Tuesday, June 5, 2012

Abdidalem Sultan Prabhu Hadiwijoyo

PEMANAHAN,PENJAWI JURU MARTANI ABDI JOKO TINGKIR


KI Juru Mertani KI Ageng Pemanahan
benda cagar budaya
Makam Ki Ageng Penjawi merupakan nama lain dari Adipati Pesantenan
Trio tokoh sela, Pemanahan, Penjawi, Juru Mertani, memegang peran penting dalam percaturan politik dari tiga kerajaan: Demak, Pajang, dan Mataram. Mereka ber asal dari sela(Grobongan yang ter letak di dekat tempat yang secara tradisi dicari sebagaitempat Kerajaan Mataram Kuno.
Dari garis laki, mereka adalah turun Majapahit (Brawijaya V –Bondan Kejawan Getas pandawa), dan garis ibu turun dewa (Nawangwulan – Nawangsih – Getas pandawa). Putra tertua Getas Pandawa, KI Ageng Sela (Bagus sogom, sagam?) mempunyai 6 putri dan 1 putra, Ki Ageng HEnis (ragil). Ki Ageng Enis mempunyai seorang anak, Pemanahan dan memungut anak angkat, penjawi (keponakan misan), sedangkan Juru Mertani  adalah anak keponakan dan kakak menantunya.Ayah Juru Mertani, KI Ageng Saba, menikah dengan kakak KI Ageng Enis, sedangkan adiknya menikah dengan Pemanahan.
Konon Ki Ageng Sela dapat menangkap petir sewaktu diadakan pemilihan raja baru, penganti pati unus. Saat disambar petir, KI Ageng sela  tidak cidra, malah dapat menangkap dan menyerahkan kepada para wali. Ki Ageng Sela tersohor sebagai seorang yang mempuni, cendekiawan, guru, dalang, seniman, tani gede (kaya), tani mukmin (saleh). Serat suluk pepali Ki Ageng Sela (dalam bentuk tembang Macapat), berisi ajaran pandangan hidup Kejawen, merupakan hasil karya sastra yang berharga.
Ki Ageng Sela pernah melamar menjadi prajurit Demak namun ditolak.  Ki Ageng Sela marah dan dengan 600 anak buahnya mbalela, namun gagal. Sebagai turun Brawijaya , yang memiliki kembang wijayakusuma, Ki Ageng Sela ingin menjadi raja. Setelah tekun bertapa, Ki Ageng Sela mendapat wisik bahwa dirinya tidak mungkin menjadi raja, dan wahyu kraton akan pindah dari Demak ke pajang. Walau pun dirinya tidak mungkin menjadi raja namun Ki Ageng Sela tetap berdoa agar keturunannya dapat mewujudkan cita-citanya. Harapan itu mulai terang ketika Tingkir datang kepadepokan Sela untuk berguru kepadanya. Setelah melihat pertanda bahwa Tingkir, yang juga senang tapa brata, akan mendapatkan wahyu kraton, maka Ki Ageng sela menitipkan turunnya kepada Tingkir.                                                          
Harapan   Ki Ageng Sela semakin cerah ketika Tingkir diangkat sebagai lurah tamtama Demak, diambil menantu oleh Sultan Trenggana, dan dijadikan Bupati pajang, bergelar Hadiwijaya. Oleh karenanya, KiAgeng sela mengubah siasat dan menghentikan perlawanan terhadap Demak. Secara kebeneran ketiga tokoh sela ini berguru kepada sunan Kalijaga, yang juga guru Hadiwijaya.Mereka dianggap sebagai adik-adik sang Bupati. Pemanahan dan penjawi diangkat sebagai lurah prajurit, dan martini, yang lebih tua, diangkat sebagai ‘’pembimbing’’ mereka. Karena eratnya hubungan mereka berempat, maka Srubut [danang, anak pemanahan], diangkat putra oleh Hadiwijaya
Sebelum pulang ke pajang, Pemanahan menemui Ratu Jepara Kalimayat, yang dapat memutuiskan masalah warias demak. Pemanahan meminta dukungan Kalinyamat guna memuluskan jalan Jaka Tingkir menuju tahta, dan berhasil, bahkan di janjikan tahta Demak bagi siapa saja yang bias membunuh Penangsang, pembunuh pewaris Trenggono.
Karena sesuai yang di harap, Pemanahan sangat puas atas konfirmasi Kalinyamat, dan berjanji akan meminta kesediaan Jaka Tingkir untuk menghabisi Penangsang namun pemanahan meminta Kalinyamat menyediakan dara untuk di umpankan kepada Jaka Tingkir yang terkenal thukmis: Batduk klimis artinya selalu tertarik kepada semua wanita yang,  “halus Jidatnya” itupun langsung di setujui Kalinyamat kebetulan memang ada dua dara cantik yang semula di persiapkan untuk Suami Ratu sendiri sebelum di bunuh Penangsang. Pemanahan berdalih bahwa perkawinan ini tak melanggar Syariat Islam menurut ikhwal Siti Aisah yang berusia 7th ketika di ambil Istri Nabi Muhammad SAW.
Juru Martani Ialah putra Kio Ageng Seba (Pangeran Seba), anak Sunan Dalem (Sunan Giri II), cucu Prabu Satmaka (Sunan Giri I), Trah Nabi Muhammad SAW. Dari garis Ibu, ia turun pasangan Bondan Kejawan (anak Brawijaya V), dan Nawangsih (Putri Dewi Nawang Wulan),
Sebagai arsitik kerajaan Mataram kiranya Juru Martani dapat di sejajarkan dengan Arya Wiraraja (Majapahit) atau Nicclo Machiavellia (Itali), ironisnya kedua cucu Juru Martani, Mandurareja dan Upa Santa (Putra-Putra Pangeran Mandura), kelak di hukum mati oleh Sultan Agung karena gagal merebut Batavia (1628th)
Jaka Tingkir lahir kala Ki Ageng Tingkir, guru Ayahnya (Ki Ageng Pengging atau Kebo Kenongo), menjadi dalang wayang beber, oleh karenanya Jaka Tingkir di sebut Karebet karena Wayang Beber yang terbuat dari kertas berbunyi  “Kerebet-Kerebet” bila tertiup anging saat hujan.
Ki Ageng Pengging berguru Kepada Syech Siti Jenar, yang mengajarkan konsep Manunggaling kawulo gusti (Wahdatul Sujud) yang di anggap melenceng dari ajaran Islam. Ki Ageng Pengging di eksekusi oleh Sunan Kudus atas Perintah Sultan Bintoro (Raden Patah). Sahabat tunggal Guru Ki Ageng Pengging adalah Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Selo, Ki Ageng Tarup, Ki Ageng  Ngerang, Ki Ageng Butuh, Ki Ageng Majasta, Ki Ageng Banyu biru, Ki Ageng Nglawean, Ki Ageng Talpitu.
Empatpuluh hari kemudian, Nyai Ageng Pengging Meninggal, dan Karebet di bawa dan di asuh oleh Nyai Ageng Tingkir (yang juga sudah Janda) di desa Tingkir, oleh karenanya di kenal sebagai Joko Tingkir.
Dalam perjalanan ke Demak, Joko tingkir bertemu dengan Sunan Kali Jaga yang meramalnya bahwa Kelak dirinya akan menjadi Raja Besar di Jawa.
Dadung, (tali) ngawuk (gawuk) = alat kelamin perempuan berarti perempuan yang di pingit (munkin salah satu Putri simpanan Sultan) yang di glibeng (sehingga tidak berangasan lagi) Jaka Tingkir dengan Sadak Kinang (gulungan daun Sirih untuk nginang =alat kelamin Laki-Laki).
Mbajul atau nampang  terutama untuk menggoda dan merayu lawan sejenis. Joko tingkir tidak perlu bersusah mendayung rakitnya karena sudah di topang dan di gerakkan oleh empatpuluh Buaya, suatu metaphor Joko Tingkir yang banyak affair percintaan di sepanjang pengembaraanya.
“Habis manis sempah di buang” adalah biasa dalam setiap konspirasi politik dalam meraih kekuasaan (Tahta salah satu Ta dalam 3-Ta).
Versi sinis menyebutnya Juru Martani sebaga juru arsitek Kerajaan Mataram, seorang Machiavelis sezaman dengan Niccolo  Machiavelli.
Tombak bergagang panjang  di pergunakan perang berkuda. dikatakan Penangsang adalah contoh petinggi yang demngan berani dan konsekuwen membela rakyat kecil yang di zalimi. Karenanya, menurut Pramuedya Ananta Toir, Pengangsang adalah tokoh idola bagi RM Tirto Adhi Soerja (1875-1918), cucu RMT. Tirtonoto bupati Bajanegara. Sebelum mengawali Pers pribumi pertama yang menjadi redaktur –Kepala dan sekaligus penanggung jawab pers melaya milik asing. Tirto di anugrahi Gelar Pahlawan Nasional oleh pemerintah RI dengan SK Pres RI No. 085/TK/T2006. Kebetulan Penangsang , Tirto, dan Pramoedya datang dari daerah yang sama.
Pesan Sunan Kali Jaga pada jaka Tingkir: “Nak, apabila raja Jawa yang menggantikan nanti tetap bertahta di keraton Demak, keluhuran budaya Jawa akan sirna. Menurut pertimbanganku Keraton Raja Jawa lebih baik di pindahkan di sekitar kanan kiri Prambanan. Kejayaan Budaya, yang juga akan membawa pada keluhuran Keraton, mesti mendapatkan dukungan Rakyat yang Sesuai lahir dan batin……”
Terlebih lagi bila di pegang oleh Sunan Giri Yang tergolong Islam Puritan atau Mutihan yang berpaham “sempit” walaupun masih berupa hutan, Mataram mewarisi kemasyhuran nama delapan abad yang lampau, Mataram kuno. Di hadapan Hadiwijaya, Panembahan, Bang Wetan  (Japan, Kediri, Wirasaba, Surabaya, pasuruan, Madura, Sidayu, Lasem, Tuban, Pati).
Sunan Kali Jaga adalah Guru Sultan Hadiwijaya, Panembahan, Penjawi, dan Juru Martani, janji setia dengan suatu “Secape Clause” hidup “sezaman” dengan Niccolo Machiavelli dari Florence (1469-1527). Dua karya, II principe (The prince) dan diskorsi sopra la prima deca di tito Livio sebenarnya baru terkenal 20th setelah Machiaveli meninggal.
Terdapat inkonsistensi dalam tahun, satu versi dalam kepindahan mulai tahun 1568 dan pendiri Kota Gede tahun 1577. Sedangkan wirayat Sunan Prapen baru di berikan tahun 1581. Apakah Pemanahan pergi ke Mataram walaupun “belum resmi di hadiahkan kepadanya?”
Anak Tejakusuma, Wayah Tejo Wulan, buyut Pamekas, wareng raden Patah, turu ke enam Ki Ageng Karanglo adalah tumenggung Wirorejo, ayah Ratun Kencana, yang adalah Permeisuri PB III. Kakek PB IV. Pembayun Janda Ki Ageng Mangir di berikan kepada Senopati kepada Ki Ageng Karanglo ketika Ki Ageng Sudah sangat tua.
Mungkin karena kerekatan “Batiniah” dan similaritas geograpik, Gunung Kidul atau Wonosari “Lebih mesera” dengan wilayah sekitar di PAWONSARI. Akronim dari Pacitan, Wonogiri, Wonosari (sebutan lain untuk Gunungkidul).
Kelak kebo kenongo juga di hukum mati karena di tuduh menganut aliran sesat  Syech Siti Jenar. (dengan eksekutornnya yang sama, Sunan Kudus). Karena putra Kebo Kenongo, Jaka Tingkir, masih terlalu muda maka tidak ada “Petinggi” lagi di Pengging, lagi- lagi jawaban yang sangat diplomatis.
Penguasa Mataram di mulai dari I(Pemanahan 1568-1575), 2(Senopati 1575-1601), 3(Hanyakrawati 1601-1613), 4(Sultan Agung 1613-1646), 5(Amangkurat I 1646-1677), 6(Amangkurat II 1677-1703). Sebenarnya Amangkurat II akan di gantikan oleh trunajaya, “pendiri dinasti Madura” seandainya VOC tidak campur tangan, Trunajaya  setelah merebut Keraton Mataram (Plered) mengejek keturunan Pemanahan; “Raja Mataram dakumameeke tubu, pucuke meneh yen legiyo, senajen bongkote ing biyen ya adhem bae, sebab Rojo traheng tetanen, angur macula bae bari anggono sapi”  Ungkapan ini sekaligus untuk mendapatkan legitimasi bahwa dirinyalah, seorang Pangeran Madura, yang lebih berhak menjadi raja.
Ada pendapat yang mengatakan bahwa Raden Rangga tewas setelah menari adu Kesakten (beksan rangin),  dengan ayahnya sediri, Senopati. Mungkin untuk memutuskan kemungkinan adanya tuintutan tahta dari turun pesisiran (tumpas kelor), cocok seperti yang di inginkan oleh Pemanahan, versi lain yang di uitus Tumenggum Wiramerta (mungkin bergabnti nama setelah naik pangkatnya).
Raden Rangga (anak ke-2, putra ke-1 Panembahan Senopati) sangat sakti dan pernah “mencoba” kesaktian orang (termasuk Juru martini dan Beksan Rangin).  Rangga tewas setelah berperang melawan “ular besar” di desa patalan. Versi lain Rangga “dihilangkan lewat beksan Rangin” dengan Senopati untuk menepis munculnya seorang  calon Raja dari “Pesisir”
Hanyakrowati adalah putra sulung Senopati dari Permesuri1 (anak ke-11, putra ke-6 Senopati). Pangeran Radin adalah putra Pangeran Benawa (atau Prabu Wijaya, Adipati pajang). Berjasa sebagai “intel” dalam bedah Madiun, sehingga Panembahan Madiun dapat di kalahkan tanpa “darah” dan anaknya (Retno Dumilah) di jadikan Permeisuri II Senopati. Adhi Sara telah Berjasa Bedah Mangir, sehingga Ki Ageng Mangir dapat di bunuh tanpa harus “perang” anak pertama dan putri ke-1 senopati yang di kirim untuk melumpuhkan Ki Ageng Mangir yang mbalelo.
Atas nasehat Juru Martani, Pangeran Puger (anak ke-3, putra ke-2 Senopati), di angkat menjadi Adipati Demak agar Puger mau mengakui kekuasaan Mataram. Nmun karena mbalela Puger di serang, di tangkap dan di buang ke Kudus tanpa kawan, mereka yang berjasa adalah Tembaga (di angkat menjadi Pangeran Puger), dan kedawung (diangkat menjadi Demang tanpa Nangil II).
Juga di sebut Pangeran Purbaya (anak ke-7 putra ke-3, Senopati).  Konon Jaka Umbaran diminta untuk membunuh Ibu kandungnya sendiri agar di terima Pasuwitanya, kemungkinan sekaligus untuk mengkikis habis kemungkinan timbulnya tuntunan dari Turun Giring di gunung kidil menjadi Raja, Jayaraga (anak ke10 putra ke-5 Senopati) diangkat menjadi Adipati Panaraga, namun kemudian mbalela dan di tawan adik-adik Senopati, Pringgolaya dan Martoloyo, Jagaraga kemudian di buang ke Masjid batu tanpa kawan.
Versi lain mengatakan, akan memenuhi permintaan itu, asalkan tahta tidak terisikarena putera Raja dianggap tidak patut mengisinya,
Kemudiandialah yang boleh naik tahta….” Dalam pesanya Sultan menyebutnyabahwa yang di larang adalah jamuan “politik”untuk mencari pengikut, rambut gondrong karena “tidak islami” dan yang bener bener di larang adalah tidak sowan ke Pajang, suatu awal tindal mbalelo. Berbohonh untuk menutupi kejelekan orang lain demi tercapainya ahir yang lebih baik.
Ada seorang petinggi dari Mbanyumas, Ki Bocor yang ingin mencoba kesaktian Sutowijaya dengan menikamkan keris saktinya, yang bernama kebo dengen, setelah gagl berkali-kali  menikamkanya, Ki Bocor ahirnya menyerah, tidak di hokum malahan di ampuni oleh sutawijaya, sampai sekarang batu di Lipura (empat pal sebelah barat daya Yogya) ini masih di anggap keramat dan di jaga juru kunci seseorang dari keratin.
Amangkurat 1 mengungsi ketika kraton Pleret di duduki, dijarah, dan di rusak pasukan Trunajaya, sebenarnya Jurumartani ingin agar Sutawijaya mendapat legitimasi baru untuk menggantikanyang di peroleh dari Sunan Giri (Pesisiran), mungkin yang muncul bukan Sunan Kali Jaga Munkin anaknya yang bernama Sunan Hadi Kusuma (yang Juga Sakti), penjaga Mataram di utara Kyai Sapujagat (versi lain Menyebutkan Kanjeng Ratu sekar Kedaton), di timur Kanjeng Sunan Lawu, di selatan Ratu Kidul, dan Di barat Sang hyang Pramoni (di dlepih, versilain di hutan krendha wahana). Agak terjadi kerancuan kiblat di sini, karena Dlepih memang benar terletak di sebelah barat kraton Surakarta, tetapi di sebelah timur Kraton Pleret Yogya.
Bupati tuban ke XV, turun Adipati Ranggalawe (bupati II, cucu bupati I-Arya Dhandhang Wacana atau Kyai Ageng Papringan. Raden Rangga sangat sakti dan pernah mencoba Gurunya, Jurumartani Berdemontrasi bahwa dirinya dapat melobangi gentong penyimpan air wudu dengan jari telunjuk. Juru Martani menegur dengan mengatakan bahwa gentong itu keras, dan memang Raden Rangga tidak dapat melobangi dengan tangan kosong, sejak saat itu Raden Rangga tunduk kepada Juru Martani.
Termasuk di tubuhnya Ki Bende Becak tinggalan Ki Ageng Selo. Sewaktu menanggap wayang dengan dalang Ki Becak , sela jatuh hati kepada Istri Dalang. Ki Ageng Selo Membunuh Ki Becak mengambil Istri dan seprangkat Gamelanya, termasuk bende. Menurut Sunan Kali Jaga Bende tersebut akan menjadi Pusaka Keraton. Bila bende tersebut di tabuh akan bunyi menggelegar maka perang akan di menangkan  (seperti halnya dengan Bende Pusaka Majapahit, yang bernama Kyai Samudra).
Ada versi yang mengatakan bahwa ketika Juru Taman, Jin Abdi Suta Wijaya, menawarkan jasanya untuk membunuh Sultan Pajang, Sutawijaya berkata:  “… saya tidak punya niat seperti itu. Tetapi… jika kau mau berbuat demikian…. Terserahlah saya tidak memerintahkanya, tetapi juga tidak melarang: tanggap sasmita Nalendra, Juru Taman segera Membunuh Sultan Pajang, ini mirip ketika Lohgawa Menjawab pertanyaan muritnya , Kenarok. Waktu itu Kearok bertanya apakah boleh membunuh Aku Tumapel dengan keris dari belakang, Lohgawe menjawab: “…tidak pantas bagi seorang Rohaniwan untuk menyetujuin perbuatan seperti itu… tetapi terserahlah kepadamu sendiri”.
Versi ngayogyakarto, Sultan Pajang di Makamkan di Kotagede, di tajug  ( yang terletak paling utara) beserta Nyai Ageng Enis, Ibu Pemanahan dan Pangeran Jaya Prana. Ketiga-tiganyan Telak menurunkan para Raja di Surakarta dan Yogya.

0 comments: