Monday, April 16, 2012

Ilustrasi Bentuk Bangunan Jawa versi Karaton Surakarta

Rumah Jawa
  Bangunan adat rumah jawa
Di dalam masyarakat Jawa, baik sebagai sentana, abdi maupun kawula dalem, walaupun tidak tertulis, secara tradisinal tidak dibenarkan melakukan pelanggaran terhadap pranata-pranata sosial masyarakat. Misalnya tata aturan sopan santun, tingkah laku, gaya hidup, tata cara pergaulan dan rumah tempat tinggal pun termasuk dalam aturan tersebut dan dibuat secara hierarkis.
Dalam interaksi sosial, misalnya kawula dalem sering merasa sulit untuk dapat bergaul secara bebas dan langsung dengan sentana atau abdi dalem tinggkat tinggi. Di lain pihak para sentana dan abdi dalem tersebut sering bertindak mempertinggi diri dan menjaga ketertiban stratifikasi sosial secara ketat.
Dalam suasana kehidupan feodal, sebagai raja, mislnya tidak dbenarkan membangun rumah tempat tinggal (dhatulaya, istana) dengan menggunakan bangun sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangun limasan atau joglo atau kampung tetapi sebaliknya menggunakan bangun sinom mangkurat untuk Sasana Prabasuyasa. Bangun limasan  atau joglo hanyalah untuk bangunan pelengkap saja, misalnya untuk kantor, pertemuan, perlengkapan, paseban dan sejenisnya. Bagi golongan ningrat (bangsawan sentana dalem) dan abdi dalem derajat tertentu berhak membuat rumah tempat tingga; dengan bentuk limasan, sinom, ataupun joglo. Sedangkan untuk bangunan pelengkap boleh membuat bangun rumah yang lain yang tingkatannya lebih rendah, misalnya daragepak, sethong, kalabang nyander, dan sebagianya (Narpawandawa, 1935:91-94).
Aturan tersebut didasarkan pada kedudukan sosial pemiliknya yang merupakan simbol ststus bagi pemiliknya golongan raja, jogiswara, abdi dalem dan sentana dalem termasuk strata atas. Golongan ini dianggap sebagai golongan penguasa dan bahkan suci, maka bangunan bangunan rumah tempatnya harus meniru bangunan suci; tinggi (seperti gunung suci); besar (seperti dunia yang luas);bersekat-sekat seperti candi, pura atu bangunan suci lainnya (ada tempat-tempat yang profan, sakral dan paling sakral). Bentuk bangunan rumah dikompleks istana (dhatulaya) dalam batas-batas tertentu boleh dicontoh oleh para sentana dan abdi dalem, tetapi dilarang bagi kawula dalem.
Kita ketahui bahwa bangunan pokok rumah adat Jawa ada lima macam, yaitu: panggung pe, kampung, limasan, joglo dan tajug. Namun dalam perkembangannya, jenis tersebut berkembang menjadi berbagai jenis bangunan rumah adat Jawa, hanya bangunan dasarnya masih tetap berpola dasar bangunan yang lima tersebut (Narpawandawa, 1937-1938).
Di dalam bangunan rumah adat Jawa tersebut ditentukan ukuran, kondisi perawatan rumah, kerangka, dan ruang-ruang di dalam rumah serta situasi di sekeliling rumah, yang dikaitkan dengan status pemiliknya. Di samping itu, latar belakang sosial, dan kepercayaannya ikut berperanan. Agar memperoleh ketentraman, kesejahteraan, kemakmuran, maka sebelum membuat rumah di’petang’ (diperhitungkan) dahulu tentang waktu, letak, arah, cetak pintu utama rumah, letang pintu pekarangan, kernagka rumah, ukuran dan bengunan rumah yang akan dibuat, dan sebagainya. Di dalam suasana kehidupan kepercayaan masyarakat Jawa, setiap akan membuat rumah baru, tidak dilupakan adanya sesajen, yaitu bensa-benda tertentu yang disajikan untuk badan halus, danghyang desa, kumulan desa dan sebagainya, agar dalam usaha pembangunan rumah baru tersebut memperoleh keselamatan (R. Tanaya, 1984:66-78).
Dalam perkembangan selanjutnya, bangunan rumah adat Jawa berkembang sesuai dengan kemajuan. Berdasarkan tinjauan perubahan atapnya, maka terdapatlah bangunan rumah adat Jawa sebagai berikut.
Bangunan model/bentuk Panggung Pe dalam perkembangannya terdapat bangunan Panggung Pe (Epe), Gedong Selirang, Panggung Pe Gedong Setangkep, Cere Gancet, Empyak Setangkep, Trajumas, Barongan, dan sebagainya. Dari bangunan rumah kampung berkembang menjadi bangunan rumah kampung, Pacul Gowang, Srotong, Daragepak, Klabang Nyander, Lambang Teplok, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Gajah Jerum, Cere Gancet Semar Tinnadhu, Cere Gancet Semar Pinondhong, dan sebagainya. Dari bangunan Rumah Limasan berkembang menjadi bentuk rumah Limasan Lawakan, Gajah Ngombe, Gajah Jerum, Klabag Nyonder, Macan Jerum, Trajrumas, Trajrumas Lawakan, Apitan, Pacul Gowang,  Gajah Mungkur, Cere Goncet, Apitan Pengapit, Lambang Teplok Semar Tinandhu, Trajrumas Rambang Gantung, Lambangsari, Sinom Lambang Gantung Rangka Usuk Ngambang, dan sebagainya. Dari perkembangan bangunan rumah Joglo terdapatlah bangunan rumah Joglo, Joglo Limasan Lawakan atau Joglo Lawakan, Joglo Sinom, Joglo Jampongan, Joglo Pangrawit, Joglo Mangkurat, Joglo Wedeng, Joglo Semar Tinandhu, dan sebagainya. Dari jenis tajug dalam perkembangannya terdapatlah bangunan rumah tajug (biasa untuk rumah ibadah), tajug lawakan lambang teplok, tajug semar tinandhu, tajug lambang gantung, tajug semar sinonsong lambang gantung, tajug lambang gantung, tajug semar sinonsong lambnag gantung, tajug mangkurat, tajug ceblakan, dan sebagainya (Narpawandawa 1936-1936).
Disamping bentuk bangunan rumah baku tersebut, masih terdapat bangunan rumah untuk musyawarah (rapat), rumah tempat menyimpan padi (lumbung) atau binatang ternak (kandang, gedhongan, kombong), untuk alat-alat (gudang) dan sebagainya (Gatut Murdiatmo, 1979/1980; Koentjaraningrat, 1971; almanak Narpawandawa, 1935-1938; Sugiyanto Dakung, 1982/1982; Radjiman, 1986.
 Komposisi dan Lingkungan Rumah Tempat Tinggal
Yang dimaksudkan dengan komposisi rumah ialah susunan dan pengaturan cetak bangunan lain terhadap bangunan rumah tempat tinggal (induk). Sedangkan yang dimaksud dengan lingkungan di sini ialah rumah tempat tinggal dan rumah-rumah kelengkapan dengan tata susunannya dalam suatu rumah tangga sebuah keluarga
Dalam masyarakat Jawa, susunan rumah dalam sebuah rumah tangga terdiri dari beberapa bangunan rumah. Selain rumah tempat tinggal (induk), yaitu tempat untuk tidur, istirahat anggota keluarga, terdapat pula bangunan rumah lain yang digunakan untuk keperluan lain dai keluarga tersebut. Bangunan rumah tersebut terdiri dari: pendhapa, terletak di depan rumah tempat tinggal, digunakan untuk menerima tamu. Rumah belakang (omah buri) digunakan untuk rumah tempat tinggal, di antara rumah belakang dengan pendapa terdapat pringgitan. Pringgitan ialah tempat yang digunakan untuk pementasan pertunjukan wayang kulit, bila yang bersangkutan mempunyai kerja (pernikahan, khitanan, dan sebagainya). Dalam pertunjukan tersebut tamu laki-laki ditempatkan di pendapa, sedang tamu wanita ditempatkan di rumah belakang. Susunan rumah demikian mirip dengan susunan rumah istana Hindu Jawa, misalnya Istana Ratu Boko di dekat Prambanan.
Bagi warga masyarakat umum (kawula dalem) yang mampu, disamping bangunan rumah tersebut, tempat tinggalnya (rumah) masih dilengkapi dengan bangunan lainnya, misal: lumbung, tempat menyimpan padi dan hasil bumi lainnya. Biasanya terletak di sebelah kiri atau kanan Pringgitan. Letaknya agak berjauhan. Dapur (pawon) terletak di sebelah kiri rumah belakang (omah buri), tempat memasak. Lesung, rumah tempat menumbuk padi. Terletak di samping kiri atau kanan rumah belakang (pada umumnya terletak di sebelah belakang). Kadang-kadang terdapat lesung yang terletak di muka pendapa samping kanan. Kandang, untuk tempat binatang ternak (sapi, kerbau, kuda, kambing, angsa, itik,ayam dan sebagainya). Untuk ternak besar disebut kandang, untuk ternak unggas, ada sarong (ayam), kombong (itik, angsa); untuk kuda disebut gedhongan. Kandang bisa terdapat di sebelah kiri pendapa, namun ada pula yang diletakkan di muka pendhapa dengan disela oleh halaman yang luas. Gedhongan biasanya menyambung ke kiri atau ke kanan kandhang. Sedang untuk sarong atau kombong terletak di sebelah kiri agak jauh dari pendhapa.
Kadang-kadang terdapat peranginan, ialah bangunan rumah kecil, biasanya diletakkan disamping kanan agak berjauhan dengan pendapa. Peranginan ini bagi pejabat desa bisa digunakan untuk markas ronda atau larag, dan juga tempat bersantai untuk mencari udara segar dari pemiliknya. Kemudian terdapat bangunan tempat mandi yang disebut jambang, berupa rumah kecil ditempatkan di samping dapur atau belakang samping kiri atau kanan rumah belakang. Demikian pula tempat buang air besar/kecil dan kamar mandi dibuatkan bangunan rumah sendiri. Biasanya untuk WC ditempatkan agak berjauhan dengan dapur, rumah belakang, sumur dan pendhapa. Pintu masuk pekarangan sering dibuat Regol.
Demikian sedikit variasi bangun rumah adat Jawa yang lengkap untuk sebuah keluarga. Hal tersebut sangat bergantung pada kemampuan keluarga. Secara lengkap kompleks rumah tempat tinggal orang Jawa adala rumah belakang, pringgitan, pendapa, gadhok (tempat para pelayan), lumbung, kandhang, gedhogan, dapur, pringgitan, topengan, serambi, bangsal, dan sebagainya. Besar kecilnya maupun jenis bangunannya dibuat menurut selera serta harus diingat status sosial pemiliknya didalam masyaraka
Masyarakat Jawa disusun atas dasar kedudukan sosial, teritorial, komunal, dan religius. Dasar tersebut dalam proses pembentukan masyarakat Jawa akan terpancar dalam ciri-ciri dasar masyarakat Jawa yang tetap mereka pertahankan dan mereka lestarikan keberadaannya dalam wujud pandangan dunia orang Jawa. Pandangan dunia dimaksudkan sebagai keseluruhan keyakina deskriptif tentang kenyataan suatu kesatuan antara alam, masyarakat, dan alam gaib, yang daripadaNya manusia memberi suatu struktur yang bermakna bagi pengalamannya. 

Bagi orang Jawa, baik sebagai individual maupun anggota masyarakat, realita itu tidak dibagi-bagi secara terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sam lain, melainkan ia dilihat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh.
Bagi orang jawa dunia masyarakat dan dunia gaib, atau dunia Adi Kodrati bukanlah tiga bidang yang berdiri sendiri-sendiri, dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan pengalaman. Pada hakekatnya, orang Jawa tidak membedakan antara sikap religius atau tidak religius dan interaksi-interaksi sosial religius, tetapi tetapi ketiganya merupakan penjabaran manusia Jawa tentang sikapnya terhadap alam, seperti halnya sikap alam yang sekaligus mempunyai relevansi sosial. Di sini antara pekerjaan, interaksi, dan doa tidak ada perbedaan yang hakiki (Mulder, 1975:36).
Tolok ukur anti pandangan dunia orang Jawa adalah nilai pragmatisme atau kemanfaatannya untuk mencapai keadaan senang, tenteram dan seimbang lahir dan batin antara dunia sini dengan dunia sana. Oleh karena itu, apabila kita membicarakan pandangan dunia orang Jawa tidak terbatas pada bidang agama, kepercayaan dan mitos, melainkan juga sistem pertanian, perayaan pameran, kehidupan keluarga Jawa, seni dan budaya Jawa, sistem tempat tinggal dan lingkungan tempat tinggal mereka. Maka perubahan yang terjadi akan meliputi pandangan hidup dan filsafat, budaya politik Jawa, ekonomi, sosial dan budaya Jawa. Dalam hal ini Clifford Geertz telah mengungkapkannya sebagai agama Jawa dala bentuk varian santri, abangan dan priyayi dalam masyarakat Jawa (Cl. Geertz 1985). Sedangkan Magnis Suseno (1885: 83-85), mengutarakan, terdapat empat lingkaran bermakna dalam pandangan dunia orang jawa, yaitu :
Lingkaran Pertama, lebih bersifat ekstrovet, ialah bersifat terhadap dunia luar yang dialami sebagai satu kesatuan gaib yang Illahi, yang Adi Kodrati antara alam, masyarakat, dan alam adi kodrati yang kudus yang dilaksanakan dalambentuk ritus, dan upacara-upacara inisiasi yang diterima tanpa kritik dan tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri. Orang Jawa mengatakan: “bisoa ngaji, nanging aja dadi modin”. Meksud pernyataan itu ialah bahwa agama hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Tujuan akhir hidup manusia adalah manunggal dengan sang Pencipta, Al Kholik. Biarlah “Agama Ageming Aji”, bahwa Raja mewakili rakyat (kawula) memohonkan berkat dan anugerah melalui doa-doanya kepada Tuhan. Melalui pengalaman-pengalaman mistis, maka agama diresapi sampai pada batin sendiri. “Agama iku mung sandhangan saumpamane, diengga kena, ora diengga ora apa-apa. Sing baku tansah eling lan waspada, ngerti

0 comments: