Tuesday, June 5, 2012
Humancare,Doctor says
MENOPAUSE
a. Pengertian
Menopause merupakan sebuah kata yang mempunyai banyak arti men dan pauseis adalah kata yunani yang pertama kali digunakan untuk menggambarkan berhentinya haid.
Webster Ninth New Colleglate Dictionary mendefenisikan menopause sebagai berhentinya haid secara alamiah yang biasanya terjadi antara usia 45 dan 50 tahun.Menopause kadang-kadang juga dinyatakan sebagai masa berhentinya haid sama sekali ( Kasdu 2002 – 9 )
Kata menopause hanya mengandung arti Akhir masa menstruasi, walaupun demikian , dalam penggunaan umum, menopouse mempunyai makna transisi atau peralihan dari beberapa tahun sebelum mensis terakhir sampai satu tahun sesudahnya
( Sudja Greenwood,MD,4-5 ).
Menopause merupakan suatu tahap dimana wanita tidak lagi mendapatkan siklus menstruasi, yang menunjukkan berakhirnya kemampuan wanita untuk bereproduksi yang secara normal terjadi antara usia 40 tahun sampai 50 tahun .
( Hammasa 2004-28 )
b. Tiga masa penting yang berhubungan dengan menopouse
1. Klimakterium , yakni merupakan masa peralihan antara masa reproduksi dan masa senium.
2. Menopause adalah saat haid terakhir atau saat terjadinya haid terakhir . Tahap Klimakterium :
1) Sebelum menopause disebut dengan pramenopause.
2) Menopause
3) Sesudah menopause disebut dengan Pasca menopause
3. Senium
Masa sesudah pasca menopause , ketika telah tercapai keseimbangan baru dalam kehidupan wanita , sehingga tidak ada lagi gangguan vegetatif maupun psikis.
c. Faktor yang mempengaruhi Menopause
1. Menarche ( usia saat haid pertama kali ).
Beberapa ahli yang melakukan penelitian menemukan adanya hubungan antara pertama kali mendapatkan haid dengan usia seseorang wanita memasuki menopause.
2. Faktor Psikis
Keadaan seorang wanita yang tidak menikah dan bekerja diduga mempengaruhi perkembangan psikis seorang wanita
3. Jumlah Anak
Meskipun belum ditemukan hubungan antara jumlah anak dan menopause,
beberapa peneliti menemukan bahwa makin sering seorang wanita melahirkan maka semakin tua atau lama memasuki menopause.
4. Usia Melahirkan
Masih berhubungan dengan melahirkan anak, bahwa semakin tua seseorang
melahirkan anak, semakin tua ia memulai memasuki usia menopause.
5. Pemakaian Kontrasepsi.
Pemakaian kontrasepsi ini, khususnya alat kontrasepsi jenis hormonal.
Hal ini bisa terjadi karena cara kerja kontrasepsi yang menekan fungsi Indung
Telur sehingga tidak memproduksi sel telur. Pada wanita yang menggunakan
kontrasepsi ini akan lebih lama atau tua memasuki usia menopause.
6. Merokok
Diduga , wanita perokok akan lebih cepat memasuki masa menopause.
7. Sosial Ekonomi
Meskipun data pasti belum diperoleh , dalam bukunya, dr.Faisal menyebut kan bahwa menopause kelihatannya dipengaruhi oleh faktor status sosial ekonomi , disamping pendidikan dan pekerjaan suami. Begitu juga hubungan antara tinggi badan dan berat badan wanita yang bersangkutan, termasuk kedalam pengaruh sosial ekonomi.
8. Gizi
Pemenuhan gizi yang memadai akan sangat membantu dalam menghambat
Berbagai dampak negatif menopause terhadap kinerja otak, mencegah kulit
Kering , serta barbagai penyakit lainnya.
d. Proses Terjadinya Menopause
Menopause terjadi karena habisnya folikel sel telur pada indung telur. Jumlah sel ketika dilahirkan adalah sekitar 733.000 dan jumlah ini akan terus berkurang selama masa kanak-kanak dan masa reproduksi. Pada usia 39-45 tahun jumlah sel telur kira-kira 10.900. Pada siklus haid 10-15 sel telur akan dipersiapkan untuk berkembang, tetapi umumnya hanya satu folikel yang akan berkembang pesat dan mengalami ovulasi (pelepasan sel telur dari folikel indung telur). Sisanya juga sebahagian besar sel telur akan mengalami hambatan perkembangan, pengisutan dan penyerapan. Dengan demikian proses pemusnahan folikel berlangsung cepat. Semakin sedikit folikel yang berkembang semakin berkurang hormon estrogen dan progesteron (Syahlan).
Kenyataan ini membuktikan bahwa kehidupan reproduksi sangat dipengaruhi oleh produksi sel-sel telur yang dihasilkan oleh indung telur. Karena melalui pengeluaran sel-sel telur organ reproduksi bekerja yang kemudian mempengaruhi siklus kehidupan seorang wanita artinya wanita akan mengalami perubahan besar dalam tubuhnya sejak belum haid, haid dan berhenti haid. Hal ini akan mempengaruhi fisik maupun psikis seorang wanita secara keseluruhan. Akibat perubahan dalam system endokrin maka akan menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan yang merupakan gejala dan gangguan dalam masa meopause ( Kasdu,2002:31 )
Selain itu kekuatan atau kelenturan alat kelamin luar (vagina dan vulva) menurun, demikian juga jaringan alat tubuh lain yang berada dibawah pengaruh estrogen (Syahlan).
Pada umunya menopause terjadi pada usia 56-60 tahun (manuaba). Menopause dapat terjadi lebih dini akibat beberapa penyakit antara lain Anemia dan Tuberculosis. Selain itu menopause dapat terjadi secara buatan sebagai akibat pembedahan dan pengangkatan kedua ovarium atau pengobatan dengan sinar radiasi (Syahlan).
e. Tanda dan Gejala Menopause
1. Menstruasi menjadi tidak teratur
Pola haid berubah secara bertahap. Jumlah darah yang keluarpun berkurang
Dan lama darah mengalir juga semakin singkat. Jarak antara haid semakin jauh dan akhirnya haid akan berhenti. Tapi terkadang disertai dengan jumlah yang sangat banyak, tidak seperti perdarahan haid normal. Sebahagian wanita ada yang mendapat haid tiga minggu sekali dan berlangsung selama tujuh sampai sepuluh hari.
2. Kotoran haid yang keluar banyak sekali ataupun sangat sedikit.
3. Muncul gangguan vasomotoris berupa penyempitan atau pelebaran pembuluh darah.
4. Merasa pusing saja disertai sakit kepala terus menerus.
5. Berkeringat tidak hentinya.
6. Neuralgia atau gangguan /penyakit syaraf dan lain-lain.
f. Keluhan- keluhan pada masa menopause
1. Gejala rasa panas ( hot fluses )
Sekitar 80 % perempuan menopause mengalami hot flush (tubuh terasa panas) Gelombang rasa panas ini timbul pada pipi, yang kadang-kadang menjalar ke leher, dada bahkan seluruh tubuh yang disusul keluarnya keringat yang banyak. Perasaan panas ini berlangsung sampai 30 menit – 1 jam. Berdasarkan penelitian dari Utian pada tahun 1980 pada 1000 wanita usia menopause, 62% merasakan adanya gejolak rasa panas. Namun biasanya tidak mengganggu kegiatan Sekitar 80% perempuan menopause mengalami hot flush (rasa panas pada tubuh yang terasa sehari-hari).
Rasa panas ini dapat dikurangi dengan menghindari makanan yang dapat merangsang terjadinya hot flush seperti kafein, alkohol serta makanan yang
pedas, menghindari situasi yang bisa membuat terjadinya hot flush seperti temperatur yang tinggi, ruangan yang kurang berventilasi serta keadaanemosi yang bisa membuat timbulnya kemarahan.
2. Kekeringan Vagina
Terjadinya karena leher rahim sedikit sekali mensekresi lendir, penyebabnya adalah penurunan produksi estrogen sehingga dinding vagina maupun uretra menipis serta lebih lembut dan rapuh karena pelembab alami berkurang dari sebelumnya. Hal ini berarti dapat menimbulkan nyeri pada saat senggama. Ini juga menimbulkan kerentanan terhadap infeksi vagina kadang juga terhadap infeksi kandung kemih karena estrogen yang didapat tidak lebih tinggi setiap bulannya.
3. Osteoporosis
Pada saat menopause terjadi penurunan fungsi estrogen dalam tubuh wanita. Setelah estrogen tidak berlimpah lagi tulang larut lebih cepat dari pada menjadi padat, karena estrogen memiliki fungsi melestarikan kekuatan tulang dengan pemberian kalsium terus menerus, kekurangan kalsium ini oleh tubuh diatasi dengan menyerap kembali kalsium yang terdapat dalam tulang akibatnya tulang menjadi keropos dan rapuh.
4. Perubahan kulit
Estrogen berperan penting dalam menjaga elastisitas kulit, sehingga sesudah menopause kulit menjadi kering, tipis dan kurang elastis terutama di daerah muka, leher dan lengan. Hal ini terjadi karena estrogen punya pengaruh dalam mencairkan bahan berupa lilin yang diproduksi dalam sel-sel kulit.
5. Insomnia
Hal ini bisa terjadi karena adanya perubahan fisik seperti wajah memerah dan keringat dimalam hari, tapi juga dapat di akibatkan oleh perubahan psikis.
6. Pusing dan sakit kepala.
Keluhan ini bisa oleh karena banyak hal misalnya karena meningkatnya tekanan darah, adanya gangguan penglihatan atau bisa juga disebabkan oleh pengaruh fisik dan psikis lain.
7. Perubahan pada gairah seksual
Hal ini disebabkan pengaruh hormonal ataupun pengaruh psikis. Adanya rasa takut, tegang, gelisah, lekas marah, gugup, sukar berkonsentrasi, lekas lupa dan susah tidur. Karena adanya wanita beranggapan bahwa mereka sudah kehilangan fungsinya sebagai wanita karena tidak bisa hamil lagi. Di lain pihak ada juga yang menafsirkan terhentinya kehidupan seksual. Meskipun ada dorongan ke arah itu mereka merasa kurang pantas.
8. Pertambahan berat badan.
Faktor utamanya adalah masukan energi dalam bentuk makanan lebih besar dari pengeluarannya seperti olah raga. Perubahan hormonal pada masa menopause mempengaruhi rasa lapar.
9. Keluhan-keluhan psikologis
Berupa rasa takut, tegang, depresi, mudah sedih, cepat marah, mudah tersinggung, gugup dan mental yang kurang mantap. Bila seorang wanita ketika mudanya mempunyai kecenderungan mudah dipengaruhi keadaan emosionalnya maka ia akan mengalami gangguan psikologis yang lebih berat pada saat menopause.
a. Perubahan-perubahan pada masa menopause
1 Perubahan Organ Reproduksi
~ Vulva
Vulva akan kehilangan jaringan lemak dan mengakibatkan pengurangan lipatan labia mayora dan berkurangnya tonjolan.
~ Vagina
Elastisitasnya berkurang, lipatan-lipatannya menghilang, dinding menipis, mengalami kekeringan sehingga mudah mengalami perlukaan.
~ Uterus
Mengecil dan endometrium mengalami atrofi (penipisan)
~ Tuba fallopi
Saluran ini akan mengalami penipisan pada selaput lendir dan akhirnya rambut getar akan menghilang
2 Perubahan Organ Lain
~ Jaringan dasar panggul
Mengalami atrofi, menghilangnya tonus ketegangan otot dalam keadaan istirahat dan elastisitasnya akan dapat menyebabkan prolapsus uterovaginal.
~ Perinium dan anus
Akan mengalami atrofi (penipisan). Lemak disekitarnya akan menghilang, tonus otot lingkar anus juga hilang sehingga menyebabkan terjadinya inkontinensia alvia (tidak dapat menahan BAB)
~ Kandung kemih
Dindingnya akan mengalami atrofi, aktifitas kendali otot hilang, infeksi mudah terjadi, keluhan dapat berupa sering berkemih, susah berkemih ataupun tidak dapat menahan BAK.
~ Payudara
Puting susu menjadi kecil dan kurang erektil, pigmentasi berkurang.
3 Perubahan-perubahan Lainnya
~ Kenaikan berat badan ringan kurang lebih 29 % dari wanita klimakterium. Penyebaran lemak di temukan terutama ditungkai atas, pinggul, perut bawah dan lengan atas.
~ Hipertensi
Permulaan penyakit paling banyak terjadi selama masa klimakterium.
~ Osteoporosis
Tulang menjadi rapuh sehingga mudah terjadi patah tulang kira-kira 20-30% wanita terancam untuk mengalami patah tulang karena osteoporosis disaat mereka mencapai usia 70 tahun sebab sepanjang kehidupannya, massa tulang menyusut 40%-50%.
~ Proses menua pada persendian, terutama sendi penopang berat badan memberikan gejala dini berupa nyeri serta kaku sendi setelah istirahat.
~ Virilisasi, menurunnya tanda atau sifat feminim akibat perubahan hormonal
dan timbulnya maskulinisasi.
b. Reaksi seorang wanita terhadap datangnya menopause.
1 ) Reaksi pasif.
Wanita secara pasrah menerima hal yang tidak dapat dielakkan lagi, biasanya di temukan pada wanita yang berpendidikan rendah dan tinggal di pedesaan.
2 ) Reaksi Neorosis
Reaksi yang ditimbulkan oleh penolakan yang keras akan datangnya menopause
3 ) Reaksi Hiperaktif
Reaksi penolakan dengan seolah-olah mengabaikan datangnya menopause dengan cara meningkatkan perhatian pada pekerjaan dan hobi serta tidak setuju dengan keluhan-keluhan wanita lain.
4 ) Reaksi Adekuat.
Reaksi wajar yang diberikan wanita yang memasuki masa menopause, ini dialami oleh sebahagian besar wanita. Hal ini dapat terjadi efektif pada wanita yang sehat.
c. Kiat hidup sehat dalam menjalani masa menopause.
1. Terapi Sulih hormon (TSH) atau HRT merupakan pilihan untuk mengurangi keluhan pada wanita dengan keluhan atau mencegah berbagai keluhan seperti vasomotor. Vagina yang kering dan gangguan saluran kandung kemih TSH juga dapat mencegah perkembangan penyakit akibat dari kehilangan hormon estrogen seperti osteoporosis dan jantung koroner.
2. Olah Raga
Banyak wanita usia lanjut enggan melakukan olah raga dengan alasan ketuaan, namun apabila kebiasaan ini sudah menjadi bahagian aktifitas sehari-hari, usia tua bukan halangan untuk meneruskan kebiasaan ini, karena olah raga memiliki manfaat sebagai berikut :
a) Menguat tulang dengan bergerak
b) Meningkatkan kebugaran
c) Mencegah penyakit
d) Menstabilkan berat badan
e) Mengurangi keluhan menopause
f) mengurangi stres
3. Nutrisi.
Bertambahnya usia menyebabkan beberapa organ tidak melakukan perbaikan (remodeling) diri lagi. Misalnya massa tulang tidak melakukan pembentukan kembali. Selain itu, semakin tua aktifitas yang dilakukan juga tidak seperti dulu sehingga kalori yang dikeluarkan juga berkurang, selain itu kalori untuk metabolisme juga menurun. Setiap orang membutuhkan makanan gizi seimbang yang mengandung zat gizi, karbohidrat, protein, lemak, vitamin dan mineral.
4. Gaya Hidup.
Gaya hidup seseorang menentukan kesehatannya dimasa yang akan datang. Gaya hidup mungkin tidak memberikan dampak yang langsung sekarang tetapi beberapa tahun kemudian. Salah satu gaya hidup yang sudah mulai dikurangi atau kalau mungkin dihentikan adalah merokok, kebiasaan alkohol, meskipun kebiasaan ini jarang dilakukan wanita indonesia.
5. Pemeriksaan Kesehatan
Dengan bertambahnya usia, perhatian akan kesehatan diri harus lebih di prioritaskan. Artinya sakit atau tidak, menggunakan TSH atau tidak, sebaiknya wanita dimasa menopause tetap melaksanakan deteksi dini
6. Meningkatkan kehidupan religi
Seringkali dalam kehidupan modern masyarakat kota mengalami kesehatan dan kegelisahan yang tidak kunjung reda. Meskipun secara fisik tidak ada keluhan yang berarti, tetapi demi kesehatan diri mereka melakukan berbagai hal sebagai antisipasi. Kejenuhan jiwa/batin yang mungkin akan menyeimbangkan seluruh kehidupan yang sudah dijalani. Apalagi dengan bertambahnya usia, hampir semua pengalaman sudah dialami, baik berbentuk kepuasan maupun ketidakpuasan. Apapun hasilnya pada akhirnya adalah ketenangan batin yang ingin dicapai yaitu dengan cara mengembalikan lagi pada kita sebagai mahluk Allah Yang Maha Besar.
Pentingnya menjaga kesehatan alat reproduksi wanita /perempuan oleh karena 👇
BHAGA PEREMPUAN
Dalam ajaran Sêdulur Papat Kalima Pancêr, vagina disebut bhaga. Bhaga adalah pintu gerbang yang menjadi batas antara jaba dan jêro (luar dan dalam). Bhaga sangat disakralkan sebab dari lubangnya kama pêthak (sperma) dapat memasuki rahim ibu melalui sanggama untuk bertemu dengan kama bang (ovum). Selain itu, bhaga adalah pintu kama (hasrat) tempat kenikmatan berada. Dalam Tantra Nusantara, bhaga disebut yoni yang darinya kekuatan sakti-siddhi terpancar. Hampir semua lelaki tergila-gila dan mabuk kepayang dibuatnya, tak peduli kasta yang dimilikinya. Bahkan para brahmana dan pertapa pun sering kali menyerah oleh pesonanya.
Betapa kuat daya magnetik bhaga, yang mampu menarik bahkan banyak kejadian besar dalam sejarah. Apa keistimewaannya? Lihat saja bentuknya, cuma sekeping daging bergelambir yang ditumbuhi dua-tiga jumput rambut yang tak karuan bentuknya. Sibak saja dua bibir besarnya ke kanan dan ke kiri, dan Anda hanya akan menemui lubang menganga hitam-kemerahan berdenyut-denyut, layaknya luka yang tak pernah sembuh dengan bau seperti cuka dan konturnya yang lembap. Tetapi, dayanya dapat membalik kesadaran kita.
Jika malam tiba dan Anda hendak bercinta dengan istri Anda, coba cium bhaga istri Anda dengan penghayatan penuh, niscaya Anda akan menemukan bahwa di balik bau yang seperti cuka itu terdapat sadrasa (enam rasa) yang memantik hasrat Anda untuk mencecap dan menghilangkan diri Anda di sana dalam kemabukan tiada tara. Lendirnya bagaikan somarasa, minuman para dewa yang memabukkan dan membikin kita lupa pada sang kala. Terlepas dari itu, tanpa bhaga jiwa-jiwa tak akan dapat terlahir ke dunia yang penuh warna. Renungkan ini: jiwa yang sejatinya suci dan merupakan percikan Tuhan pun harus melewati pintu bhaga untuk terlahir ke dunia.
Ajaran Sêdulur Papat Kalima Pancêr lebih menghayati bhaga sebagai sesuatu yang menyimpan daya agung lagi suci; daya yang dapat membalik kesadaran kita. Daya inilah yang dipuja oleh para mistikus yang mampu mengarifi tubuhnya; bahwa melalui tubuh kita dapat mencapai pencerahan paripurna. Bhaga bukan sekadar sekeping daging pemuas nafsu lelaki, melainkan juga jalan bagi sang jabang bayi sebagai Pancêr terlahir agar siklus kehidupan dapat terus berputar. Dari bhaga pula terlahir kekuatan kiwa-têngên (kiri-kanan) yang dibutuhkan untuk kesempurnaan hidup kita.
Memuja bhaga sama dengan memuja kekuatan kreatif Tuhan dalam penciptaan. Memuliakan bhaga sama dengan memuliakan perempuan—yang merupakan perpanjangan langsung Tuhan sebagai pencipta jagat raya; tanpa perempuan dengan daya bhaganya, kita tak akan hadir ke dunia. Anda menyebut Tuhan sebagai Maha Pencipta, tapi yang menjalankan penciptaan itu adalah perempuan. Itulah kenapa disebut per-empu-an, yang berkata dasar mpu atau empu, yang bisa dimaknai sebagai asal, biang, atau pencipta. Dalam ajaran Tantra yang rahasia, memuja dan memuliakan bhaga dapat menarik kemakmuran dan keberlimpahan.
Tetapi, dalam ajaran Kamatantra, kita tidak cukup hanya dengan memuja dan memuliakan bhaga, melainkan juga memuaskannya, membuat perempuan pemilik bhaga mendapatkan kenikmatan tiada tara melalui bhaganya, yang konon puluhan kali melebihi kenikmatan yang bisa direguk oleh lelaki dengan purusnya. Ada jejaring saraf sensitif di dalam bhaga, yang jika dikutik sedikit saja dengan penuh cinta bisa membuat pemiliknya menggelinjang dalam kenikmatan. Memuaskan perempuan adalah kewajiban utama dalam grhasta (kehidupan berumah tangga), sebab hanya dengan memuaskannya energi lelaki dan perempuan dapat mengalami kalêpasan sempurna hingga kita mampu memanunggalkan Lingga-Yoni, Siwa-Sakti, bhuta-dewa, dan emosi-kesadaran di dalam diri kita.
Penjelasan lengkap tentang kekuatan bhaga yang melahirkan diri kita selaku Pancêr dan Sêdulur Papat kita telah selesai saya tulis.
Penulis: KPH.Poerbodiningrat,Bc.Hk (RM.Soegiyo)
Filosofi Rumah Jawa
HUBUNGAN MAKNA RUMAH BANGSAWAN DAN FALSAFAH HIDUP MANUSIA JAWA DALAM KONTEKS PEMBATAS RUANG
HUBUNGAN MAKNA RUMAH BANGSAWAN DAN FALSAFAH HIDUP MANUSIA JAWA DALAM KONTEKS PEMBATAS RUANG
Prof. Dr. Ir. Josef Prijotomo, M. Arch.2
Ir. Muhammad Faqih, MSA. PhD.3
1.Staff Pengajar Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
2.Staff Pengajar Jurusan Arsitektur, Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.
ABSTRAK
Budaya menampilkan kekomplekan dalam suatu masyarakat. Masyarakat Jawa adalah salah satu hasil dari kebudayaan yang merasuk hingga menjadi identitas. Pada masa Pakubuwono X terjadi gempuran budaya Eropa yang secara eksplisit berpengaruh pada kehidupan masyarakat Jawa dan juga arsitektur di Surakarta. Tulisan ini membahas ekspresi budaya Jawa berupa falsafah hidup manuisa Jawa yang tertuang dalam rumah dan kaitannya dengan makna. Makna dibaca dengan konteks pembatas ruang, yaitu dinding, lantai dan langit-langit/ceiling. Rumah bangsawan terletak di benteng Keraton Kasunanan Surakarta dipilih menjadi objek karena masih memiliki keaslian dan kelengkapan bagian-bagian rumah Jawa.
Hasil penelitain menunjukkan adanya hubungan pada bagian rumah yang memiliki nilai kehidupan dan ke-Tuhan-an.
Kata kunci: budaya, falsafah hidup manusia Jawa, pembatas ruang, rumah bangsawan
PENDAHULUAN
Kebudayaan dibangun oleh masyarakat dengan pemikiran yang abstrak tentang apa yang penting dan bernilai dalam hidupnya. Kebudayaan menjadi pedoman hidup baik itu tindakan maupun sikap, melalui proses penyamaan pandangan masyarakat atas pandangan atau pendapat pribadi. Pedoman hidup tersebut disetujui bersama dan kemudian menjadi latar kebudayaan. Jawa sebagai daerah yang memegang teguh kebudayaannya telah mempertahankan apa yang diyakininya tapi tidak menutup diri atas segala sesuatu yang baru untuk membangun kekayaan budaya yang dimilikinya.
Budaya Jawa memperoleh gempuran dan pengaruh dari budaya luar namun
masyarakat Jawa atau kebudayaan Jawa mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam mempertahankan keaslian budayanya, dengan cara membiarkan bahkan menerima budaya asing tersebut, sebagai sarana untuk memperkaya kebudayaan Jawa, sampai akhirnya menjadikan pengaruh budaya luar itu sebagai budaya Jawa (Suseno, 1988:16). Pembauran masing-masing komponen masyarakat dalam lingkungan budaya yang baru memberikan nuansa dan wajah baru bagi kota Surakarta. Namun, masyarakat Jawa akan tetap mempertahkan yang diyakininya sedari dulu. Warisan leluhur dijadikan dasar bagi individu agar mendapatkan tempat dan pengakuan dari masyarakat luas. Suatu warisan luhur yang menuntun dirinya menjadi manusia Jawa akan terus dipertahankan dan dijadikan identitas Jawa. Budaya merupakan pintu gerbang menuju berbagai pemikiran abstrak yaitu filosofi yang berkembang menjadi falsafah hidup yang digunakan sebagai tuntutan kehidupan. Pemikiran-pemikiran masyarakat Jawa terpapar dari bagaimana mereka menjalankan kehidupannya dengan berbagai sikap yang berhubungan dengan sesamanya dan berhubungan dengan Tuhannya.
Rumah sebagai tempat untuk memfasilitasi kehidupan manusia. Rumah dibentuk dari
kebudayaan dengan memakan waktu yang sangat lama, pada awalnya hanya sebegai tempat pernaungan dan perlindungan, tapi dengan adanya perkembangan budaya, kebutuhan dan teknologi, fungsi rumah menjadi cukup kompleks. Rumah mengemban berbagai macam fungsi dan terkadang tidak dapat disatukan, sehingga diperlukannya pembatas untuk memisahkan. Pembatasan akan membentuk ruang-ruang yang saling berkaitan menjadi kompleks rumah. Kelengkapan ruang inilah yang menjadikan rumah bangsawan lebih unggul dari pada rumah umumnya. Rumah bangsawan merupakan
community house terdiri dari beberapa bagian, : yaitu
1. pendopo,
2. pringgitan,
3. emperan,
4. dalem ageng,
5. senthong,
6. gandok,
7. dapur,
8. kamar mandi.
Keunggulan rumah bangsawan/dalem kepangeranan selain memiliki kelengkapan,
juga mampu menunjukkan keaslian wujud fisiknya. Mempertahankan keaslian rumah bangsawan Jawa merupakan salah satu upaya dalam mempertahankan identitas Jawa. Namun, rumah mengalami perubahan akibat meningkatnya pengetahuan manusia dari yang sederhana ketingkat yang lebih kompleks. Pengetahuan ini membantu mengarahkan manusia memahami nilai, konsepsi, atau paham yang membimbing tindakan dalam upayanya mencari pengalaman yang harmonis untuk mencapai ketenangan, ketentraman, dan keseimbangan batin. Pandangan mengenai konsep kemapanan dalam bertempat tinggal memberikan gambaran keberadaan dan status seseorang. Rumah hanya salah satu cara yang nyata untuk mewujudkan upaya menghuni suatu tempat, yang terdiri dari struktur bangunan fisik yang memuat satuan simbolis, sosial dan praktis (Santosa, 2000:3). Upaya tersebut tidak lepas dari budaya yang mengarahkan masyarakat Jawa sebagai manusia kaya akan nilai-nilai luhur dan membentuk falsafah hidup.
Keaslian arsitektur Jawa mengalami beberapa perubahan secara fisik menimbulkan pertanyaan akan pemaknaannya. Perubahan berlangsung disebabkan masuknya budaya Eropa pada masa Pakubuwono X di berbagai bidang yang dikhawatirkan menuntun kearah perubahan inti dari budaya Jawa. Tulisan ini juga mencoba mengungkap makna yang terjadi pada rumah bangsawan dilihat dari segi falsafah hidup masyarakat Jawa. Rumah bangsawan diangkat dalam penelitian ini karena diperkirakan masih memegang keaslian karena rana terdekat dengan Keraton. Penelitian ini akan menguak makna yang terkandung dalam inti rumah bangsawan Jawa, yaitu pendopo, pringgitan dan dalem ageng dengan menggunakan metode kualitatif.
TINJAUAN PUSTAKA
Rumah sebagai lingkungan yang paling diakrabi manusia merupakan rana domestik yang sarat akan makna karena lingkup dari gagasan-gagasan utama kebudayaan dibentuk. Pemaknaan yang terjadi pada rumah menjadi suatu pola budaya yang berkesinambungan dibentuk oleh pengguna melalui interaksi dan aktivitas. Interaksi sosial sebagai penyusun makna dalam pembentukan bangunan terdapat tiga level hubungan, antara lain secara reflektif antara seseorang dengan dirinya sendiri, antara seseorang (atau sejumlah orang) dengan orang lain di masyarakat, dan antara seseorang (atau sejumlah orang) dengan “Yang Lain” yang ditentukan dalam pengalaman dengan Yang Maha (numinous) (Santosa,
2000:210). Level satu dan tiga lebih diorientasikan ke dalam manusia, sedangkan yang ke dua berorientasi ke luar karena hubungannya antara sosial masyarakat.
Orientasi keluar dapat diekspresikan dengan fisik bangunan maupun yang non fisik, misalnya penggunaan bahasa yang memperlihatkan tingkatan status. Secara fisik, ruang depan mengemban tugas mengindikasikan status soaial pemilik rumah karena merupakan bagian dari rumah secara sosial paling rapi dan prestisius, guna menaikkan status pemiliknya di mata tamunya. Orientasi ke dalam adalah tempat bertemu diantara diri kita sendiri atau dengan lingkungan terdekat kita. Rumah dalam bebas dari pengamatan publik, memiliki sedikit kesempatan untuk menunjukkan status sehingga penampilan fisik yang menegaskan dan susunan yang rapi kurang diperhatikan.
Rumah yang dikenal masyarakat turun temurun merupakan hasil kebudayaan. Manusia memiliki kemampuan dalam menginterpretasikan kejadian dan aktivitas yang dilakukan dalam setting hingga memperoleh kesesuaian. Kebudayaan tidak semerta-merta terbentuk melainkan suatu proses dari nol hingga ada dan berkembang serta pengaruh mempengaruhi. Dengan sistem yang kuat dan stabil, budaya tetap ada dan dipegang teguh oleh masyarakatnya. Rapoport (2005) berpendapat bahwa untuk menggunakan konsep budaya dilakukan dengan dua cara. Pertama, diasumsikan bahwa budaya dan lingkungan bina adalah unit yang ekuvalen, namun budaya masih terlalu abstrak, sehingga pendekatan yang digunakan melalui sosial-budaya. Dalam menghubungkan antara budaya dan lingkungan bina, Rapoport menentukan komponen-komponen secara spesifik dari ekspresi budaya agar lebih mudah dipahami. Komponen-komponen tersebut antara lain pandangan
dunia (world views), tata nilai, norma, gaya hidup dan sistem aktifitas (Rapoport,2005;94-
96).
Gambar.1 Budaya Kaitannya Dengan Lingkungan Bina
(sumber: Rapoport, 2005:98)
Lingkungan bina dijabarkan menjadi empat komponen pembentuk, yaitu organization of space, system setting dan made up fixed, semi fixed and non-fixed features. Komponen made up fixed elements digunakan sebagai konteks pembacaan makna rumah bangsawan Jawa atas dasar budaya. Fixed elements diartikan sebagai elemen yang sudah terstruktur dan menjadi kesatuan pembentuk ruang, seperti lantai, dinding, dan atap. Perubahan elemen ini relatif dalam jangka waktu yang panjang, berbeda dengan semi fixed elements, seperti furniture/perabot yang memiliki tingkat perubahan tidak terlalu lama. Elemen-elemen itulah yang merupakan ekspresi yang dapat diinterpretasikan sebagai makna. Pengungkapan makna juga berkaitan dengan konsep ruang, kepercayaan masyarakat, fungsi, aktivitas, pandangan hidup, tujuan komersial, dan lain-lain.
Tulisan ini akan menitik beratkan pada world views dalam melihat hubungannya
dengan lingkungan binaan. World views diartikan sebagai pandangan manusia Jawa yang berkembang dalam wujud falsafah. Pola pikir berfilsafat masyarakat Jawa tidak sebatas sebagai pola pikir saja tapi juga diterapkan dalam dunia kehidupannya yang mengamalkan ajaran-ajaan yang menjadi tuntunan bersikap oleh masyarakat hingga masuk ke dalam lingkungan bina/arsitektur. Dengan dasar teori Rapoport, mencoba menguak hubungan yang terkandung pada rumah Jawa khususnnya pendopo, pringgitan dan dalem ageng dengan falsafah hidup manusia Jawa.
Falsafah hidup manusia Jawa berakar pada filsafat Timur yang diungkapkan oleh Plato, bahwa pandangan hidup/ filsafat hidup yang tumbuh tanpa melalui penyelidikan benar dan tidaknya, tetapi hanya karena tumbuh melalui kecocokan rasa. Inilah yang membedakan pola pikir masyarakat Jawa (masyarakat timur) sangat berbeda dengan pola pikir masyarakat barat yang berakar pada pemikiran Ariestoteles. Jika di barat, berfilsafat berarti dikaitkan dengan mempelajari ilmu tetapi di Jawa (masyarakat timur) berfilsafat berarti mencari kesempurnaan hidup. Seperti yang dikemukakan oleh Zoetmulder dalam Herusatoto, (1984:72) bahwa, orang selalu mencari keterangan tentang arti kehidupan manusia, asal-usulnya, tujuan akhirnya, hubungan dengan Tuhan dan dunia.
Nilai-nilai kehidupan dan hubungan dengan Tuhan difokuskan dalam tiga falsafah, yaitu Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula lan Gusti dan Memayu hayuning bawana (Endraswara, 2000). Sangkan Paraning Dumadi mengandung artian bahwa manusia Jawa harus berhati-hati dalam menjalani hakekat hidup dan diharapkan mengetahui betul dari dan akan kemana hidup kita nantinya. Manunggaling Kawula lan Gusti merupakan suatu perwujudan sikap manembah, menciptakan ketenangan batin dan lewat inilah akhirnya ditemukan sebuah keharmonisan antara manusia dengan Tuhan. Memayu hayuning bawana berarti watak dan perbuatan yang senangtiasa mewujudkan dunia selamat, sejahtera dan bahagia.
OBJEK KAJIAN
Kota Surakarta adalah sebuah kota di Provinsi Jawa Tengah, Indonesia. Surakarta berasal dari kata Sala adalah jenis pohon. Kata Sala pada perkembangannya menjadi Salakarta dan sekarang lebih dikenal dengan Solo. Keraton Surakarta sebagaimana yang dapat disaksikan sekarang ini tidaklah dibangun serentak pada 1744-1745, namun dibangun secara bertahap dengan mempertahankan pola dasar tata ruang yang tetap sama dengan awalnya. Pembangunan dan restorasi secara besar-besaran terakhir dilakukan oleh Susuhunan Pakubuwono X (Sunan PB X) yang bertahta 1893-1939.
Adat istiadat Keraton Kasunanan Surakarta melekat pada diri para bangsawan karena kedekatan hubungan keluarga dengan Sunan. Dalam suatu susunan strata sosial dari kaum bangsawan, yakni komunitas yang sedikit-banyak telah terstratifikasi yang mengakibatkan munculnya berbagai perjuangan atas teritori. Dinamika perjuangan semacam ini tampak paling menonjol pada para penghuni di rumah utama, yakni para bangsawan yang eksistensinya sangat bergantung pada kedekatan dan kemurahan dari Raja yang sedang memerintah. Secara genealogis, pada garis keturunan seorang bangsawan, tiap tingkatan generasi memiliki kedekatan yang berjenjang terhadap garis trah penguasa. Pada kaitan ini, penurunan satu tingkat generasi akan berpengaruh pada penurunan derajat kedekatan terhadap garis trah tersebut. Penurunan status dapat diperbaiki dengan merekatkan kembali dengan pertautannya dengan keluarga yang sedang berkuasa. Itu bukanlah salah satu jalan, bisa juga dengan kedekatan baik resmi ataupun personal dengan penguasa (Santosa, 2000). Pertautan yang dekat dengan penguasa khususnya yang berhubungan kerabat akan mendiami dalem.
Rumah bangsawan atau lazim disebut dalem kepangeranan, lokasinya di lingkungan kraton. di dalam dan luar benteng, merupakan salah satu dari berbagai tingkatan terbesar dan terlengkap dalam arsitektur rumah tradisional Jawa. Rumah-rumah bangsawan ini mudah dikenali karena struktur, bentuk atap, bangunan dan luas lahan berbeda dengan rumah penduduk sekitar, dikelilingi dinding tembok tinggi kira-kira tiga hingga lima meter. Dalem dapat dikategorikan dalam rumah joglo yang paling besar dan lengkap, dengan bagian-bagiannya. Joglo dapat diartikan sebagai suatu bentuk atau sistem konstruksi bagian dari kompleks rumah. Joglo juga dapat diartikan sebagai keseluruhan atau kompleks rumah, termasuk dinding keliling, halaman, regol dan semua bagian di dalamnya. Regol merupakan akses masuk ke dalam area rumah bangsawan berupa pintu besar. Rumah bangsawan juga dapat disebut community house terdiri dari beberapa bagian, yaitu pendopo, pringgitan, emperan, dalem ageng, senthong, gandok, dapur, kamar mandi.
Dalam suatu rumah lengkap bangsawan memiliki perbedaan dengan rumah lengkap yang dipergunakan oleh masyarakat umum yang memiliki tingkatan ekonomi yang tinggi. Rumah bangsawan yang dihuni oleh keluarga keraton memiliki batasan atau pakem-pakem yang harus ada dalam suatu rumah bangsawan Jawa. Ini sangat berbeda dengan rumah lengkap yang dibangun masyarakat umum yang bisa diolah sesuai dengan ekspresi yang ditampilkan pemilik. Mempertahankan kebudayaan yang telah diturunkan menjadi acuan dalam mempertahankan keaslian gubahan bentuk dan detail rumah bangsawan Jawa. Keaslian yang dipertahankan inilah yang menjadikan alasan mendasar dalam mempelajari rumah Jawa dengan mengkhususkan pada rumah bangsawan Jawa di sekitar Keraton Kasunanan Surakarta.
PEMBAHASAN
Rumah bangsawan merupakan perwujudan dari beberapa aspek yang ditautkan dan dipersatukan. Dalam membahas tentang pembatas pada rumah Jawa dapat menyinggung aspek lain yang membentuknya. “Dalam hubungan antara susunan ruang dan tindakan ragawi, terdapat dua cara untuk menyatakan setting ruang. Pertama, secara positif dengan mengartikulasi pusatnya dan yang kedua, secara negatif dengan mendefinisikan batasannya” (Santosa, 2000:40). Berkait dengan tindakan ragawi dalam suatu ruang, suatu pusat cenderung menjadi orientasi pengguna, sedangkan pembatas ruang akan mengisyaratkan partisipannya; siapa saja yang boleh masuk dan siapa saja yang tidak boleh memasuki ruangan.
Manusia Jawa percaya pada kekuatan kosmos yang berasal dari lingkungan alam
sehingga dipanadang perlu untuk membuat batas yang tegas antara ruang luar dengan ruang dalam. Pembatasan dalam suatu rumah mutlak ditentukan dan dihadirkan bahkan pada Sasono Mulyo. Batasan-batasan yang digunakan terdiri dari fixed element yang umumnya terdiri dinding, lantai, atap.
Bagian atas pendopo disangga oleh jajaran kolom/soko yang tersusun terpusat untuk menahan beban atap yang tersusun tiga tingkat digolongkan sebagai atap Joglo. Bentukan Joglo hanya digunakan oleh orang yang memiliki status sosial tinggi, yaitu bangsawan dan Raja. Jenis joglo digunakan juga berdasarkan luasan yang ingin dinaungi. Pendopo memiliki bentuk persegi yang tidak akan mampu ternaungi dengan atap limasan yang lebih mengarah ke bentuk persegi panjang.
Gambar 2. Tiga Tingkatan Atap Joglo
Terjadi sumbu horizontal dan vertikal dalam skala yang lebih kecil pada pendopo. Rangka ceiling/langit-langit yang memusatkan pada tumpang sari menambah kesan sentripetal yang terjadi dalam pendopo yang menunjukkan kesakralan tumpang sari dengan adanya pusat vertikal seperti yang diungkapkan Hidayatun (1999). Pusatnya pada empat soko utama/soko guru tepat ditengah ruangan yang menguatkan kevertikalitasan ruang. Tumpang sari adalah balok-balok pengikat soko guru yang tersusun seperti piramid berundak terbalik, mengikat puncak empat soko utama serta menghiasi ruang di dalamnya. Soko guru dapat diungkapkan sebagai ekspresi keabsolutan dari keberadaan pribadi dari tuan rumah ditengah lingkungan masyarakat dalam suatu perhelatan sosial. Seperti yang diungkapkan oleh Santosa (2000:27) bahwa Susunan sentripetal tampak pada balai pertemuan di depan yang merupakan satu-satunya ruang lapang menerus di depan rumah yang memiliki empat kolom tinggi untuk menandai pusatnya. Empat kolom tinggi/ soko guru merupakan simbol akan adanya suatu yang ditinggikan dan diagungkan, yaitu Tuhan. Dalam menjalankan segala aktivitas sehari-harinya baik formal maupun non formal tidak terlepas dari Tuhan, termasuk yang berlangsung di pendopo.
Pringgitan
Gambar 3. Keterbukaan Pendopo yang dapat dilalui dari ketiga sisinya
Luas dan terbuka menjadikan orang lain yang ingin memasuki dengan melewati area tengah menjadi terhalang oleh efek psikologis. Keterbukaan endopo memberikan pengalaman yang berbeda yang dirasakan seakan-akan ada sesuatu yang menuntun untuk bersiakap sebaliknya. Memunculkan sikap canggung, sehingga kebebasan yang terjadi sangatlah mengikat. Kebebasan yang semu ini menjadikan seseorang terdorong untuk tidak bersikap sombong. Ini berimbas pada rasa canggung untuk melangkah ke tengah ruangan yang terasa monumental diarea tengahnya, sehingga kenyakan akan berjalan mengelilingi ruang menuju ke arah bagaian belakang bangunan. Maka, keterbukaan ini mengalami suatu penyempitan perilaku.
Peninggian lantai di pendopo juga tergantung pada strata sosial pemilik rumah. Bangsawan yang memiliki starata sosial yang tinggi biasanya menaikkan lantainya hingga tiga tingkat. Dari lantai pendopo inilah yang juga membedakan dengan lantai kuncung yang dibuat rata dengan tanah, tapi menuju ke area dalem ageng akan terjadi kenaikan pula. Setiap kenaikan dari tiap ruang menunjukkan adanya hirarki yang mengikutinya. Memberikan kesan kesucian bagi ruang yang berada di puncak hirarki. Selain itu, ketinggian tertentu dibuat karena mengandung suatu maksud untuk memudahkan menerima tamu, yakni cara duduk (bersila di lantai) (Hidayatun, 1994).
Dari ketiga pembatas ruang, yaitu atap/ceiling, dinding, dan lantai menuntun ke arah maknanya sendiri-sendiri. Atap sebagai pernanungan merupakan simbol dari Tuhan, dinding dimaknai keterbukaan dalam arti yang menyempit sedangkan lantai yang ditinggikan menyimbolkan status sosialnya dan juga cara penerimaan mencerminkan kerukunan dengan duduk di lantai. Ketiganya ini berhubungan dengan hubungan sosial pemiliknya dengan pengungkapan yang simbolik dari bentuk dan juga memberikan isyarat psikologis tertentu agar tidak seenaknya dalam bersikap.
Pendopo dalam komponen rumah bangsawan Jawa yang mewadahi aktifitas publik yang dilakukan oleh pemilik rumah. Sifat pendopo dalam arti pembatas ruang hanya dapat memenuhi satu falsafah hidup yang diangkat pada studi kali ini diungkapkan oleh Endraswara, yaitu falsafah Manunggaling Kawulo lan Gusti. Secara filsafati terekspresikan dari wujud atap brujung dari pendopo yang mepresentasikan adanya suatu yang diagungkan, yaitu Tuhan.
Pringgitan
Tantangan alam ditanggapi dengan menutup sebagian tempat tinggal dari udara bebas dan terbuka, kecuali di bagian yang dipergunakan untuk menerima tamu atau bagian publik yang menyandang konsep terbuka sepebuhnya, yaitu pendopo. Timbul anggapan bahwa kekuatan alam akan mengintai saat manusia dalam keadaan tidak sadar atau tertidur, hingga berada di dalam rumah memberikan jaminan terbebas dari pengaruh mala petaka (kekuatan alam) yang merugikan. Bukaan yang menghubungkan dengan ruang luar direduksi, sehingga ruang dalam tidak berhubungan langsung dengan ruang luar. Maka, dubuatlah suatu ruang transisi yang disebut pringgitan. Area penghubung antara dalem dan pendopo ini terjadi komunikasi di antara ke dua ruang. Tidak sekedar sebagai penghubung tapi juga sebagai penyeimbang antara suatu yang umum dan yang sakral.
Dari segi pemabatas ruang sangat berbeda dengan pendopo, salah satu
alasannya juga dikarenakan kapasitas dan fungsinya. Pringgitan ini lebih sederhana dari segi bentuknya baik atap dan juga soko. Pringgitan biasanya menggunkan atap limasan. Limasan dipilih karena bentuk denah pringgitan yang membentuk persegi panjang, sehingga atap limasanlah yang sesuai untuk menaungi pringgitan.
Atap jenis limasan terkesan sederhana dan umum. Ini biasanya yang dipakai oleh rakyat kebanyakan. Limasan dari segi konstruksi dan bahan relative lebih sederhana dan menggunkan sedikit bahan. Pada keseluruhan komponen rumah bangsawan Jawa, pringgitan bukanlah suatu area yang memiliki kesakralan melainkan pendukung bangunan utamanya, yaitu pendopo dan dalem ageng. Tidak seperti Joglo yang memiliki makna yang dalam memperlihatkan kehidupan manusia, limasan tidak memiliki arti yang spesifik. Hal tersebut seperti yang diungkapkan oleh Hidayatun (1999) bahwa, bentuk limasan secara makna filosofis dapat dikatakan hampir tidak ada.
Pringgitan sebagai ruang transisi dan juga mengakomodasi kegiatan yang masih bersifat terbuka seperti menerima tamu. Kegiatan tersebut sangat dekat kaitannya ke arah ke luar, yaitu pendopo sehingga dapat dikatakan area pringgitan ini lebih berorientasi ke pendopo dari pada dalem ageng. Namun area pringgitan ini pun tidak dapat dikatakan untuk umum tapi lebih tepatnya kalangan umum yang terbatas dalam artian diterima oleh sang pemilik rumah.
Pemabatas ruang lainnya adalah lantai. Lantai area pringgitan ini ada dua jenis, yaitu yang menyambung langsung dengan pendopo dan ada pula yang terpisah karena adanya longkangan. Pada dasarnya adalah sama, namun yang membedakan hanya penempatan pemberhentian kereta kuda /longkangan.
Gambar 4. Longkangan di Mangkunegaran
Gambar 5. Kuncung di Sasono Mulyo
Pembatas-pembatas ini mengarah pada fungsional pringgitan yang berfungsi sebagai penerimaan tamu delam jumlah terbatas dan juga pagelaran wayang. Dengan bentukan yang dimiliki pringgitan tidak mengarah pada pemaknaan yang filosofis seperti yang diungkapkan oleh Hidayatun bahwa bentuk limasan secara makna filosofis dapat dikatakan hampir tidak ada. Sedangkan bentukan lainnya seperti dinding dan lantai sebagai bentukan fungsional semata. Sifat pringgitan dalam arti pembatas ruang belum dapat memenuhi falsafah hidup yang diangkat pada studi kali ini, yaitu Sangkan Paraning Dumadi, Manunggaling Kawula lan Gusti dan Memayu hayuning bawana.
Dalem Ageng
Dalem ageng memiliki keserupaan dengan pendopo, tetapi yang membedakan cukup jauh adalah penggunaan dinding mengelilingi dalem ageng. Pada atapnya pun menggunakan joglo namun bentukknya lebih sederhana karena pada area ini bukanlah tempat bagi pemilik rumah untuk menunjukkan prestise tapi mengarah pada aktivitas pribadinya. Menggunakan atap joglo sudah barang tentu memiliki soko guru yang menopangnya. Pada prinsipnya soko guru yang berada di pendopo dan di dalem ageng adalah sama.
Kesamaan pada pendopo dan dalem ageng, keduanya memiliki kesamaan bentuk dan berlanjut pada cosmos. Pendopo merepresentasikan hubungan sosial dan secara terbuka terhadap sekelilingnya. Sedangakan Dalem merepresentasikan kekuatan langit yang secara langsung menunjukkan pusat dan berhubungan langsung dengan vertikalisasi ke area tertinggi. Pemusatan keduanya memperlihatkan kekuatan yang lebih besar dan menguasai segalanya, yaitu Tuhan.
Pembatas ruang berupa dinding pada dalem ageng tidak sama dengan pendopo, walaupun struktur atapnya tidak jauh berbeda. Dinding masif yang melingkupi dalem ageng menimbulkan sifat privasi dan menunjukkan ada yang ingin diliindungi di dalamnya. Perempuan yang tinggal di dalamnya dan melakukan tugas-tugas rumah tangga dan benda- benda berharga atau pusaka menjadi yang dilindungi oleh kemasifan. Di dalam dalem ageng pun terdapat penyekatan ruang, sehingga membentuk sentong tengah, sentong kiwo/kiri dan sentong tengen/kanan. Sentong kiwo berfungsi sebagai tempat tidur anak, sentong kanan sebagai tempat tidur orang tua, dan sentong tengah sebagai pusat/as kesakralan rumah Jawa yang dipergunakan hanya untuk pengantin baru dan juga menyimpan benda-benda berharga.
Gambar 6. Kemasifan Dinding yang Melindungi yang Ada di Dalamnya
Secara fungsional, dalem ageng memiliki makna proteksi dengan adanya kemasifan dinding yang menyelubunginya dan faktor penjagaan atas segala sesuatu yang berharga di dalam rumah. Kemasifan dinding yang diberi bukaan secukupnya sebagai penghawaan di siang harinya, namun lingkup kegelapan masih terasa karena cahaya matahari tidak langsung masuk melainkan berupa pantulan. Keadaan ini tetap dapat memberikan efek privasi yang sangat diperlukan dalam dalem ageng. Dalem ageng merupakan tempat keluarga inti melakukan kegiatan yang tidak diketahui oleh orang luar seperti beristirahat dan juga ritual. Ritual atau meditasi inilah yang utama dan menjadi pemusatan aktivitas pada rumah. Pembatasan dalem ageng ini untuk membatasi akses dan menjadikannya sebagai area privat, namun lebih dalam lagi dilaksudkan untuk menguatkan karakter protektif. Protektif terhadap segala yang ada di dalamnya baik itu benda maupun yang tinggal didalamnya.
Dari area pendopo, pringgitan dan dalem ageng terjadi penambahan dinding yang mengakibatkan reduksi cahaya yang berangsur melemah hingga dalem ageng. Pada dalem ageng lingkup kegelapan masih dapat dirasakan walaupun pada siang harinya sehingga memberikan kesan misteri. Ini sama seperti yang disebutkan Tjahjono bahwa reduksi cahaya ini menimbulkan kesan sakral dan misteri. Pada area pendopo yang tanpa adanya dinding, cahaya yang masuk sangatlah kuat dan terang. Intensitas cahaya lebih sedikit karena tiga sisinya tertutup dinding, yang terbuka hanya sisi yang berhadapan dengan pendopo. Dalem ageng yang dilingkupi dinding massif, tidak mendapatkan cahaya sehingga ruangan menjadi gelap. Dari sini ditemukan suatu tingkatan intensitas cahaya yang juga berhubungan dengan hirarki ketiga ruang inti serta kesakralannya. Bagian belakang rumah dikonstruksikan sebagai ranah yang terjaga.
Gambar 7. Reduksi cahaya pencipta misteri di dalem ageng
(sumber: Gunawan Tjahjono, 1989:128)
Lantainya tidak berbeda dengan pendopo hanya saja ada yang menaikkan level lantainya pada area sebelum soko guru hingga sentong. Kali ini pun, hirarki pada ruang digunakan sebagai penanda adanya sesuatu yang ditinggikan. Ini dimaksudkan untuk menjaga kesakralan area ini. Menuju ke area yang lebih suci dan disakralkan, yaitu pada area sentong tengah yang merupakan pusat dari rumah Jawa. Kesakralan dan kesucian area ini benar-benar dijaga hingga diperlukan ijin untuk dapat memasukinya bahkan keluarga dekat sekalipun. Tingkat kesakralan pada sentong tengah ini aadalah kesakralan yang tertinggi di rumah karena tempat individu menjalin hubungan dengan Tuhan.
Pembatas ruang di sini tidak hanya sekedar membatasi untuk memberikan area
privat tapi juga terjadi penyimbolan. Sifat dalem ageng dalam arti pembatas ruang hanya memenuhi falsafah hidup pada point Manunggaling Kawulo Lan Gusti. Falsafah ini merupakan suatu hubungan individu secara sadar, mendekat, menyatu dan manunggal dengan Tuhan. Keutamaan falsafah ini termanifestasikan pada atap dan dinding dalem ageng.
Dinding yang dilingkupi kemasifan memberikan pengalaman cahaya yang berbeda. Dari terang menuju ke kegelapan sepanjang sumbu tersebut membangkitkan rasa saral dan misteri (Tjahjono, 1989:126). Kesakralan inilah yang memberikan kesan kuat terhadapa ritual yang dijalankan pada sentong tengah. Keadaan tersebut juga berpengaruh pada atap. Mengadakan ritual/meditasi pada pendopo ageng dapat terjadi di sentong tengah, di bawah tumpang sari bahkan menanam dirinya di tanah tanpa makan dan minum. Ritual di bawah tumpang sari menunjukkan hubungan vertikal yang terjadi dengan Tuhan. Jadi, Manunggaling Kawulo Lan Gusti sangat kuat pada dalem ageng.
KESIMPULAN
Falsafah hidup manusia Jawa membentuk perilaku dan aktivitas yang terjadi di rumah bangsawan Jawa. Dibantu dengan pembatasan ruang, aktivitas terklaster dalam ruang- ruang tersendiri dan terbagi dalam dua rana besar, yaitu rana duniawi dan spiritual. Didasari oleh pemikiran filsafat Timur yang bertolak dari pemikiran tentang arti kehidupan dan hubungannya dengan Tuhan, maka hal tersebut termanifestasikan dengan dalam bentukan Joglo yang ada pada pendop dan dalem ageng.
Dalem ageng merupakan area privat yang tidak sembarangan orang dapat masuk ke dalamnya termasuk juga area sakral pada waktu tertentu dan melingkupi sentong tengah. Falsafah Manunggaling Kawula Gusti meresap dalam pada area ini. Dengan pendekatan diri pada Tuhan didukung dengan bentukan arsitekturnya yang memberikan kesan misteri dan sakral. Kemasifan, peninggian lantai serta atap Joglo yang dipergunakan merupakan elemen yang menunjukkan hirarki kesakralan. Sebenarnya keseluruhan rumah dari pendopo hingga dalem ageng semakin meninggi, ini menunjukkan adanya suatu hirarki yang terus dipertahankan. Falsafah hidup manusia Jawa yang lebih bersifat pribadi/individu, Manunggaling Kawula lan Gusti tercermin disini. Keprivatan ini membuat pemilik rumah lebih dapat mendekatkan diri pada Tuhan, berfikir dan juga belajar akan hidup dan setelah kehidupan. Maka dapat dimengerti mengapa dalam agenglah yang menjadi arena hubungan dengan konsep tertinggi yang dimiliki oleh filosofi Timur.
Dari ketiga ruang, keutamaan makna yang berhubungan dengan falsafah hidup manusia Jawa terjalin kuat pada area yang memiliki nilai kesakralan dan ditinggikan. Nilai kesakralan tidak sama sekali dapat terjamah oleh budaya luar. Kekuatan inilah yang menjadikan identitas budaya Jawa masih terjaga dengan baik. Walaupun terjadi gempuran budaya Eropa, tapi tidak mengubah gubahan bentuk bahkan keaslian nilai-nilai rumah bangsawan. Bentuk yang masih terus dipertahankan merupakan bukti teraga adanya usaha mempertahankan budaya yang menjadi dasar identitas. Kenyataan ini sesuai dengan yang dikatakan Suseno (1988:16) bahwa kebudayaan Jawa mempunyai kemampuan yang luar biasa dalam mempertahankan keaslian budayanya.
DAFTAR PUSTAKA
- Herusatoto, Budiono. 1984. Simbolisme dalam Budaya Jawa. PT. Hanindita. Yogyakarta. Hidayatun, Maria I. 1994, “Perubahan Sosial Budaya Masyarakat Kotagede: Dampaknya Terhadap Arsitektur Rumah Tinggalnya”, Tesis S-2 Pascasarjana UI. Program
- Studi Antropologi.
- Hidayatun, Maria I., 1999. Pendopo Dalam Era Modernisasi: Bentuk, Fungsi dan Makna Pendopo pada Arsitektur Tradisional Jawa dalam Perubahan Kebudayaan. Dimensi Teknik Arsitektur Vol. 27, No. 1, Juli 1999 : 37 – 47. Universitas Kristen Petra.
- Rapoport . 2005. Culture Architecture, and Desigm. Lock Science Publishing Company, Inc.
- Chicago. USA.
- Santosa, Revianto Budi. 2000. Omah: Membaca Makna Rumah Jawa. Yayasan Bentang
- Budaya. Yogyakarta.
- Suseno, Franz Magnis, 1988, “Etika Jawa: Sebuah Analisa Falsafi Tentang Kebijaksanaan
- Hidup Orang Jawa”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
- Tjahjono, Gunawan. 1989. Dissertation: Cosmos, Center, and Duality in Javanese Architectureal Tradition: The Symbolic Dimention of house Shapes in Kota Gede and Surroundings. University of California.