Monday, April 16, 2012

Sura

Perayaan 1 Suro







Orang orang tradisional Jawa yang tinggal di Jawa maupun bagian lain Indonesia banyak yang merayakan 1 Suro yang dipandang sebagai hari sakral. Secara tradisi turun temurun, kebanyakan orang  mengharapkan “ ngalap berkah” mendapatkan berkah pada hari besar yang suci ini.Pada malam 1 Suro, biasanya orang melakukan laku prihatin untuk tidak tidur semalam suntuk atau selama 24 jam.

1 Suro adalah Tahun Baru menurut kalender Jawa. Berbeda dengan perayaan Tahun Baru kalender Masehi yang setiap tanggal 1 Januari dirayakan dengan nuansa pesta , orang Jawa tradisional lebih menghayati nuansa spiritualnya.

Pemahamannya adalah : Tanggal satu pada tahun baru Jawa diperingati sebagai saat dimulainya adanya kehidupan baru. Umat manusia dari lubuk hati terdalam manembah, menghormati kepada Yang Satu itu, Yang Tunggal, Yang Esa, yang mula-mula menciptakan seluruh alam raya ini dengan semua isinya, termasuk manusia, yaitu Gusti, Tuhan yang Maha Esa.
Oleh karena itu peringatan 1 Suro selalu berjalan dengan khusuk, orang membersihkan diri lahir batin, melakukan introspeksi, mengucap syukur kepada Gusti,Yang Membuat Hidup dan Menghidupi, yang telah memberi kesempatan kepada kita semua untuk lahir, hidup dan berkiprah didunia ini.

Menyadari atas kesempatan teramat mulia yang diberikan oleh Sang Pencipta, maka sudah selayaknya manusia selaku titah menjalankan kehidupan didunia yang waktunya terbatas ini, dengan berbuat yang terbaik, tidak hanya untuk dirinya sendiri dan keluarga terdekatnya, tetapi untuk sesama mahluk Tuhan dengan antara lain melestarikan jagad ini, istilah kejawennya adalah Memayu Hayuning Bawono.  Tidak salah jagad harus dilestarikan, karena kalau jagad rusak, didunia ini tidak ada kehidupan.

Pemahaman ini telah sejak jaman kabuyutan di Jawa , dimasa kuno makuno, telah dengan sadar disadari sepenuhnya oleh para pinisepuh kita.

Perayaan 1 Suro bisa dilakukan dibanyak tempat dan dengan berbagai cara. Itu tergantung dari kemantapan batin yang menjalani dan bisa juga sesuai dengan tradisi masyarakat setempat.


Beberapa tempat  untuk memperingati 1 Suro

Banyak orang yang melakukan ziarah ketempat-tempat yang dipercaya mempunyai daya supranatural yang kuat. Banyak peziarah yang mendaki puncak Gunung Lawu disebelah timur Solo. Ribuan orang berada di pantai Parangtritis dan Parangkusumo di Yogyakarta, mereka melakukan “lek-lekan” artinya semalaman tidak tidur. Gunung Dieng juga dipenuhi banyak pengunjung untuk melakukan Suran.

1-gunung-lawu-hargo-dalem
2-parangkusumo





Beberapa mata air, sendang dan sungai dipadati pengunjung untuk mandi sesuci ditengah malam. Tempat favorit adalah tempuran sungai, tempat bertemunya dua sungai menjadi satu . Tempuran sungai dipercaya mempunyai daya gaib/ enerji yang lebih kuat. Selain mandi, banyak yang berendam berlama-lama disungai, hanya kepalanya yang kelihatan dipermukaan air. Sesudah mandi atau berendam, mengadakan tirakatan dipinggiran sungai sampai pagi hari.

Makam-makam dan petilasan orang-orang tua bijak, raja, wali, pertapa yang terkenal, banyak didatangi peziarah untuk melakukan doa kepada Tuhan dan selanjutnya melakukan semedi, meditasi atau berzikir seperti yang dilakukan peziarah di petilasan Dlepih.

Banyak tempat dikota-kota dan berbagai desa mengadakan pagelaran wayang kulit semalam suntuk untuk mangayu bagyo 1 Suro, memperingati 1 Suro dengan menonton pertunjukan wayang kulit semalam suntuk , dimana hadirin akan menerima petunjuk-petunjuk yang berguna untuk kehidupan, meningkatkan moral dan mendalami ajaran spiritual .Bila didesanya atau didesa tetangga tidak ada pagelaran wayang kulit, biasanya penduduk desa berkumpul disatu tempat yang lapang atau dibalai desa untuk mendengarkan siaran wayang kulit dari radio.


Tempat-tempat terkenal yang dipakai untuk tirakatan 1 Suro

Desa Pantaran, 16 km sebelah utara Boyolali, dilereng timur Gunung Merbabu.

3-pantaran






Dinginnya udara malam dan dinginnya air sungai Sipendok yang bagaikan es, tidak menyurutkan minat para peziarah untuk mandi disungai tersebut.

Sesuai kebiasaan di Pantaran, para peziarah mandi berendam disungai dengan memegangi sebuah lilin yang dinyalakan, mereka baru naik sesudah lilin itu habis. Sesudah itu , mereka meneruskan tirakatan dipinggir kali sampai pagi.

Pantaran adalah pertapaan yang terkenal, yang dulu sering dipakai bertapa keluarga Kerajaan Pengging termasuk Jaka Tingkir pada masa mudanya. Jaka Tingkir dinobatkan menjadi Raja Kerajaan Pajang dengan gelar Sultan Hadiwijaya.


Gunung Merapi

4-sesaji-merapi







Penduduk desa Selo yang terletak dilereng utara Gunung Merapi, setiap malam 1 Suro mengadakan ritual sesaji sedekah gunung untuk memperingati 1 Suro. Sesajinya antara lain berupa kepala kerbau yang ditanam dipuncak Gunung Merapi, tetapi bila cuaca buruk dan gunung sedang gawat, cukup ditanam disuatu tempat yang disebut Pasar Bubrah.


Gunung Merbabu

Pada malam 1 Suro, penduduk yang tinggal dilereng utara Gunung Merbabu melakukan sedekah tradisional didekat Kawah gunung.


Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro

5-sumbing--the-sand-sea
6-sindoro_from_kledung_hotel







Gunung-gunung ini terletak di Temanggung dan Wonosobo di Jawa Tengah. Warga setempat yang tinggal dilereng-lereng gunung Sumbing dan Sindoro pada malam 1 Suro mendaki kepuncak-puncak gunung tersebut yang tingginya lebih dari 3000 m diatas laut. Mereka berada dipuncak sampai matahari terbit. Ini sudah menjadi tradisi turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu.


Desa Guyangan, Nogotirto, Sleman, Jogjakarta

Untuk merayakan 1 Suro sambil ngalap berkah, banyak peziarah yang datang kedesa Guyangan, Nogotirto, Sleman untuk mandi dan minum air sumur buatan Ki Demang Cokrodikromo tahun 1877. Mereka percaya dengan ritual ini, mereka selalu sehat, selamat dan terhindar dari masalah kehidupan yang tidak baik.


Tempat-tempat yang tidak pernah sepi

Banyak tempat yang tidak pernah sepi pengunjung pada malam 1 Suro, seperti :
Pertemuan sungai Oya dan Opak, pertemuan sungai Kontheng dan Winongo, pertemuan sungai Gajah Wong dan Opak dan lain-lain didaerah Jogjakarta. Di Surakarta banyak peziarah mandi di sungai Ranji. Sungai dikota Semarang juga banyak dikunjungi peziarah.

Makam-makam dan petilasan-petilasan yang ramai  dikunjungi a.l :

7-kota_gede_mataram_gate






Kembang Lampir, Kota Gede, Imogiri, Giring, Wotgaleh, Makam nDoro Purbo, Lawang Tunggal, Suralaya, Gunung Lanang, Syekh Bela- Belu, Syekh Maulana Magribi, Selo Ening, Barat Ketiga, Panembahan Bodho dan lain-lain tempat di Jogjakarta.

Di Surakarta banyak orang berkunjung ke Pengging, Petilasan Karaton Pajang, Bayat, Laweyan, Langenharjo, Kyai Balak dll.

Mata air yang menarik untuk dipakai mandi suci antara lain :

8-jumprit-temanggung






Kasihan, Brajan, Seliran, Kemuning, Pengging, Tingkir, Jumprit dan lain-lain.

Beberapa gua yang diminati pengunjung adalah : Gua Langse, Cermin, Bribin,  Rancang dll.

Di pantai selatan, ribuan orang memadati  tempat-tempat favorit di Parangkusumo, Parangtritis, Parangendog, Pandansimo. Di Ngrenehan diadakan sesaji laut atau Pisungsung Jaladri. Upacara ritual juga diadakan di Ngobaran dan Kukup. Juga banyak orang melewatkan malam 1 Suro di Baron, Samas dan Krakal.

Dipesisir pantai utara laut Jawa juga banyak diadakan upacara-upacara ritual seperti di pantai Jepara. Tempat-tempat lain di Jawa Tengah yang banyak dikunjungi peziarah a.l. :

9-krendowahono_surakarta






Pantai Cilacap, Gunung Srandil, bukit di Randudongkal, Kadilangu, Demak , Krendhowahono dll.

Sedangkan beberapa tempat di Jawa Timur yang ramai pada  1 Suro adalah : Alas Ketonggo, Petilasan Prabu Jayabaya di Mamenang , Kediri, Danau Ngebel dekat Ponorogo, Madiun, Gunung Kawi, Malang, Petilasan Kraton Majapahit di Trowulan, Surabaya dll.

Di Jakarta, Ibukota Indonesia ,banyak warganya yang merayakan 1 Suro secara tradisi yaitu misalnya dengan kumpul-kumpul sambil “lek-lekan”- tidak tidur semalaman atau dengan menyaksikan atau mendengarkan pagelaran wayang kulit semalam suntuk.


Hari Sakral di bulan Suro

Selain tanggal 1 Suro yang sakral, hari Selasa Kliwon juga dinyatakan sakral. Pada malam Selasa Kliwon dibulan Suro banyak peziarah berada ditempat-tempat yang dianggap sakral dan punya daya gaib yang kuat.

Kalau pada bulan Suro tidak ada hari Selasa Kliwon, sebagai gantinya adalah hari Jum’at Legi atau Kliwon.

Pada bulan Suro banyak orang yang mengadakan upacara ruwatan untuk keselamatan dan buang sial seperti Ruwatan Murwakala.


Lebih banyak Tirakatan

Pada dasarnya, orang tradisional Jawa senang kepada kebatinan, senang melakukan tirakat seperti “ngurang-ngurangi”- membatasi akan hal-hal yang bersifat kebutuhan atau kesenangan duniawi, supaya mendapatkan ketenangan hidup dan pencerahan spiritual.

Sebelum bersembahyang  akan membersihkan raga dan jiwa dengan jalan mandi suci dan berpuasa sekuatnya dan selama itu berusaha supaya berpikiran baik, menghindari perkataan dan perbuatan kotor. Biasanya juga dibarengi dengan mengurangi tidur dengan jalan : tidur hanya sekali sehari yaitu sesudah jam 12.00 malam dan bangun sebelum matahari terbit. Konsumsi makanannya secukupnya saja dengan lebih banyak sayur dan buah, sedikit nasi; daging dihindari atau sedikit saja.Minum air putih.

Melakukan pekerjaan atau mencari nafkah yang rajin dan dengan jalan yang baik, senang menolong sesama, menjaga kebersihan diri, rumah, lingkungan dan turut melestarikan alam. Dalam kehidupan sehari-hari selalu menjaga keseimbangan keperluan duniawi dan spiritual.

Selama bulan Suro, laku tirakat akan lebih kencang artinya lebih banyak melakukan tirakat. Ini bulan suci, waktu yang sangat baik untuk membersihkan diri lahir batin dan mendekatkan diri kepada Gusti ,Sang Pencipta.

Oleh karena itu, pada bulan Suro orang Jawa tradisional tidak melakukan pertemuan atau pesta yang bersifat keduniawian, tidak melakukan upacara perkawinan, membuat rumah baru dsb.

Bulan Suro dipandang bulan yang baik untuk menobatkan Ratu atau Raja. Bulan Suro juga waktu yang baik untuk mengadakan jamasan- pencucian pusaka seperti keris, tombak, gamelan dsb.

Di beberapa desa , upacara Bersih Desa atau Ruwat Bumi diadakan pada bulan Suro.


Kirab Pusaka

Karaton Surakarta dan Puro Mangkunagaran melakukan Kirab Pusaka pada malam 1 Suro.

Puro Mangkunagaran

Kirab dimulai pada jam 7.00 – tujuh malam pada setiap 1 Suro. (Seperti diketahui kalender Jawa mengikuti sistim rembulan, oleh karena itu hari dan tanggal baru dimulai pukul 6.00 sore ).

Pada pelaksanaan kirab, beberapa pusaka andalan milik Puro Mangkunagaran dibawa kirab oleh para abdidalem, dikawal oleh beberapa petinggi Puro , anggota trah dan diikuti banyak pengikut.

Pusaka-pusaka yang dikirab antara lain Kanjeng Kyai Tambur, Kanjeng Kyai Poh Jenggi dan pusaka-pusaka lain yang langsung ditunjuk oleh Sri Mangkoenagoro IX. Rute kirab adalah berjalan kaki mengelilingi tembok Puro sebelah luar. Setelah selesai kirab, pusaka-pusaka tersebut ditempatkan kembali dengan khidmad ditempatnya semula.

Pada tengah malam, Puro Mangkoenagaran mengadakan ritual samadi di nDalem Ageng didepan Krobongan- tempat terpenting rumah tradisional Jawa. Didepan kamar itu terdapat dua buah patung kayu Loro Blonyo yang merupakan symbol kemakmuran. Selama satu jam listrik dikomplek Puro dipadamkan selama ritual Suran dan samadi yang dipusatkan di nDalem Ageng, yang di ikuti oleh para petinggi Puro, keluarga/trah dan para abdidalem. Mereka semua duduk bersila dengan hening dan khusuk melakukan samadi. Selain nDalem Ageng. Pringgitan dan Pendapa juga dipakai untuk upacara ritual.


Pusaka Mangkunagaran di Wonogiri

10-sesaji_offering_suro







Puro Mangkunagaran mempunyai beberapa pusaka yang ditaruh di desa Nglaroh, Wonogiri. Ini memenuhi janji dari Sri Mangkoenagoro VII untuk mengingat jasa-jasa rakyat  desa Nglaroh dalam membantu perjuangan Pangeran Sambernyowo yang kemudian menjadi Sri Mangkoenagoro I.

Pusaka-pusaka tersebut Kanjeng Kyai Togog, Kanjeng Kyai Baladewa, Kanjeng Kyai Karawelang ditempatkan didalam sebuah monumen yang bentuknya seperti candi yang tingginya 7 ( tujuh) meter. Seluruh batu yang digunakan  untuk monumen itu berasal dari Gunung Lawu.

Dipuncak bangunan tersebut ada sebuah pintu, untuk membukanya  harus dilakukan oleh 8 ( delapan) orang penduduk asli Selogiri.

Setiap tahun pusaka-pusaka tersebut dimandikan di pendapa Selogiri. Sesudah selamatan pusaka-pusaka tersebut dikutugi – diasapi dengan asap kemenyan, lalu dikembalikan lagi ditempatnya di monumen.

Pada saat jamasan- pemandian pusaka, banyak pusaka milik warga setempat yang ikut pula dijamasi supaya pusaka-pusaka secara fisik bersih, terpelihara dan daya supranatural pusaka tetap kuat.


Karaton Surakarta

11-pakuboewono_xii






Kirab Pusaka Karaton Surakarta dimulai tepat tengah malam 1 Suro. Sepanjang jalan yang dilalui kirab penuh dijejali oleh ribuan pengunjung untuk ngalap berkah. Rute kirab dimulai dari Karaton menuju Alun-alun Utara, lalu ke Gladag, Pasar Kliwon, Gading, Nonongan, Alun-alun Utara dan masuk kembali ke Karaton.

Iringan kirab didahului oleh cucuk lampah- barisan terdepan yang unik, yaitu rombongan Kebo Bule – kerbau putih Kyai Slamet yang dipercaya sebagai symbol keselamatan.

12-kyai_slamet







Pusaka=pusaka yang dikirabkan a.l. : Kanjeng Kyai Baru, Kanjeng Kyai Kebo Mas, Kanjeng Kyai Brekat, Kanjeng Kyai Batok, Kanjeng Kyai Kertaraharja, Kanjeng Kyai Jompong dan pusaka-pusaka lain yang ditunjuk langsung oleh Sri Pakubuwono XII.

Selama kirab berlangsung, beberapa abdidalem melakukan meditasi di Paningrat dan sebagian yang lain berdoa di Masjid Pudyasana. Acara doa dan semadi berakhir kira-kira jam 3.30 pagi saat rombongan kirab telah masuk kembali di Karaton.

Jadi dikota Solo, pada malam 1 Suro, warga menyaksikan dua kirab pusaka yaitu dari Mangkunagaran dan Kasunanan. Pada malam itu suasana ramai sekali . Seandainya malam itu hujan, hal itu tidak menghalangi kawula untuk menyaksikan kirab pusaka. . Beberapa orang dengan khusuk menghormat pusaka yang lewat didepan mereka dengan sembah. Itu sudah merupakan tradisi yang berjalan sejak lama.


Pesan dari Sri Pakoeboewono XII

Sehubungan dengan kirab 1 Suro, Sri Susuhunan Pakoeboewono XII almarhum pernah bersabda bahwa Kirab Pusaka 1 Suro di Surakarta diadakan dengan harapan untuk membantu rakyat supaya hidup selamat, damai, makmur atas perkenan Tuhan Yang Maha Kuasa.

Selanjutnya beliau menyatakan : Di Karaton Surakarta, Kirab Pusaka adalah tradisi untuk memperingati tahun baru 1 Suro. Pusaka-pusaka tersebut dipercaya memiliki daya supranatural yang akan menyebarkan daya magisnya. Selama kirab, semua keluarga Karaton yang terkait dengan upacara tersebut wajib untuk memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa supaya Negara beserta segala isinya berada dalam keadaan selamat. Kirab Pusaka bukanlah pameran senjata, ini adalah manifestasi budaya tradisional yang dilaksanakan pada waktu yang telah ditentukan.


Perawatan Pusaka

Pusaka-pusaka karaton disimpan di-nDalem Ageng Prabasuyasa. Kamar pusaka diurusi oleh beberapa abdidalem wanita yang ditunjuk.

Untuk persiapan kirab, beberapa pusaka dibawa kesebuah tempat yang namanya Parasdya. Sinuwun memutuskan beberapa orang bangsawan  dan abdidalem untuk mengikuti kirab sesuai rute yang telah ditentukan.

Setiap pusaka yang dikirab dilindungi kain beludru dan diangkat dua orang. Selama kirab yang merupakan upacara sakral, maka semua petugas yang mengikuti kirab yang lamanya kurang lebih 4(empat) jam itu dilarang berbicara, merokok, makan, minum dan selama waktu itu harus berlaku patut dan sopan.

Ada beberapa abdidalem yang bertugas untuk mengawal pusaka-pusaka sambil terus menerus membakar kemenyan.


Di Jogjakarta

13-kirab-pusaka_heirloom-procession








Karaton Jogjakarta tidak mempunyai tradisi melakukan kirab pusaka di bulan Suro. Pusaka Karaton dikirabkan diluar karaton pada saat yang diperlukan dan atas permintaan masyarakat, misalnya untuk melawan wabah penyakit, banjir, kebakaran dll marabahaya.

Pusaka-pusaka karaton yang pernah dikirabkan a.l. Kanjeng Kyai Tunggul Wulung untuk melawan wabah penyakit yang waktu itu melanda Jogja.

K.K. Tunggul Wulung berupa bendera hitam yang bergaris kuning dipinggirnya. Ditengah ada lukisan pedang putih dan lingkaran-lingkaran merah dan huruf Arab. Kanjeng Kyai Pare Anom sebuah bendera berwarna hijau dengan tulisan huruf Arab. Kedua pusaka itu dipercaya mempunyai daya magi putih yang kuat.


Kirab Keliling Benteng Karaton

Dimulai sejak tahun 1950, paguyuban bangsawan Jogjakarta yang bernama Hari Dewado memperingati 1 Suro dengan cara melakukan kirab, berjalan kaki mengelilingi Benteng Karaton disebelah luar. Kegiatan ini kemudian menjadi tradisi. Sampai kini, setiap malam 1 Suro , masyarakat secara spontan berjalan keliling Benteng Karaton sebagai upacara ritual.
Meski kirab ini tidak ada yang mengorganisir, tetapi warga yang berpartisipasi melakukan dengan tertib. Selama berjalan keliling benteng tidak bicara, istilah lokalnya mbisu. Ini merupakan salah satu laku spiritual supaya mendapatkan ketentraman hidup.

Para peserta jalan keliling bukan hanya bangsawan Jogja, tetapi bebas, boleh dilakukan siapapun.Biasanya kirab keliling benteng berakhir jam 4 ( empat) pagi.


Kegiatan abdidalem

Karaton Jogjakarta dan Puro Pakualaman pada setiap malam 1 Suro juga mempunyai upacara ritual yang dilakukan oleh beberapa abdidalem yang ditugasi. Tetapi kegiatan itu hanya untuk keperluan Karaton dan Puro dan tidak dipublikasikan.  Tetapi apabila ada orang yang kebetulan tahu dan mendatangi tempat upacara, mereka tidak akan diusir oleh abdidalem yang bertanggung jawab. Upacara 1 Suro oleh Karaton  pernah dilakukan di Ngobaran, pantai selatan sedangkan Puro melakukan di Gunung Lanang . Menurut para spiritualis Kejawen, kedua tempat tersebut mempunyai daya linuwih - enerji yang bagus dan kuat.

Adalah hal yang biasa bila dimalam 1 Suro, Sultan Hamangkubuwono IX maupun Sri Pakualam IX masing-masing mempunyai acara.


Siraman Pusaka

Karaton Surakarta, Karaton Jogjakarta, Puro Pakualaman mengadakan siraman pusaka- pemandian pusaka pada hari Selasa Kliwon setiap bulan Suro. Kalau dibulan Suro tidak ada hari Selasa Kliwon, maka diadakan pada hari Jum’at Kliwon atau Jum’at Legi. Puro Mangkunagaran mengadakan upacara siraman pusaka pada pagi hari 1 Suro.

Arti lain dari Suro adalah berani. Pusaka-pusaka Karaton dan Puro adalah pusaka-pusaka sakti yang dulu dipakai sebagai senjata dalam perang. Dengan men-jamasi-nya /menyucikannya di bulan Suro, pusaka-pusaka tersebut akan tetap mempunyai sifat berani dan tetap memancarkan enerji yang baik .

14-menyucikan-pusaka






Tradisi memandikan/menyucikan puasa pada bulan Suro telah menjadi tradisi bagi para pemilik pusaka diluar karaton. Setiap bulan Sura, mereka akan  memandikan pusakanya. Bila tidak bisa melakukannya sendiri, bisa minta bantuan pihak yang ahli dalam siraman pusaka. Setiap Karaton dan Puro mempunyai abdidalem yang khusus mengurusi pusaka.


Pelaksanaan Siraman Pusaka

Dipagi hari Selasa Kliwon, sekitar jam 10.00 siraman dimulai. Raja akan melakukan sendiri siraman beberapa pusaka karaton yang terpenting.

Karaton Surakarta pusaka andalannya  Kanjeng Kyai Baru ; Karaton Jogjakarta adalah Kanjeng Kyai Plered. Pusaka-pusaka tersebut diambil sendiri oleh raja atau oleh seorang Bupati wanita yang ditunjuk dari Bangsal Prabayeksa. Kemudian pusaka –pusaka dimandikan dengan proses sebagai berikut :

1. Mutihi - membersihkan
2. Marangi - mengolesi dengan warangan
3. Anjamasi - mengoleskan minyak cendana

Sesudah siraman selesai, pusaka-pusaka dikembalikan ke Bangsal Prabayeksa.


Sesaji

Sebelum pelaksanaan siraman pusaka, seperangkat sesaji disiapkan terlebih dulu, yang terdiri dari a.l. : beberapa bubur berwarna-warni; buah-buahan; ayam jago; daging untuk beberapa pusaka. Selanjutnya pusaka-pusaka diatur di Bangsal Manis. Selama proses siraman berlangsung, ada abdidalem yang membakar kemenyan.


Tatacara siraman pusaka di Karaton Jogjakarta

Upacara tradisional ini hanya untuk internal karaton, hanya di ikuti raja , beberapa bangsawan  dan abdidalem yang ditunjuk.

Pada jam 10.00 pagi, Sri Sultan Hamengku Buwono X dengan mengenakan pakaian keprabon, pakaian raja, didampingi seorang Pangeran keluar dari Bangsal Prabayeksa berjalan menuju Bangsal Manis.

Pusaka karaton paling sakral yaitu Kanjeng Kyai Ageng Plered dikawal oleh tiga buah pusaka berujud tombak yaitu Kanjeng Kyai Ageng ( KKA) Gadatapan, KKA Gadawedana dan KKA Megatruh melewati Bangsal Kencana dibawa ke Bangsal Manis.  (Pusaka-pusaka karaton diberi pangkat kebangsawanan seperti Kanjeng Kyai Ageng . Kanjeng Kyai dsb)

Pusaka KKA Plered yang berupa Tombak diletakkan ditempat khusus lalu dibuka sarungnya, demikian juga pusaka-pusaka yang lain.

Sri Sultan Hamengku Buwono X sendiri membawa KKA Plered ke suatu tempat yang disebut Gilang di halaman Bangsal Manis dan memandikan sendiri pusaka tersebut. Beliau juga memandikan secara langsung beberapa keris pusaka seperti : K.K.A. Kopek, KKA Jaka Piturun, KKA Sengkelat, KKA Mahesa Nular, KKA Simbar Inten. Pusaka tombak lain yang terkenal adalah KKA Baru dan KKA Macan. Pusaka-pusaka yang lain pelaksanaan siramannya dilakukan oleh para abdidalem yang ditunjuk.

Sesudah KKA Plered dimandikan, seorang abdidalem diperintahkan untuk pergi ke Musium Kereta milik karaton di Rotowijayan, memberitahu bahwa KKA Plered telah di sirami. Itu berarti kereta-kereta milik kerajaan supaya segera dimandikan. Kereta yang pertama dimandikan adalah Kereta Kanjeng Nyai Jimat yang adalah warisan dari Sultan Hamengku Buwono I, disusul kereta-kereta yang lain yang jumlahnya 18 ( delapan belas) buah.


Siraman Kereta

15-siraman-kereta







Siraman kereta karaton Jogjakarta dilaksanakan dihalaman Musium Kereta di Rotowijayan, sebelah barat karaton. Malam hari sebelum pelaksanaan siraman, para abdidalem terkait melaksanakan selamatan lengkap dengan sesajinya.
Air siraman kereta pusaka dipercaya mempunyai daya magis yang kuat untuk menyembuhkan orang sakit, menyuburkan tanah, melindungi sawah dan tanaman , sehingga padi dan tembakau dan tanaman-tanaman yang lain terhindar dari serangan hama.

Oleh karena itu, pada waktu siraman kereta pusaka banyak orang yang menyaksikan antara para petani yang tidak saja dari Jogja ,tetapi datang dari sekitar Jogja seperti dari Wonosobo, Temanggung, Dieng dll.Mereka pulang dengan membawa beberapa botol air .


Puro Pakualaman

16-paku-alam-viii-almarhum







Siraman pusaka di Puro Pakualaman dipimpin langsung oleh KGPAA Paku Alam IX dibantu oleh beberapa kerabat dan abdidalem. Waktunya bersamaan dengan pelaksanaan pusaka di Karaton Jogjakarta. Para abdidalem gamelan ( pengrawit) sibuk memandikan gamelan Puro a.l. Kanjeng Kyai Gambir Anom.

Upacara ritual di Imogiri

Beberapa keris pusaka milik Karaton Jogjkarta warisan dari Sultan Hamengku Buwono VIII yang disimpan di Saptarengga, makam raja-raja di Imogiri yaitu KK Jathakilat dan KK Pacar dimandikan  pada hari yang sama seperti di Karaton.

Pembersihan tempat air

Dibulan Suro, biasanya pada hari Jum’at Kliwon jam 9.30 pagi para abdidalem Makam Imogiri mulai melakukan upacara ritual untuk membersihkan 4 ( empat) buah tempat air besar yang terletak  di halaman Sapiturang , tepat di halaman pintu masuk makam Sultan Agung, Raja Besar wangsa Mataram.

17-imogiri-tempat-air







Nama-nama tempat air ( enceh) tersebut adalah :
Nyai Siyem dan Nyai Mendhung yang diurus oleh abdidalem Karaton Surakarta dan Kyai Danumoyo dan Kyai Danumurti yang di urus oleh abdidalem Karaton Jogjakarta.

Sesuai dengan tradisi, sebelum keempat enceh dikuras dan dibersihkan, para abdidalem dari kedua karaton terlebih dahulu mengadakan selamatan dan sesaji.

Abdidalem Karaton Surakarta mengenakan pakaian tradisional berupa beskap putih, sedangkan abdidalem Karaton Jogjakarta berpakaian baju pranakan warna biru.

Upacara pengurasan air Imogiri juga dihadiri banyak pengunjung terutama para petani dari Jogja, Solo dan sekitarnya.

Setelah upacara selesai mereka membawa pulang air dari enceh Imogiri untuk dipergunakan sesuai dengan kebutuhannya a.l. untuk menyembuhkan orang sakit, melindungi sawah dan ladang dari ancaman hama dan untuk menyuburkan tanah.
Mereka yakin bahwa dengan menaburkan air Imogiri, tanaman mereka akan tumbuh subur, terbebas dari gangguan hama dan hasil panennya bagus. Kebiasaan seperti ini telah berjalan lama.


Bubur Suran

Ada tradisi menarik yang dilakukan keluarga Jawa untuk menyambut bulan Suro. Pada malam 1 Suro, santap malam keluarga adalah menu special tetapi sederhana, yaitu Bubur Suran.

Bubur Suran baku yang disajikan terdiri dari : Bubur Putih; Kedelai Hitam digoreng; Telur Ayam Kampung digoreng dadar di-iris-iris; Serundeng Kalapa; Rujak Degan – minuman segar kelapa muda dengan gula Jawa; Janur Kuning sehelai dipasang diatas pintu masuk rumah.

Maksud dari menyantap bersama Bubur Suran itu adalah :

   1. Makan bersama menunjukkan kerukunan berkeluarga, semua senang bahagia , bersyukur bisa kumpul menikmati hidangan enak meskipun sederhana. Itu semua adalah berkah Gusti, Tuhan Yang Maha Pengasih dan Penyayang. Semua hidangan adalah pemberian Ibu Pertiwi, untuk itu supaya selama hidup dibumi selalu dapat makan, kita semua wajib menjaga, memelihara bumi tempat kita tinggal.
   2. Bubur Putih melambangkan kesucian jalan hidup yang kita lakukan.
   3. Kedelai Hitam yang digoreng . Ini menunjukkan sikap hidup dan watak yang mituhu- selalu setia untuk berbuat baik dan benar dengan cara mematuhi ajaran pinisepuh supaya anak cucu selalu manembah dan berada dijalan yang diberkahi dan diperkenankan Tuhan, selalu berbudi pekerti dan memegang prinsip-prinsip tata krama dan tata susila dalam pergaulan.
   4. Telur Ayam Kampung digoreng dadar dan di-iris-iris. Merupakan simbol dari hidup yang berkesinambungan dan sumrambah- menyebar dimana-mana. Petunjuk baku dalam manusia menjalani hidup adalah supaya umat manusia yang sebenarnya serumpun dan bersaudara, karena berasal dari Asal Muasal yang satu dan sama, supaya adil dalam menikmati produk-produk yang diberikan oleh  alam ini.
   5. Serundeng Kelapa merupakan petunjuk jelas supaya kita semua mengikuti filosofi kelapa . Pohon kelapa tumbuh dimana-mana dengan mudah dan subur dan mampu menyesuaikan dengan keadaan setempat, demikian juga manusia. Selain itu semua bagian dari pohon kelapa amat berguna baik buahnya, serabutnya, batangnya, lidinya maupun daunnya. Ini contoh yang positif bagi manusia. Hendaknya segala perbuatan kita juga bermanfaat bagi sesama. Kita mampu berkarya, mampu menolong, memberi kepada sesama. Kita bisa memberikan hal-hal yang baik, jangan kita membuat sakit hati orang lain, karena seperti dikatakan oleh para pinisepuh bijak : Menyakiti orang lain artinya juga menyakiti diri sendiri. Cobalah kita renungkan, apa gunanya membuat sakit hati orang lain?
   6. Rujak Degan merupakan simbul manusia wajib menjalani hidup dengan antusias, bekerja dengan baik ,benar ,giat. Itu artinya kita berterimakasih kepada  Tuhan, yang memberi hidup dan menghidupi.Kita ajak semua saudara kita untuk tidak loyo menjalani kehidupan ini. Mari kita hidup rukun dalam suasana regeng – semarak, menyenangkan.
   7. Janur Kuning  dipasang diatas pintu rumah. Ini perlambang hidup kita yang sejati yang selalu dekat dengan Gusti, Tuhan.Di-ayomi, dilindungi Beliau siang dan malam, sepanjang waktu.


Oleh karena itu kita mesti menjalani hidup ini dengan mantap, selalu dalam koridor yang ditetapkan oleh Nya. Harus selalu berbuat baik, benar dan bijak dan semua itu sesuai dengan sikap kedewasaan kita masing-masing, harus dipahami dengan sadar sesadar-sadarnya.Sikap seperti ini dipunyai oleh saudara-saudara kita yang telah mendapatkan pencerahan jiwa.

Janur adalah Sejatinya Nur atau istilah kebatinan umum adalah Nur Sejati artinya Cahaya yang sejati. Cahaya yang sejati itulah hidup yang sebenarnya yang berada bersama dalam badan fisik dan eteris kita. Ada yang menyebut sebagai Suksma Sejati atau Pribadi Sejati, Hidup sejati. Istilah universalnya adalah Spirit.

Si Hidup sejati atau suksma atau spirit ini selalu hidup dan keberadaannya bersama atau manunggalnya dengan raga fisik dan eteris ( kasar dan halus) manusia, itulah yang membuat manusia hidup didunia ini. Dan itu terjadi atas perkenan Sang Suksma  Agung, Gusti, Tuhan.

Yang berhubungan dengan  Sang Suksma Agung, Gusti bukanlah badan kasar dan halus manusia melainkan Pribadi Sejati, istilah universalnya Higher Self.Manusia yang dewasa kesadarannya berusaha untuk mampu ketemu dengan Pribadi Sejati/Higher Self untuk mengetahui kehidupan sejati.

Kuning, warnanya adalah kuning bersih, kuning muda . Ini simbolik dari hidup yang cerah karena telah sadar dan menghayati hidup yang sejati. Hidup ini bukanlah hidup sendiri, untuk kepentingannya sendiri, maunya menang dan enak sendiri atau paling-paling buat keluarga terdekatnya dan konco-konconya. Hidup ini untuk seluruh manusia bahkan seluruh mahluk dijagad raya ini.Untuk itu, kita mesti menjalani dan menikmati hidup didunia ini untuk kebersamaan dengan cara yang baik, benar dan adil.

Seorang spiritualis pada waktu melakukan meditasi, pada puncak keheningan dalam kesadaran penuh, dia melihat baik dengan mata terbuka maupun tertutup dan merasakan hatinya begitu tentram, nafasnya lembut, dia berada ditengah-tengah cahaya kuning bersih lembut, artinya kepasrahannya kepada Tuhan telah diberi anugerah, bahwa hidupnya didunia diberkahi oleh Nya.

Itulah sedikit penjelasan mengenai apa yang tersirat dalam filosofi  Bubur Suran . Memang nenek moyang orang Jawa itu sukanya memberikan sanepo- semacam petunjuk atau nasihat yang harus dibuka apa arti sebenarnya.

Tulisan ini untuk menyambut 1 Suro Tahun Dal 1943 yang jatuh pada hari Jum’at Kliwon tanggal 18 Desember 2009.

Catatan : Peringatan 1 Suro dimulai sejak tahun 1633 Masehi, ketika Sultan Agung Hanyokrokusumo membuat kalender Jawa yang baru.

1 Suro dimaksudkan untuk lebih mempersatukan raja dan kawula. Pada saat itu negeri mulai terancam. Sultan Agung tidak mengadakan upacara ritual kerajaan Rajawedha, sebagai gantinya diadakan Upacara 1 Suro, yang hakikatnya menyatukan Rajawedha dengan upacara kaum petani Gramawedha yang waktunya bersamaan dengan 1 Muharam, tahun baru Umat Islam. Pergantian hari mengikuti sistim rembulan pada jam 6 sore.

Secara politis tindakan ini juga bertujuan untuk memperkuat persatuan bangsa  melawan ancaman penjajah, dengan upaya menyatukan umat Islam Mataram dengan Banten.

1 Suro Bagi masyarakat Jawa - kegiatan menyambut bulan Suro ini sudah berlangsung sejak berabad-abad yg lalu. Dan kegiatan yg berulang-ulang tersebut akhirnya menjadi kebiasaan serta menjadi tradisi yg pasti dilakukan di setiap tahunnya. Itulah yg kemudian disebut budaya dan menjadi ciri khas bagi komunitasnya. Namun kalau dicermati, tradisi di bulan Suro yg dilakukan oleh masyarakat Jawa ini adalah sebagai upaya untuk menemukan jati dirinya agar selalu tetap eling lan waspodo.
Eling artinya harus tetap ingat siapa dirinya dan dari mana sangkan paraning dumadi (asal mulanya), menyadari kedudukannya sebagai makhluk Tuhan dan tugasnya sebagai khalifah manusia di bumi, baik bagi diri sendiri maupun orang lain.
Makna 1 Suro

Waspodo, artinya harus tetap cermat, terjaga, dan awas terhadap segala godaan yg sifatnya menyesatkan. Karena sebenarnya godaan itu bisa menjauhkan diri dari Sang Pencipta, sehingga dapat menyulitkan kita dalam mencapai manunggaling kawula gusti (bersatunya makhluk dan Sang Khalik).

Bulan Suro sebagai awal tahun Jawa, bagi masyarakatnya juga disebut bulan yg sangat sakral karena dianggap bulan yg suci atau bulan untuk melakukan perenungan, bertafakur, berintrospeksi, serta mendekatkan diri kepada Sang Khalik.
Cara yg dilakukan biasanya disebut dengan lelaku, yaitu mengendalikan hawa nafsu dengan hati yg ikhlas untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Itulah esensi dari kegiatan budaya yg dilakukan masyarakat Jawa pada bulan Suro. Tentunya makna ini juga didapatkan ketika bulan Poso (Ramadhan, Tahun Hijriyah), khususnya yg memeluk agama Islam.

Lelaku yg dilaksanakan oleh masyarakat Jawa sebagai media introspeksi biasanya banyak sekali caranya. Ada yg melakukan lelaku dengan cara nenepi (meditasi untuk merenungi diri) di tempat-tempat sakral seperti di puncak gunung, tepi laut, makam para wali, gua dan sebagainya. Ada juga yg melakukannya dengan cara lek-lekan (berjaga semalam suntuk tanpa tidur hingga pagi hari) di tempat-tempat umum seperti di alun-alun, pinggir pantai, dan sebagainya.

Sebagian masyarakat Jawa lainnya juga melakukan cara sendiri yaitu mengelilingi benteng kraton sambil membisu.
Begitu pula untuk menghormati bulan yg sakral ini, sebagian masyarakat Jawa melakukan tradisi syukuran kepada Tuhan pemberi rejeki, yaitu dengan cara melakukan labuhan dan sedekahan di pantai, labuhan di puncak gunung, merti dusun atau suran, atau lainnya. Dan karena bulan Suro juga dianggap sebagai bulan yg baik untuk mensucikan diri, maka sebagian masyarakat lain, melakukan kegiatan pembersihan barang-barang berharga, seperti jamasan keris pusaka, jamasan kereta, pengurasan enceh di makam-makam, dan sebagainya. Ada juga yg melakukan kegiatan sebagai rasa syukur atas keberhasilan di masa lalu dengan cara pentas wayang kulit, ketoprak, nini thowok, dan kesenian tradisional lainnya. Apapun yg dilakukan boleh saja terjadi asal esensinya adalah dalam rangka perenungan diri sendiri (introspeksi) sebagai hamba Tuhan.

Namun akibat perkembangan zaman serta semakin heterogennya masyarakat suatu komunitas dan juga karena dampak dari berbagai kepentingan yg sangat kompleks, lambat laun banyak masyarakat terutama yg awam terhadap budaya tradisional, ndak lagi mengetahui dengan jelas di balik makna asal tradisi budaya bulan Suro ini. Mereka umumnya hanya ikut-ikutan, seperti beramai-ramai menuju pantai, mendaki gunung, bercanda ria sambil mengelilingi benteng, berbuat kurang sopan di tempat-tempat keramat dan sebagainya. Maka ndak heran jika mereka menganggap bahwa bulan Suro itu ndak ada bedanya dengan bulan-bulan yg lain.

Di sisi lain, ternyata kesakralan bulan Suro membuat masyarakat Jawa sendiri enggan untuk melakukan kegiatan yg bersifat sakral, misalnya hajatan pernikahan. Hajatan pernikahan di bulan Suro sangat mereka hindari. Entah kepercayaan ini muncul sejak kapan, saya juga ndak tahu. Namun yg jelas sampai sekarangpun mayoritas masyarakat Jawa ndak berani menikahkan anaknya di bulan Suro.

Ada sebagian masyarakat Jawa yg percaya dengan cerita Nyi Roro Kidul, penguasa laut selatan yg konon ceritanya setiap bulan Suro, Nyi Roro Kidul selalu punya hajatan atau mungkin menikahkan anaknya (ndak ada yg tahu berapa jumlah anaknya) sehingga masyarakat Jawa yg punya gawe di bulan Suro ini diyakini penganten atau keluarganya ndak akan mengalami kebahagiaan atau selalu mengalami kesengsaraan, baik berupa tragedi cerai, gantung diri, meninggal, mengalami kecelakaan, atau lainnya. Entah kebenaran itu ada atau tidak, yg jelas masyarakat Jawa secara turun-temurun menghindari bulan Suro untuk menikahkan anak. Padahal bagi pemeluk agama Islam, dan mungkin juga pemeluk agama lain, bahwa semua hari dan bulan itu baik untuk melakukan kegiatan apapun termasuk menikahkan anak.

Aneh memang, itulah kepercayaan. Akankah masyarakat Jawa di masa mendatang punya cara lain lagi dalam memaknai bulan Suro ? Jawabannya ada pada anak cucu kita sebagai generasi penerus.

0 comments: