Tuesday, June 5, 2012

Ki Ageng Pengging


Pengging Mitos dan Sejarahnya

pemandian-umbul-penggingPengging adalah nama kuna untuk suatu wilayah yang sekarang terletak di antara Solo dan Yogya (kira-kira mencakup wilayah Boyolali dan Klaten serta mungkin Salatiga). Pusatnya sekarang diperkirakan terletak di Banyudono, Boyolali. Di Desa Dukuh, Banyudono sekarang dibangun kawasan wisata berupa pemandian yang ramai dikunjungi orang untuk melakukan ritual bersih diri, karena terdapat mata air (umbul) yang dianggap suci. Di dekat tempat pemandian ini juga terdapat makam pujangga Sastra Jawa Baru yang terkemuka, Yasadipura I.
Pengging Maps
A (Hijau). Kota Solo, B. Kabupaten Boyolali, C. Kecamatan Banyudono, 
A (merah). Lokasi Umbul Pengging
Umbul Pengging
UMBUL = Mata Air "Aqua" alami menyembul dari dalam tanah

Di hari biasa dan hari hari tertentu, umbul ini digunakan oleh orang-orang “sakti” untuk “kungkum” atau berendam karena dipercaya mendatangkan kekuatan gaib. Percaya atau tidak, saya kembalikan ke keyakinan masing-masing.

Dasar kolam pemandian ini terbuat dari batu alam yang indah. Kolam pemandian raja dan keluarganya ini airnya bersumber dari mata air murni (tuk/umbul) dari daerah tersebut, sehingga kondisinya sangat jernih karena tidak terkontaminasi dengan kotoran yang menyertainya. Uniknya lagi, air tuk/umbul tersebut tidak pernah kering walaupun diambil dalam jumlah yang banyak di musim kemarau.

Menurut cerita masyarakat setempat, pada awalnya pemandian ini merupakan tempat bersantai raja dan keluarganya. Hal ini tampak dari bangunan tempat peristirahatan yang berada di dekat kolam pemandian ini. Pada zaman dulu, pemandian ini tidak dibuka untuk masyarakat umum. Namun seiring berjalannya waktu, Pemandian Umbul Pengging kini bebas dimasuki setiap pengunjung yang ingin menikmati keindahan pemandangan taman dan kesejukan airnya. Umbul Pengging merupakan kawasan wisata yang memadukan antara wisata sejarah, wisata budaya, dan wisata alam dalam satu kawasan.

Obyek wisata Pemandian Umbul Pengging memiliki udara yang cukup sejuk dengan kondisi lingkungan yang rindang. Di dalam kolam pemandian ini, pelancong dapat menikmati segarnya air dengan berenang, berendam, atau sekedar bermain-main di tepian kolam.

Di Pemandian Umbul Pengging ini terdapat tiga macam kolam pemandian, yaitu Umbul Temanten, Umbul Ngabean, dan Umbul Sungsang.
Menurut cerita masyarakat, asal mula Pemandian Umbul Temanten berawal dari kunjungan Sri Paduka Susuhunan Paku Buwono X yang melihat dua buah sumber air (umbul) yang terletak berdekatan di area Umbul Temanten ini. Setelah melihat kedua umbul tersebut, Sri Paduka Susuhunan Paku Buwono X kemudian berdoa kepada Tuhan agar kedua umbul tersebut dipersatukan. Setelah selesai berdoa, akhirnya permintaan Sri Paduka Susuhunan Paku Buwono X itu dikabulkan Tuhan. Bersatunya kedua umbul itu kemudian diberi nama Umbul Temanten yang diibaratkan menyatunya dua mempelai yang rukun menjadi satu. Peristiwa itu juga sekaligus mengandung piwulang (nasehat) kepada masyarakat bahwa dalam mengarungi hidup berumah tangga, suami isteri harus bisa menjalin hubungan yang rukun.

Umbul ketiga yang juga tak kalah menariknya bila dikunjungi ialah Umbul Sungsang. Selain keindahan taman dan kesejukan air di kolam Pemandian Umbul Sungsang ini, pelancong juga dapat mengikuti tradisi Kungkum (berendam) yang diselenggarakan oleh masyarakat setempat. Menurut pengakuan warga sekitar, pemandian ini merupakan pusat laku batin Kungkum masyarakat Pengging dan tak sedikit pula diikuti oleh para pengunjung yang berasal dari berbagai kota di sekitar Jawa Tengah. Tradisi yang diselenggarakan pada malam Jumat Pahing ini, biasanya dimulai pukul 24.00—03.00 WIB. Untuk mengikuti tradisi Kungkum ini wisatawan tidak dipungut biaya.


Nama Pengging disebut-sebut dalam legenda Rara Jonggrang tentang pembangunan komplek Candi Prambanan. Selanjutnya, dalam sejumlah babad yang menerangkan penyebaran agama Islam di selatan Jawa wilayah ini kembali disebut-sebut, dengan tokohnya Ki Ageng Pengging.
Tokoh ini dikenal sebagai pemberontak di wilayah Kesultanan Demak. Kalangan sejarah di Jawa banyak yang menganggap bahwa Pengging adalah cikal-bakal Kerajaan Pajang, kerajaan yang mengambil alih kekuasaan di Jawa setelah Kesultanan Demak runtuh.


TERBUNUHnya Ki Ageng Pengging
oleh Utusan dari DEMAK BINTORO (Sunan KUDUS)
Disusun dari berbagai sumber:

Sebagai Senopati kerajaan Demak, suatu ketika Sunan Kudus diberi tugas untuk mengatasi seorang murid Siti Jenar yang tidak mau tunduk kepada panggilan Raden Patah selaku Raja Demak.

Murid Siti Jenar itu bernama Ki Ageng Pengging, nama aslinya Kebo Kenanga.
Dia adalah cucu Raja Pengging yang bernama Prabu Handayaningrat, Prabu Handayaningrat itu adalah menantu Raja Majapahit.

Mula-mula Patih Wanasalam dari Demak sudah pernah mengingatkan akan sikap Ki Ageng Pengging yang tidak mau menghadap ke Demak.
Sikap itu dapat dianggap sebagai pembangkangan atau memberontak.
Namun atas saran Patih Wanasalam Ki Ageng Pengging masih diberi waktu tiga tahun untuk erenungkan sikapnya itu.
Setelah waktu tiga tahun ternyata Ki Ageng Pengging masih belum mau menghadap ke Demak juga. Maka Raden Patah kemudian mengutus Sunan Kudus untuk datang ke Pengging atau Pajang.

Persoalan Ki Ageng Pengging ini cukup rumit. Dia sehari-hari hanya dikenal sebagai seorang petani biasa, seorang petani yang juga merangkap guru agama berfahamkan Manunggaling Kawula Gusti karena dia adalah murid Siti Jenar.

Sunan Kudus merasa tidak pantas membawa sejumlah pasukan kerajaan ke Pengging. Maka dia mengajak tujuh orang muridnya yang pilihan.
Mereka hanya mengenakan pakaian biasa,yang masing-masing berkemampuan lebih hebat dari sepuluh prajurit biasa.

Walaupun Ki Ageng Pengging tidak mempunyai bala tentara yang kuat tapi dia mempunyai kekuatan tersembunyi, di lubuk hati bekas senopati, perwira dan prajurit kerajaan Pengging yang sekarang telah berubah menjadi petani semua.
Jelasnya para petani itu sewaktu-waktu dapat mempergunakan keahlian mereka selaku prajurit kerajaan bila sewaktu-waktu Pengging dan Ki Ageng Pengging di ganggu orang.

Sepuluh hari sebelum Sunan Kudus datang ke Pengging. Saudara Ki Ageng Pengging yang bernama Ki Ageng Tingkir meninggal dunia. Jadi Ki Ageng Pengging masih dalam suasana duka cita dan lebih banyak mengurung diri di dalam kamarnya.
Ki Ageng Tingkir adalah saudara seperguruan Ki Ageng Pengging sewaktu berguru kepada Siti Jenar. Jadi Ki Ageng Pengging merasa sangat kehilangan ditinggal orang yang sefaham dengan dirinya.

Perjalanan Sunan Kudus dan murid-muridnya, sampai di utara Kali Cemara, karena kemalaman mereka menginap di dalam hutan dengan membuat kemah.
Pada malamnya harinya Sunan Kudus memerintahkan muridnya untuk membunyikan Bende Kyai Sima yang dibawa dari Demak. Bende itu adalah barang pusaka peninggalan mertua Sunan Kudus. Ketika Bende dipukul bunyinya mengaum seperti harimau.
Suara auman itu sampai terdengar ke desa-desa sekitarnya sehingga para penduduk desa merasa ketakutan.

Esok harinya para penduduk desa masuk ke dalam hutan untuk membunuh harimau yang semalam mengganggu tidur mereka. Tapi mereka tidak menemukan harimau yang dicarinya. Hanya bertemu dengan Sunan Kudus beserta muridnya.

"Apakah Tuan tidak mendengar suara harimau mengaum semalam ?" tanya tetua desa.
"Tidak !" jawab Sunan Kudus. "Andai kata kami melihat harimau tentu kami tidak berani bermalam di sini dan segera lari ke desa."
"Sungguh mengherankan, kami tidak tidur semalaman karena kuatir harimau itu datang ke desa kami," kata tetua desa.
"Kalau begitu namakan saja desamu ini Desa Sima (harimau) karena kau mendengar suara harimau padahal tidak ada harimau sama sekali," kata Sunan Kudus.

Penduduk desa menurut dan Sunan Kudus pun meneruskan perjalanannya ke Pengging.

Sampailah mereka di sebuah sungai yang airnya keruh. Murid Sunan Kudus yang sudah kehausan bermaksud meminum air sungai itu. Tapi Sunan Kudus melarangnya.
"Jangan minum air di sini, air sungai ini terlalu butek (keruh)" kata Sunan Kudus. Dan hingga sekarang sungai itu dinamakan Sungai Butek atau Kali Butek.

Perjalanan dilanjutkan, tidak beberapa lama kemudian tibalah mereka di Desa Pengging.
Murid-murid Sunan Kudus berhenti di tepi desa, sedang Sunan Kudus berjalan seorang diri menuju rumah Ki Ageng Pengging.

Sampai di pintu rumah dia disambut oleh pelayan wanita.
"Siapakah Tuan ini ?" tanya pelayan.
"Saya utusan Tuhan, datang dari Kudus hendak bertemu dengan Ki Ageng Pengging."
"Saat ini Ki Ageng tidak dapat menemui siapapun," kata pelayan itu.
"Kalau memang Ki Ageng Pengging itu sudah masuk Islam, pasti dia tidak menolak tamu yang datang, justru akan menghormati setiap tamu yang datang. Katakan hal ini kepadanya."

Pelayan itu masuk dan mengatakan apa yang diucapkan Sunan Kudus.
Ki Ageng Pengging menyuruh pelayan itu menyilakan Sunan Kudus masuk ke ruang tamu.
Ki Ageng menyuruh istrinya membuat jamuan.

Setelah saling memberi salam dan bertegur sapa, Sunan Kudus menyampaikan maksud kedatangannya, yaitu menyampaikan pesan Sultan Demak.

"Wahai Ki Ageng, saya diutus Sultan Demak untuk menanyakan mana yang kau pilih ... di luar atau di dalam? diatas atau dibawah?"

Ucapan Sunan Kudus itu adalah bahasa kiasan. Maksud yang sebenarnya adalah Ki Ageng Pengging disuruh menyatakan ketegasan sikapnya bahwa dia berada di dalam wilayah kekuasaan Demak atau menyatakan keluar dari Demak atau lepas dari kekuasaan Demak.
Yang dimaksud di atas atau di bawah artinya Ki Ageng Pengging disuruh menjawab dia lebih suka menjadi Raja atau menjadi Rakyat, menjadi bawahan Demak atau Demak yang harus tunduk kepadanya.

"Sangat membingungkan kalau saya disuruh memilih," kata Ki Ageng Pengging.
"Karena luar dalam, atas bawah adalah miliku. Saya terpaksa memilih semuanya."

"Itu serakah namanya," sahut Sunan Kudus.
"Terserah kau," kata Ki Ageng Pengging.
"Bila kau pikir aku ini Allah, memang aku ini Allah. Bila kau anggap aku ini santri, aku memang santri. Bila kau anggap aku ini raja aku ini memang keturunan raja. Bila kau anggap aku ini rakyat aku memang rakyat jelata."

"Kau dan aku dapat mati selama hidup dan hidup selama mati. Buktikanlah, aku ingin melihat," sahut Sunan Kudus.

Dalam perdebatan itu tak ada yang mau mengalah.
Akhirnya Ki Ageng Pengging harus menerima hukuman dari Sultan Demak dan juga keputusan para wali, yaitu berusaha menghilangkan ajaran Siti Jenar.

Ki Ageng Pengging ditusuk dengan keris kecil pada sikunya.
Tak ada darah mengalir tapi Ki Ageng Pengging menemui ajalnya dalam keadaan duduk bersila.

Ketika istri Ki Ageng Pengging datang menghidangkan jamuan dia terkejut mendapati suaminya sudah tidak bernafas lagi.
Sementara Sunan Kudus sudah mengajak murid-muridnya pulang ke Demak.

Nyai Ageng Pengging menjerit sejadi-jadinya sehingga seluruh Pengging menjadi gempar.
Para penduduk bekas prajurit dan senopati segera mengejar Sunan Kudus dan murid-muridnya.

Mengetahui dirinya sedang dikejar dua ratus orang, Sunan Kudus malah berhenti di bawah sebuah pohon sembari menunggu kedatangan para penduduk Pengging.

Setelah dekat Sunan Kudus membunyikan Bende Kyai Sima, lalu terjadilah keajaiban. Tiba-tiba muncul ribuan prajurit Demak yang berjalan ke arah barat dan utara.

Tapi penduduk Pengging tidak merasa takut, terus dikejarnya Sunan Kudus dan para muridnya.

Sunan Kudus berkata, "Sudahlah jangan turut campur. Kalian rakyat jelata tidak mempunyai persoalan. Adapun junjungan kalian itu memang sengaja memberontak terhadap Demak Bintoro."

Lalu Sunan Kudus memerintahkan ribuan prajurit yang berasal dari Bende Kyai Sima bergerak ke timur tetapi tidak lama kemudian para prajurit Demak berjumlah ribuan itu tiba-tiba lenyap begitu saja.

Penduduk Pengging merasa bingung, sebagaian besar malah hilang akalnya. Sunan Kudus merasa kasihan, maka dikembalikan keadaan mereka seperti semula.
Setelah sadar para penduduk Pengging itu tidak lagi mengejar Sunan Kudus, mereka kembali ke Pengging.


Semenjak berkembangnya Kesultanan Mataram dan masa-masa selanjutnya, wilayah Pengging kehilangan kepentingannya dan pusat pemerintahannya berangsur-angsur menjadi tempat untuk pelaksanaan ritual bagi keluarga penerus Mataram. Pengelolaan situs sejarah ini pada masa kolonial dilakukan oleh pihak Kasunanan Surakarta dan sekarang tanggung jawab berada di tangan Pemerintah Kabupaten Boyolali.
Setelah kehancuran Majapahit pada tahun 1478 masehi,maka berakhir pula kejayaan Majapahit. Berakhirnya masa kejayaan Majapahit ini, bukanlah saat diperintah oleh Prabhu Brawijaya VII seperti yang dibanyak diberitakan selama ini, namun saat di bawah pemerintahan Prabhu Brawijaya V atau Prabhu Brawijaya Pamungkas. Sebagai bukti, dibawah inilah nama Raja-Raja yang pernah memerintah Majapahit.

1.Raden Wijaya atau Bhree Wijaya I atau Prabhu Brawijaya I atau Shrii Kertarajasa Jayawardhana (1292-1309 M)

2.Raden Kala Gemet atau Prabhu Jayanegara atau Shrii Jayanegara (1309-1328 M).

3.Ratu Ayu Tri Bhuwanatunggadewi Jayawishnuwardhani (1328-1350 M)

4.Prabhu Hayam Wuruk atau Shrii Rajasawardhana (1350-1389 M).

5.Prabhu Wikramawardhana (1389-1492 M)

Pada masa inilah terjadi Perang Paregreg. Dimana Adipati Bhree Wirabhumi atau Adipati Kebo Marcuet mengadakan pemberontakan ke Majapahit dan berhasil ditaklukkan oleh Jaka Umbaran atau Raden Gajah atau Minak Jingga.

6.Ratu Ayu Suhita atau Dewi Kencana Wungu (1429-1447 M), diperistri oleh Raden Parameshwara atau Raden Damar Wulan atau yang lantas setelah menjadi suami Ratu Ayu Suhita, memegang tampuk pemerintahan dengan gelar Bhree Wijaya II atau Prabhu Brawijaya II setelah berhasil mengalahkan Jaka Umbaran atau Raden Gajah atau Minak Jingga, penguasa Blambangan. Pengambilan gelar ini demi mengukuhkan kedudukannya sebagai keturunan Raden Wijaya.

7.Prabhu Kertawijaya atau Bhree Wijaya III atau Prabhu Brawijaya III (1447-1451 M)

8.Prabhu Rajasawardhana atau Bhree Wijaya IV atau Prabhu Brawijaya IV ( 1451-1453 M)

9.Raden Kertabhumi atau Bhree Wijaya V atau Prabhu Brawijaya V atau Prabhu Brawijaya Pamungkas (1453-1478 M).

Dalam masa pemerintahan beliau, beliau dibantu oleh saudaranya, yaitu Raden Purwawisesha sebagai mahapatih (1456-1466 M) yang lantas digantikan oleh Raden Pandhan Salas atau Bhree Pandhan Salas (1466-1473 M).

Pada masa pemerintahan Raden Kertabhumi inilah, Majapahit diserang oleh pasukan Demak Bintara. Diperingati dengan Surya Sangkala Sirna Ilang Kertaning Bhumi.

Semenjak kehancurannya, Majapahit kini harus tunduk kepada Demak Bintara. Majapahit menjadi negara kecil, bagian dari Demak Bintara. Tampuk pemerintahan Majapahit dipegang oleh seseorang yang ditunjuk langsung oleh Sultan Demak atau Raden Patah yang kini bergelar Sultan Syah Alam Akbar Jiem-Boenningrat I.

Dan anda semua pasti akan terkejut bila saya ungkapkan bahwa, pemegang tampuk pemerintahan Majapahit, setelah Prabhu Brawijaya V, adalah Ma-Hwan! Seorang berdarah China yang lantas bergelar Prabhu Brawijaya VI. Dia memerintah dibawah kendali Demak Bintara.

Fenomena politik inilah yang memicu ketidak puasan dikalangan bangsawan Majapahit. Para bangsawan yang sudah terkoyak moyak harga dirinya setelah penyerangan Demak Bintara, kini harus kembali menelan pil pahit dengan dikukuhkannya Prabhu Brawijaya VI yang nyata-nyata bukan keturunan Makapahit, bahkan berdarah China.

Dan ketidak puasan ini meledak juga. Raden Girindrawardhana, bangsawan keturunan Majapahit yang berkedudukan di daerah Keling, Kedhiri, mengadakan pemberontakan. Peperangan kembali berkobar. Darah tertumpah kembali. Dan Majapahit, untuk kedua kalinya, berhasil diluluh lantakkan! Raden Girindrawardhana yang banyak mendapat dukungan dari gerilyawan sisa-sisa lasykar Majapahit lama, berhasil menjebol Majapahit baru boneka Demak Bintara. Prabhu Brawijaya VI atau Ma-Hwan, tewas!

Tahta Majapahit berhasil dikuasai oleh Raden Girindrawardhana. Dia memboyong segala tanda kebesaran Majapahit dari Trowulan ke Keling, Kedhiri. Disana, dia mengukuhkan diri sebagai Prabhu Brawijaya VII dan memaklumatkan bahwa Majapahit yang berkedudukan di Kedhiri sekarang, telah bebas dari dominasi Demak Bintara!

Mendengar kabar tersebut, pemerintahan Demak Bintara tidak tinggal diam. Pasukan dalam jumlah besar dikirim ke Kedhiri. Peperangan kembali pecah! Dan lagi, darah membanjiri bumi pertiwi. Pasukan Demak yang dipimpin langsung oleh Sunan Kudus ini, mendapat perlawanan dahsyat! Kedhiri, sulit ditaklukkan! Begitu sulitnya menjebol Kedhiri, mengingatkan penyerangan Demak ke Trowulan kala itu.

Namun, pelahan, pasukan Kedhiri berhasil ditundukkan. Prabhu Brawijaya VII atau Raden Girindrawardhana gugur dimedan laga!

(Hal inilah yang diekspose besar-besaran oleh kaum Putihan. Sehingga muncul pendapat bahwa Demak bukannya menghancurkan Majapahit, namun menyerang Raden Girindrawardhana yang lebih dahulu menghancurkan Majapahit. Padahal faktanya, baik penyerangan kepada Prabhu Brawijaya V maupun Raden Girindrawardhana, semuanya dilakukan oleh pasukan Demak Bintara : Damar Shashangka).

Majapahit kembali dibawah kendali Demak Bintara. Dan diiangkatlah pejabat baru sebagai Raja bawahan yang memegang tampuk pemerintaan Mahapahit dengan gelar Prabhu Brawijaya VIII.

Majapahit semakin suram. Pamornya semakin redup. Masyarakat Jawa sudah tidak lagi memandang Majapahit boneka ini. Dan pada pemerintahan Prabhu Brawijaya IX, Majapahit benar-benar colaps. Pada akhirnya, Majapahit lantas masuk wilayah kekuasaan Kadipaten Terung, Sidoarjo ( +/- 1500 M).

Pewaris Tahta Sah.

Prabhu Brawijaya V atau Raden Kertabhumi mempunyai seorang permaisuri yang berasal dari negeri Champa ( Kamboja Selatan)., bernama Dewi Anarawati. Permaisuri beliau ini beragama Islam. Dia adalah adik ipar Syeh Ibrahim As-Samarqand yang terkenal di Jawa dengan nama Syeh Ibrahim Smorokondi. ( makamnya berada di Tuban sekarang : Damar Shashangka).

Dewi Anarawati ini adalah bibi dari Sunan Ampel atau Raden Ali Rahmad atau Bong Swie Hoo, pendiri Dewan Wali Sangha. Raden Ali Rahmad adalah putra Syeh Ibrohim Smorokondi. Raden Ali Rahmad juga adalah menantu Adipati Tuban, Adipati Wilwatikta.

Adipati Wilwatikta, mempunyai dua orang putra-putri, yang sulung dinikahi oleh Raden Ali Rahmad atau Sunan Ampel dan kelak terkenal dengan sebutan Nyi Ageng Ampel, sedangkan yang bungsu bernama Arya Teja. Arya Teja menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai Adipati Tuban dengan gelar, Adipati Arya Teja.

Adipati Arya Teja inilah ayahanda Raden Sahid dan Dewi Rasawulan. Kelak, Raden Sahid terkenal dengan sebutan Sunan Kalijaga.

Sunan Kalijaga tidak berminat menggantikan kedudukan ayahandanya sebagai seorang Adipati. Tahta Tuban diserahkan kepada Raden Jaka Supa, suami adiknya Dewi Rasawulan.

Raden Jaka Supa adalah keturunan Empu keraton Majapahit,yaitu Ki Pitrang atau Ki Supa Mandrangi atau Pangeran Sedayu. Raden Jaka Supa adalah arsitek keris Kyai Naga Sasra dan Keris Kyai Sabuk Inten yang terkenal itu.

Sesungguhnya, keris Kyai Naga Sasra maupun Keris Kyai Sabuk Inten, adalah sebuah simbol semata. Naga Sasra berasal dari bahasa sanskerta Nagha Sahasrara yang berarti Seribu Naga. Ini melambangkan banyaknya kekuatan-kekuatan laten Majapahit yang masih memiliki kekuatan militer dan masih memiliki pengaruh besar dipelosok Nusantara.

Sedangkan Sabuk Inten berarti Ikat Pinggang Intan yang melambangkan para investor ekonomi lokal maupun mancanegara sebagai sumber keuangan yang sangat menentukan perputaran roda perekonomian negara.

Raden Jaka Supa bukan orang sembarangan. Ayahandanya, Ki Pitrang atau Ki Supa Mandrangi, sangat berpengaruh didalam negeri Majapahit dan mancanegara waktu Majapahit masih berdiri. Pekerjaannya sebagai penyedia persenjataan militer negara, menjadikan Ki Pitrang banyak memiliki relasi.

Apabila anda pernah dengar sebuah pedang kuno yang menjadi kebanggaan Dr. Sun Yat Sen, pendiri Taiwan yang bernama Pit-Kang, sesungguhnya pedang tersebut adalah hasil tempaan Ki Pitrang, sehingga namanya pun masih disebut Pitrang walaupun dalam logat China. Pedang ini masih disimpan di Taiwan. Pedang tersebut adalah hadiah Raja Majapahit kepada Kaisar Tiongkok. Dan tidak tahu bagaimana ceritanya, pedang kuno yang berasal dari Majapahit tersebut bisa dibawa lari oleh Dr.Sun Yat Sen ke Taiwan setelah Tiongkok berhasil dikuasai kaum komunis.

Kebesaran nama Ki Pitrang inilah, menjadikan Raden Jaka Supa, sebagai anak laki-laki satu-satunya dari istri yang berasal dari Majapahit ( seorang lagi, istri Ki Pitrang berasal dari Blambangan. Dari istri Blambangan ini, beliau mempunyai seorang putra bernama Jaka Sura, yang meninggal sewaktu berusia belia. Praktis, putra Ki Pitrang tinggal Raden Jaka Supa. : Damar Shashangka.), sangat disegani. Para sisa-sisa bangsawan Majapahit, yang masih memiliki pengaruh dalam bidang ekonomi maupun militer dan masih banyak tersebar di beberapa pelosok Nusantara serta yang disimbolkan dengan Keris Kyai Naga Sasra, ditambah para investor asing yang disimbolkan dengan Keris Kyai Sabuk Inten, sangat-sangat menghormati Raden Jaka Supa.

Keris Pusaka Kyai Nogo Sosro

Keris Pusaka Kyai Sabuk Inten


Sosok Jaka Supa sangat dibutuhkan pihak pemerintahan Demak Bintara. Ditambah kehadiran Sunan Kalijaga, yang juga sangat disegani oleh berbagai kalangan lintas agama di wilayah bekas kerajaan Majapahit, maka seolah-olah, dua orang ini adalah kunci keberlangsungan pemerintahan Demak Bintara!

Sunan Kalijaga, demi mengingatkan Sultan Demak, memerintahkan Raden Jaka Supa membuat dua buah keris, yaitu Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten. Keduanya harus diserahkan kepada Sultan Demak, sebagai benda simbolik untuk mengingatkan Sultan Demak, bahwa tanpa dukungan sisa-sisa bangsawan Majapahit serta tanpa dipermudah masuknya investor mancanegara ke wilayah Demak Bintara, dapat dipastikan Demak tidak akan berumur lama. Dengan bersatunya Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten tersebut, bisa dipastikan Demak akan berdiri tegak sebagai kerajaan besar pengganti Majapahit!

(Sayangnya, pada perkembangan selanjutnya, kedua benda simbolik ini di anggap sangat-sangat keramat oleh masyarakat Jawa hinggai sekarang. Dan timbul kepercayaan, pemerintahan akan kuat jika seorang penguasa memiliki Kyai Naga Sasra dan Kyai Sabuk Inten sekaligus. : Damar Shashangka.)


Replika Keris Pusaka Kyai Naga Sasra
Replika Keris Pusaka Kyai Sabuk Inten

Kembali pada Prabhu Brawijaya V yang menikahi Putri Champa, Dewi Anarawati. Dari pernikahan tersebut, lahirlah tiga orang putra-putri. Yang sulung seorang putri ( sampai sekarang saya belum tahu namanya : Damar Shashangka ), dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV, penguasa wilayah Pengging, daerah sekitar Surakarta sekarang. Yang kedua, Raden Lembu Peteng, berkuasa di Madura. Dan yang ketiga Raden Jaka Gugur.

Kelak Raden Jaka Gugur inilah yang dikenal dengan nama Sunan Lawu, penguasa mistik Gunung Lawu. Keberadaannya di Gunung Lawu, disalah pahami oleh warga sekitar sebagai Prabhu Brawijaya V sendiri.

(Maklum, sosok Raja pada masa itu hanya dikenal nama besarnya semata. Sosok aslinya, bagi masyarakat pedesaan, sama sekali tidak diketahui karena sulit bertemu langsung. Tidak ada media massa pada waktu itu seperti jaman sekarang, sehingga wajah Prabhu Brawijaya V, terbatas hanya kalangan bangsawan saja yang bisa mengenalinya. Oleh karena itu, kehadiran Raden Jaka Gugur di lereng Gunung Lawu, disalah pahami sebagai Prabhu Brawijaya V, bahkan sampai sekarang. : Damar Shashangka ).

Dan Prabhu Brawijaya V, tetap ada di Trowulan hingga beliau wafat. Prabhu Brawijaya V tidak pernah kemana-mana. Semenjak dari Banyuwangi hingga jatuh sakit dan wafat, beliau ada di Trowulan. Sunan Kalijaga lah yang terus mendampingi beliau hingga kewafatan beliau.

Dari pernikahan Adipati Handayaningrat IV dengan putri sulung Prabhu Brawijaya V, lahirlah dua orang putra. Pertama Raden Kebo Kanigara dan yang kedua Raden Kebo Kenanga.

Raden Kebo Kanigara lahir pada tahun 1472 Masehi. Menyusul setahun kemudian, Raden Kebo Kenanga lahir ( tahun 1473 M ). Jadi sewaktu Majapahit dihancurkan oleh Demak Bintara pada tahun 1478 Masehi, Raden Kebo Kanigara masih berusia enam tahun, dan Raden Kebo Kenanga masih berusia lima tahun.

Menginjak usia dua puluh tahun, Raden Kebo Kanigara pergi meninggalkan Pengging. Beliau memutuskan menjadi seorang Vanaprastha atau pertapa dalam usia muda. Beliau melakukan pertapaan di daerah lereng Gunung Merapi. Tempat dimana beliau pernah bertapa, sekarang terkenal dengan sebutan Desa Turgo, yang berasal dari gabungan dua suku kata AnggenTUR RaGA yang artinya Menggembleng Diri.

Petilasan bekas beliau bertapa, kini berubah menjadi makam yang banyak diziarahi oleh masyarakat Jawa. Padahal, Raden Kebo Kanigara beragama Shiva Buddha, dan apabila wafat, tidak mungkin dikebumikan, namun di kremasi atau di Aben.

Sejujurnya, jenasah Raden Kebo Kanigara hilang raib karena kekuatan tapa brata-nya yang sangat keras. Dan tempat yang dikenal sebagai makam Raden Kebo Kanigara sekarang, sebenarnya hanyalah salah satu bekas tempat beliau bersemadi.

Putra bungsu Adipati Handayaningrat IV, yaitu Raden Kebo Kenanga, dalam usia dua puluh tahun, setahun semenjak kepergian kakaknya, harus kehilangan ramandanya. Adipati Handayaningrat IV wafat. Dan seharusnya, yang berhak menggantikan kedudukan beliau adalah Raden Kebo Kanigara. Karena sang sulung telah pergi bertapa, maka si bungsu, Raden Keno Kenanga terpaksa menggantikannya. Dan Raden Kebo Kenanga lantas dikenal dengan gelar KI Ageng Pengging.

Dalam usia relatif muda, Ki Ageng Pengging sangat terkenal kedalaman spiritualitasnya. Dalam garis keturunannya, sebenarnya mengalir darah pewaris sah tahta Majapahit. Karena nenek beliau, yaitu Dewi Anarawati, telah diangkat sebagai permaisuri. Sehingga jelas disini, manakala Prabhu Brawijaya V kelak lengser keprabhon atau wafat, yang berhak menggantikan seharusnya adalah putri sulung beliau yang dinikahkan dengan Adipati Handayaningrat IV.

Otomatis, apabila putri sulung istri Adipati Handayaningrat IV ini kelak lengser keprabhon atau wafat, maka yang berhak menggantikannya adalah putranya, yaitu Raden Kebo Kanigara. Karena seperti telah diceritakan diatas, Raden Kebo Kanigara tidak berminat kepada tahta, maka Raden Keno Kenanga atau Ki Ageng Pengging yang berhak menggantikannya. Jika ditilik dari sini, sesungguhnya pewaris tahta Majapahit seharusnya Ki Ageng Pengging, bukan Raden Patah!!

Seluruh masyarakat Majapahit tahu akan hal ini. Tahu siapa yang seharusnya berhak memegang tahta. Sehingga diam-diam, pengaruh keturunan Pengging masih terasa sangat besar di wilayah Demak Bintara. Bagi pemerintahan Demak, keturunan Pengging adalah bahaya laten! Praktis pemerintah Demak Bintara secara diam-diam memasang pasukan mata-mata khusus di Pengging. Gerak-gerik Ki Ageng Pengging, tak pernah lepas dari pengamatan Sultan Demak dan Dewan Wali Sangha.

Sesungguhnya jika Ki Ageng Pengging mau, dia bisa melakukan konsolidasi kekuatan sisa-sisa Majapahit. Tapi, seperti sifat kakaknya, Ki Ageng Pengging sama sekali tidak mempunyai ambisi politik seperti itu. Malahan beliau lebih suka mendalami spiritualitas.

Para prajurid Pengging sendiri sangat merasakan akan hal itu. Kegiatan pelatihan militer, dirasa jauh berkurang semenjak Ki Ageng Pengging menggantikan ayahandanya. Malahan, tempat-tempat suci lebih bergairah dan hidup semenjak beliau berkuasa.

Ki Ageng Pengging tenggelam dalam spiritualitas. Setiap waktunya senantiasa beliau manfaatkan untuk peningkatan Kesadaran Atma. Pengging sangat damai. Penuh nuansa religius.

Namun hal itu tak berlangsung lama. Manakala Ki Ageng Pengging berkenalan dengan seorang ulama Islam yang dikenal berseberangan dengan Dewan Wali Sangha yaitu Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar, Pengging mulai memanas!

Walaupun masih belia, kedalaman spiritualitas Ki Ageng Pengging tidak bisa diragukan lagi. Pencapaian spiritual-nya, sampai pada kondisi MATI SAJERONING URIP, URIP SAJERONING PATI ( MATI DIDALAM HIDUP, HIDUP DIDALAM KEMATIAN). Beliau mampu dalam beberapa hari, bermeditasi tanpa bernafas. Raga beliau mampu menyerap Prana ( oksigen ) melalui seluruh pori-pori tubuh tanpa menggunakan pergerakan paru-paru.

Bila tidak jeli, mereka yang melihat kondisi Ki Ageng Pengging sewaktu bermeditasi, pasti akan menyangka beliau meninggal. Namun bagi yang benar-benar jeli, mereka akan tahu, jantung beliau masih tetap berdetak, sangat-sangat halus. Dan darah beliau masih tetap mengalir, walau dalam percepatan yang sangat-sangat halus.

……Ndan yatika sinangguh mamyaken praana sangdhila jati ngarannya, yeku puujaajaati ngarannya, sembahyang alit, yapwan mangkana tiksna deningasamadhi, wyakta hilang ikang waayu ganal, mati lina ri sangkanya, apan tan cinetana dening aatmaa, nahan maarga kunyci rahasya ngarannya. ( Tattwa Jnyaana : 62 )

“…Itulah yang disebut memuja Praana sangdhila jaati, yaitu Sejatinya Puja, sembahyangnya Suksma. Bila sudah demikian samadhi-nya sangat-sangat tajam, benar-benar hilangnya nafas yang kasar, mati lenyap keasalnya. Kesadaran suksma telah melebur ke Kesadaran Atma. Inilah kunci kesempurnaan. ( Tattwa Jnyaana : 62)

Ki Ageng Pengging telah mencapai tahap peleburan ini. Sesuai dengan yang diuraikan dalam Rontal Tattwa Jnyaana. Bila beliau mau, beliau bisa meninggalkan badan kasarnya, mati, sesuai dengan keinginannya sendiri.

Begitu beliau diangkat sebagai penguasa Pengging pengganti ayahandanya, dalam usia belia, beliau menikah. Seorang gadis dari daerah Tingkir, masih adik kandung Ki Ageng Tingkir, beliau persunting.

Pengging benar-benar damai. Jauh dari hiruk pikuk perpolitikan, Jauh dari pertikaian-pertikaian. Sunan Kalijaga pun, sering berkunjung ke Pengging bersama beberapa santri beliau.

Dari Sunan Kalijaga, Ki Ageng Pengging senantiasa mendapat petuah-petuah yang sangat berharga. Walaupun Sunan Kalijaga beragama Islam dan Ki Ageng Pengging beragama Shiva Buddha, kedekatan hubungan mereka sudah tidak bisa digambarkan lagi. Secara khusus, Ki Ageng Pengging menyediakan musholla di kompleks Dalem Agung beliau. Ini diperuntukkan bagi sahabat-sahabat beliau yang beragama Islam.
Dari sahabat-sahabat Islam beliau inilah, Ki Ageng Pengging tahu akan sosok Syeh Lemah Abang atau Syeh Siti Jenar. Sosok ulama yang berseberangan dengan Dewan Wali Sangha.

Beberapakali dalam meditasinya, beliau mencoba menghubungi Syeh Lemah Abang. Dan Ki Ageng Pengging tersenyum puas manakala salam beliau senantiasa dijawab oleh Syeh Lemah Abang dengan senyuman yang luar biasa damainya.

Ki Ageng Pengging tahu, Syeh Lemah Abang bukan manusia sembarangan. Beberapakali pula, mereka bertemu didalam alam meditasi. Ki Ageng Pengging mencium kaki Syeh Lemah Abang dengan penuh hormat. Dan Syeh Lemah Abang senantiasa mengusap-usap kepala Ki Ageng Pengging dengan penuh kasih.

Sunan Kalijaga tahu akan semua itu. Dan beliau tersenyum bangga setiap kali dalam taffakur-nya, melihat Syeh Lemah Abang dan Ki Ageng Pengging senantiasa bertemu, walau dalam alam lain. Walau tidak dialam nyata.

Dan manakala, sosok Syeh Lemah Abang mendadak berkunjung ke Pengging, betapa bahagianya Ki Ageng Pengging. Walau belum pernah bertemu secara fisik, Ki Ageng Pengging dan Syeh Lemah Abang, sudah sedemikian dekatnya. Begitu Syeh Lemah Abang hadir, Ki Ageng Pengging langsung bersujud didepan beliau. Mencium kaki beliau. Penuh hormat dan sangat-sangat bahagia.

Pernah selama tiga hari tiga malam, keduanya meluangkan waktu untuk berdiskusi tentang intisari spiritualitas. Tidak hanya sekedar berdiskusi, keduanyapun masuk kekedalaman batin masing-masing. Dan disana, Syeh Lemah Abang, bersorak gembira begitu melihat Ki Ageng Pengging, dibawah awan-awan mind yang tenang, tengah ada dibawah beliau, tidak terlampau jauh. Dan disana, Ki Ageng Pengging mencakupkan kedua tangannya didepan dada, menyembah, sembari memandang Syeh Lemah Abang dengan senyum kedamaian.

Karena seringnya berkunjung ke Pengging, Syeh Lemah Abang akhirnya dipertemukan dengan sahabat-sahabat Ki Ageng Pengging. Beberapa bangsawan muda keturunan Majapahit yang masing-masing juga memiliki wilayah kekuasaan. Mereka antara lain, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang. Ketiganya bahkan lantas tertarik memeluk Islam tanpa paksaan. Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang, kelak terkenal dengan gelar Sunan Butuh dan Sunan Ngerang.

Namun diam-diam, mata-mata Demak Bintara mengetahui semua itu. Laporan segera masuk ke hadapan Sultan Demak. Dan Sultan Demak meneruskan informasi itu ke Dewan Wali Sangha.

Sebuah informasi yang sangat mengejutkan bagi Dewan Wali Sangha. Dan Dewan Wali memerintahkan Sultan Demak agar semakin menungkatkan kegiatan mata-mata di wilayah Pengging. Sultan Demak merespon perintah tersebut, Jumlah pasukan mata-mata semakin ditambah di wilayah Pengging. Demak semakin waspada. Karena bila Pengging bergerak, dapat dipastikan, dukungan dari berbagai daerah akan mudah diraih. Apalagi ditambah sosok Syeh Lemah Abang dan Sunan Kalijaga disana, Pengging akan berubah menjadi kekuatan yang sangat menakutkan. Dan hal ini, adalah ancaman serius bagi keberlangsungan pemerintahan Demak Bintara.

Padahal, ketakutan Demak Bintara hanyalah ketakutan semu. Karena di Pengging, tidak ada pergerakan apapun. Ki Ageng Pengging tidak mempunyai rencana apapun untuk berbuat makar. Demak Bintara, hanya ketakutan sendiri.

Sunan Kalijaga membaca gelagat tersebut. Beliau memperingatkan Ki Ageng Pengging untuk waspada. Namun, Ki Ageng Pengging bagaimamapun juga masih berusia belia. Beliau kadang masih kurang perhitungan. Beliau sangat mencintai spiritualitas. Dan kecintaannya ini, membuat beliau tanpa perhitungan yang matang, menawarkan wilayah Pengging untuk dipakai sebagai tempat kepindahan Pesantren Krendhasawa milik Syeh Lemah Abang.

Syeh Lemah Abang memang mempunyai rencana untuk memindahkan lokasi pesantrennya yang ada di Cirebon. Hal ini berkaitan dengan situasi politik Cirebon yang semakin memanas akibat terus-terusan menjalankan agresi militer ke Pajajaran. Cirebon sudah tidak kondusif lagi bagi peningkatan Kesadaran. Sudah sangat-sangat berubah. Sudah tidak sama lagi dengan Cirebon dimasa Syeh Dzatul Kahfi masih hidup.

Namun, Sunan Kalijaga melarang Syeh Lemah Abang menerima tawaran itu. Karena bila Syeh Lemah Abang menerimanya, pemerintah Demak Bintara akan menuduh beliau bersekongkol dengan Ki Ageng Pengging hendak mengadakan gerakan subversif. Syeh Lemah Abang memang tidak begitu memahami peta perpolitikan. Dan Sunan Kalijaga yang lebih paham. Oleh karenanya, Syeh Lemah Abang menolak tawaran Ki Ageng Pengging. Beliau memutuskan untuk tetap bertahan di Cirebon.

Dan, kabar bahwasanya Ki Ageng Pengging menawarkan wilayah Pengging sebagai tempat kepindahan pesantren Krendhasawa, diartikan lain oleh Pemerintahan Demak. Sultan Demak yang sudah terlanjur ketakutan, menyimpulkan bahwa memang tengah terjadi gerakan rahasia antara Ki Ageng Pengging dengan Syeh Lemah Abang.

Dan Dewan Walu Sangha-pun bertindak. Sunan Giri Kedhaton, mengeluarkan fatwa bahwa Syeh Lemah Abang adalah musuh kekhilafahan Islam di Jawa, dan tugas Sultan Demak dan Sultan Cirebon ( Sunan Gunung Jati ) untuk menangkap Syeh Lemah Abang. ( Cerita selengkapnya, baca catatan saya SEKELUMIT KISAH SUNAN KAJENAR ATAU SYEH SITI JENAR : Damar Shashangka ).

Terdengarlah kabar, Syeh Lemah Abang dijatuhi hukuman mati oleh Pemerintah Demak Bintara dengan tuduhan MENGAJARKAN AJARAN SESAT dan HENDAK MENGADAKAN MAKAR! Tak urung, Lontang Asmara, Sunan Panggung dan murid-murid Syeh Lemah Abang yang lain, ikut dijadikan sasaran pemerintah!

Kabar ini sampai juga ke Pengging. Ki Ageng Pengging berkabung. Begitu juga Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh. Untung, Ki Ageng Tingkir, Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Butuh, lepas dari daftar buruan pemerintah Demak. Tidak seperti Lontang Asmara dan Sunan Panggung.

Ki Ageng Pengging benar-benar merasa kehilangan. Dan beliau semakin menyadari, bagaimana posisinya di mata Sultan Demak. Dirinya dipandang sebagai duri dalam daging. Musuh dalam selimut. Tak urung, setelah Syeh Lemah Abang pasti akan tiba giliran beliau menjadi target untuk disingkirkan!

Ki Ageng Pengging telah siap untuk itu. Siap menunggu giliran untuk disingkirkan. Bukan untuk melakukan perlawanan bersenjata, namun siap menerima ajal jika memang Sultan Demak menghendakinya. Ki Ageng Pengging sangat merindui sosok Syeh Lemah Abang. Apabila Syeh Lemah Abang pergi dari dunia maya ini, maka Ki Ageng Pengging berniat untuk mengikutinya. Apalah arti dunia bagi Ki Ageng Pengging. Dunia sama sekali sudah tidak menarik minat beliau.

Beberapa bulan setelah wafatnya Syeh Lemah Abang, Ki Ageng Pengging mengirimkan surat kepada Sultan Demak. Isi surat tersebut sangat mengejutkan. Ki Ageng Pengging befmaksud mengakhiri pemerintahan Pengging. Dan beliau meminta kepada Sultan Demak agar memasukkan wilayah Pengging ke kadipaten terdekat, sesuai kebijaksanaan Sultan Demak. Bahkan, Ki Ageng Pengging meminta agar Sultan Demak melepas segala jabatan politik beliau.

Surat ini menggemparkan Demak Bintara. Begitu menerima surat tersebut, Sultan Demak mengadakan sidang mendadak dengan para petinggi Kesultanan. Sidang berjalan a lot. Dan hasil keputusan sidang, menyetujui permintaan Ki Ageng Pengging, walaupun sikap waspada tetap harus dijaga demi menghadapi maksud tersembunyi dari permintaan tersebut.

Keesokan harinya, Sultan Demak memerintahkan Patih Wanasalam, Patih Agung Kesultanan Demak Bintara, untuk berangkat menuju Pengging, menemui Ki Ageng Pengging. Patih Wanasalam ditugaskan untuk membacakan surat keputusan Sultan Demak dihadapan Ki Ageng Pengging sekaligus memenuhi keinginan Ki Ageng Pengging, mengadakan pelepasan jabatan. Disamping itu pula, Ki Wanasalam mendapat pesan khusus agar terus mencari informasi secara diam-diam tentang maksud sesungguhnya dari keinginan Ki Ageng Pengging.

Rombongan Patih Agung Demak Bintara ini, sampai juga di wilayah Pengging. Kedatangan rombongan pasukan Kesultanan yang serba mendadak ini, menggemparkan Pengging. Para Prajurid Pengging, tanpa di komando, segera mempersiapkan diri untuk menjaga hal-hal yang tidak diinginkan. Pengging mendadak tegang!!

Rombongan dari Demak ini disambut oleh Ki Ageng Pengging. Kedatangannya yang mendadak, tanpa pemberitahuan, memang disengaja agar bisa melihat kondisi Pengging yang sesungguhnya.

Seluruh pasukan Demak diberi tempat istirahat tersendiri. Ki Patih Wanasalam, diberikan tempat khusus. Perjalanan yang agak jauh, membuat Sang Patih kecapaian. Setelah disambut oleh Ki Ageng Pengging, Ki Patih Wanasalam, diberikan waktu untuk beristirahat sejenak.

Manakala dirasa sudah pulih tenaganya, Ki Wanasalam mengutus seorang prajurid agar menghadap Ki Ageng Pengging. Ki Ageng diminta bersiap sedia karena Ki Wanasalam hendak menyampaikan amanat Sultan Demak. Dan prajurid yang diutus, kembali dengan menyampaikan pesan dari Ki Ageng agar Ki Patih berkenan menuju Bale Pisowanan.

Ki Wanasalam, diiringi beberapa pengawal khusus, berangkat terlebih dahulu menuju Bale Pisowanan. Setelah Ki Patih sudah tiba disana, baru Ki Ageng Pengging menyusul. Hal ini adalah etika kerajaan Jawa, dimana seorang pejabat besar, harus terlebih dahulu ada di Bale Pisowanan, baru pejabat dibawahnya datang menghadap.

Setelah keduanya berada di Bale Pisowanan, Ki Ageng Pengging menyatakan kesiapannya mendengarkan amanat Sultan Demak Bintara. Ki Wanasalam segera menjelaskan, bahwa surat Ki Ageng telah diterima oleh Sultan Demak. Dan Sultan Demak telah mengadakan sidang khusus. Hasil keputusan sidang, telah tertulis didalam gulungan Surat Keputusan Sultan yang kini dipegang oleh Ki Wanasalam. Sebelum dibacakan, Ki Wanasalam menanyakan kesungguhan isi surat yang dikirimkan Ki Ageng Pengging. Lantas rencana apa yang hendak dilakukan Ki Ageng apabila keinginannya dikabulkan oleh Sultan Demak ?

Ki Ageng menghaturkan sembah sebelum menjawab, lantas beliau menuturkan bahwasanya apa yang telah beliau tulis dalam surat yang telah dikirimkan ke hadapan Sultan Demak memang benar-benar telah menjadi niatan dan kebulatan tekad beliau. Manakala keinginannya yang tertulis didalam surat tersebut dikabulkan, maka beliau hanya meminta agar pajak wilayah Pengging tidak dinaikkan serta memberikan tanah kepada Ki Ageng Pengging cukup beberapa jung ( hektar ) saja, sekedar sebagai tempat tinggal dan lahan bersawah.

Ki Wanasalam belum puas, dia terus mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang penuh selidik. Tentang hubungannya dengan Sunan Kalijaga, tentang nasib para prajurid Pengging kelak dikemudian hari, tentang jumlah perenjataan Pengging, tentang perekonomian Pengging dan tentang hubungan Ki Ageng Pengging dengan Syeh Lemah Abang dan para murid-muridnya. Ki Wanasalam sengaja ingin mendengar langsung jawaban dari Ki Ageng Pengging, demi untuk mencari-cari hal-hal yang janggal dari kata-kata beliau.

Namun, tidak satupun jawaban yang diberikan oleh Ki Ageng Pengging nampak ada kejanggalan disana. Ki Wanasalam tetap belum sepenuhnya percaya, dan pada akhirnya, Ki Wanasalam mengajukan pertanyaan simbolik. Pertanyaan yang sudah dipesankan oleh Sultan Demak. Pertanyaannya adalah sebagai berikut :

“Mana yang dipilih, ATAS atau BAWAH. KOSONG atau ISI?”

Ki Ageng Pengging tersenyum. Sejenak beliau terdiam. Lantas memberikan jawaban :

“Manakah yang hendak saya pilih ? Tidak ada. Sebab baik ATAS, BAWAH, KOSONG maupun ISI. Semuanya adalah milik saya.”

Ki Wanasalam terkejut mendengar jawaban Ki Ageng Pengging. Sekali lagi Ki Wanasalam mengajukan pertanyaan serupa. Dan kembali Ki Ageng Pengging memberikan jawaban yang sama, dan beliau tambahi :

“Janganlah salah mengerti. AKU ini adalah segalanya. AKU ada dimana-mana. AKU telah melampaui segalanya. Jadi, manalagi yang bisa AKU pilih ? Karena semuanya adalah AKU.”

Ki Wanasalam tersenyum dan berkata :


baca selengkapnya dan dapat simpan di file anda dalam bentuk pdf, baca disini


  • Ki Ageng Pengging


  • diposkan oleh: Paguyuban Pakoe boewono
    http://pakoeboewono.blogspot.com


    0 comments: