Monday, April 16, 2012

Pandangan Hidup Jawa Dan Kajian Budaya Jawa

Pandangan hidup



Jawa
Istilah “ Pandangan Hidup Jawa “ di sini mempergunakan pengertian yang longgar, jadi istilah ini dapat saja diganti dengan istilah-istilah lain yang mempunyai arti yang kurang lebih sama, seperti “ Filsafat Jawa “ ( Abdulah Ciptoprawiro ) “ Filsafah Kejawen “ atau istilah lain lagi. Tetapi pandangan hidup Jawa, ini tidaklah identik dengan “ Aliran Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa “ atau “ Islam Abangan “ atau “ Mistik Jawa “ dan lebih-lebih dengan “ ilmu-ilmu klenik “. Sementara itu beberapa istilah lain seperti “ Agama Jawa “atau “ Agama Jawi “ ( Koentjaraningrat ) “ the religion of jawa “  ( Clifford Geertz ) dan lain-lain, itu tidak identik dengan “ Pandangan Hidup Jawa “ sekalipun terlihat adanya beberapa segi persamaan.
Pandangan hidup Jawa bukanlah suatu agama, tetapi suatu pandangan hidup dalam arti yang luas, yang meliputi pandangan terhadap Tuhan dan alam semesta ciptaanNYA beserta posisi dan peranan manusia di dalamnya. Ini meliputi pula pandangan terhadap segala aspek kehidupan manusia, termasuk pula pandangan terhadap kebudayaan manusia beserta agama-agama yang ada.
Dengan meminjam istilah Bung Karno dalam pidato lahirnya Pancasila, pandangan hidup di sini adalah sama dengan Weltanschauung, yang dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia ( 1989 : 1010 ) diberi arti sebagai “Sikap terhadap kebudayaan, dunia dan hubungan manusia dengan alam sekitarnya, serta semangat dan pandangan hidup terdapat pada zaman tertentu”. Jadi selain jelas bahwa pandangan hidup Jawa itu bukan suatu agama, jelas pula bahwa ia pun tidak identik dengan “regiositas Jawa”, karena cakupan pengertiannya lebih luas dari pada itu.
Berbeda dengan pendapat sementara pakar yang menyimpulkan bahwa ciri karakteristik regiositas Jawa dan pandangan hidup Jawa bukanlah sinkretisme tetapi suatu semangat yang saya beri nama tantularisme. Saya namakan demikian karena semangat ini bertumpu pada atau memancar dari ajaran Empu Tantular lewat kalimat kakawin Sutasoma :
Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa, bermacam-macam sebutannya, tetapi Tuhan itu satu-tidak ada kebenaran yang mendua. Kalimat Empu Tantular ini jelas tidak hanya menekankan prinsip dan keyakinan tentang Keesaan Tuhan tetapi juga keesaan kebenaran! Disitulah letak semangat tantularisme yang merupakan inti pandangan hidup Jawa. Semangat semacam ini menjiwai dan menyemangati tidak hanya religiositas Jawa saja tetapi juga semua unsur dan aspek kebudayaan Jawa. Sifat karakteristik budaya Jawa yang religius, non doktriner, toleran, akomodatif dan optimistik itu terbentuk secara kokoh diatas fondasi tantularisme ini.
Budaya Jawa dan pandangan hidup Jawa memang telah dan akan selalu mengalami perubahan dan pergeseran sesuai dengan perkembangan jaman. Tetapi sejarah telah membuktikan bahwa perubahan-perubahan itu selama tidak sampai mencabut pandangan hidup Jawa dari akar dan sumber kekuatannya, yaitu tantularisme, yang adalah juga merupakan kristalisai dari proses sejarah yang amat panjang. Disinilah letak kekuatan budaya Jawa yang harus tetap dipertahankan dengan sadar. Semangat tantularisme yang merupakan sumber kekuatan Jawa itu sebenarnya bukan hanya cocok untuk orang Jawa. Ia bersifat universal. Oleh karena itu tantularisme juga merupakan sumbangan yang sebenarnya amat diperlukan oleh umat manusia sekarang ini
Permusuhan dan perang antar etnik; persaingan, kebencian dan kecemburuan antar pemeluk agama yang telah mengorbankan beribu-ribu nyawa manusia yang senantiasa terjadi sampai sekarang ini, semuanya akan dapat diredam oleh semangat tantularisme yang damai, sejuk dan bernafaskan asih ing sasami. Tantularisme memancarkan cinta kasih kepada sesama, yang juga diajarkan oleh semua agama yang dipeluk oleh orang-orang yang membenci itu! Islam, Kristen, Hindu, Budha, Sikh, dan lain-lain, semuanya mengajarkan cinta kasih kepada sesama; sementara itu banyak pemeluknya saling membenci dan bermusuhan! Atas nama agama ?????????

SINKRETISME JAWA 

Seperti telah  dinggung di muka, kebanyakan pakar dan pengamat budaya Jawa berpendapat bahwa ciri karakteristik pandangan Jawa adalah sinkretisme. Namun cukup banyak pula pengamat yang tajam penglihatannya, meragukan kesimpulan semacam itu.
Pengamatan yang tajam akan dapat melihat bahwa kecenderungan yang paling menonjol dalam budaya Jawa bukanlah kecenderungan sinkretik yang berupa kecenderungan atau semangat untuk membangun suatu sistem kepercayaan ( termasuk agama ) baru dengan menggabungkan unsur-unsur yang berasal dari sistem-sistem kepercayaan yang telah ada.
Para pengamat yang menyangkal sinkretisme sebagai ciri karektistik pandangan Jawa itu, mencoba mencari istilah-istilah lain yang dianggap lebih tepat, seperti istilah mosaik ( Abdulah Ciptoprawiro ), coalition ( Gonda ) atau sekedar “ Percampuran “ atau Vermenging ( Kern ) istilah-istilah lain lagi yang juga dipakai oleh sementara pakar sebagai pengganti istilah “ sinkretisme “ adalah amalgamtion, blending, fusi atau fusion ( peleburan ) dan lain-lain.
Memang dalam pengamatan sinkretisme bukanlah ciri karaktistik pandangan Jawa, gejala sinkretisme dapat kita temui dimana-mana. Juga dalam berbagai agama yang kita kenal sekarang ini, bahkan dalam A Distionary Of Comparative Religion dinyatakan bahwa hanya sedikit saja agama yang benar-benar bebas dari sinkretisme. Di kalangan masyarakata Jawa, kecenderungan sinkretisme memang ada kecenderungan itu cukup besar, tetapi adalah tidak benar kalau disimpulkan bahwa sinkretisme adalah merupakan ciri karaktistik pandangan hidup Jawa, yang betul-betul merupakan ciri karaktistik menurut penghayatan saya adalah semangat tantularisme itu.
Istilah “ tantulisme “ ini masih baru dan tentunya masih asing bagi para pakar budaya Jawa. Sekalipun istilahnya baru, tetapi sebenarnya tuntalisme adalah semangat yang sudah sejak jaman dahulu tumbuh subur dikalangan masyarakat Jawa. Berbagai istilah alternatif terhadap sinkretisme tersebut bisa dipersepsikan semangat yang terdapat di dalam dan merupakan ciri karetistik pandangan Jawa.Istilah-istilah tersebut terkesan hanya menunjuk pada bentuk dan proses yang terjadi, bukan pada semangat. Istililah-istilah tersebut juga tidak mampu menunjuk secara tegas perbedaan yang mendasar dengan sinkretisme.
Prof. J.H.C Kern telah menuangkan pendapatnya melalui karangannya “ Over de Vermenging Van Civaisme en Buddhisme op Java, Naar aanleiding van het Oudjavaasch gedicht Sutasoma “ hanya terpukau pada proses percampuran atau vermenging antar dua agama yang menjadi obyek penelitiannya, yaitu Civaisme ( Hindu ) dan Buddhisme.



KAJIAN BUDAYA JAWA

.      Pengertian Kajian Budaya Jawa
Kajian Budaya Jawa maksudnya penyelidikan atau penelitian sexara mendalam tergadap budaya yang merupakan kebiasaan dan selalu dilakukan oleh manusia atau masyarakat Jawa.
Konsepsi tentang manusia sebagai satu-satunya organism yang merupakan  makhluk pembentuk kebugayaan, mengakui bahwa kebudayaan bersifat universal dan atribut dari semua manusia.
B.      Masalah Kebudayaan
Pengertian “kebudayaan” banyak ragamnya lebih dari 150 definisi. Pengertian kebudayaan awalnya dari kata yunani “cplore, culture” dalam bahasa inggris disebut culture(kebudayaan)
Definisi kebudayaan yang telah diutarakan para pakar adalah
1.       Clifford Geertz
Greetz berpendapat bahwa jebudayaan merupakan pengetahuan manusia yang diyakini kebenarannya oleh orang yang bersangkutan dan diselimuti serta menyelimuti perasaan-perasaan dan emosi emosi manusia serta menjadi sumber bagi system penilaian sesuatu yang baik dan buruk
2.       Koentjaraningrat berpendapat bahwa budaya berasal dari kata buddhayah (sanskerta) nemtuk jamak dari buddhi ,budi/akal. Jadi kebudayaan berarti hal-hal yang bersangkutan dengan budi dan akal.
3.       Zaetmulder berpendapat bahwa kebudayaan merupakan perkembangan dari majemuk budi-daya artinya dari budi, kekuatan dari akal
4.       Haryanti Soenadio menjelaskan kebudayaan merupakan sisitim nilai dan gagasan utama sebagai hakikat kebudayaan terwujud dalam tiga system budaya yaitu: system ideology, social, dan system teknologi.
5.       Budiono Herisatoto
Budiono berpendapat kebudayaan bersal dari budi dan daya. Jadi budaya berarti kekuatan batin dalam daya upayanya menuju kebaikan/kesadaran batin menuju kebaikan. Manusia merupakan makhluk berbudaya bahwa kebudayaan merupakan ukuran dalam hidup dan tingkah laku manusia.
6.       Rhe Liang Gie
Kebudayaan diartikan dalam konsep humanistic: budaya “sebagai sesuatu yang membuat lebih bernilai untik ditempuh”
C.      Wujud Kebudayaan
Wujud kebudayaan mencangkup 3 hal yaitu:
1.       Sesuatu yang komplek dari ide-ide, gagasan-gagasan , nilai-nilai,
2.       Akrivutas kelauan berpola dalam masyarakat -> system social masyarakat.
3.       Hasil karya manusia-> bentuk fisik (benda-benda, bangunan)
D.      Isi Kebudayaan
Isi kebudayaan amat komplek dan mencakup berbagai keadaan dan kebutuhan masyarakat, bauk masyarakat tradisional maupun modern yang mencakup masalah
a.       Sistem religi dan upacara keagamaan
b.      Sistem dan organisasi kemasyarakatan
c.       Sistem pengetahuan
d.      Bahasa dan sastra
e.      Kesenian
f.        Sisitem mata pencaharian hidup
g.       Sistem teknologi dan peralatan
Sistem merupakan unsure yang secara teratur saling berkaitan, sehingga membentuk suatu loyalitas(susunan yang teratur dari pandangan: teori,cara,metode)
E.       Suku Bangsa Jawa
Orang-orang yang secara turun menurun memahami adat istiadat Jawa, menggunakan bahasa Jawa dengan berbagai dialeknya dalam kehidupan sehari-hari; bertempat tinggal di Jawa Tengah
F.       Wilayah Budaya Jawa
1.       Derah Jawa Barat/ Tanah Apasundan(sebelah barat sungai Cilosari dan Cytandu) suku bangsa sunda
2.        Daerah Jawa Tengah dan JAWA Timur( sebelah timur kedua sungai di atasà tanah Jawa meliputi: daerah Banyumas, Kudus, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Malang, Kediri
3.       Daerah pesisir dan ujung Timur
Melipuri: Cirebon, Tegal, Pekalongan, Kudus, Demak, Gresik, Surabaya, Madura
G.     Kebudayaan jawa
Pancaran atau pengejawantahan budi manusia jawa yang mencakup kemauan, cita-cita, ide maupun semangat dalam mencapai kesejahteraan, keselamatan, dan lahir batin merupakan salah satu definisi dari kebudayaan jawa. Kedatangan kebudayaan Hindu di jawa melahirkan kebudayaan Hindu-Jawa. Kedatangan kebudayaan Islam di Jawa melahirkan kebudayaan Islam-Jawa. Kebudayaan jawa menjadi sinkretis meliputi unsur-unsur: Pra-Hindu (jawa asli), Hindu Jawa, Islam Jawa, dan Barat Jawa. Barangkali sangat kelihatandan jangan heran apabila manusia jawa sekarang ini cenderung materialistik karena pengaruh budaya barat. Dalam perkembangannya, kebudayaan jawa masih tetap seperti dasar kelahirannya.
Menurut pemikiran-pemikiran lama dapat dirumuskan:
a.       Manusia jawa berkeyakinan kepada Sang Maha Pencipta, penyebab dari segala kehidupan.
b.      Manusia jawa berkeyakinan bahasa manusia adalah bagian dari kodrat alam semesta (makro kosmos). Manusia dengan alam saling mempengaruhi. Tetapi manusia harus sanggup melawan kodrat alam sesuai dengan kehendak cita-cita agar hidup selamat baik di dunia maupun di akherat. Hasil dari perjuangan perlawanan terhadap kodrat alam tersebut berasal dari kemajuan dan kreativitas kebudayaan, sehingga terjalinlah keselarasan dan kebersamaan yang didasarkan pada saling hormat, saling tenggang rasa, saling mawas diri.
c.       Manusia jawa rindu akan kondisi “tatatentremkertaraharja” yaitu suatu keadaan yang damai, sejahtera, aman, sentosa, berdasar pada “kautamaningngaurip” (keutamaan hidup) sehingga manusia jawa berkewajiban untuk “memayuhayuningbawono”.
Kitab-kitab yang menjadi kajian filsafat dan kebudayaan jawa, antara lain: karya-karya sastra Ranggawarsita, Sri Mangkunegara IV, Pakubuwono IV (tiga serangkai pujangga jawa). Juga beberapa contoh lakon wayang seperti Karno Tanding, Bimo Suci.
BUDAYA JAWI KARATON SURAKARTA

Budaya tegesipun uwoh pangolahing budi, inggih menika uwohing pakarti lahir adhedhasar kaluhuran lan kautaman, ugi uwohing pakarti batin, nyaket dhumateng Pangeran ingkang Maha Agung.
Seserepan utawi keterangan (makna) lambang Karaton Surakarta Hadiningrat “Radya Laksana”:
Radya Laksana dumadi saking tembung radya lan laksana. Radya tegesipun negara utawi rasta, inggih menika pantes pinundhi-pundhi. Wondene laksana tegesipun lampah tumindak ingkang temen, rila kanthi terusing batos.
Gambar utawi lambang ingkang katingal ing seratan menika, inggih menika tandha cirinipun Karaton Surakarta Hadiningrat. Dados sinten ingkang mangagem utawi mangangge tandha menika saged winastan “tedhak turuning Nata utawi Abdidalem Karaton Surakarta, utawi sinten kemawon ingkang Ngedhep dhateng Karaton Surakarta”.
Lambang karaton menika awujud lonjong, makutha abrit sarta jene, nglebet lonjong, dhasaran biru, linukis lintang, rembulan, srengenge nyunaraken cahaya, jagad, ing sanginggiling kapaku. Kiwa lan tengen, kapas lan pari, bongkotipun tinangsulan pita pethak abrit. Keteranganipun makaten: Paku, pasemon sarana mrih tansah santosa kukuh lan bakuh kalenggahaning jagad. Inggih santosaning tekad jinurung santosaning kalbu.
Kapas lan pari, lambanging sandhang lan tedha. Inggih kabetahan gesang tata lahir. Sandhang dhawah rumiyin, karana sesambetan kaliyan kasusilan. Kados pundi menawi titah manungsa lirwa ing sandhang? Temtunipun badhe saru dinulu, growing menawi sinawang, Keplasipun dados seanti, mugi kiyat nampi saliring penandhang. Wondene pari ingkang dados lambanging tedha, menika dhawah kalih. Tegesipun ajiwa budaya Jawi, kedah susila, boten nengenaken tedha, utawi tansah subasita boten pegat tapabrata.
Pita pethak abrit, pasemon marga dumadosipun ing donya, inggih mawa pitedah tansah inget dhumateng bapa biyung. Minangka pancadan enget dhateng Gusti Hingkang Hangidini Tumitah. Beblesing makna, inget jejering kawula titah sawantah, ngrumaosi wonten ingkang hamarengaken tumitah, inggih bakuning ancas gesang sageda nyawiji Kawula lan Gusti, utawi manunggaling kawula Gusti
Makna sinandi salebeting lambang Radya Laksana. Makutha menika lambang ageming narendra (nata) ugi dados pasemoning budaya Jawi, gambar makutha ugi dipunwerdeni kagunan utawi kapintenan. Warni abrit lan jene menika warni kasepuhan lahir batin, sabar ing kalbu sareh ing laku. Hawatak hayu, hayom, hayem lan tentrem. Dhasar biru enem (pethak + biru) saged nulak rubeda ingkang asipat agal lan alus. Sanepanipun angkasa (langit) menika wiyar jembar agung pangapurane.
Surya (srengenge) menika dados sumbering gesang ing jagad tumrap sadaya tumitah. Sasangka tegesipun candra utawi rembulan, lambang pepadhang kawimbuh swasana asrep ing wanci dalu.
Sudama tegesipun lintang, sanadyan wanci peteng, lintang abyor saged asung pepadhang. Ateges saged paring daya padhang menawi pinuju nampi bebendu.
Jagad menika inggih jlegering manungsa, inggih wewakiling jagad ageng miwah alit. Inggih menika pesemoning titah manungsa ingkang wajib ngreksa manunggaling ageng alit utawi ngudi nyawiji Jejering Kawula lan Gusti. Paku, dados pasemon amrih tansah bakuh saha kukuh kalenggahaning jagad. Inggih santosaning tekad ingkang jinurung santosaning kalbu.
Kapas lan pari; lambanging sandhang lan tedha, inggih kebetahan gesang tata lahir. Sandhang dhawah rumiyin amargi sesambetan kaliyan kasusilan. Pari ingkang dados lambanging tedha dhawah nomer kalih. Tegesipun ajiwa budaya Jawi kedah susila, boten nengenaken tedha, utawi subsita boten pegat tapa brata.
Pita abrit, dados pasemonipun marga dumadosipun ing alam donya inggih mawa pitedah tansah enget bapa biyung. Minangka pancadan enegt dhumateng Gusti ingkang Hangidini Tumitah. Blebesing makna enget jejering kawula titah sawantah ngrumaosi wonten ingkang nitahaken, mujudsaken baku ancasing gesang nyawiji Kawula lan Gustinipun. (Buku Rujukan: Kajian Budaya Jawa
Radya Laksana = tuntunaning agesang.
Sari-pathi lambang Radya Laksana sayekti dados tuntunaning ngagesang. Sadaya tiyang ingkang mangangge lambang Radya Laksana kedah rila legawa angetrapaken Jiwa Budaya Jawi ingkang sampun kawedhar ing seratan Budaya Jawi Kararton Surakarta nomer 1 dan nomer 2. Sari-pathi lambang Radya Laksana sejatosipun inggih Jiwa Budaya Jawi gagrak Surakarta. Sadaya sentana dalem, abdi dalem, lan sadaya tiyang ingkang remen, cocok, lan mengangge lambang Radya Laksana, wajib anglampahi gesang kanthi tuntunan Budaya Jawi Karaton Surakarta. “Tindakna watak-wantu kang tinemu ing lambang Radya Laksana”, makaten pitutur ingkang mijil saking lambang Radya Laksana.
Babon lambang tuntunaning ngagesang menika wau sejatosipun saking Murwa Wedha Senapaten. Tegesipun, warah utawi tuntunan sampun wonten, hamung dereng tinata wewangunan kacetha kados samenika. Lambang Radya Laksana dipun wiwiti ing jaman Sinuhun Pakoe Boewono X. Sinuhun ugi paring sabda budaya (motto): “Kuncara ruming bangsa dumunung luhuring budaya”.
Sumber Budaya Jawi menika kapendhet saking sifat-sifat jagad raya ingkang wonten ing
 (1) surya,
(2) rembulan,
 (3) kartika,
(4) mendhung,
(5) angin,
(6) banyu,
(7) geni, tuwin
(8) bumi.
Wonten malih Warahdalem Hingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Pakoe Boewono Kaping IX ing Surakarta lan ugi saged kangge tuntunaning agesang para satria Jawi inggih menika: “Mesem lamun denhina, sumingkir lamun hingalembana”. Awon sae binrastha, boten tepang bener luput, jumeneng satengahing jagad, watakipun tentrem. Inggih menika ingkang dipun wastani piwulang adi luhung, dadosa pamecut kridhaning darma salebiting hambangun Jiwa Budaya Sumber Karaton Surakarta, sanadyan dumugi lampahing rodha jaman ing wekdal menika, kaweruh kemajenganing petang nalar utawi pikir bebles sundhul langit, klinthong-klinthong ing angkasa, wira-wiri nyangking wiron ing ratan rembulan, boten saged hamaedahi ing humat manungsanipun, menawi piwulanmg luhur wau boten kangge gondhelan minangka gegaman utawi senjata triwikramaning penggalih jumangkanging sedya runtuting samukawis bab.
MASYARAKAT JAWA


A.     Struktur Masyarakat Jawa
Masyarakat jawa memliki budaya, karakteristik, dan identitasnya secara jelas dan unik. Identitas budaya dijadikan sebagai ciri khas yang dimulai sejak jaman kerajaan. Akan tetapi, di jaman sekarang/modern saat sekarang identitas tersebut telah banyak berubah seiring dengan adanya pengaruh budaya luar, sehingga budaya jawa mengalami erosi. Maka muncul istilah “wong_jowo_ilang_jawane” (orang jawa telah kehilangan identitas jawanya), seperti kehilangan unggah-ungguh (saling hormat menghormati), tradisi budaya, penggunaan bahasa, dan sebagainya.
Orang jawa dibedakan menjadi dua kelompok social ekonomi yaitu:
1.                          Kaum Priyayi, yaitu terdiri dari priyayi rendah (pegawai rendah dan intelektual) dan priyayi tinggi (pejabat)
2.                          Wong cilik, yaitu para petani di pedesaan dan orang-orang yang berpendapatan rendah di kota-kota.

Orang jawa dibedakan menjadi dua kelompok social keagamaan yaitu:
1. Kaum santri, yaitu orang jawa yang hidupnya berusaha sesuai dengan ajaran agama islam (islam aktif dan taat)

2. Kaum abangan, yaitu terdiri orang jawa yang Bergama islam pasif sebagai pemilik tradisi budaya dan non islam, yaitu orang jawa yang telah berpindah dari agama islam ke agama lain.

Orang jawa dibedakan menjadi tiga kelompok secara antropologis:

1. Kaum priyayi, yaitu orang-orang jawa ningrat yang masih memiliki keturunan atau dari keluarga keratin.
2. Kaum santri, orang-orang jawa islam yang hidupnya lebih didominasi pengalaman agama islam.
3. Kaum abangan, yaitu orang jawa yang berasal dari kalangan bawah (bukan santri ataupun bukan priyayi).
Akan tetapi selang beberapa dasa warsa (di era pembangunan sekarang) ketiga kelompok orang jawa tersebut telah membaur dan bersifat saling mempengaruhi, sehingga menjadi: ada priyayi yang memiliki sifat abangan yang cenderung kasar, dahulu seorang abangan kini menjadi santri atau bahkan priyayi.
Manusia jawa dalam interaksinya dalam satu keluarga (lingkup mikro) setiap orang harus dapat membawa diri dan bersikap sesuai prinsip kekeluargaan, misalnya seorang anak harus dapat menghormati kedua orang tua “mbangun_miturut_bapa_biyung”. Orang jawa harus menghormati para leluhurnya “mikul_dhuwur_mendhem_jero” dan lain sebagainya.
 Semuanya itu demi terciptanya memayu_hayuning_salira” (mempercantik perilaku diri). Manusia jawa dalam interaksinya dengan sesama (lingkup mezzo), maka setiap orang harus dapat hormat menghormati, bergaul sesuai dengan prinsip: gotong royong atau kekadangan. Seseorang harus dapat “ajur-ajer” dengan sesamanya, tidak boleh pilih kasih. Pergaulan dengan lingkungan tersebut termasuk didalamnya dengan lelembut (makhluk halus). Makhluk halus menurut kepercayaan manusia jawa diberi hormat dengan sesajen. Karena makhluk halus tersebut dapat mengganggu manusia, bahkan makhluk halus dapat dimintai pertolongan, seperti mencarikan kekayaan, mencari kesaktian, dan lain sebagainya.
Manusia jawa dalam interaksinya dengan lingkungan yang lebih besar atau disebut juga dengan Negara atau pemerintahan (lingkup makro) harus dapt membawa diri dalam bersikap.
B.     PERASAAN ORANG JAWA
Perasaan Orang Jawa Perasaan orang Jawa (tradisional-asli) dapat dibedakan: aji, pakewuh, ajrih, lingsem, isin.
1.       Aji adalah rasa hormat kepada orang yang lebih tinggi derajatnya, pangkatnya, martabatnya. Tidak cuma hormat, bahkan ada yang bercampur rasa kagum.
2.       Pakewuh (basa krama-nya: pakewet) adalah perasaan malu ketika dia harus berhubungan, bergaul, bercampur, bertemu, apalagi minta tolong, kepada orang yang derajat dan pangkatnya lebih tinggi.
3.       Ajrih adalah perasaan malu (bercampur takut) disebabkan karena dirinya merasa telah bersalah, atau telah melakukan sesuatu yang kurang baik, kepada seseorang.
4.       Rasa senang (krama: remen) adalah perasanaan senang, enak, nyaman, khususnya dalam berkomunikasi dengan orang lain yang sederajat.
5.       Tresna adalah rasa senang, cinta, simpati, saat bertemu, bergaul, dengan orang lain, yang biasanya telah akrab.
6.       Gething adalah rasa benci. Biasanya benci disebabkan oleh sifat-sifat buruk seseorang, sehingga dia menjauhi orang tersebut.
Jadi jelas, budaya Jawa (bukan orang Jawa) memiliki budaya malu. Jika bertemu dengan orang yang belum dikenal, maka ada dua kemungkinan. Pertama: orang Jawa akan menghindar, negative thinking. Kedua: bersahabat, aktif, positive thinking. Pada umumnya orang Jawa suka membantu orang lain, sesuai ungkapan dudu sanak dudu kadang, yen mati melu kelangan. Kesimpulannya: tidak semua orang Jawa lamban, tergantung orangnya. Banyak orang Jawa yang berani bertindak tegas dan cepat (trampil-trengginas-tanggap-tanggon).
BAHASA DAN SASTRA
a.       unggah-ungguh  bahasa jawa
Kesantunan berbahasa dalam kaitan dengan tulisan ini diidentikkan dengan penerapan tingkat tutur bahasa Jawa, krama dan ngoko. Tingkat krama mencerminkan tingkatan halus, tingkat ngoko mencerminkan kenetralan, dan di sekitar krama dan ngoko masing masing menunjukkan sifat yang berbeda dari yang sangat halus hingga yang kasar. Pembagian tingkatan bahasa Jawa mengacu pada Sudaryanto (1989:103), yakni krama (h)alus, krama, ngoko (h)alus, ngoko. Sistem tingkatan ini ditandai oleh pemakaian unsur-unsur kosakata (sebut: ragam) krama inggil, krama, dan ngoko. Krama alus memiliki unsur krama, dan krama inggil untuk mitratutur; krama semua unsurnya adalah ragam krama, ngoko alus memiliki unsur ragam ngoko, dan ragam krama inggil untuk mitratutur; dan ngoko hanya memiliki kosakata ragam ngoko. Kosakata ragam ngoko mempunyai jumlah paling banyak. Tidak setiap kata ragam ngoko memiliki padanan dalam ragam krama atau ragam krama inggil, sehingga kosakata ragam ngoko sebenarnya menjadi dasar semua tingkatan dalam bahasa Jawa dan tidak bisa digantikan ragam lain jika memang tidak ada.
Selain kosakata, penanda ragam yang lain yakni penggunaan sapaan krama dan ngoko yang juga diaktualisasikan dalam bentuk prefiks honorifik proklitik (pendahulu verba) sebagai penciri verba persona pasif dan transhierarkinya; dan enklitik (mengikuti nomina) penunjuk milik atau kata ganti milik. Kombinasi antara ragam kosakata, sapaan, dan klitika tersebut membentuk tingkat tutur/unggah-ungguh yang berbeda-beda. Semakin halus ragam yang digunakan semakin halus dan hormat pula pertuturan bahasa Jawa yang ada.
b.      Kitab-Kitab Kasusastran Jawa
1.      kitab kitab Jawa Kuna golongan tua.
Yang tergolng kitab – kitab ini misalnya Candakarana,Ramayana, dan beberapa perwa dalam mahabarata.
2.      Kitab – kitab jawa kuna berbentuk puisi
Yang tergolng kitab – kitab ini misalnya Arjunawiwaha, Braratayuda, dan Nitisastra.
3.      kitab – kitab Jawa Kuna golongan Muda
Yang tergolng kitab – kitab ini misalnya nagarakertagama, Arjunawijaya, dan Nitisastra.
4.      tumbuhnya bahasa jawa tengahan.  
Kitab – kitab yang dihasilkan pada periode ini misalnya Tantu Panggelaran, Calonarang dan Pararaton.
5.      kidung jawa tengahan
Kitab – kitab yang dihasilkan pada periode ini misalnya Dewiruci,Panji Anggraini, dan Sri Tajung.
6.      zaman islam
Kitab – kitab yang dihasilkan pada periode ini misalnya Suluk Sukarsa, Nitisruati dan Menak.
7.       zaman surakarta awal
Kitab – kitab yang dihasilkan pada periode ini misalnya baratayuda, babad Giyanti dan Cemporet.
KESENIAN TRADISIONAL

Berdasarkan lokasi, kesenian tradisional Jawa atau teater rakyat Jawa,  seni rakyat berupa:
a.       Pertunjukan wayang purwa atau wayang kulit purwa
b.      Wayang orang
c.       Ketoprak
d.      Sulap
e.       Tayub
f.       Ludruk
g.       Tarian kuda kepang
Media tradisional tersebut masih cukup ampuh untuk mengenalkan budaya Jawa kepada masyarakat dan salah satu benteng budaya bangsa. Karena dengan terus memelihara dan mengembangkan warisan budaya sendiri, dapat memperkuat kepribadian mempertebal rasa percaya diri yang merupakan kekuatan pembangunan.
a.       Pengertian kesenian tradisonal
Kesenian adalah salah satu penyangga kebudayaan dan berkembang menurut kondisi kebudayaan itu. Kesenian tidak pernah berdiri lepas dari masyarakat. Sebagai salah satu bagian penting dari kebudayaan, kesenian merupakan kreativitas dari kebudayaan dan pada dasarnya semua bentuk seni dianggap berasal dari ritual kuna.
Kesenian tradisional, terdiri atas kesenian tradisional keratin maupun tradisional kerakyatan. Dengan istilah agung dantradisi kecil yaitu pola kebudayaan dari komunitas kecil atau masyarakat pertanian.
Seni merupakan pengembangan seni yang berfungsi mengikat solidaritas rakyat, agar mendukung struktur yang memperkuat kelangsungan supermasi dan gaya hidup keratin, seperti dalam wayang purwa, seni karawitan klasik, seni tari.


b.      wayang purwa
Dalam bahasa Jawa, WAYANG berarti “ BAYANGAN “ / “ WEWAYANGAN “(SHADOW ).Dan jikaditinjau dari arti filsafatnya “WAYANG”diartikan sebagai Bayangan pencerminan dari sifat-sifat yang ada dalam jiwa manusia.
Wayang tercipta karena adanya pikiran dan imajinasi manusia untuk menggambarkan ROH nenek moyang pada saat itu ( jaman NEOLITHIKUM )di Nusantara ( Indonesia ).Dan dipergunakan untuk upacara-upacara tertentu. Wayang timbul diperkirakan pada tahun 1500 SM, sebelum masuknya ajaran HINDHUISME ke Nusantara.
Sampai pada awal berdirinya kerajaan Demak, wayang banyak mengalami perubahan dalam penyempurnaan pada tahun 1437 M. Dan mengalami penyempurnaan lagi pada awal berdirinya kerajaan Mataram Islam, seperti yang terlihat sampai sekarang. Wayang itu sendiri terkandung beberapa segi aspek seni didalamnya, antara lain:
1.Seni Tari
2.Seni Rupa & Kriya
3.Seni Drama/teater
4.Seni Musik
5.Seni Sastra
6.Seni Suara.
Dari ke 6 segi itu akan nampak jelas pada saat wayang dimainkan dalam suatu pertunjukan.Pada tahun 2003 dan November 2005 , Badan Dunia UNESCO telah menetapkan seni wayang sebagai salah satu dari 90 mahakarya seni dunia.
Wayang tidak hanya dinikmati oleh orang jawa (Indonesia)saja, tapi juga diminati dan digemari oleh orang-orang Asing manca negara. Bahkan dari segi bentuk wayang tradisional ( klasik)-pun ,oleh imajinasi Seniman dikreasi menjadi seni KONTEMPORER,dan tetap pada ciri khas dari Klasik-nya. danmenambah khasanah seni wayang yang adilihung.
ADAT ISTIADAT JAWA

Perayaan  Sekaten

Upacara Tradisi Sekaten merupakan salah satu tradisi yang hingga sekarang masih dilestarikan dan dipertahankan oleh Keraton Kasunanan Surakarta yang terletak di Kelurahan Baluwarti Kecamatan Pasar Kliwon. Upacara Tradisi ini adalah warisan nilai budaya yang dilaksanakan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka. Pada mulanya upacara tersebut diselenggarakan tiap tahun oleh raja-raja di Tanah Hindu, berwujud selamatan atau sesaji untuk arwah para leluhur yang diselenggarakan dalam dua tahap.
Tahap pertama disebut Aswameda, yaitu tahap dimana sesaji diselenggarakan selama enam hari, yang dilakukan dengan doa-doa dan nyanyian pujian disertai dengan tetabuhan yang mengandung arti memuja arwah para leluhur, untuk memohon berkat dan perlindungan. Kemudian tahap kedua disebut Asmaradana, yang diselenggarakan pada hari ke tujuh dan merupakan penutup tahap yang pertama. Dalam tahap yang kedua ini diselenggarakan pembakaran dupa besar, yang disertai dengan mengheningkan cipta atau semedi. Dengan masuknya agama dan pengaruh Hindu ke Jawa, maka upacara Aswameda dan Asmaradana maka masuk pula ke dalam kehidupan budaya Jawa. Dan pada jaman Hindu Jawa, raja-raja Jawa juga melestarikan upacara yang diwarisi tersebut.
Tradisi selamatan atau sesaji tersebut diselengggarakan pula oleh raja-raja Majapahit. Mula-mula upacara Aswameda dan Asmaradana itu diselenggarakan di candi-candi, tempat abu leluhur mereka disimpan. Sejak pemerintahan baginda Raja Hayam Wuruk, upacara selamatan dan sesaji Aswameda dan Asmaradana itu tidak lagi diselenggarakan di candi-candi seperti yang dilakukan oleh raja-raja terdahulu, melainkan di tengah-tengah kota. Hal ini terbukti dengan penyelenggaraan upacara untuk mendiang Ibu Suri Baginda Sri Wishnu Wardani. Upacara sesaji untuk arwah para leluhur, yang disebut srada. Oleh Prabu Hayam Wuruk diselenggarakan selama tujuh hari dam tiap-tiap hari, ganti-berganti, para raja di bawah kekuasaan kerajaan Majapahit mempersembahkan sumbangannya dengan membawa bermacam-macam keramaian.
Pada jaman pemerintahan Sang Prabu Brawijaya V, yang disebut jaman Majapahit terakhir, upacara sesaji tahunan tersebut masih tetap dilaksanakan dengan keramaian yang agak besar. Prabu Brawijaya memiliki satu perangkat gamelan yang sangat tersohor, dikenal dengan nama Kanjeng Kyai Sekar Delima, yang tiap tahun dibunyikan orang untuk memeriahkan keramaian itu. Oleh rakyat, gamelan tersebut dianggap sangat bertuah dan keramat.
Konon, putra Sang Prabu Brawijaya V yang bernama Raden Patah menjadi Adipati di Bintara telah memeluk agama baru, yaitu Islam. Sang Prabu Brawijaya V mendengar berita bahwa Raden Patah akan menyerbu Kerajaan Majapahit, bila Sang Prabu Brawijaya tidak bersedia masuk agama Islam. Berita semacam itu diterima Prabu Brawijaya V dengan sangat sedih. Untuk mengatasi kesedihan yang sangat mengganggu ketenteraman jiwa itu membuat Prabu Brawijaya V bersemedi atau bertapa selama dua belas hari, memohon kepada para dewa agar Raden Patah membatalkan niatnya untuk menyerbu Majapahit, dan memohon kerajaan dan rakyatnya senantiasa dalam keadaan aman, tenteram, dan sejahtera.
Sementara itu para ahli gending di Kerajaan Majapahit lalu menciptakan lagu-lagu untuk dialunkan melalui gamelan milik baginda, yang tujuannya untuk menghibur hati Sang Prabu Brawijaya agar tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Mendengar lantunan suara lagu-lagu melalui gamelan pusaka kerajaan itu hati baginda bukannya menjadi terhibur melainkan malah bertambah sedih. Karena lagu tersebut mengalunkan kesedihan yang menyayat hati bagaikan kinjeng tangis yang merintih-rintih dengan lengking tangisnya di tengah hari. Mendengar bunyi gending-gending baru itu baginda raja bahkan membayangkan nasib buruk yang akan dialami Kerajaan Majapahit kelak. Para ahli gending yang mengetahui akibat yang ditimbulkan oleh gending-gending baru itu bukannya membuat senang hati baginda, melainkan bahkan membuat baginda makin sedih. Maka mereka menyuruh para niyaga memukul gamelan itu keras-keras, dengan irama yang diperhitungkan dapat membangkitkan gelora semangat baginda.
Demikianlah pemukulan gamelan tersebut kemudian menggunakan irama bertingkah. Kadang-kadang keras gemuruh laksana gamelan lokananta dengan irama membangkitkan jiwa bergejolak. Dan kadang-kadang lemah lembut mengalun dan menyayat hati. Gamelan kerajaan Majapahit yang dinamakan Kanjeng Kyai Sekar Delima tersebut lalu dinamakan Sekati, karena dapat menambah Sang Prabu Brawijaya seseg ati (sesak hati).
Dalam abad ke-14 agama Islam mulai berkembang di tanah Jawa. Dengan pemuka agama yang dalam Agama Islam disebut wali. Para wali di Jawa ini terkenal ada sembilan orang, karena itu disebut wali. Nama mereka masing-masing adalah Sunan Ampel, Sunan Bonang, Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, Sunan Muria, Syeh Maulana Maghribi, Syeh Siti Jenar. Tiap-tiap tahun para wali itu mengadakan pertemuan di kota Demak. Pertemuan tahunan tersebut diselenggarakan pada bulan Rabiul Awal, tanggal 6 sampai dengan tanggal 12, dan hari yang terakhir itu diselenggarakan keramaian besar untuk merayakan hari lahir Nabi Muhammad SAW.
Adapun yang dibicarakan dalam pertemuan tahunan tersebut antara lain adalah laporan dari para wali penyebar agama Islam tentang hasil kerja mereka di daerah mereka masing-masing, dan politik umat Islam terhadap rakyat yang masih beragama Hindu. Selain itu kesempatan tersebut juga digunakan pula untuk memberikan pelajaran-pelajaran dan penjelasan tentang ajaran agama Islam terhadap keluarga dan penganut-penganutnya.
Berkat kerja keras para wali, sebagai langkah kemajuan agama Islam, maka di Demak didirikan sebuah masjid besar, yang dipandang berkeramat karena mengandung nilai sejarah. Berdirinya masjid besar di Demak itu diperingati dengan surya sengkala Kori trus gunaning janmi, yang menunjukkan angka tahun 1399 Saka. Sementara itu usaha penyebaran agama Islam makin ditingkatkan. Kesukaran yang mereka rasakan karena rakyat pada waktu itu masih banyak yang menganut agama Hindu, seperti yang dianut oleh rakyat Kerajaan Majapahit. Dengan demikian, bila tidak dilakukan dengan bijaksana, akan mempersulit usaha-usaha memperluas perkembangan agama Islam. Para wali mengetahui bahwa rakyat dari Kerajaan Majapahit masih sangat dekat dengan kesenian dan kebudayaannya, antara lain gemar sekali akan bunyi gamelan dan keramaian-keramaian yang bersifat keagamaan Hindu.
Demi keberhasilan penyebaran agama Islam di Jawa, maka atas saran Kanjeng Sunan Kalijaga, para wali lalu mengatur penyelenggaraan peringatan Maulud Nabi Muhammad SAW dengan cara yang disesuaikan dengan tradisi rakyat pada waktu itu. Oleh karena rakyat menggemari kesenian Jawa dengan gamelannya, maka perayaan untuk memperingati hari kelahiran Nabi selanjutnya tidak lagi menggunakan kesenian rebana melainkan dengan kesenian gamelan. Untuk melaksanakan hal itu Sunan Kalijaga membuat seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai Sekati.
Untuk memeriahkan perayaan itu, maka ditempatkanlah gamelan Kyai Sekati di halaman Masjid Demak. Gamelan itu dipukul bertalu-talu tidak henti-hentinya, mula-mula dengan irama dan suara lembut dan halus, lama kelamaan dipukul keras-keras. Karena tertarik dengan bunyi gamelan yang nyaring mengalun tersebut, maka orang-orang dari berbagai penjuru datanglah berduyun-duyun ke pusat kota, sehingga alun-alun kerajaan Demak menjadi penuh sesak dibanjiri orang yang ingin menikmati kesenian gamelan dan menyaksikan keramaian yang diselenggarakan. Keramaian itulah yang kemudian disebut sekaten, dan yang sampai sekarang masih dilestarikan. Sementara itu para wali berganti-ganti memberikan wejangan dan ajaran tentang agama Islam di mimbar yang didirikan di depan gapura masjid.
Orang banyak yang datang tersebut itu diperbolehkan juga masuk ke dalam serambi masjid, tetapi harus terlebih dahulu syahadatain, yang di dalam bahasa Jawa disebut sahadat kalimah loro. Di halaman masjid itu, orang –orang disuruh membasuh tangan, muka dan kaki mereka dengan air kolam luar serambi masjid. Demikianlah keramaian sekaten itu diselenggarakan sekali dalam setahun tiap bulan Rabiul Awal, dari tanggal 6 sampai dengan tanggal 12.
Untuk mengetahui asal mula sekaten yang tiap tahun diadakan di Keraton Kasunanan Surakarta, maka harus memulainya dari jaman Demak. Kerajaan Demak merupakan kerajaan Islam yang di Jawa yang berdiri setelah Majapahit runtuh pada tahun 1400 Saka atau 1478 Masehi. Keruntuhan Majapahit diperingati dengan candrasengkala ”Sirna Hilang Kertaning Bumi”. Berakhirnya Kerajaan Majapahit berarti berakhir pula Kerajaan Hindu di Jawa, di bawah pemerintahan Prabu Brawijaya V. Raja Demak yang pertama adalah Raden Patah yang bergelar Sultan Bintara.
Sebagai Raja Islam, Sri Sultan Bintara tidak berhenti berdaya upaya untuk memajukan tersiarnya agama Islam di seluruh kerajaan. Sultan Bintara selalu memikirkan bagaimana agar agama Islam dapat menyinari semua pelosok negeri, dan bagaimana orang-orang yang telah memeluk agama Hindu itu akan insyaf dan meyakini kebenaran ajaran Islam.
Raden Patah akhirnya mengadakan suatu pertemuan dengan para wali yang berjumlah sembilan, diantaranya adalah Sunan Ampel (Raden Rahmad), Sunan Gresik (Malik Ibrahim), Sunan Giri (Raden Paku), Sunan Bonang (Makdum Ibrahim), Sunan Kudus, Sunan Muria, Sunan Kalijaga, Sunan Drajat, dan Sunan Gunung Jati. Untuk membahas cara menyiarkan Islam di tanah Jawa, Sunan Kalijaga mempunyai usul tentang penyiaran agama Islam agar diterima oleh masyarakat yang sejak dahulu memeluk agama Hindu. Usul Sunan Kalijaga tersebut adalah dengan membiarkan tetap dilaksanakannya adat atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam, misalnya:
1) Semedi
Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada dewa-dewa. Karena agama Islam tidak mengenal dewa, maka diganti dengan memuja Allah SWT dengan sholat.
2) Sesaji
Sesaji menurut agama Hindu mempunyai maksud memberi makanan kepada dewa-dewa dan jin, agar sesuai dengan ajaran Islam diganti dengan zakat fitrah pada fakir miskin.
3) Keramaian
Dalam agama Hindu keramaian mempunyai maksud menghormat kepada dewa-dewa, diganti keramaian menghormat hari-hari raya Islam.
Karena orang Jawa suka gamelan, maka pada hari raya Islam yaitu hari lahirnya Nabi Muhammad SAW, sebaiknya dalam masjid juga diadakan gamelan, agar orang-orang tertarik. Jika sudah berkumpul kemudian diberi pelajaran tentang agama Islam. Dan untuk keperluan itu para wali menciptakan seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai Sekati.
Usul dari Sunan Kalijaga tersebut disepakati oleh wali yang lainnya dan Raden Patah, yaitu pada hari lahir Nabi Muhamad yaitu pada 12 Mulud, dalam masjid dipukul gamelan. Tanggal 12 Mulud selain merupakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW juga merupakan hari wafat beliau. Ternyata banyak orang yang berduyun-duyun datang ke masjid untuk mendengarkan bunyi gamelan. Orang-orang tersebut datang ke masjid walaupun rumahnya jauh, sehingga mereka bermalam di alun-alun atau sekitar masjid.
Pada hari kelahiran Nabi Muhammad SAW tersebut, selain rakyat, para bupati pesisir juga datang ke kota kerajaan untuk memberi sembah pada raja. Mereka datang beberapa hari sebelum tanggal 12 Mulud dan membuat rumah di alun-alun untuk bermalam. Pada tanggal 12 Mulud tersebut, bupati menghadap raja dan kemudian menggiring raja ke masjid. Karena banyaknya orang yang menggiring raja tersebut, timbul perkataan ”Garebeg” yang berasal dari kata ”anggrubyung” yang berarti menggiring.
Orang-orang yang datang di halaman masjid itu disuruh untuk mendengarkan pidato-pidato tentang ajaran agama Islam yang mudah-mudah dahulu. Pertama mereka diberi tahu maksudnya syahadat dan bagaimana bunyinya. Dari itulah timbul kata sekaten yang berasal dari bahasa Arab ”syahadatain”. Kalimat syahadat merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: tiada Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Kalimat syahadat itu juga ditulis di atas pintu gerbang masjid. Karena banyak orang yang datang berduyun-duyun ke masjid dan banyak yang bermalam, maka banyak pula orang yang berjualan di sekitar masjid dan alun-alun.
Sekaten selain berasal dari kata syahadatain, juga berasal dari kata:
1) Sahutain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng.
2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan karena watak tersebut sumber kerusakan.
3) Sakhotain : menamankan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan.
4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai hal-hal yang baik dan buruk.
5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.
Tradisi sekaten yang dirayakan untuk memperingati hari lahir Nabi Muhammad SAW tersebut tetap dilestarikan oleh raja-raja yang memerintahkan berikutnya hingga masa Mataram. Pada jaman kerajaan Mataram hingga akhirnya pindah ke Surakarta, sekaten diadakan untuk kepentingan politik, yaitu mengetahui kesetiaan para bupati yang ada di wilayah kerajaan. Pada perayaan sekaten para bupati harus datang untuk menyerahkan upeti dan menghaturkan sembah baktinya kepada raja. Apabila bupati tersebut berhalangan hadir, maka harus diwakili oleh pihak kerajaan. Hal itu dilakukan karena bila bupati tidak hadir pada perayaan sekaten diartikan sebagai bentuk pembangkangan terhadap raja.
Perayaan sekaten yang diadakan oleh kerajaan Mataram, selain bertujuan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad SAW juga untuk menunjukkan bahwa raja yang berkuasa masih ada hubungan dengan Nabi Muhammad, utusan Allah. Sekaten juga berperan di bidang politik dan ekonomi, karena dengan adanya sekaten para bupati mancanagari harus datang memberi upeti dan kehadirannya di upacara sekaten sebagai tanda kesetiaan kepada raja yang memerintah. Dengan perkembangan jaman, sekaten juga dimanfaatkan dalam sektor perdagangan. Perayaan sekaten sebagai ladang masyarakat untuk berdagang dan semakin membuat marak perayaan sekaten. Selain untuk mendengarkan gamelan, para pengunjung dapat membeli berbagai makanan khas sekaten, juga mainan anak-anak.




0 comments: