Monday, April 16, 2012

Sumber Magis Orang Jawa

MITOS KANGJENG RATU KIDUL

 
Di dalam karaton banyak ditemukan berbagai macam lambang dalam segi kehidupan, dimulai dari bentuk dan cara mengatur bangunan, mengatur penanaman pohon yang dianggap keramat, mengatur tempat duduk, menyimpan dan memelihara pusaka, macam pakaian yang dikenakan dan cara mengenakannya, bahasa yang harus dipakai, tingkah laku, pemilihan warna dan seterusnya. Karaton juga menyimpan dan melestarikan nilai-nilai lama, mengenal folkfor dan beberapa mitos.

Mitos yang sangat berpengaruh terhadap kehidupan masyarakat dan komunitas karaton adalah mitos Kangjeng Ratu Kidul. Kedudukan mitos itu sangat menonjol, karena tanpa mengenal mitos Kangjeng Ratu Kidul, orang tidak akan dapat mengerti makna dari tarian pusaka Bedhaya Ketawang, yang sejak Paku Buwana X naik tahta, setiap setahun sekali tarian itu dipergelarkan. Tanpa mengenal mitos itu makna Panggung Sangga Buwana akan sulit dipahami, demikian pula mengenai tahayul yang dikenal rakyat sebagai lampor.
Terdapat berbagai macam versi mitos Kangjeng Ratu Kidul antara lain berdasarkan cerita pujangga Yosodipuro. Di kerajaan Kediri, terdapat seorang putra raja Jenggala yang bernama Raden Panji Sekar Taji yang pergi meninggalkan kerajaannya untuk mencari daerah kekuasaan baru. Pada masa pencariannya sampailah ia di hutan Sigaluh yang didalamnya terdapat pohon beringin berdaun putih dan bersulur panjang yang bernama waringin putih. Pohon itu ternyata merupakan pusat kerajaan para lelembut (mahluk halus) dengan Sang Prabu Banjaran Seta sebagai rajanya.  

Berdasarkan keyakinannya akan daerah itu, Raden Panji Sekar Taji melakukan pembabatan hutan sehingga pohon waringin putih tersebut ikut terbabat. Dengan terbabatnya pohon itu si Raja lelembut yaitu Prabu Banjaran Seta merasa senang dan dapat menyempurnakan hidupnya dengan langsung musnah ke alam sebenarnya. Kemusnahannya berwujud suatu cahaya yang kemudian langsung masuk ke tubuh Raden Panji Sekar Taji sehingga menjadikan dirinya bertambah sakti.
Alkisah, Retnaning Dyah Angin-Angin adlah saudara perempuan Prabu Banjaran Seta yang kemudian menikah dengan Raden Panji Sekar Taji yang selanjutnya dinobatkan sebagai Raja. Dari hasil perkawinannya, pada hari Selasa Kliwon lahirlah putri yang bernama Ratu Hayu. Pada saat kelahirannya putri ini menurut cerita, dihadiri oleh para bidadari dan semua mahluk halus. Putri tersebut diberi nama oleh eyangnya (Eyang Sindhula), Ratu Pegedong dengan harapan nantinya akan menjadi wanita tercantik dijagat raya. Setelah dewasa ia benar-benar menjadi wanita yang cantik tanpa cacat atau sempurna dan wajahnya mirip dengan wajah ibunya bagaikan pinang dibelah dua. Pada suatu hari Ratu Hayu atau Ratu Pagedongan dengan menangis memohon kepada eyangnya agar kecantikan yang dimilikinya tetap abadi. Dengan kesaktian eyang Sindhula, akhirnya permohonan Ratu Pagedongan wanita yang cantik, tidak pernah tua atau keriput dan tidak pernah mati sampai hari kiamat dikabulkan, dengan syarat ia akan berubah sifatnya menjadi mahluk halus yang sakti mandra guna (tidak ada yang dapat mengalahkannya).
Setelah berubah wujudnya menjadi mahluk halus, oleh sang ayah Putri Pagedongan diberi kekuasaan dan tanggung jawab untuk memerintah seluruh wilayah Laut Selatan serta menguasai seluruh mahluk halus di seluruh pulau Jawa. Selama hidupnya Ratu Pagedongan tidak mempunyai pedamping tetapi ia diramalkan bahwa suatu saat ia akan bertemu dengan raja agung (hebat) yang memerintah di tanah Jawa. Sejak saat itu ia menjadi Ratu dari rakyat yang mahluk halus dan mempunyai berkuasa penuh di Laut Selatan.
Kekuasaan Ratu Kidul di Laut Selatan juga tertulis dalam serat Wedotomo yang berbunyi:  
Wikan wengkoning samodra,
Kederan wus den ideri,
Kinemat kamot hing driya,
Rinegan segegem dadi,
Dumadya angratoni,
Nenggih Kangjeng Ratu Kidul,
Ndedel nggayuh nggegana,
Umara marak maripih,
Sor prabawa lan wong agung Ngeksiganda.
Yang artinya : Mengetahui/mengerti betapa kekuasaan samodra, seluruhnya sudah dilalui/dihayati, dirasakan dan meresap dalam sanubari, ibarat digenggam menjadi satu genggaman, sehingga terkuasai. Tersebutlah Kangjeng Ratu Kidul, naik ke angkasa, datang menghadap dengan hormat, kalah wibawa dengan raja Mataram.

 
Ada versi lain dari masyarakat Sunda (Jawa Barat) yang menceritakan bahwa pada jaman kerajaan Pajajaran, terdapat seorang putri raja yang buruk rupa dan mengidap penyakit kulit bersisik sehingga bentuk dan seluruh tubuhnya jelak tidak terawat.Oleh karena itu, Ia diusir dari kerajaan oleh saudara-saudaranya karena merasa malu mempunyai saudara yang berpenyakitan seperti dia. Dengan perasaan sedih dan kecewa, sang putri kemudian bunuh diri dengan mencebur ke laut selatan.    

Pada suatu hari rombongan kerajaan Pajajaran mengadakan slametan di Pelabuhan Ratu. Pada saat mereka tengah kusuk berdoa muncullah si putri yang cantik dan mereka tidak mengerti mengapa ia berada disitu, kemudian si putri menjelaskan bahwa ia adalah putri kerajaan Pajajaran yang diusir oleh kerajaan dan bunuh diri di laut selatan, tetapi sekarang telah menjadi Ratu mahluk halus dan menguasai seluruh Laut Selatan. Selanjutnya oleh masyarakat, ia dikenal sebagai Ratu Kidul.
Dari cerita-cerita mitos tentang Kangjeng Ratu Kidul, jelaslah bahwa Kangjeng Ratu Kidul adalh penguasa lautan yang bertahta di Laut Selatan dengan kerajaan yang bernama Karaton Bale Sokodhomas.

Mitos Pertemuan Kangjeng Ratu Kidul Dengan Penembahan Senopati

 

 

 

Sebelum Panambahan Senopati dinobatkan menjadi raja, beliau melakukan tapabrata di Dlepih dan tapa ngeli. Dalam laku tapabratanya, beliau selalu memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa agar dapat membimbing dan mengayomi rakyatnya sehingga terwujud masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam cerita, pada waktu Panembahan Senopati melakukan tapa ngeli, sampai di tempuran atau tempat bertemunya aliran sungai Opak dan sungai Gajah Wong di dekat desa Plered dan sudah dekat dengan Parang Kusumo, Laut Selatan tiba-tiba terjadilah badai dilaut yang dasyat sehingga pohon-pohon dipesisir pantai tercabut beserta akarnya, ikan-ikan terlempar di darat dan menjadikan air laut menjadi panas seolah-olah mendidih. Bencana alam ini menarik perhatian Kangjeng Ratu Kidul yang kemudian muncul dipermukaan laut mencari penyebab terjadinya bencana alam tersebut.
Dalam pencariannya, Kangjeng Ratu Kidul menemukan seorang satria sedang bertapa di tempuran sungai Opak dan sungai Gajah Wong, yang tidak lain adalah Sang Panembahan Senopati. Pada waktu Kangjeng Ratu Kidul melihat ketampanan Senopati, kemudian jatuh cinta. Selanjutnya Kangjeng Ratu Kidul menanyakan apa yang menjadi keinginan Panembahan Senopati sehingga melakukan tapabrata yang sangat berat dan menimbulkan bencana alam di laut selatan, kemudian Panembahan menjelaskan keinginannya
Kangjeng Ratu Kidul memperkenalkan diri sebagai raja di Laut Selatan dengan segala kekuasaan dan kesaktiannya. Kangjeng Ratu Kidul menyanggupi untuk membantu Panembahan Senopati mencapai cita-cita yang diinginkan dengan syarat, bila terkabul keinginannya maka Panembahan Senopati beserta raja-raja keturunannya bersedia menjadi suami Kangjeng Ratu Kidul. Panembahan Senopati menyanggupi persyaratan Kangjeng Ratu Kidul namun dengan ketentuan bahwa perkawinan antara Panembahan Senopati dan keturunannya tidak menghasilkan anak. Setelah terjadi kesepakatan itu maka alam kembali tenang dan ikan-ikan yang setengah mati hidup kembali.
Adanya perkawinan itu mengandung makna simbolis bersatunya air (laut) dengan bumi (daratan/tanah). Ratu Kidul dilambangkan dengan air sedangkan raja Mataram dilambangkan dengan bumi. Makna simbolisnya adalah dengan bersatunya air dan bumi maka akan membawa kesuburan bagi kehidupan kerajaan Mataram yang akan datang.
Menurut sejarah bahwa Panembahan Senopati sebagai raja Mataram yang beristrikan Kangjeng Ratu Kidul tersebut merupakan cikal bakal atau leluhur para raja Karaton Surakarta Hadiningrat. Oleh karena itu maka raja-raja karaton Surakarta sesuai dengan janji Panembahan Senopati yaitu menjadi suami dari Kangjeng Ratu Kidul. Dalam perkembangannya, raja Paku Buwana III selaku suami Kangjeng Ratu Kidul mendirikan Panggung Sangga Buawana sebagai tempat pertemuannya. Selanjutnya tradisi raja-raja Surakarta sebagai suami Kangjeng Ratu Kidul berlangsung terus sampai dengan raja Paku Buwana X. Alkisah Paku Buwana X yang merupakan suami Ratu Kidul sedang bermain asmara di Panggung Sangga Buwana. Pada saat mereka berdua menuruni tangga Panggung yang curam tiba-tiba Paku Buwana X terpeleset dan hampir jatuh dari tangga tetapi berhasil diselamatkan oleh Kangjeng Ratu Kidul. Dalam kekagetannya itu Ratu Kidul berseru : “Anakku ngGer…………..” (Oh……….Anakku). Apa yang diucapkan oleh Kangjeng Ratu Kidul itu sebagai Sabda Pandito Ratu artinya sabda Raja harus ditaati. Sejak saat itu hubungan mereka berdua bukanlah sebagai suami istri lagi tetapi hubungannya sebagai ibu dan anak, begitu pula terhadap raja-raja keturunan Paku Buwana X.

PANGGUNG SANGGA BUWANA DAN MITOSNYA

Secara mistik kejawen, Panggung Sangga Buwana dipercaya sebagai tempat pertemuan raja-raja Surakarta dengan Kangjeng Ratu Kidul, oleh karena itu letak Panggugu Sangga Buwana tersebut persis segaris lurus dengan jalan keluar kota Solo yang menuju ke Wonogiri. Konon, menurut kepercayaan, hal itu memang disengaja sebab datangnya Ratu Kidul dari arah Selatan.
Pada puncak bangunan Panggung Sangga Buwana yang berbentuk seperti topi bulat terdapat sebuah hiasan seekor naga yang dikendarai oleh manusia sambil memanah. Menurut Babad Surakarta, hal itu bukan sekedar hiasan semata tetapi juga dimaksudkan sebagai sengkalan milir. Bila diterjemahkan dalam kata-kata sengkalan milir itu berbunyi Naga Muluk Tinitihan Janma, yang berarti tahun 1708 Jawa atau 1782 Masehi yang merupakan tahun berdirinya Panggung Sangga Buwana (Naga=8, Muluk=0, Tinitihan=7, dan Janma=1)

Arti lain dari sengkalan milir tersebut adalah: 8 diartikan dengan bentuknya yang segi delapan, 0 yang diartikan dengan tutup bagian atas bangunan yangberbentuk seperti topi, 7 adalah manusia yang mengendarai naga sambil memanah dan 1 diartikan sebagai tiang atau bentuk bangunannya yang seperti tiang.
Namun demikian, sebenarnya nama Panggung Sangga Buwana itu sendiri juga merupakan sebuah sengkalan milir yang merupakan kependekan dari kata Panggung Luhur Sinangga Buwana. Dari nama tersebut lahir dua sengkalan sekaligus yang bila diterjemahkan akan didapati dua jenis tahun yaitu tahun Jawa dan tahun Hijryah. Untuk sengkalan tahun Hijryah, Panggung berarti gabungan dua kata, PA dan AGUNG. Pa adalah huruf Jawa dan Agung adalah besar berarti huruf Jawa Pa besar yaitu angka delapan. Sedangkan Sangga adalah gabungan kata SANG da GA yang merupakan singkatan dari Sang atau sembilan dan Ga adalah huruf Jawa atau angka Jawa yang nilainya satu. Serta kata Buwana yang artinya dunia, yang bermakna angka satu pula. Dengan demikian menunjukkan angka tahun 1198 Hijryah.
Kemudian untuk sengkalan tahun Jawa kata Panggung Luhur Sinangga Buwana. Panggung juga tediri dari PA dan AGUNG yang berarti huruf Jawa Pa besar sama dengan 8. Luhur mempunyai makna tanpa batas yang berarti angka 0. Sinangga bermakna angka 7 dan Buwana bermakna angka 1. Shingga bila digabungkan mempunyai arti yang sama yaitu tahun 1708 Jawa. Kedua tahun tersebut, baik tahun Jawa dan Hijryah bila dimaksukkan atau dikonversikan ke tahun Masehi sama-sama menunjukkan angka 1782, saat pembangunan panggung tersebut.
Pada Panggung Sangga Buwana masih didapati sebuah sengkalan milir yang pada jaman penjajahan Belanda dirahasiakan adanya. Sebab diketahui sengkalan terakhir ini berupa sebuah ramalan tentang tahun kemerdekaan Indonesia, sehingga jelas akan menimbulkan bahaya apabila diketahui oleh Belanda. Selain itu yang namanya ramalan memang tidak boleh secara gegabah diumumkan, mengingat ketakaburan manusia yang dapat ditaksirkan akan mendahului takdir Tuhan.
Sengkalan rahasia yang dimaksud adalah terletak pada puncak atas panggung yang telah disinggung yaitu Naga Muluk Tinitihan Janma. Bentuk dari hiasan tersebut adalah manusia yang naik ular naga tengah beraksi hendak melepaskan anak panah dari busurnya, sedangkan naganya sendiri digambarkan memakai mahkota. Hal ini merupakan
Sabda terselubung dari Sunan PB III yang kemudian ketika disuruh mengartikan kepada seorang punjangga karaton Surakarta yang bernama Kyai Yosodipuro, juga cocok yaitu ramalan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia adalah tahun 1945.
Naga atau ular diartikan melambangkan rakyat jelata dan mahkotanya berarti kekuasaan. Dengan demikian keseluruhan sosok naga tersebut menggambarkan adanya kekuasaan ditangan rakyat jelata. Dan gambarkan manusia yang mengendarainya dengan siap melepaskan anak panah diartikan sebagai sasaran, kapan tepatnya kekuasaan berada ditangan rakyat.
Sebenarnya sosok manusia mengendarai naga tersebut dipasang juga untuk mengetahui arah mata angin dan tiang yang berada dipuncaknya dan digunakan untuk penangkal petir. Hal tersebut oleh Kyai Yosodipuro dibaca sebagai sengkalan juga yaitu keblat Rinaras Tri Buwana. Keblat = 4, Rinaras = 6, Tri = 3 dan Buwana = 1 atau tahun 1364 Hijryah, bila dimasukan atau dikonversikan ke tahun Masehi akan menjadi 1945 yang merupakan tahun kemerdekaan bangsa Indonesia. Sayangnya bangunan Sangga Buwana beserta hiasan asli dipuncaknya itu pernah terbakar dilalap api tahun 1954, tetapi hingga sekarang kepercayaan masyarakat dan legenda akan bangunan tersebut tidak pernah punah sehingga mereka tetap menghormati dan menghargainya dengan cara selalu melakukan upacara sesaji atau yang lazim disebut caos dahar pada setiap hari Selasa Kliwon atau Anggoro Kasih, setiap malam Jumat dan saat menjelang upacara-upacara kebesaran karaton.
Bangunan Panggung Sangga Buwana apabila dilihat sebagai sumbu dari bangunan karaton secara keseluruhan yang menghadap ke arah utara, maka semua Bangunan yang berada di sebelah kiri Panggung Sangga Buwana mempunyai hubungan vertikal dan yang sebelah kanan mempunyai hubungan horisontal. Hubungan vertikal tersebut yaitu hubungan kepada Tuhan Yang Maha Esa sebagai kegiatan spiritual misalnya : bangunan Jonggring Selaka, Sanggar Palanggatan, Sanggar Segan, Mesjid Bandengan, Mesjid Pudyasana, Mesjid Suranatan, Mesjid Agung, Gereja Protestan Gladag dan Gereja Katolik Purbayan. Sedangkan hubungan horizontal yaitu kegiatan duniawi manusia misalnya Pasar Gading, Pasar Kliwon, Pasar Gedhe, dan sebelah timur lagi terdapat sarana transportasi Begawan Solo.
Panggung Sangga Buwana juga mempunyai arti sebagai penyangga bumi memiliki ketinggian kira-kira 30 meter sampai puncak teratas. Didalam lingkungan masyarakat Solo terdapat sebuah kepercayaan bahwa bangunan-bangunan yang berdiri di kota Solo tidak boleh melebihi dari Panggung Sangga Buwana karena mereka sangat menghormati rajanya dan mempercayai akan kegiatan yang terjadi di puncak bangunan tersebut sehingga apabila ada bangunan yang melanggarnya maka akan terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. 
 
BENTUK PANGGUNG SANGGA BUWANA 

  Bentuk fisik dari Panggung Sangga Buwana adalah segi delapan atau hasta walu dalam istilah Jawa. Bentuk yang segi delapan itu diartikan sebagai hasta brata yang menurut filosifi orang Jawa adalah sifat kepepimpinan, jadi diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat yang demikian. Filsafat Jawa selalu berorientasi pada alam karana dengan alam mereka dapat menikmati hidup dan merasakan komunikasi batin manusia dengan Sang Pencipta. Orang Jawa juga mempercayai bahwa apabila bangunan yang tidak menghiraukan alam lingkungan maka bangunan tersebut akan jauh dari situasi manusiawi.
Ajaran hasta brata atau delapan laku yang merupakan ajaran kepemimpinan bagi setiap manusia. Dari ajaran tersebut diharapkan setiap pemimpin mempunyai sifat-sifat seperti watak kedelapan unsur alam yaitu:
1.                  Matahari yang diartikan sebagai seorang pemimpin harus dapat menjadi sumber hidup orang lain.
2.                  Bulan mengartikan penerangan dalam kegelapan.
3.                  Bintang sebagai petunjuk arah bagi yang tersesat
4.                  Bumi yang maksudnya seorang pemimpin yang baik harus kuat menerima beban hidup yang diterimanya.
5.                  Mendhung diharapkan sebagai pemimpin tidak mempunyai sifat yang tidak pilih kasih.
6.                  Api yang berarti mematangkan yang mentah
7.                  Samodra/Air dimaksudkan bahwa pemimpin harus dapat memahami segala kebaikan dan keburukan
8.                  Angin yang apabila berada dimanapun juga harus dapat membawa kesejukkan.
Seorang pemimpin yang dihormati oleh rakyatnya karena rakyat mengharapkan dengan hadirnya pemimpin yang mempunyai sifat demikian maka mereka pasti akan hidup rukun, tentram dan damai sejahtera.
Dari bentuk fisik bangunan Panggung Sangga Buwana juga melambangkan sebagai simbol lingga yang yang berdampingan dengan yoni yaitu Kori Srimanganti. Dalam kepercayaan agama hindu, lingga dan yoni melambangkan Dewa Shiwa atau Dewa Kesuburan. Simbol lingga dan yoni juga terukir atau terekam dalam bentuk ornamen di Kori Srimanganti yang berarti bahwa sebagai perantara kelahiran manusia yang juga mengingatkan hidup dalam alam paberayan senantiasa bersikap keatas dan kebawah serta ke kanan dan ke kiri. Hal ini semua mengandung arti bahwa manusia harus selalu ingat adanya Yang Menitahkan dan sekaligus mengakui bahwa manusia hanya sebagai yang dititahkan. Sedangkan ke kanan dan ke kiri dapat diartikan manusia selalu hidup bermasyarakat.
Panggung Sangga Buwana yang melambangkan lingga diartikan juga sebagai suatu kekuatan yang dominan disamping menimbulkan lingga-yoni yang juga merupakan lapisan inti atau utama dari urut-urutan bangunan Gapura Gladag di Utara hingga Gapura Gading di Selatan. Lingga dan yoni merupakan kesucian terakhir dalam hidup manusia, hal ini kemudian menimbulkan sangkang paraning dumadi yaitu dengan lingga dan yoni terjadilah manusia. Jadi dengan kata lain kesucian dalam hubungannya dengan filsafat bentuk secara simbolik dapat melambangkan hidup.
Panggung yang dilambangkan sebagai lingga dan Srimanganti sebagai yoni, juga merupakan suatu pasemon atau kiasan goda yang terbesar. Maksudnya, lingga adalah penggoda yoni, dan sebaliknya yoni merupakan penggoda lingga. Seterusnya, panggung dan kori itu juga merupakan lambang yang bisa diartikan demikian: seorang lelaki dalam menghadapi sakaratul maut, yaitu ketika ia hampir berangkat menuju ke hadirat Tuhan, ia akan sangat tergoda oleh wanita atau sebaliknya. Begitu pula sebaliknya wanita, ketika dipanggil Tuhan Yang Maha Kuasa ia pun sangat tergoda atau sangat teringat akan pria atau kekasihnya. Begitulah makna yang terkandung atau perlambang yang terkandung di dalam Panggug Sangga Buwana bersama Kori Srimanganti yang selalu berdekatan.

FUNGSI PANGGUNG SANGGA BUWANA

Versi lain mengatakan bahwa Panggung Sangga Buwana ditilik dari segi historisnya, pendirian bangunan tersebut disengaja untuk mengintai kegiatan di Benteng Vastenburg milik Belanda yang berada disebelah timur laut karaton. Memang tampaknya, walaupun karaton Surakarta tuduk pada pemerintahan Belanda, keduanya tetap saling mengintai. Ibarat minyak dan air yang selalu terpisah jelas kendati dalam satu wadah. Belanda mendirikan Benteng Vastenburg untuk mengamati kegiatan karaton, sedangkan PB III yang juga tidak percaya pada Belanda, balas mendirikan Panggung Sangga Buwana untuk mengintai kegiatan beteng.
Namun tak-tik PB III sempat diketahui oleh Belanda. Setidaknya Belanda curiga terhadap panggung yang didirikan itu. Dan ketika di tegur, PB III berdalih bahwa panggung tersebut didirikan untuk upacara dengan Kangjeng Ratu Kidul semata tanpa tendensi politik sedikitpun.
Lantai teratas merupakan inti dari bangunan ini, yang biasa disebut tutup saji. Fungsi atau kegunaan dari ruang ini bila dilihat secara strategis dan filosofis atau spiritual adalah:
1.         Secara strategis, dapat digunakan untuk melihat Solo dan sekitarnya. Untuk dapat melihat kota Solo dari lantai atas panggung dan tidak sembarangan orang yang dapat menaiki, ada petugas yang memang bertugas untuk melihat dengan menggunakan teropong atau kadang-kadang raja Surakarta sendiri yang melakukan pengintaian. Pada jaman dulu raja sering naik keatas untuk melihat bagaimana keadaan kota, rakyat dan musuh.
2.         Segi filosofi dan spiritualnya, Panggung Sanggga Buwana merupakan salah satu tempat yang mempunyai hubungan antara Kengjeng Ratu Kencono Sari dengan raja Jawa setempat. Hal yang memperkuat keyakinan bahwa raja-raja Jawa mempunyai hubungan dengan Kangjeng Ratu Kidul atau Kangjeng Ratu Kencono Sari yang dipercaya sebagai penguasa laut dalam hal ini di Laut Selatan dan raja sebagai penguasa daratan, jadi komunikasi didalam tingkatan spiritual antara raja sebagai penguasa didaratan dan Kangjeng Ratu Kencono Sari sebagai penguasa lautan dikaitkan dengan letak geografis Nusantara sebagai negara maritim.  

Jadi dapat disimpulkan bahwa ruang tutup saji ini digunakan sebagai:
-                     tempat meditasi bagi raja, karena letaknya yang tinggi dan ruang ini memberikan suasana hening dan tentram
-                     tempat meraga sukma bagi raja, untuk mengadakan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul.
-                     Tempat untuk mengawasi keadaan atau pemandangan sekeliling karaton.
Pada lantai teratas digunakan untuk bersemedi raja dan pertemuan dengan Kangjeng Ratu Kidul terdapt dua kursi yang diperuntukkan bagi raja (kursi sebelah kiri) dan Ratu Kidul (kursi sebelah kanan) yang menghadap ke arah selatan. Arah orientasi dari bangunan ini adalah ke selatan; pintu masuk dari arah selatan dengan tujuan untuk menghormati Kangjeng Ratu Kidul sebagai penguasa Laut Selatan. Diantara dua buah kursi terdapat sebuah meja yang digunakan untuk meletakkan panggageman Kangjeng Ratu Kidul didalam sebuah kotak. Pangageman tersebut diganti setiap tahun menjelang acara Jumenengan raja.  

Menurut cerita, pada saat mengadakan pertemuan dengan raja, Kangjeng Ratu Kidul mengenakan pakaiannya dan seketika itu juga beliau berwujud seperti manusia. Setelah pertemuan selesai, Kangjeng Ratu Kidul kembali ke alamnya dengan sebelumnya mengembalikan ageman yang dikenakannya ke dalam kotak.

Didalam ruang tutup saji yang berdiameter kira-kira 6 meter, pada bagian tepat ditengah ruangan terdapat kolom kayu yang secara simbolis menunjukkan bahwa segala kegiatan yang dilakukan di tutup saji mempunyai hubungan dengan Tuhan. Kayu yang digunakan adalah kayu jati yang berasal dari hutan donoloyo yang dianggap angker bagi orang jawa.  
           
Siapakah Ratu Kidul?

Ratu Kidul adalah Ratu Sheba,Ratu dari Selatan ,yang datang dari "ujung bumi",istri  Salomo (Raja Yahudi)
,yang menurunkan anak keturunan bernama Ratu Shima yang nantinya menurunkan Dinasti Sanjaya selanjutnya menurunkan Raja-Raja di Jawa, seperti pada gambar silsilah dibawah ini  :


    



Perihal Ratu Sheba dan Ratu Shima:


 

Balqis, Ratu Saba’/Sheba





Kerajaan Saba/Sheba
Kerajaan Saba merupakan salah satu kerajaan kuno terbesar di daerah Yaman yang hadir pada jauh sebelum Masehi . Ibu kotanya adalah Ma’rib, sebuah kota di dekat Sana’a,ibukota Yaman sekarang. Saking besarnya kekuasaan kerajaan ini, para sejarawan menyimpulkan bahwa luas daerah wilayahnya lebih luas dari wilayah Yaman sekarang. Banyak ahli yang menyebutkan bahwa Habasyah yang sekarang dikenal dengan Etiopia dahulunya masuk ke dalam kawasan kekuasaan kerajaan Saba/Sheba
Yang menjadikan kerajaan ini masuk ke dalam catatan sejarah adalah adanya salah satu ratu yang memerintahnya.Balqis. Namun banyak di antara ahli tafsir yang mengatakan bahwa nama tersebut dalam media israiliyyaat, dongeng turun temurun orang Israel yang mereka akui bersumber dari kitab Taurat.

Ratu Saba’/Sheba
Terlepas dari hal itu, Balqis menjadi orang ketujuh-belas yang memerintah kerajaan Saba’/Sheba. Yang memerintah sebelumnya adalah ayahnya, raja Hadhad bin Syarhabil. Para sejarawan berasumsi bahwa Balqis menaiki tahta menggantikan ayahnya disebabkan tidak adanya anak putra yang dilahirkan untuk menggantikannya.
Dalam masa pemerintahannya sebagai kepala kerajaan, Balqis banyak menerima cobaan dan ujian berat. Semua itu kelak membuktikan kepiawaiannya sebagai ratu yang berhak dan berkompeten untuk memimpin kaum dan rakyatnya. Pada awal diangkatnya sebagai ratu, para ahli dan pembesar kaumnya meingingkari kepemimpinan seorang wanita. Belum lagi hasrat yang dipendam oleh raja-raja di sekitar Saba/Sheba untuk menaklukkan dan menguasai kerajaan ini. Salah satunya adalah raja ‘Amr bin Abrahah yang dijuluki dengan Dzul Adz’ar.
Maka datanglah Dzul Adz’ar dengan segenap bala tentaranya untuk menaklukkan kerajaan Saba’/Sheba dan menawan ratunya. Namun berkat kelihaian dan pengawasan yang tajam yang dimiliki Balqis, dia berhasil lolos dan kabur.Dzul Adz’ar tewas dengan gorokan pisau di lehernya. Dan semenjak itu Balqis memerintah kaumnya dengan penuh hikmah, adil dan bijaksana. Dalam kekuasaannya, Saba meraih kegemilangan. Salah satu capaian yang diukir oleh Balqis adalah direnovasinya bendungan yang terkenal sad Ma’rib. Nama kerajaan ini menjadi terkenal di kawasan Arabia dan sebagian Eropa. Dalam sejarah Yunani kuno disebutkan bahwa pada zamannya terjadi transaksi perdagangan di antara tajir-tajir Saba dan Yunani. Bahkan para pedagang Yunani yang telah mengunjungi kerajaan Saba menyebutkan bahwa masyarakat Saba merupakan masyarakat berperadaban paling maju di era itu.
 
Ratu Saba/Sheba dan Nabi Sulaiman/Shelomo
Pada saat kerajaan Saba di bawah pemerintahan ratunya sedang berada dalam puncak kegelimangan, Nabi Sulaiman alaihissalam/Shelomo telah menjadi salah satu raja terkenal di antara bani Israil di kawasan Palestina (Syam). Sulaiman dikaruniai Allah kemampuan untuk berkomunikasi dan menaklukkan golongan hewan dan jin. Oleh karena itu tidak mengherankan jika dari skala bala tentara, jumlah yang dimiliki Sulaiman/Shelomo lebih besar daripada bala tentara Saba/Sheba


Ratu Shima :
                            




Shima atau Ratu shima adalah nama penguasa Kerajaan kalingga, yang pernah berdiri pada milenium pertama di Jawa Tidak banyak diketahui tentangnya, kecuali bahwa ia sangat tegas dalam memimpin dengan memberlakukan hukum potong tangan bagi pencuri. Salah satu korbannya adalah keluarganya sendiri.
Syahdan, Kerajaan Kalingga Nagari di pantura (pantai utara Jawa, sekarang di Keling, Kelet,Jepara, Jateng) beratus masa berlampau, bersinar terang emas,penuh kejayaan. Bersimaharatulah, Ratu Shima, nan ayu, anggun, perwira, ketegasannya semerbak wangi di antero nagari nusantara. Sungguh, meski jargon kesetaraan Gender belum jadi wacana saat itu. Namun pamor Ratu Shima memimpin kerajaannya luar biasa, amat dicintai jelata, wong cilik sampai lingkaran elit kekuasaan. Kebijakannya mewangi kesturi, membuat gentar para perompak laut. Alkisah tak ada nagari yang berani berhadap muka dengan Kerajaan Kalingga, apalagi menantang Ratu Shima nan perkasa. bak Srikandi, sang Ratu Panah.
Konon, Ratu Shima, justru amat resah dengan kepatuhan rakyat, kenapa wong cilik juga para pejabat mahapatih, patih, mahamenteri, dan menteri,hulubalang, jagabaya, jagatirta, ulu-ulu, pun segenap pimpinan divisi kerajaan sampai tukang istal kuda, alias pengganti tapal kuda, kuda-kuda tunggang kesayangannya, tak ada yang berani menentang sabda pandita ratunya. Sekali waktu, Ratu Shima menguji kesetiaan lingkaran elitnya dengan me-mutasi, dan me-Non Job-kan pejabat penting di lingkunganb Istana. Namun puluhan pejabat yang mendapat mutasi ditempat yang tak diharap, maupun yang di-Non Job-kan, tak ada yang mengeluh barang sepatah kata. Semua bersyukur, kebijakan Ratu Shima sebetapapun memojokkannya, dianggap memberi barokah, titah titisan Sang Hyang Maha Wenang.
Tak puas dengan sikap "setia" lingkaran dalamnya, Ratu Shima, sekali lagi menguji kesetiaan wong cilik, pemilik sah Kerajaan Kalingga dengan menghamparkan emas permata, perhiasan yang tak ternilai harganya di perempatan alun-alun dekat Istana tanpa penjagaan sama sekali. Kata Ratu Shima,"Segala macam perhiasan persembahan bagi Dewata agung ini jangan ada yang berani mencuri, siapa berani mencuri akan memanggil bala kutuk bagi Nagari Kalingga, karenanya, siapapun pencuri itu akan dipotong tangannya tanpa ampun!". Sontak Wong cilik dan lingkungan elit istana, bergetar hatinya, mereka benar-benar takut. Tak ada yang berani menjamah, hingga hari ke 40. Ratu Shima sempat bahagia.
Namun malang tak dapat ditolak. Esok harinya semua perhiasan itu lenyap tanpa bekas. Amarah menggejolak di hati sang penguasa Kalingga. Segera dititahkan para telik sandi mengusut wong cilik yang mungkin saja jadi maling di sekitar lokasi persembahan, sementara di Istana dibentuk Pansus,Panitia Khusus yang menguji para pejabat istana yang mendapat mutasi apes, atau yang Non Job diperiksa tuntas. Namun setelah diperiksa dengan seksama. Berpuluh laksa wong cilik tak ada yang pantas dicurigai sebagai pelaku, sementara pejabat istana pun berbondong, bersembah sujud, bersumpah setia kepada Ratu Shima. Mereka rela menyerahkan jiwanya apabila terbukti mencuri. Ratu Shima kehabisan akal.
Saat itu, Tukang istal kuda, takut-takut menghadap, badannya gemetar, matanya jelalatan melihat kiri kanan, amat ketakutan. "Maaf Tuanku Yang Mulia Ratu Agung Shima, perkenankan hamba memberi kesaksian, hamba bersedia mati untuk menyampaikan kebenaran ini. Hamba adalah saksi mata tunggal. Malam itu hamba menyaksikan Putra Mahkota mengambil diam-diam seluruh perhiasan persembahan itu. Maaf…," sujud sang tukang istal muda belia, mukanya seperti terbenam di lantai istana. "Apa, Putra Mahkota mencuri?!" Ratu Shima terperanjat bukan kepalang. Mukanya merah padam.. "Putraku, jawab dengan jujur, pakai nuranimu, benar apa yang dikatakan wong cilik dari kandang kuda ini?", tanya sang ibu menahan getar. Sang Putra Mahkota tiada menjawab, ia hanya mengangguk, lalu menunduk teramat malu. Ia mengharap belas kasih sang ibu yang membesarkannya dari kecil.
Sejenak istana teramat sunyi, hanya bunyi nafas yang terdengar, dan daun-daun jati emas yang jatuh luruh ke tanah."Prajurit, Demi tegaknya hukum, dan menjauhkan nagari Kalingga dari kutukan dewata, potong tangan Putra Mahkotaku, sekaramg juga…," perintah Sang Ratu Shima dengan muka keras. Seluruh penghuni istana dan rakyat jelata yang berlutut hingga alun-alun merintih memohon ampun, namun Sang Ratu tiada bergeming dari keputusannya. Hukuman tetap dilaksankana. Hal itu dituliskan dengan jelas di Prasasti Kalingga, yang masih bisa dilihat hingga kini.
Berdasarkan Naskah wangsa kerta disebutkan bahwa Ratu Shima berbesan dengan penguasa terakhir Taruma negara.
 

0 comments: