PETA
KARATON KASUNANAN SURAKARTA
Simbolisme Tata Susunan Kompleks Istana
Masyarakat Jawa disusun atas dasar kedudukan sosial, teritorial, komunal, dan religius. Dasar tersebut dalam proses pembentukan masyarakat Jawa akan terpancar dalam ciri-ciri dasar masyarakat Jawa yang tetap mereka pertahankan dan mereka lestarikan keberadaannya dalam wujud pandangan dunia orang Jawa. Pandangan dunia dimaksudkan sebagai keseluruhan keyakina deskriptif tentang kenyataan suatu kesatuan antara alam, masyarakat, dan alam gaib, yang daripadaNya manusia memberi suatu struktur yang bermakna bagi pengalamannya. Bagi orang Jawa, baik sebagai individual maupun anggota masyarakat, realita itu tidak dibagi-bagi secara terpisah-pisah dan tanpa hubungan satu sam lain, melainkan ia dilihat sebagai satu kesatuan yang menyeluruh.
Bagi orang jawa dunia masyarakat dan dunia gaib, atau dunia Adi Kodrati bukanlah tiga bidang yang berdiri sendiri-sendiri, dan masing-masing mempunyai hukumnya sendiri, melainkan merupakan satu kesatuan pengalaman. Pada hakekatnya, orang Jawa tidak membedakan antara sikap religius atau tidak religius dan interaksi-interaksi sosial religius, tetapi tetapi ketiganya merupakan penjabaran manusia Jawa tentang sikapnya terhadap alam, seperti halnya sikap alam yang sekaligus mempunyai relevansi sosial. Di sini antara pekerjaan, interaksi, dan doa tidak ada perbedaan yang hakiki (Mulder, 1975:36).
Tolok ukur arti pandangan dunia orang Jawa adalah nilai pragmatisme atau kemanfaatannya untuk mencapai keadaan senang, tenteram dan seimbang lahir dan batin antara dunia sini dengan dunia sana. Oleh karena itu, apabila kita membicarakan pandangan dunia orang Jawa tidak terbatas pada bidang agama, kepercayaan dan mitos, melainkan juga sistem pertanian, perayaan pameran, kehidupan keluarga Jawa, seni dan budaya Jawa, sistem tempat tinggal dan lingkungan tempat tinggal mereka. Maka perubahan yang terjadi akan meliputi pandangan hidup dan filsafat, budaya politik Jawa, ekonomi, sosial dan budaya Jawa. Dalam hal ini Clifford Geertz telah mengungkapkannya sebagai agama Jawa dala bentuk varian santri, abangan dan priyayi dalam masyarakat Jawa (Cl. Geertz 1985). Sedangkan Magnis Suseno (1885: 83-85), mengutarakan, terdapat empat lingkaran bermakna dalam pandangan dunia orang jawa, yaitu :
Lingkaran Pertama, lebih bersifat ekstrovet, ialah bersifat terhadap dunia luar yang dialami sebagai satu kesatuan gaib yang Illahi, yang Adi Kodrati antara alam, masyarakat, dan alam adi kodrati yang kudus yang dilaksanakan dalambentuk ritus, dan upacara-upacara inisiasi yang diterima tanpa kritik dan tanpa refleksi eksplisit terhadap dimensi batin sendiri. Orang Jawa mengatakan: “bisoa ngaji, nanging aja dadi modin”. Meksud pernyataan itu ialah bahwa agama hanyalah alat untuk mencapai tujuan. Tujuan akhir hidup manusia adalah manunggal dengan sang Pencipta, Al Kholik. Biarlah “Agama Ageming Aji”, bahwa Raja mewakili rakyat (kawula) memohonkan berkat dan anugerah melalui doa-doanya kepada Tuhan. Melalui pengalaman-pengalaman mistis, maka agama diresapi sampai pada batin sendiri. “Agama iku mung sandhangan saumpamane, diengga kena, ora diengga ora apa-apa. Sing baku tansah eling lan waspada, ngerti
0 comments:
Post a Comment