Thursday, April 5, 2012

Info-Info

Dalam kolom Info-Info ini kami melayani Bapak/Ibu/Saudara/Saudari sentonodalem SISKS.Pakoe Boewono, untuk menawarkan produk barang dan jasa, maupun untuk menginformasikan apapun.




Tahukah Saudara bahwa : Kereta api berkembang pesat kebetulan pada zaman PB.X




            Foto : PB.X meninjau Stasiun Kereta Api pada tahun 1936


Tahukah Saudara Bahwa PB.X mirip boneka wayang yang hidup (menurut pendapat Louis Couperus penulis Belanda ternama) ?
Sri Susuhunan Pakoe Boewono X (1866-1939) bersama istrinya Sri Gusti Kanjeng Ratu Mas Mursudarinah. Penulis Belanda yang ternama Louis Couperus (1863-1923) telah menceritakan PB X di buku “Kekuatan Terpendam” (De Stille Kracht, 1900): “Beliau mirip boneka wayang yang hidup. Beliau punya mata yang menyeramkan. Kadang-kadang mata tersebut tidur”. PB X senang membawa banyak bintang jasa pada dada. Seorang pegawai pemerintah Hindia Belanda pernah bertanya kepada beliau mengenai jumlah bintang jasa yang beliau miliki. Dengan memasang muka tanpa ekspresi, PB X membalas: “Gangsal welas kati”. (1 kati = 617 gram, gangsal welas =15)








                                                        Soesoehoenan Soerakarta 1900an

 Orang yang berbadan gemuk ini termasuk orang paling kaya di jaman itu dan beliau adalah orang Indonesia yang pertama yang memiliki mobil di tahun 1894. Beliau mempunya 6 permaisuri (istri resmi) dan 35 anak, tambah 30 anak dari 6 selir (istri sampingan).

Diatas itu artikel dalam bahasa belanda yang diterjemahkan oleh penulis kedalam bahasa indonesia.
Artinya bahwa si residen belanda tidak senang juga segan dan takut pada Beliau PB.X.


Tahukah Saudara Kartupos ini diterbitkan oleh Toko Gedeh dari Batavia ?


Kartupos diterbitkan oleh Toko Gedeh dari Batavia ini memperlihatkan Susuhunan Pakoe Boewono X (1866-1939) bersama Residen Soerakarta bernama Willem de Vogel (1848-1922) pada hari besar di Kraton Kasunanan di Solo (juga disebut Kraton Hadiningrat) yang dibangun pada tahun 1745 oleh PB II. Ini namanya Sri Manganti artinya ruang tunggu bila akan menghadap Raja. Ornamen di atas pintu itu simbol kerajaan jaman Sri Susuhunan Amangkurat (Mataram) sebelum pecah menjadi Surakarta & Jogjakarta. Di tiap sudut atas ada ornamen Lingga Yoni. Suhunan PB X punya nama resmi Pakoe Boewono Senopati Ingalogo Abdoerrachman Saijinin Panotogomo. Tetapi si residen yang lahir di Semarang ini menyebut (tidak memanggil) raja populer itu dengan nama sayangan “Sri Masalah” karena PB X mempunyai pengetahuan tentang perilaku manusia yang banyak. Dengan dimikian, beliau pinter menilai dan memanipulasi para petinggi kolonial Belanda.
Diatas itu artikel dalam bahasa belanda yang diterjemahkan oleh penulis kedalam bahasa indonesia.
Artinya bahwa si residen belanda segan dan takut pada Beliau PB.X.

Menelusuri Sejarah Kasultanan dan Pakualaman

Siapa sesungguhnya Sultan Hamengku Buwono (HB) dan Adipati Paku Alam (PA)? Apa sejatinya Kasultanan dan Kadipaten Pakualaman dalam situasi politik dan ekonomi tahun 1755 (tahun kelahiran Kasultanan) dan 1813 (tahun kelahiran Pakualaman)?

Kasultanan versi Perjanjian Giyanti (1755-1945) dan Pakualaman versi Perjanjian PA-Raffles (1813-1945)
Menjawab ketiga pertanyaan di atas, kita harus menelusuri sejarah Kasultanan dan Pakualaman. Kelahiran dan eksistensi Kasultanan dan Pakualaman tidak dapat dilepaskan dari kolonialisme, baik oleh VOC maupun pemerintah Hindia Belanda (1800-1812, 1814-1942) dan Inggris (1812-1813).

Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC, 26 Maret 1602 – 31 Desember 1799), yang kemudian dilafalkan “Kumpeni” (Company), merupakan perusahaan multibangsa (Multi National Corporation, MNC) pertama di dunia yang beroperasi di Asia (terutama Hindia Timur, yang berpusat di Banten) dan berkantor pusat di Amsterdam, Belanda. VOC merupakan perusahaan pertama yang mengenalkan sistem pembagian saham. VOC menunjukkan bahwa modal melampaui imajinasi kebangsaan maupun kenegaraan, berbeda dengan pemahaman nasionalis-developmentalis yang masih mengasumsikan kapitalis domestik lebih baik daripada kapitalis asing –mengaburkan fakta bahwa kapitalisme domestik maupun asing berwatak sama.

VOC dibekali Hak Octroi (hak-hak istimewa) dari pemerintah Belanda, yaitu: a) Hak monopoli perdagangan; b) Hak mencetak dan mengedarkan uang; c) Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai; d) Hak mengadakan perjanjian dengan raja-raja; e) Hak memiliki tentara sendiri; f) Hak mendirikan benteng; g) Hak menyatakan perang dan damai; dan h) Hak mengangkat dan memberhentikan penguasa-penguasa setempat. Intinya, VOC adalah perusahaan sekaligus “negara baru” di tanah jajahan.

Sebagai kekuatan modal (kapital) penyokong kapitalisme, VOC bekerja efisien dengan cara memanfaatkan hirarki yang hidup dalam kultur feodal di nusantara, yang mana massa secara total patuh pada elit penguasa. Melalui perjanjian dagang dan perjanjian politik dengan elit penguasa setempat, yaitu para raja atau sultan, VOC mampu mengendalikan rakyat jelata sebagai produsen komoditas-komoditas primadona saat itu. VOC menjaga modalnya dengan persenjataan modern, sehingga siapapun yang bekerja sama dengan VOC akan dirawat kekuasaan dan kekayaannya oleh VOC.

Mangunwijaya menggambarkan secara tepat bagaimana penghisapan kolonialisme bekerja terstruktur melalui hirarki antara VOC (pemodal), kerajaan (penguasa lokal), dan komunitas adat (jelata) dalam Ikan-ikan Hiu, Ido, Homa[4]. Hirarki yang dibentuk dan dirawat oleh motivasi penguasaan sumberdaya, baik melalui perang maupun perjanjian politik.

Sejarah penguasaan sumberdaya dalam situasi sosial-politik-budaya atau istilah lainnya strategi VOC mempecundangi Mataram yang hirarkis hampir selalu berakhir dengan akumulasi. Kerajaan Mataram Islam di Jawa tak luput dari sejarah akumulasi. Agar tidak terlalu jauh dari era kolonialisme-kapitalisme, kisahnya dimulai sejak Sultan Agung.


Sultan Agung (1613-1645) berambisi menciptakan hirarki dengan membangun kekaisaran di Jawa, karenanya VOC adalah saingan ekonomi politik baginya. Sebelum menyerang VOC, ambisinya dimulai dengan menyerang kerajaan-kerajaan di Jawa dan Madura yang akhirnya dia kalahkan, antara lain Tuban (1619), Madura (1623), dan Surabaya (1625). Awal Mataram resmi dipecundangi oleh VOC sejak masa Amangkurat I (pengganti Sultan Agung, yang menghadapi pemberontakan Trunajaya), berlanjut hingga Amangkurat II dan Pakubuwono I/Pangeran Puger—ia adalah paman Amangkurat III/Sunan Mas. Pangeran Puger dan Sunan Mas dipecundangi seolah-olah meminta bantuan VOC untuk saling menyerang tahun 1704-1708. Sunan Mas kalah dan dibuang ke Srilanka (Anshory, 2008)[5].Di Jawa, pasca ekspansi Sultan Agung yang gagal karena dipecundangi VOC, upaya-upaya pembangkangan oleh elit politik terhadap raja yang menjadi boneka VOC dipadamkan dengan perjanjian damai, sebab motivasinya ialah perebutan kekuasaan dan aset ekonomi. Contoh nyata ialah Kerajaan Mataram yang akhirnya pecah menjadi Kasunanan Surakarta (raja pertama diisukan seolah-olah dinobatkan VOC 1704); Kasultanan Yogyakarta (1755); dan Kadipaten Mangkunegaran (1757). Perpecahan Mataram ini terkenal dengan istilah Palihan Nagari (pembagian wilayah).

Palihan Nagari merupakan puncak dari peperangan sebelumnya, baik yang bermotif balas dendam akibat konflik kelas maupun perebutan tahta yang menumpanginya.

Geger Pecinan (1740) adalah perlawanan kaum Tionghoa terhadap VOC yang tidak dimotivasi perebutan kekuasaan politik lokal, melainkan dilatari oleh ketimpangan ekonomi antara buruh pabrik gula (Tionghoa miskin) terhadap majikan (VOC dan Tionghoa kaya) dan kekerasan pemerintah akibat anjloknya harga gula. Ketimpangan dan kekerasan itu memicu pembunuhan terhadap 50 pasukan Belanda, dibalas oleh Gubernur Jenderal VOC Adriaan Valckenier dengan pembantaian masal Oktober-November 1740, hingga menyebabkan 600-3000 dari 10.000 kaum Tionghoa Batavia yang tersisa hijrah ke Jawa Tengah (Lasem, Juwana, dan Rembang) di bawah pimpinan Khe Panjang (Sie Pan Jiang). Mereka diterima oleh Tiga Bersaudara anti-VOC: Raden Panji Margono (Tan Pan Ciang, anak Bupati Lasem Tejakusuma V (Raden Panji Margono menyamar sebagai seorang babah (keturunan Jawa-Tionghoa) bernama Tan Pan Ciang (Tan Pan Tjiang, berbeda dari Khe Pandjang yang memimpin para pengungsi China dari Batavia)),  Oei Ing Kiat atau dikenal sebagai Raden Tumenggung Widyaningrat , seorang pedagang keturunan juru mudi Laksamana Cheng Ho, pendakwah Islam di Nusantara), dan Tan Kee Wie (juragan bata).
Perang Kuning I (1741-1743). Tiga Bersaudara menyerang tangsi-tangsi VOC. Setelah merebut Jepara (21 Juli 1741), mereka menyerang markas VOC di Jepara dan Juwana, namun kandas di selat  antara Pulau Mandalika dan Pulau Ujung Watu (5 November 1742), Tan Kee Wie gugur. Pada tahun awal 1742, para pemberontak mengangkat pimpinan, cucu lelaki Amangkurat III yaitu Raden Mas Gerendi  (Sunan Kuning/Sun Kun Ing, pendakwah Islam yang petilasannya jadi nama kompleks pelacuran di Semarang). Kartasura, ibukota Mataram saat itu, jatuh pada Juli 1742 dan Pakubuwono II lari ke Ponorogo. VOC di bawah Gubernur Jenderal Gustaaf W. van Imhoff dan Pangeran Cakraningrat IV (Madura) yang ingin merdeka dari Mataram, merebut kembali Kartasura pada Desember 1742. Raden Mas Gerendi tertangkap pada Oktober 1743. Karena istana Kartasura sudah hancur, Pakubuwana II memindahkan ibukota kerajaan di Surakarta (Solo), istana baru ia tempati mulai 1745.

Perang Kuning II (1750). Raden Panji Margono melanjutkan perlawanan terhadap VOC dibantu laskar Tionghoa Lasem, Oei Ing Kiat (Oei Ing Kiat (Oey Ing Kiat) adalah seorang Tionghoa beragama Islam yang sangat kaya, keturunan Bi Nang Oen yang merupakan salah seorang juru mudi armada Laksamana Ceng Ho yang mendarat di Bonang-Lasem. Bi Nang Oen adalah seorang pujangga dari Campa yang menjadi penyebar agama Islam di Lasem pada awal abad XV. Oei Ing Kiat sendiri merupakan pengusaha dan syahbandar yang memiliki banyak kapal junk dan perahu antar pulau sumber wikipedia ) dan laskar santri Kyai Ali Badawi. Agustus 1750 terjadi pertempuran di sekitar Lasem hingga menggugurkan Raden Panji Margono dan Oei Ing Kiat.

Perang Kuning diselingi perebutan tahta yang memicu Perang Tahta Jawa (1746-1757). Bersama Tiga Bersaudara dan Sunan Kuning, Raden Mas Said/Pangeran Sambernyawa (kelak bertahta-gelar Mangkunegara I) melawan VOC- Paku Buwono II yang dipecundangi seolah-olah bersekongkol dengan VOC yang dibantu Pangeran Mangkubumi (kelak bertahta-gelar Hamengku Buwono I). Kemenangan aliansi Tionghoa-Jawa membuat Mataram beralih ibukota dari Kartasura ke Surakarta, dan Paku Buwono II dipecundangi VOC dan dipaksa menyerahkan kekuasaan dan wilayah kerajaan pada VOC dengan Perjanjian Ponorogo, 11 Desember 1749.
Satu minggu setelah kejadian itu, Paku Buwono II wafat dan digantikan oleh Paku Buwono III. Akhirnya pemberontakan Raden Mas Said dipadamkan oleh Mangkubumi, akan tetapi PB III mengingkari imbalan daerah Sukowati (kini Sragen) padanya, hingga Mangkubumi membelot ke kubu Raden Mas Said kemudian  menyerang PB III dari 1746-1755. Peperangan saudara itu berakhir dengan Perjanjian Giyanti 1755 dan Perjanjian Salatiga 1757.

Sejarah Mataram adalah sejarah perang saudara, sejarah pengkhianatan, sejarah dipecundangi oleh VOC dari masa ke masa karena perebutan kekuasaan dan aset ekonomi.

Soekanto (1953)[6], Antoro (2014[7] dan 2015[8]) dan Purwadi et al. (2015)[9]  membeberkan isi Perjanjian Giyanti 1755 (13 Februari 1755), isinya antara lain:

Pengangkatan Pangeran Mangkubumi menjadi Sultan Hamengku Buwono (HB) I sebagai pemimpin dari wilayah yang dipinjamkan kepadanya[10], dengan hak mewariskan pengelolaan kepada ahli warisnya dengan kewajiban menjaga itikad baiknya terhadap VOC dan Sultan HB I menerima isi perjanjian sebagai hukum abadi yang tidak terputus dan mutlak (Pasal 1).
Sultan berkewajiban menjalin persahabatan dengan warga VOC dan rakyat Jawa, dalam hubungan yang saling menguntungkan (Pasal 2), untuk menjamin hal tersebut maka semua pejabat pemerintahan maupun bupati dan seluruh penguasa jajaran tinggi yang diangkat oleh Sultan berkewajiban melakukan sumpah setia secara pribadi kepada VOC di Semarang (Pasal 3).
Sultan dilarang mengangkat pejabat tanpa persetujuan VOC (Pasal 4) dan tidak akan mengganggu gugat bupati yang pernah bersengketa dengannya, dengan imbalan VOC memaafkan kesalahan Sultan (Pasal 5).
Sultan wajib melepaskan pulau Madura dan daerah pesisir yang telah diduduki VOC dan membantu VOC untuk mempertahankan kepemilikannya atas provinsi laut, imbalannya Sultan digaji 2000 real Spanyol per tahun oleh VOC (Pasal 6). Sultan juga wajib membantu Sunan Paku Buwana penguasa Surakarta Hadiningrat dengan imbalan dilindungi dari musuh dari dalam dan luar negeri (Pasal 7).
Sultan mengukuhkan dan mengesahkan semua kontrak, perikatan, dan perjanjian yang telah diadakan sebelumnya antara VOC dan para raja Mataram, khususnya yang disepakati pada tahun 1705, 1733, 1743, 1746, dan 1749, sejauh tidak menentang perjanjian Giyanti 1755. Apabila Sultan dan keturunannya melanggar isi perjanjian maka diberi sanksi berupa pelepasan wilayah yang telah dipinjamkan (pasal 9)[11].Tahun 1799 VOC dibubarkan karena beberapa sebab, antara lain: 1) Korupsi pegawai VOC; 2) Belanda jatuh ke tangan Perancis; 3) Merosotnya kas karena biaya perang melawan Sultan Hasanuddin; 4) pembagian keuntungan (deviden) pada pemodal yang terlalu besar. Kekuasaan terhadap Hindia Timur diserahkan kepada pemerintah Belanda, melahirkan negara Hindia Belanda (cikal bakal Indonesia) yang dipimpin seorang Gubernur Jenderal.
Pada masa HB III, ketika terjadi peralihan kekuasaan dari Pemerintah Hindia Belanda ke Inggris, terjadi pergolakan di Kasultanan, menyebabkan berdirinya Kadipaten Pakualaman. Paku Alam I dan Gubernur Jenderal Hindia-Inggris, yaitu Sir Thomas Stamford Raffles menyepakati perjanjian pada 13 Maret 1813, yang isinya:

Paku Alam dan keluarganya memperoleh perlindungan dari Inggris (Pasal 1) dan Paku Alam memperoleh gaji bulanan sebesar 720 Real yang harus dikelola bersama Sultan, Paku Alam mendapat penguasaan atas wilayah seluas 4000 cacah (Pasal 2).
Wilayah tersebut di bawah jaminan Pemerintah Inggris, dan menjadi subyek administrasi dan pemerintah serta harus disediakan sewaktu diperlukan untuk modifikasi oleh pemerintah (Pasal 3). Terhadap tanah-tanah tersebut tidak dikenakan pajak baru (Pasal 4).
Atas keuntungan yang diperolehnya, Paku Alam harus membantu Pemerintah Inggris satu Korps yang terdiri atas 100 pasukan berkuda (Pasal 6).
Isi perjanjian Giyanti 1755 dan Perjanjian PA I–Rafless 1813 menunjukkan posisi politik Kasultanan dan Pakualaman sebagai bawahan Pemerintah Kolonial daripada posisi sebagai kekuasaan yang otonom, bahkan Kasultanan dan Pakualaman memerankan perpanjangan tangan dari kolonialisme melalui kontrak politik sebagaimana ditunjukkan oleh Shiraishi (1997:1)[12], Ranawidjaja (1955) dan Luthfi et al.(2009:32)[13]. Hal ini bertolak belakang dengan Sabdatama HB X pada 10 Mei 2012 di awal alenia tulisan ini. Posisi subordinat ini lebih tegas ditunjukkan dalam Perjanjian Politik HB IX dengan Dr. Luncien Adam, Gubernur Yogyakarta (wakil Gubernur Jenderal Hindia-Belanda), pada 18 Maret 1940. Isinya:

Pasal 1 (1) Kesultanan merupakan bagian dari wilayah Hindia Belanda dan karenanya berada di bawah kedaulatan Baginda Ratu Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal. (2) Kekuasaan atas Kesultanan Yogyakarta diselenggarakan oleh seorang Sultan yang diangkat oleh Gubernur Jenderal.
Pasal 3 (1) Kesultanan meliputi wilayah yang batas-batasnya telah diketahui oleh kedua belah pihak yang menandatangani Surat Perjanjian ini. (2) Kesultanan tidak meliputi daerah laut. (3) Dalam hal timbul perselisihan tentang batas-batas wilayah, maka keputusan berada di tangan Gubernur Jenderal.
Pasal 6 (1) Sultan akan dipertahankan dalam kedudukannya selama ia patuh dan tetap menjalankan kewajiban-kewajibannya yang diakibatkan oleh perjanjian ini ataupun yang akan ditandatangani kemudian berikut perubahan-perubahannya ataupun penambahan-penambahannya, dan ia bertindak sebagaimana layaknya seorang Sultan.
Pasal 12 (1) Bendera Kesultanan, Sultan dan penduduk Kesultanan adalah bendera Negeri Belanda. (2) Pengibaran bendera Kesultanan ataupun bendera atau panji-panji lain pengenal kebesaran Sultan di samping bendera Belanda tunduk di bawah ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh atau atas nama Gubernur Jenderal.
Pasal 25 (1) Peraturan-peraturan yang ditetapkan Sultan memerlukan persetujuan Gubernur Yogyakarta sebelum dinyatakan berlaku. (2) Peraturan-peraturan itu tidak bersifat mengikat sebelum diumumkan sebagaimana mestinya dalam Lembaran Kerajaan (Rijksblad).
Bagaimana Rekam Jejak Pertanahan DIY?
Bukti otentik bahwa Kasultanan Yogyakarta tidak merdeka dan berdaulat atas wilayah kekuasaannya ialah Perjanjian Klaten 27 September 1830 yang menjadi asal-usul luas Provinsi DIY saat ini. Perjanjian ini menandai akhir pemberontakan Diponegoro terhadap Sultan HB V yang dikendalikan Belanda dan merupakan konsekuensi dari Perjanjian Giyanti 1755 pasal terakhir. Ramadhan (2015: 62-64)[14] menguraikan isi perjanjian Klaten sebagai berikut[15]:
“Akta kesepakatan dibuat dan ditetapkan antara Raden Adipati Sosrodiningrat dari Surakarta Hadiningrat di satu sisi dan Raden Adipati Danurejo dari Yogyakarta Hadiningrat di sisi lain, serta kedua kuasanya, dari raja mereka, Paduka Susuhunan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panotogomo ke-7, dari Surakarta Hadiningrat, dan Sultan Hamengkubuwono Senopati Ing Ngalogo Abdurrahman Sayidin Panotogomo Kalifatulah ke-5 dari Yogyakarta Hadiningrat, di bawah pengawasan dan bimbingan tuan Komisaris untuk mengatur Vorstenlanden, I.I. van Sevenhoven dan Mr. H.G. Nahuys Kolonel bintang militer Willems Orde dan Nederlandschen Leeuw, paduka Tuan Komisaris Mr. P. Merkus, Dewan Hindia, ksatria Nederlandschen Leeuw, tidak hadir, dan di depan Tuan L.W.H. Smissaert sebagai sekretaris Karesidenan Surakarta menjabat sebagai residen di kraton Surakarta Hadiningrat dan Mr. I.F.W. van Nes, Residen di kraton Yogyakarta Hadiningrat dan Panembahan Buminoto Surakarta dan Penembahan Mangkurat dari Yogyakarta Hadiningrat”.

Pasal 1

Untuk menetapkan batas pemisah yang dibuat umum dan permanen, pada hari ini dan untuk seterusnya daerah Pajang dan Sukowati menjadi milik Paduka Susuhunan Surakarta dan daerah Mataram dan Gunung Kidul menjadi daerah Paduka Sultan Yogyakarta.

Pasal 2

Sungai Opak sejauh mengalir sampai dekat Prambanan, dijadikan dasar batas pemisah utama antara wilayah Mataram dan Pajang. Tetapi karena batas pemisah ini terutama aliran sungai tersebut akan mengalami perubahan terus-menerus akibat banjir besar atau sebab lain, untuk selanjutnya ditunjukkan sebuah jalan raya yang membentang dari Prambanan antara pohon beringin besar yang berdiri di pasar, menuju utara ke Merapi dan menuju selatan ke Gunung Kidul. Pada jalan pemisah ini, sebuah tiang batu, tonggak dan pohon yang besar dan tua dibangun dan ditanam sebagai petunjuk abadi. Kedua patih wajib untuk secepat mungkin dan tanpa ditunda lagi mewujudkannya melalui penduduk kedua kerajaan, ketika musim kini masih menguntungkan.

Pasal 3

Garis batas antara daerah Pajang dan Gunung Kidul adalah lereng pegunungan selatan di sisi utaranya. Di sepanjang lereng ini sejauh mungkin dan untuk menegaskannya, tonggak dan pohon menjadi petunjuknya.

Pasal 4

Tanah-tanah yang terletak di antara Merapi dan Merbabu dan di sebelah barat yang dipisahkan oleh wilayah pemerintah, seluruhnya dimiliki oleh Paduka Susuhunan Surakarta.

Pasal 5

Makam-makam suci di Imogiri dan Kotagede di daerah Mataram, dan makam-makam di Seselo di daerah Sukowati tetap menjadi milik kedua raja. Untuk merawat makam-makam di Mataram, lima ratus cacah tanah di dekatnya diserahkan kepada Paduka Susuhunan, sementara untuk makam Seselo di Sukowati dua belas Jung tanah diserahkan kepada Paduka Sultan Yogyakarta, di dekatnya digunakan bagi perawatan makam ini.

Pasal 6

Para bupati dan kepala rendahan sesuai pilihan mereka bisa mengikuti raja atau tanahnya, tanpa boleh dipaksa atau dihambat oleh kedua raja.

Pasal 7

Apabila dalam pelaksanaan pasal-pasal tersebut di atas kesulitan atau sengketa muncul, kedua patih wajib untuk memberitahukan kepada Tuan Komisaris dan tunduk kepada keputusan mereka.

Demikian dibuat dan disepakati di Klaten tanggal 9 Rabiul Akhir tahun 1758 atau 27 September 1830. Selanjutnya persiapan dilakukan bagi keberangkatan para komisaris dan pengiringnya, yang dilakukan dalam urutan yang sama seperti saat tiba. Dari semua ini, berita acara dibuat dan diserahkan kepada Paduka Gubernur Jenderal.

Klaten, 27 September 1830

Komisaris untuk Mengatur Vorstenlanden
Pada masa pemerintahan HB VII, bersamaan dengan krisis tambang batu bara Ombilin (Sawah Lunto, Sumatera Barat) tahun 1918, kas Hindia Belanda menipis sehingga daftar sipil (termasuk gaji Sultan) dihemat. Di Kasultanan Yogyakarta, penghematan itu berbentuk pemberian kuasa kelola atas wilayah Hindia Belanda melalui penerbitan Rijksblad No. 16 tahun 1918 dan Rijksblad No. 18 Tahun 1918, yang bunyinya antara lain:

Pasal 1

“Sakabehing bumi kang ora ana tandha yektine kadarbe ing liyan mawa wewenang eigendom, dadi bumi kagungane keraton Ingsun”. (Sembiring, 2012: 19-22)[16]

Artinya: Semua tanah yang tidak ada bukti kepemilikan menurut hak eigendom (hak milik, menurut Agrarische Wet 1870), maka tanah itu adalah milik kerajaanku.

Pasal 6

“Adol utawa angliyerake wewenang andarbeni utawa nganggo bumi…marang wong kang dudu bangsa Jawa lan nyewake utawa nggadhuhake bumi gawe marang wong kang dudu bangsa Jawa…kalarangan“.[17]

Artinya: Menjual atau mengalihkan hak andarbeni atau memakai tanah… kepada orang bukan bangsa Jawa dan memberikan sewa atau memberikan hak pakai kepada orang bukan bangsa Jawa… dilarang (pada waktu itu bangsa Indonesia belum lahir, karena ide kebangsaan tunggal lahir dari Sumpah Pemuda 1928).

Mengikuti asas Domein Verklaring (tanah tak bertuan dianggap tanah milik negara Hindia Belanda), kedua Rijksblad 1918 itu kemudian menjadi dasar lahirnya Tanah Kasultanan (Sultanaat Ground/SG) dan Tanah Pakualaman (Pakualamanaat Ground/PAG). Sultanaat Ground dan Pakualamanaat Ground berbeda makna dengan istilah yang dikenal umum sebagai Sultan Ground (Diktum II UUPA menyebutnya Grant Sultan yang setara dengan Yasan, Andarbe dan istilah lain semakna eigendom), Rijksblad adalah klaim untuk tanah institusi sedangkan Grant Sultan adalah hak milik (eigendom) individu Sultan maupun Paku Alam yang bertahta. Tanah institusi tidak bisa diwariskan atau diperjual belikan karena menjadi bagian dari Negara Hindia Belanda, sedangkan tanah individu bisa dilepaskan kepemilikannya.

Istilah Tanah Kasultanan (SG) dan Tanah Pakualaman (PAG) kini dihidupkan kembali melalui UU No. 13 Tahun 2012 tentang Keistimewaan DIY maupun Perda Istimewa yang segera disahkan. Keduanya menimbulkan konflik agraria struktural (baca Tanahmu Bukanlah Milikmu).

Di Jawa, swapraja bukan hanya kerajaan, tetapi juga daerah perdikan (daerah otonom di dalam wilayah kerajaan yang tak ditarik pajak, upeti, maupun tenaga prajurit oleh kerajaan) yang dulu banyak terdapat di Banyumas.

Beberapa jenis swapraja menurut sejarah terbentuknya: a. Kerajaan yang berasal dari kerajaan yang sudah ada sebelum VOC atau Pemerintah Belanda hadir di nusantara, b. Kerajaan sempalan (melepaskan diri dari kerajaan dominan), atau c. Kerajaan baru dari komunitas tanpa raja atau sultan semisal Karo, Toraja, Gayo, dan Timor (Ranawidjaja, 1955: 5)[18].  Lebih lanjut, menurut hukum waktu itu, swapraja dibedakan pula antara a. Swapraja dengan kontrak panjang dan b. Swapraja dengan kontrak pendek (Ranawidjaja, 1955:9).
Bagaimana dengan Status Swapraja di Yogyakarta Kala Itu?
Swapraja di Yogyakarta tidak termasuk kerajaan yang sudah ada sebelum VOC atau Pemerintah Hindia Belanda hadir, bukan pula sempalan dari kerajaan dominan, bukan pula kerajaan baru yang dibentuk VOC atau Pemerintah Hindia Belanda dari komunitas tanpa raja. Akan tetapi, berdasarkan jenis kontraknya, kedua swapraja di Yogyakarta terbentuk dari kontrak politik panjang dengan VOC (Kasultanan) dan Pemerintah Inggris (Pakualaman).

Fakta sejarah ini bertolak belakang dengan klaim Sultan HB X dalam Sabdatama 10 Mei 2012, maupun pemahaman awam tentang apa istimewanya Yogyakarta. Pemahaman awam boleh jadi luput karena penggelapan fakta, klaim Kasultanan dan Pakualaman adalah negara merdeka sudah pasti kurang tepat.

0 comments: