitam, merah kuning dan putih. Lalu berkatalah Dewa Ruci: “Yang pertama kau lihat cahaya, menyala tidak tahu namanya, Pancamaya itu, sesungguhnya ada di dalam hatimu, yang memimpin dirimu, maksudnya hati, disebut muka sifat, yang menuntun kepada sifat lebih, merupakan hakikat sifat itu sendiri. Lekas pulang jangan berjalan, selidikilah rupa itu jangan ragu, untuk hati tinggal, mata hati itulah, menandai pada hakikatmu, sedangkan yang berwarna merah, hitam, kuning dan putih, itu adalah penghalang hati.”

“Yang hitam kerjanya marah terhadap segala hal, murka, yang menghalangi dan menutupi tindakan yang baik. Yang merah menunjukkan nafsu yang baik, segala keinginan keluar dari situ, panas hati, menutupi hati yang sadar kepada kewaspadaan. Yang kuning hanya suka merusak. Sedangkan yang putih berarti nyata, hati yang tenang suci tanpa berpikiran ini dan itu, perwira dalam kedamaian. Sehingga hitam, merah dan kuning adalah penghalang pikiran dan kehendak yang abadi, persatuan Suksma Mulia.”

Lalu Wrekudara melihat, cahaya memancar berkilat, berpelangi melengkung, bentuk zat yang dicari, apakah gerangan itu? Menurut Dewa Ruci, itu bukan yang dicari (air suci), yang dilihat itu yang tampak berkilat cahayanya, memancar bernyala-nyala, yang menguasai segala hal, tanpa bentuk dan tanpa warna, tidak berwujud dan tidak tampak, tanpa tempat tinggal, hanya terdapat pada orang-orang yang awas, hanya berupa firasat di dunia ini, dipegang tidak dapat, adalah Pramana, yang menyatu dengan diri tetapi tidak ikut merasakan gembira dan prihatin, bertempat tinggal di tubuh, tidak ikut makan dan minum, tidak ikut merasakan sakit dan menderita, jika berpisah dari tempatnya, raga yang tinggal, badan tanpa daya. Itulah yang mampu merasakan penderitaannya, dihidupi oleh suksma, ialah yang berhak menikmati hidup, mengakui rahasia zat.

Kehidupan Pramana dihidupi oleh suksma yang menguasai segalanya. Pramana bila mati ikut lesu, namun bila hilang, kehidupan suksma ada. Sirna itulah yang ditemui, kehidupan suksma yang sesungguhnya, Pramana Anresandani.
“Jika ingin mempelajari dan sudah didapatkan, jangan punya kegemaran, bersungguh-sungguh dan waspada dalam segala tingkah laku, jangan bicara gaduh, jangan bicarakan hal ini secara sembunyi-sembunyi, tapi lekaslah mengalah jika berselisih, jangan memanjakan diri, jangan lekat dengan nafsu kehidupan tapi kuasailah.”

“Tentang keinginan untuk mati agar tidak mengantuk dan tidak lapar, tidak mengalami hambatan dan kesulitan, tidak sakit, hanya enak dan bermanfaat, peganglah dalam pemusatan pikiran, disimpan dalam buana, keberadaannya melekat pada diri, menyatu padu dan sudah menjadi kawan akrab. Sedangkan Suksma Sejati, ada pada diri manusia, tak dapat dipisahkan, tak berbeda dengan kedatangannya waktu dahulu, menyatu dengan kesejahteraan dunia, mendapat anugerah yang benar, persatuan manusia/kawula dan pencipta/Gusti. Manusia bagaikan wayang, Dalang yang memainkan segala gerak gerik dan berkuasa antara perpaduan kehendak, dunia merupakan panggungnya, layar yang digunakan untuk memainkan panggungnya.”

“Penerima ajaran dan nasehat ini tidak boleh menyombongkan diri, hayati dengan sungguh-sungguh, karena nasehat merupakan benih. Namun jika ditemui ajaran misalnya kacang kedelai disebar di bebatuan tanpa tanah tentu tidak akan dapat tumbuh, maka jika manusia bijaksana, tinggalkan dan hilangkan, agar menjadi jelas penglihatan sukma, rupa dan suara. Hyang Luhur menjadi badan Sukma Jernih, segala tingkah laku akan menjadi satu, sudah menjadi diri sendiri, dimana setiap gerak tentu juga merupakan kehendak manusia, terkabul itu namanya, akan segala keinginan, semua sudah ada pada manusia, semua jagad ini karena diri manusia, dalam segala janji janganlah ingkar.”

“Jika sudah paham akan segala tanggung jawab, rahasiakan dan tutupilah. Yang terbaik, untuk disini dan untuk disana juga, bagaikan mati di dalam hidup, bagaikan hidup dalam mati, hidup abadi selamanya, yang mati itu juga. Badan hanya sekedar melaksanakan secara lahir, yaitu yang menuju pada nafsu.”

Wrekudara setelah mendengar perkataan Dewa Ruci, hatinya terang benderang, menerima dengan suka hati, dalam hati mengharap mendapatkan anugerah wahyu sesungguhnya. Dan kemudian dikatakan oleh Dewa Ruci: "Sena ketahuilah olehmu, yang kau kerjakan, tidak ada ilmu yang didatangkan, semua sudah kau kuasai, tak ada lagi yang dicari, kesaktian, kepandaian dan keperkasaan, karena kesungguhan hati ialah dalam cara melaksanakan.”

Dewa Ruci selesai menyampaikan ajarannya, Wrekudara tidak bingung dan semua sudah dipahami, lalu kembali ke alam kemanusiaan, gembira hatinya, hilanglah kekalutan hatinya, dan Dewa Ruci telah sirna dari mata, Wrekudara lalu mengingat, banyak yang didengarnya tentang tingkah para Pertapa yang berpikiran salah, mengira sudah benar, akhirnya tak berdaya, dililit oleh penerapannya, seperti mengharapkan kemuliaan, namun  akhirnya tersesat dan terjerumus.

Bertapa tanpa ilmu, tentu tidak akan berhasil, kematian seolah dipaksakan, melalui kepertapaannya, mengira  dapat mencapai kesempurnaan dengan cara bertapa tanpa petunjuk, tanpa pedoman berguru, mengosongkanan pikiran, belum tentu akan mendapatkan petunjuk yang nyata. Tingkah seenaknya, bertapa dengan merusak tubuh dalam mencapai kamuksan, bahkan gagallah bertapanya itu.

Guru yang benar, mengangkat murid/cantrik, jika memberi ajaran tidak jauh tempat duduknya, cantrik sebagai sahabatnya, lepas dari pemikiran batinnya, mengajarkan wahyu yang diperoleh. Inilah keutamaan bagi keduanya.

Tingkah manusia hidup usahakan dapat seperti wayang yang dimainkan di atas panggung, di balik layar ia digerak-gerakkan, banyak hiasan yang dipasang, berlampu panggung matahari dan rembulan, dengan layarnya alam yang sepi, yang melihat adalah pikiran, bumi sebagai tempat berpijak, wayang tegak ditopang orang yang menyaksikan, gerak dan diamnya dimainkan oleh Dalang, disuarakan bila harus berkata-kata, bahwa itu dari Dalang yang berada dibalik layar, bagaikan api dalam kayu, berderit oleh tiupan angin, kayu hangus mengeluarkan asap, sebentar kemudian mengeluarkan api yang berasal dari kayu, ketahuilah asal mulanya, semuanya yang tergetar, oleh perlindungan jati manusia, yang  yang kemudian  sebagai rahasia.

Tekad yang sudah sempurna, dengan penuh semangat, Raden Arya Wrekudara kemudian pulang dan tiba ke negerinya, Ngamarta, tak berpaling hatinya, tidak asing bagi dirinya, sewujud dan sejiwa, dalam kenyataan ditutupi dan dirahasiakan, dilaksanakan untuk memenuhi kesatriaannya. Permulaan jagad raya, kelahiran batin ini, memang tidak kelihatan, yang bagaikan sudah menyatu, seumpama suatu bentukan, itulah perjalanannya.

Bersamaan dengan kedatangan Sena, di Ngamarta sedang berkumpul para saudaranya bersama Sang Prabu Kresna, yang sedang membicarakan kepergian Sena, cara masuk dasar samudera. Maka disambutlah ia, dan saat ditanya oleh Prabu Yudistira mengenai perjalanan tugasnya, ia menjawab bahwa perjalanannya itu dicurangi, ada dewa yang memberi tahu kepadanya, bahwa di lautan itu sepi, tidak ada air penghidupan. Gembira mendengar itu, lalu Kresna berkata: "Adikku ketahuilah nanti, jangan lupa segala sesuatu yang sudah terjadi ini".

Orang Jawa menganggap cerita wayang merupakan cermin dari pada kehidupannya.
Dewa Ruci yang merupakan cerita asli wayang Jawa memberikan gambaran yang jelas mengenai hubungan harmonis antara Kawula dan Gusti, yang diperagakan oleh Bima atau Aria Werkudara dan Dewa Ruci.

Guru Durna memberitahukan Bima untuk menemukan Air Suci Prawitasari. Prawita dari asal kata Pawita artinya bersih, suci, sari artinya inti. Jadi Prawitasari pengertiannya adalah inti atau sari dari pada ilmu suci.

Air suci itu dikatakan berada dihutan Tikbrasara, dilereng Gunung Reksamuka. Tikbra artinya rasa prihatin, Sara berarti tajamnya pisau, ini melambangkan pelajaran untuk mencapai lendeping cipta (tajamnya cipta). Reksa berarti mamalihara atau mengurusi; muka adalah wajah, jadi yang dimaksud dengan Reksamuka dapat diartikan: mencapai sari ilmu sejati melalui samadi.

Sebelum melakukan samadi orang harus membersihkan atau menyucikan badan dan jiwanya dengan air. Pada waktu samadi dia harus memusatkan ciptanya dengan fokus pandangan kepada pucuk hidung. Terminologi mistis yang dipakai adalah mendaki gunung Tursina, Tur berarti gunung, sina berarti tempat artinya tempat yang tinggi.
Pandangan atau paningal sangat penting pada saat samadi. Seseorang yang mendapatkan restu dzat yang suci, dia bisa melihat kenyataan antara lain melalui cahaya atau sinar yang datang kepadanya waktu samadi. Dalam cerita wayang digambarkan bahwasanya Resi Manukmanasa dan Bengawan Sakutrem bisa pergi ketempat suci melalui cahaya suci.

Di hutan, Bima diserang oleh dua raksasa yaitu Rukmuka dan Rukmala. Dalam pertempuran yang hebat Bima berhasil membunuh keduanya, ini berarti Bima berhasil menyingkirkan halangan untuk mencapai tujuan supaya samadinya berhasil. Rukmuka: Ruk berarti rusak, ini melambangkan hambatan yang berasal dari kemewahan makanan yang enak (kemukten). Rukmakala: Rukma berarti emas, kala adalah bahaya, menggambarkan halangan yang datang dari kemewahan kekayaan material antara lain: pakaian, perhiasan seperti emas permata dan lain-lain (kamulyan).

Bima tidak akan mungkin melaksanakan samadinya dengan sempurna yang ditujukan kepada kesucian apabila pikirannya masih dipenuhi oleh kamukten dan kamulyan dalam kehidupan, karena kamukten dan kamulyan akan menutupi ciptanya yang jernih, terbunuhnya dua raksasa tersebut dengan gamblang menjelaskan bahwa Bima bisa menghapus halangan-halangan tersebut.

Bima akhirnya tahu bahwa air suci itu tidak ada di hutan , tetapi sebenarnya berada didasar samudra. Tanpa ragu-ragu sedikitpun dia menuju ke samudra. Ingatlah kepada perkataan Samudra Pangaksama yang berarti orang yang baik semestinya memiliki hati seperti luasnya samudra, yang dengan mudah akan memaafkan kesalahan orang lain.
Ular adalah simbol dari kejahatan. Bima membunuh ular tersebut dalam satu pertarungan yang seru. Disini menggambarkan bahwa dalam pencarian untuk mendapatkan kenyataan sejati, tidaklah cukup bagi Bima hanya mengesampingkan kamukten dan kamulyan, dia harus juga menghilangkan kejahatan didalam hatinya.

Untuk itu dia harus mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1.  Rila: dia tidak susah apabila kekayaannya berkurang dan tidak iri kepada orang lain.
2.  Legawa: harus selalu bersikap baik dan benar.
3.  Nrima: bersyukur menerima jalan hidup dengan sadar.
4.  Anoraga: rendah hati, dan apabila ada orang yang berbuat jahat kepadanya, dia tidak akan membalas, tetap sabar.
5.  Eling: tahu mana yang benar dan salah dan selalu akan berpihak kepada kebaikan dan kebenaran.
6.  Santosa: selalu beraa dijalan yang benar, tidak pernah berhenti untuk berbuat yang benar antara lain : melakukan samadi. Selalu waspada untuk menghindari perbuatan jahat.
7.  Gembira: bukan berarti senang karena bisa melaksanakan kehendak atau napsunya, tetapi merasa tentram melupakan kekecewaan dari pada kesalahan-kesalahan dari kerugian yang terjadi pada masa lalu.
8.  Rahayu: kehendak untuk selalu berbuat baik demi kepentingan semua pihak.
9.  Wilujengan: menjaga kesehatan, kalau sakit diobati.
10. Marsudi kawruh: selalu mencari dan mempelajari ilmu yang benar.
11. Samadi.
12. Ngurang-ngurangi: dengan antara lain makan pada waktu sudah lapar, makan tidak perlu banyak dan tidak harus memilih makanan yang enak-enak: minum secukupnya pada waktu sudah haus dan tidak perlu harus memilih minuman yang lezat, tidur pada waktu sudah mengantuk dan tidak perlu harus tidur dikasur yang tebal dan nyaman; tidak boleh terlalu sering bercinta dan itu pun hanya boleh dilakukan dengan pasangannya yang sah.

Sesudah Bima mebunuh ular dengan menggunakan Kuku Pancanaka, Bima bertemu dengan Dewa kecil yaitu Dewa Suksma Ruci yang rupanya persis seperti dia. Bima memasuki raga Dewa Suksma Ruci melalui telinganya yang sebelah kiri. Di dalam Bima bisa melihat dengan jelas seluruh jagad dan juga melihat dewa kecil tersebut.

Pelajaran spiritual dari pertemuan ini adalah: Bima bermeditasi dengan benar, menutup kedua matanya, mengatur pernapasannya, memusatkan perhatiannya dengan cipta hening dan rasa hening. Kedatangan dari Dewa Suksma Ruci adalah pertanda suci, diterimanya samadi Bima yaitu bersatunya kawula dan Gusti.

Didalam paningal (pandangan didalam) Bima bisa melihat segalanya segalanya terbuka untuknya (Tinarbuka) jelas dan tidak ada rahasia lagi. Bima telah menerima pelajaran terpenting dalam hidupnya yaitu bahwa dalam dirinya yang terdalam, dia adalah satu dengan yang suci, tak terpisahkan. Dia telah mencapai kasunyatan sejati. Pengalaman ini dalam istilah spiritual disebut mati dalam hidup dan juga disebut hidup dalam mati. Bima tidak pernah merasakan kebahagiaan seperti ini sebelumnya. Mula-mula di tidak mau pergi tetapi kemudian dia sadar bahwa dia harus tetap melaksanakan pekerjaan dan kewajibannya, ketemu keluarganya dan lain-lain.

Bima mengenakan pakaian dan perhiasan yang dipakai oleh orang yang telah mencapai kasunytan-kenyataan sejati. Gelang Candrakirana dikenakan pada lengan kiri dan kanannya. Candra artinya bulan, kirana artinya sinar. Bima yang sudah tinarbuka, sudah menguasai sinar suci yang terang yang terdapat didalam paningal.

Kain batik yang mempunyai 4 warna yaitu; merah, hitam, kuning dan putih. Yang merupakan simbol nafsu, amarah, alumah, supiah dan mutmainah. Disini menggambarkan bahwa Bima sudah mampu untuk mengendalikan nafsunya.

Tusuk konde besar dari kayu asem. Kata asem menunjukkan sengsem artinya tertarik, Bima hanya tertarik kepada laku untuk kesempurnaan hidup, dia tidak tertarik kepada kekeyaan duniawi. Tanda emas diantara mata, artiya Bima melaksanakan samadinya secara teratur dan mantap. Dengan Kuku Pancanaka, Bima mengepalkan tinjunya dari kedua tangannya. Melambangkan: dia telah memegang dengan kuat ilmu sejati, persatuan orang-orang yang bermoral baik adalah lebih kuat, dari persatuan orang-orang yang tidak bertanggung jawab, meskipun jumlah orang yang bermoral baik itu kalah banyak.
Contohnya lima pandawa bisa mengalahkan seratus korawa. Kuku pancanaka menunjukkan magis dan wibawa seseorang yang telah mencapai ilmu sejati.



Pranata Mangsa

Pranata Mangsa atau aturan waktu musim biasanya digunakan oleh para petani pedesaan, yang didasarkan pada gejala naluriah alam dan mencoba memahami asal-usul dan bagaimana uraian satu-satu kejadian cuaca di dalam setahun. Petani di Jawa dahulu  masih memakai patokan untuk mengolah pertanian dengan prantan ini. Uraian mengenai Pranata Mangsa ini diambil dari buku sejarah para raja di Surakarta, yang tersimpan di musium Radya-Pustaka.

Yang menurut riwayatnya, sebetulnya baru mulai dikenalkan pada tahun 1856, saat kerajaan Surakarta diperintah oleh Pakoeboewono VII, yang memberi patokan bagi para petani agar mempunyai hasil panen yang baik dalam bertani, tepatnya dimulai tanggal 22 Juni 1856, dengan urut-urutan :

1.  Kasa, mulai 22 Juni, berusia 41 hari. Para petani membakar dami yang tertinggal di sawah dan di masa ini dimulai menanam palawija, sejenis belalang masuk ke tanah, daun-daunan berjatuhan. Penampakannya/ibaratnya: lir sotya (dedaunan) murca saka ngembanan (kayu-kayuan).
2.  Karo, mulai 2 Agustus, berusia 23 hari. Palawija mulai tumbuh, pohon randu dan mangga, tanah mulai retak/berlubang. Penampakannya/ibaratnya: bantala (tanah) rengka (retak).
3.  Katiga, mulai 25 Agustus, berusia 24 hari. Musimnya/waktunya lahan tidak ditanami, sebab panas sekali, yang mana Palawija mulai di panen, berbagai jenis bambu tumbuh. Penampakannya/ibaratnya: suta (anak) manut ing Bapa (lanjaran).
4.  Kapat, mulai 19 September, berusia 25 hari. Sawah tidak ada (jarang) tanaman, sebab musim kemarau, para petani mulai menggarap sawah untuk ditanami padi gaga, pohon kapuk mulai berbuah, burung-burung kecil mulai bertelur. Penampakannya/ibaratnya: waspa kumembeng jroning kalbu (sumber).
5.  Kalima, mulai 14 Oktober, berusia 27 hari. Mulai ada hujan, selokan sawah diperbaiki dan membuat tempat mengalir air di pinggir sawah, mulai menyebar padi gaga, pohon asem mulai tumbuh daun muda, ulat-ulat mulai keluar. Penampakannya/ibaratnya: pancuran (hujan) emas sumawur (hujannya) ing jagad.
6.  Kanem, mulai 10 Nopember, berusia 43 hari. Para petani mulai menyebar bibit tanaman padi di pembenihan, banyak buah-buahan (durian, rambutan, manggis dan lain-lainnya), burung blibis mulai kelihatan di tempat-tempat berair. Penampakannya/ibaratnya: rasa mulya kasucian (sedang banyak-banyaknya buah-buahan).
7.  Kapitu, mulai 23 Desmber, usianya 43 hari. Benih padi mulai ditanam di sawah, banyak hujan, banyak sungai yang banjir. Penampakannya/ibaratnya: wisa kentar ing ing maruta (bisa larut dengan angin, itu masanya banyak penyakit).
8.  Kawolu, mulai 4 Pebruari, usianya 26 hari, atau 4 tahun sekali 27 hari. Padi mulai hijau, uret mulai banyak. Penampakannya/ibaratnya: anjrah jroning kayun (merata dalam keinginan, musimnya kucing kawin).
9.  Kasanga, mulai 1 Maret, usianya 25 hari. Padi mulai berkembang dan sebagian sudah berbuah, jangkrik mulai muncul, kucing mulai kawin, cenggeret mulai bersuara. Penampakannya/ibaratnya: wedaring wacara mulya ( binatang tanah dan pohon mulai bersuara).
10.Kasepuluh, mulai 26 Maret, usianya 24 hari. Padi mulai menguning, mulai panen, banyak hewan hamil, burung-burung kecil mulai menetas telurnya. Penampakannya/ibaratnya: gedong minep jroning kalbu (masa hewan sedang hamil).
11.Desta, mulai 19 April, berusia 23 hari. Seluruhnya memanen padi. Penampakannya/ibaratnya: sotya (anak burung) sinara wedi (disuapi makanan).
12.Saya, mulai 12 Mei, berusia 41 hari. Para petani mulai menjemur padi dan memasukkan ke lumbung. Di sawah hanya tersisa dami. Penampakannya/ibaratnya: tirta (keringat) sah saking sasana (badan) (air pergi dari sumbernya, masa ini musim dingin, jarang orang berkeringat, sebab sangat dingin).

“Memayu hayuning buwana / Amung sami adremi nengga / Sabda Gusti hing wasana / Nemahi jaman buwana yudha / Ilanging bumi sakabehe / Nuli ganti alam lestari / Ojo nganti padha rugi.”

"Apabila bumi digoncangkan dengan goncangannya (yang dahsyat), dan bumi telah mengeluarkan beban-beban berat (yang dikandung)nya, dan manusia bertanya: "Mengapa bumi (jadi begini)?", pada hari itu bumi menceritakan beritanya, karena sesungguhnya Rabbmu telah memerintahkan (yang demikian itu) kepadanya Pada hari itu manusia keluar dari kuburnya dalam keadaan yang bermacam-macam, supaya diperlihatkan kepada  mereka (balasan) pekerjaan mereka. Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan seberat dzarrahpun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula.”

0 comments: