Monday, April 16, 2012

Perikehidupan didalam Karaton Surakarta

KEHIDUPAN DUNIA

KARATON KASUNANAN SURAKARTA



        Khusus istilah Karaton di solo yang merupakan tempat kediaman ratu/raja, mememiliki beberapa arti. Pertama berarti kerajaan atau negara, kedua berarti pekarangan raja yang meliputi wilayah di dalam tembok yang mengelilingi halaman Baluwerti, ketiga pekarangan termasuk alun-alun. Karaton, merupakan bangunan yang unik karena ukurannya yang paling luas dibanding bangunan lainnya di lingkungan Karaton. Bangunannya bersifat khusus, monopoli raja. Maka dari itu misalnya, penguasa Kadipaten tidak diperkenankan duduk di dhampar (tempat duduk berbentuk segi empat tanpa sandaran dan tanganan serta khusus untuk raja pada waktu pertemuan-pertemuan resmi), tidak diizinkan memiliki alun-alun, Bale Witana, di samping tidak berhak memutuskan hukuman mati. Maka, alun-alun dan Sitihinggil hanyalah untuk nama-nama yang berhubungan dengan bangunan yang dimiliki Karaton.

        Paku Buwana adalah yang mendirikan Karaton Surakarta di tahun 1746, untuk mengganti Karaton Kartosura yang telah hancur karena serangan musuh, yang semula adalah pusat kerajaan Mataram. Setelah mendiami Karaton Surakarta selama 3 (tiga) tahun, ia wafat (1749) dan penggantinya memerintah sebagai raja Mataram sampai tahun 1755. Karaton Surakarta pernah berkedudukan sebagai pusat kerajaan Mataram selama 9 (sembilan) tahun, sebab kehadiran residen yang menetap di Surakarta sejak tahun 1755 membawa perkembangan baru pada istana yang bersifat tradisional.

        Mulailah bermunculan gedung-gedung baru gaya barat, namun nama perkampungan seperti Pasar Legi, Pasar Kliwon dan Pasar Pon merupakan petunjuk bahwa kota istana itu pernah terdapat pasar-pasar yang dibuka di waktu-waktu tertentu (hari pasaran : Legi, Paing, Pon, Wage, Kliwon). Pasar itu selain menawarkan barang-barang yang diperlukan istana, sebaliknya juga merupakan sumber pendapatan yang sangat penting bagi penduduk di daerah asal barang-barang itu.

        Dari periode antara tahun 1830-1939, Surakarta diperintah oleh 4 (empat) raja. Pertama, Paku Buwana VII (1830-1858) mengganti keponakannya, Paku Buwana VI (1823-1830) yang seusai perang Diponagara diasingkan oleh pemerintah kolonial ke P. Ambon. Kedua, Paku Buwana VIII (1858-1861) menggantikan adiknya berlainan ibu. Kedua raja ini adalah putra Paku Buwana IV; yang disebut pertama lahir dari permaisuri, sedangkan satunya adalah putra tertua yang lahir dari selir. Ketiga, Paku Buwana IX (1861-1893), putra Paku Buwana VI, dan ke-empat Paku Buwana X (1893-1939), putra Paku Buwana IX.

        Karaton memiliki kebudayaan tersendiri. Berbagai macam lambang diketemukan dalam segala kehidupan, antara lain : bentuk dan cara mengatur bangunan, mengatur penanaman pohon yang dianggap keramat, mengatur tempat duduk, menyimpan dan memelihara pusaka, macam pakaian yang dikenakan dan cara mengenakannya, bahasa yang harus dipakai, tingkah laku, pemilihan warna. Di samping itu Karaton juga melestarikan folklor dan mitos-mitos.

        Ratu Kidul adalah salah satu mitos yang sangat berpengaruh bagi kehidupan komunitas Karaton dan kehidupan rakyat. Sebagai contoh, orang tidak akan pernah mengerti makna tari pusaka Bedhaya Ketawang yang sejak Paku Buwana X naik tahta tarian ini setiap tahun dipergelarkan, tanpa mengenal mitos ratu Kidul. Makna panggung Sanggabuwana akan sulit dipahami termasuk tahayul lampor (suara gaduh yang terbayang terdapat diangkasa, suatu kendaraan Ratu Kidul yang diiringkan oleh roh-roh halus menuju ke utara, gunung Merapi). Mitos lain yang akrab dengan Karaton antara lain Ramayana dan Mahabharata yang ritualitasnya dapat dilihat pada pertunjukan wayang kulit, mitos Dewi Sri yaitu dewi padi atau dewi kesuburan. Komunitas Karaton tersusun secara hirarki, dengan raja di puncaknya, lalu para bangsawan, para abdi dalem, para pengiring dan para kawulo.

0 comments: