Tour and Travelles
Categoories
· Pasar Windujenar
Kota Solo adalah kota yang terletak diantara tiga gunung, yaitu Gunung Lawu, Gunung Merapi, dan Gunung Merbabu. Kota ini juga berada tepat di tepi Sungai Bengawan Solo. Dengan letak geografis yang demikian menjadikan Kota Solo menjadi daerah yang subur dan menjadi pusat perdagangan. Di kota ini terdapat dua istana yang masih eksis yaitu Kasunanan dan Mangkunegaran. Selain itu juga terdapat dua petilasan Kerajaan Mataram
yaitu Pajang dan Kartosuro. Mungkin karena kondisi ini membuat Kota Solo mempunyai kebudayaan yang masih kental dan terjaga.
yaitu Pajang dan Kartosuro. Mungkin karena kondisi ini membuat Kota Solo mempunyai kebudayaan yang masih kental dan terjaga.
Selain budaya, Kota Solo mempunyai hal-hal lain yang khas seperti kuliner, batik, pasar, dll yang tidak terdapat di kota lain dan kurang diulas di dunia maya. Kami, dari berbagai macam latar belakang, mencoba membuat blog ini dengan segala kekurangannya, sebagai batu pijakan pertama untuk kemajuan di kemudian hari. Masukan info, sumbang saran, dan kritikan anda akan sangat berguna bagi kami dan Kota Solo pada umumnya.
A. Deskripsi
Bengawan Solo, itulah nama sungai terpanjang di Pulau Jawa ini. Sungai yang memiliki panjang sekitar 548,53 km dan bersumber dari Pegunungan Kidul, Wonogiri ini, melintasi dua wilayah administratif propinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Daerah yang dilewati sungai tersebut di antaranya ialah Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten, Solo, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan bermuara di daerah Gresik.
Bengawan Solo, itulah nama sungai terpanjang di Pulau Jawa ini. Sungai yang memiliki panjang sekitar 548,53 km dan bersumber dari Pegunungan Kidul, Wonogiri ini, melintasi dua wilayah administratif propinsi, yaitu Jawa Tengah dan Jawa Timur. Daerah yang dilewati sungai tersebut di antaranya ialah Wonogiri, Pacitan, Sukoharjo, Klaten, Solo, Sragen, Ngawi, Blora, Bojonegoro, Tuban, Lamongan, dan bermuara di daerah Gresik.
Menurut sejarah, sekitar empat juta tahun yang lalu Sungai Bengawan Solo bermuara di daerah Kabupaten Gunung Kidul, tepatnya di Pantai Sadeng. Namun, karena peristiwa pergeseran lempeng bumi di Australia yang menghujam bagian bawah Pulau Jawa, mengakibatkan dataran bagian selatan Pulau Jawa ini menjadi terangkat hingga membuat muara Sungai Bengawan Solo ini berpindah ke utara (Gresik). Bukti-bukti bekas aliran Sungai Bengawan Solo di wilayah Gunung Kidul masih ada sampai sekarang, walaupun mengering menjadi bebatuan kapur dan karang-karang kering.
Pada zaman dulu, di sekitar aliran Sungai Bengawan Solo merupakan tempat bertahan hidup manusia purba. Hal ini terbukti dengan ditemukannya fosil-fosil manusia purba di Desa Trinil sekitar 11 km dari Kabupaten Ngawi, Jawa Timur. Fosil-fosil ini kemudian diberi nama Pithecanthropus Erectus, oleh seorang peneliti dari Belanda yang bernama Eugene Dubois pada tahun 1891. Bukti lain adanya kehidupan manusia purba di sekitar sungai ini juga dikuatkan dengan penemuan fosil manusia purba di Sangiran dan di Desa Ngandong, Solo. Fosil-fosil ini diberi nama Meganthropus Palaeojavanicus dan Homo Soloensis. Fosil manusia purba tersebut ditemukan oleh Van Koeningswald pada tahun 1941 dan tahun (1931—1934), keduanya ditemukan tak jauh dari aliran sungai ini. Dari beberapa penemuan fosil tersebut, dapat dikatakan bahwa aliran Sungai Bengawan Solo merupakan sumber kehidupan bagi makhluk hidup yang berada di sekitarnya, sejak ribuan tahun yang lalu hingga sekarang.
Sungai yang merupakan sumber kehidupan masyarakat dari hulu sampai hilir ini, keberadaannya cukup terkenal berkat diciptakannya sebuah lagu dengan judul “Bengawan Solo” karya Gesang. Melalui lagu ini, popularitas Sungai Bengawan Solo semakin terkenal ke seluruh Indonesia. Banyak wisatawan baik lokal maupun mancanegara yang tertarik untuk berkunjung ke sungai ini guna melihat keindahannya sekaligus menyusuri situs sejarahnya.
Sungai ini juga cukup populer dengan kisah Joko Tingkir, pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1549—1582 dan bergelar Sultan Hadiwijaya, saat bertarung dengan buaya. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pada zaman dulu Joko Tingkir pernah menyusuri Sungai Bengawan Solo ketika melakukan perjalanan dari Majasta (Kabupaten Sukoharjo) menuju Desa Gerompol di lereng bukit Prawata, tepatnya di sebelah timur Kerajaan Demak. Dalam perjalanan itu, Joko Tingkir menggunakan perahu yang terbuat dari bambu. Di atas perahu itu Joko Tingkir diserang puluhan buaya besar yang ingin memakannya. Namun, Joko Tingkir melawan serangan buaya-buaya tersebut hingga akhirnya buaya-buaya itu berhasil dikalahkan. Setelah kalah, anehnya buaya–buaya itu kemudian membantu perjalanan Joko Tingkir dengan cara mendorong perahu bambu yang dinaikinya.
Sungai ini juga cukup populer dengan kisah Joko Tingkir, pendiri sekaligus raja pertama Kesultanan Pajang yang memerintah tahun 1549—1582 dan bergelar Sultan Hadiwijaya, saat bertarung dengan buaya. Menurut cerita yang berkembang di masyarakat, pada zaman dulu Joko Tingkir pernah menyusuri Sungai Bengawan Solo ketika melakukan perjalanan dari Majasta (Kabupaten Sukoharjo) menuju Desa Gerompol di lereng bukit Prawata, tepatnya di sebelah timur Kerajaan Demak. Dalam perjalanan itu, Joko Tingkir menggunakan perahu yang terbuat dari bambu. Di atas perahu itu Joko Tingkir diserang puluhan buaya besar yang ingin memakannya. Namun, Joko Tingkir melawan serangan buaya-buaya tersebut hingga akhirnya buaya-buaya itu berhasil dikalahkan. Setelah kalah, anehnya buaya–buaya itu kemudian membantu perjalanan Joko Tingkir dengan cara mendorong perahu bambu yang dinaikinya.
B. Keistimewaan
Sungai Bengawan Solo merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat dari hulu sampai hilir. Selain sebagai sumber kehidupan, sungai ini juga digunakan sebagai tempat wisata. Keindahan pemandangan alam di tepian sungai merupakan daya tarik bagi wisatawan untuk menyusurinya. Pohon-pohon besar yang hidup di tepian, tebing-tebing yang menjorok ke tengah sungai, dan hamparan sawah dan kebun yang menghijau di sekitar sungai, merupakan ciri khas keindahan pemandangan alam di Sungai Bengawan Solo ini. Banyak pengunjung yang menghabiskan waktu liburannya untuk berkunjung menikmati indahnya pemandangan sungai dengan menyewa perahu nelayan. Selama menyusuri sungai ini, pelancong juga dapat melihat pohon elo yang tumbuh di beberapa tempat di sepanjang sungai. Menurut pengakuan masyarakat setempat, selain mengandung banyak manfaat, pohon elo juga memiliki nilai mistis, yaitu barang siapa dapat melihat bunga pohon elo, maka itu pertanda ia akan kaya.
Selain melihat pemandangan alamnya yang indah, di aliran sungai ini wisatawan juga dapat melihat bangkai kapal kuno yang tenggelam sekitar tiga ratus tahun yang lalu, tepatnya di Kecamatan Trucuk, Kabupaten Bojonegoro. Kapal yang memiliki panjang sekitar 40 meter dan lebar 8 meter itu, konon merupakan milik saudagar Cina yang tenggelam ketika hendak berlayar menuju daerah Ngawi.
Sungai Bengawan Solo juga terkenal dengan tradisi tahunan yang diselenggarakan setiap tahun sekali, yaitu tradisi Larung Getek Joko Tingkir. Tradisi tahunan ini bertujuan untuk mengenang kisah perjalanan Joko Tingkir ketika menyusuri Sungai Bengawan Solo, sekaligus juga mempromosikan kembali kunjungan wisata ke Sungai Bengawan Solo. Untuk lebih memikat daya tarik wisatawan tersebut, dalam tradisi Larung Getek Joko Tingkir ini, diperankan beberapa artis sebagai tokoh Joko Tingkir di antaranya ialah Dono (warkop), Wilidozen, Mamiek, Basuki, dan lain-lain. Namun sayangnya terdapat beberapa bagian sungai yang mengalami pendangkalan, sehingga tradisi Larung Getek ini tidak dapat diselenggarakan dari hulu sampai hilir. Perjalanan Larung Getek Joko Tingkir ini dimulai dari Pesanggrahan Langenharjo di Sukoharjo, sekitar sembilan kilometer sebelah utara Majasta, dan menempuh jarak sekitar 30 km yang berakhir di Desa Butuh, Kecamatan Plupuh, Sragen. Adapun pelaksanaan tradisi tahunan ini biasanya dilaksanakan pada bulan Januari, bersamaan dengan perayaan tahun baru. Tradisi ini juga sering diselenggarakan dengan start di Taman Satwa Taru Jurug Solo, Kota Surakarta pada bulan Syawal. Untuk menyaksikan tradisi ini, pelancong tidak dipungut biaya.
C. Lokasi
Sungai Bengawan Solo melewati dua wilayah administratif propinsi, yaitu Jawa Timur dan Jawa Tengah, Indonesia. Jika pengunjung ingin menikmati keindahan pemandangan alam Sungai Bengawan Solo dan menyaksikan tradisi tahunan Larung Getek Joko Tingkir, dapat berkunjung ke Taman Satwa Taru Jurug Solo, Kota Surakarta.
D. Akses
Taman Satwa Taru Jurug Solo cukup mudah untuk dijangkau dengan menggunakan angkutan umum. Banyak sarana transportasi yang dapat mengantarkan pelancong menuju taman ini, baik dari terminal, stasiun, ataupun bandara. Untuk menuju Taman Satwa Taru Jurug Solo ini, perjalanan dapat dimulai dari Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, atau Bandara Adi Sumarmo Solo. Jika pelancong memulai perjalanan dari Terminal Tirtonadi, pelancong bisa naik angkutan kota dan turun di lokasi taman ini. Namun, jika pelancong memulai perjalanan dari Stasiun Balapan atau Bandara Adi Sumarmo Solo, pelancong dapat naik taksi atau mobil sewaan untuk sampai di lokasi Taman Satwa Taru Jurug Solo ini.
E. Harga Tiket
Untuk menikmati keindahan pemandangan alam di Sungai Bengawan Solo, pelancong tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di obyek wisata alam Sungai Bengawan Solo terdapat tempat persewaan perahu dengan tarif sekitar Rp 50.000—100.000 per perahu (Desember 2008). Tarif tersebut tentu saja tergantung pada jauh tidaknya jarak perjalanan perahu.
Di area wisata ini juga terdapat berbagai macam fasilitas di antaranya mushala, tempat-tempat bersantai, persewaan peralatan pancing, persewaan tikar, taman bermain, berbagai macam sarana permainan anak-anak, dan pada hari libur dilengkapi juga dengan panggung hiburan terbuka. Terdapat juga berbagai kios yang menjajakan makanan dan minuman dengan harga yang cukup murah. Bagi pelancong yang ingin bermalam menikmati suasana Sungai Bengawan Solo di malam hari, terdapat berbagai macam hotel di sekitar obyek wisata ini.
Taman Jurug adalah sebutan populer untuk Taman Satwa Taru Jurug. Taman yang dibangun pada tahun 1975 ini menempati area seluas 14 hektar dan merupakan tempat rekreasi keluarga yang menawarkan pemandangan alam yang indah, fasilitas hiburan gratis, sarana permainan anak-anak, tempat-tempat bersantai, dan lain-lain.
Pada tahun 1983, Taman Jurug mengalami pengembangan, yaitu dari taman bersantai menjadi wisata satwa atau kebun binatang. Pengembangan dan penambahan satwa di taman ini, merupakan akibat dari adanya perluasan stadion Sriwedari yang menggeser keberadaan Kebun Binatang Sriwedari, warisan Raja Surakarta, yaitu Paku Buwono X. Akibat pemugaran itu, satwa-satwa yang ada di Kebun Binatang Sriwedari kemudian dipindahkan ke Taman Jurug.
Sebagai salah satu taman wisata kebanggaan Pemerintah Kota Surakarta, Taman Satwa Taru Jurug mengalami pengembangan dan renovasi di segala bidang. Pengembangan itu bertujuan untuk meningkatkan kunjungan wisatawan ke taman ini. Beberapa pengembangan tersebut di antaranya ialah pembuatan Taman Gesang dan Petilasan Joko Tingkir serta pementasan panggung hiburan terbuka di hari-hari libur. Pengembangan itu merupakan bukti keseriusan pemerintah daerah dalam menjadikan taman ini sebagai obyek wisata unggulan di Jawa Tengah. Di samping itu, dengan dibentuknya empat instansi pemerintah untuk turut serta menjadi pengelola taman ini, yaitu Dinas Pertanian (sebagai pengawas flora dan fauna), Dinas Pendapatan Daerah (sebagai pengelola management keuangan), Dinas Tata Kota (sebagai pengelola fungsi ruang dan investasi), dan yang ke empat ialah Kantor Pengelola Aset Daerah, juga semakin mempercepat tekad pemerintah tersebut.
B. Keistimewaan
Berkunjung ke Surakarta, terasa kurang berkesan sebelum Anda menginjakkan kaki mengunjungi Taman Satwa Taru Jurug Solo. Taman yang berada di tepi Sungai Bengawan Solo ini menawarkan keindahan taman-taman yang menghijau dan juga berbagai macam sarana permainan anak-anak. Selain itu, terdapat juga berbagai macam jenis tumbuhan besar yang membuat suasana taman ini menjadi rindang. Di tempat ini, pengunjung dapat juga berkeliling melihat berbagai macam binatang yang hidup di dalamnya, seperti monyet, ular, gajah, menjangan, burung, beruang madu, harimau sumatera, macan tutul, merak biru, dan macam-macam koleksi satwa lainnya.
Keistimewaan lainnya, tampak pada ruas-ruas jalan yang disusun dari konblok yang tertata rapi sehingga membuat rasa nyaman bagi para pelancong yang berjalan kaki mengelilingi taman. Selain berjalan kaki, pengunjung yang ingin berkeliling menikmati suasana taman juga dapat memanfaatkan kereta mini dengan tarif sekitar Rp 3.000 per orang untuk satu kali putaran.
Bagi pelancong yang gemar dengan suasana air, di Taman Satwa Taru Jurug ini juga dilengkapi dengan telaga kecil. Di telaga buatan ini pelancong dapat mengelilingi keindahannya dengan menyewa perahu. Bagi pelancong yang gemar memancing, dapat juga memancing di telaga tersebut dengan menyewa peralatan pancing di kios persewaan di kawasan ini. Fasilitas menarik lainnya ialah pelancong dapat menunggang gajah atau kuda berkeliling taman, dengan ongkos sekitar Rp 3.000—7.000 per orang untuk satu kali putaran.
Banyak juga para pengunjung yang hanya ingin menikmati kesegaran udaranya dengan duduk-duduk di bawah pepohonan yang rindang seperti pohon munggur, cemara, flamboyan, dan akasia. Di bawah pepohonan tersebut, pelancong dapat duduk-duduk bersantai dengan menyewa tikar. Pada hari libur, pelancong dapat juga menyaksikan panggung hiburan terbuka yang mementaskan berbagai macam pentas hiburan seperti dangdut, campur sari, keroncong, reog, wayang kulit, dan beberapa pentas kesenian lainnya.
Banyak juga para pengunjung yang hanya ingin menikmati kesegaran udaranya dengan duduk-duduk di bawah pepohonan yang rindang seperti pohon munggur, cemara, flamboyan, dan akasia. Di bawah pepohonan tersebut, pelancong dapat duduk-duduk bersantai dengan menyewa tikar. Pada hari libur, pelancong dapat juga menyaksikan panggung hiburan terbuka yang mementaskan berbagai macam pentas hiburan seperti dangdut, campur sari, keroncong, reog, wayang kulit, dan beberapa pentas kesenian lainnya.
Taman ini konon juga merupakan tempat memperoleh inspirasi lagu “Bengawan Solo” karya legendaris keroncong, Gesang. Kemunculan lagu Bengawan Solo ini, turut mempopulerkan keberadaan obyek wisata Sungai Bengawan Solo. Untuk mengenang jasa-jasanya itu, kemudian dibuatlah Taman Gesang di dalam lokasi wisata Taman Jurug ini. Di dalam taman ini terdapat patung Gesang serta aula terbuka. Taman yang diresmikan oleh Wali Kota Surakarta, Hartomo, pada tanggal 1 Oktober 1993 ini, dibangun tepat di pinggir Sungai Bengawan Solo. Patung Gesang diberi pagar yang terbuat dari besi sehingga nampak berdiri kokoh dan jauh dari jangkauan anak-anak yang ingin memanjatnya. Di dekat taman ini juga terdapat petilasan Joko Tingkir.
Selain sebagai tempat wisata, Taman Satwa Taru Jurug Solo juga sering digunakan sebagai tempat penelitian berbagai satwa liar dengan koleksi satwa sekitar 207 jenis yang berasal dari lokal maupun mancanegara. Sedangkan tumbuhan yang hidup di taman ini di antaranya yaitu cemara, flamboyan, akasia, munggur, dan lain sebagainya.
Wisatawan juga dapat melihat keindahan pemandangan alam Sungai Bengawan Solo yang terletak di samping Taman Jurug ini dengan menyewa perahu motor. Selama perjalanan, pelancong akan disuguhi keindahan pemandangan berupa tebing-tebing yang menjorok ke tengah sungai. Di sungai ini, pelancong juga dapat melihat tradisi tahunan yang disebut Larung Getek Joko Tingkir. Tradisi ini diselenggarakan dalam rangka mengenang jejak sejarah Joko Tingkir saat menyusuri sungai ini. Tradisi ini diselenggarakan pada bulan Syawal. Untuk dapat menyaksikan tradisi ini, pengunjung tidak dipungut biaya.
C. Lokasi
Taman Satwa Taru Jurug terletak di Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia. Taman ini tepatnya berada di jalan Ir. Sutami, jalan utama yang menghubungkan antara Kota Yogyakarta dengan Surabaya.
D. Akses
Untuk menuju Taman Satwa Taru Jurug cukup mudah karena dapat dijangkau dari berbagai arah dengan menggunakan kendaraan umum (bus). Pelancong dapat memulai perjalanan dari Terminal Tirtonadi Solo. Dari terminal ini, pelancong bisa naik angkutan kota menuju ke Taman Jurug. Perjalanan dari Terminal Tirtonadi sampai ke Taman Jurug biasanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit. Dari Terminal Tirtonadi tersebut, pengunjung dapat juga naik bus jurusan Surakarta—Surabaya atau Solo—Tawangmangu dan turun di lokasi.
E. Harga Tiket
Untuk dapat memasuki obyek wisata Taman Satwa Taru Jurug, pelancong cukup membayar tiket masuk sebesar Rp 6.000 pada hari-hari biasa dan Rp 7.000 pada hari-hari libur. Sedangkan untuk anak usia 2—4 tahun pada hari biasa tiket masuknya sebesar Rp 3.000 dan khusus pada hari libur sebesar Rp 4.000. Uang pembayaran itu sudah meliputi jaminan asuransi kecelakaan selama berada di area taman. Taman ini buka setiap hari mulai dari jam 07.00—17.00 WIB.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di area wisata ini terdapat berbagai macam fasilitas, di antaranya mushala, kereta api kelinci, tempat-tempat bersantai, persewaan peralatan pancing, persewaan tikar, taman bermain, sarana permainan anak-anak (kursi putar, ayunan, kuda-kudaan), telaga mini yang bisa diarungi dengan perahu, kids play ground, dan pada hari libur dilengkapi juga dengan panggung hiburan yang kerap mementaskan grup musik dangdut atau keroncong, reog, dan wayang kulit.
Di area wisata ini terdapat berbagai macam fasilitas, di antaranya mushala, kereta api kelinci, tempat-tempat bersantai, persewaan peralatan pancing, persewaan tikar, taman bermain, sarana permainan anak-anak (kursi putar, ayunan, kuda-kudaan), telaga mini yang bisa diarungi dengan perahu, kids play ground, dan pada hari libur dilengkapi juga dengan panggung hiburan yang kerap mementaskan grup musik dangdut atau keroncong, reog, dan wayang kulit.
Di lokasi wisata ini banyak terdapat kios yang menjajakan aneka makanan dan minuman. Bagi pelancong yang ingin bermalam menikmati suasana Kota Surakarta pada malam hari, terdapat berbagai macam hotel di sekitar obyek wisata yang dapat dipilih sesuai selera Anda.
A. Deskripsi
Kehidupan raja-raja masa lalu memang eksotis dan penuh gairah. Setidaknya hal itu dapat ditafsirkan dari keberadaan Taman Balekambang di Solo, yang merupakan taman peninggalan Istana Mangkunegaran Solo. Balekambang dalam bahasa Jawa berarti rumah yang berada di atas air. Namun kenyataannya, Balekambang adalah rumah atau semacam vila raja tempo dulu, yang dibangun di atas kolam air atau dikelilingi kolam air. Jika di Yogyakarta, hal ini sama dengan Pesanggrahan Ambarukmo.
TamanBalekambang Solo saat ini telah berubah menjadi taman publik. Saat ini, taman tersebut dikelola oleh Unit Pelaksana Teknis (UPT) Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kota Solo. Oleh UPT Disbudpar Solo, di sekitar taman telah dibangun kawasan outbond yang dapat dimanfaatkan masyarakat, dengan gedung serbaguna yang bisa digunakan untuk menggelar pertunjukan seni seperti Wayang atau disewa untuk hajatan pernikahan.
Di dalam Balekambang ini, Anda juga dapat menyaksikan foto raja-raja Solo. Di taman yang besar ini, di dalamnya juga dipelihara beberapa ekor rusa yang jinak. Anda boleh memegang dan bermain sepuasnya tanpa ada larangan dari siapa pun. Jika Anda lelah atau ingin menikmati suasana taman, Anda dapat duduk di kursi-kursi taman yang memiliki desain unik. Anda juga dapat melihat air mancur dan merasakan airnya yang segar. Sekali waktu taman ini juga sering dijadikan untuk pementasan musik.
B. Keistimewaan
Sebagai sebuah peninggalan raja yang masih terawat dan dapat diakses publik, Balekambang sangatlah istimewa. Karena bagi Anda yang ingin meneliti lebih jauh tentang kehidupan raja-raja Solo zaman lampau, Anda dapat memulainya dari sini. Atau jika anda penyuka kajian arsitektur, Anda dapat meneliti Balekambang yang memiliki arsitektur unik.
C. Lokasi
Taman Balekambang terletak di belakang stadion Manahan Solo.
D. Akses
Jika Anda ingin berkunjung ke Taman Balekambang, cukup mudah untuk mengaksesnya, baik Anda menggunakan kendaraan pribadi maupun umum. Jika menggunakan kendaraan umum, dari terminal Tirtonadi, Solo, Anda cukup naik becak atau angkutan kota jurusan Taman Balekambang dan turun di depan taman.
E. Tiket
Untuk masuk ke taman ini, Anda tidak dipungut biaya sepeser pun. Anda hanya diminta untuk menjaga keasrian dan kebersihan taman dengan tidak membuang sampah sembarangan.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Selain taman yang luas dan indah, Taman Balekambang juga menyedikan toilet yang bersih serta area parkir yang aman.
A. Deskripsi
Kota Solo atau Kota Surakarta adalah kota kuno yang dibangun oleh Paku Buwana II. Riwayat kota ini tidak bisa lepas dari sejarah Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat yang merupakan penerus trah Kerajaan Mataram Islam yang dibangun oleh Panembahan Senopati. Keraton Mataram Islam memang beberapa kali berpindah tempat, pertama dari Keraton Kotagede (Kota Yogyakarta) berpindah ke Keraton Plered (Kab. Bantul) pada masa Amangkurat I, kemudian pada masa Amangkurat II berpindah ke Keraton Kartasura (Kab. Sukoharjo) karena Keraton Plered rusak akibat pemberontakan Trunojoyo. Keraton Kartasura digunakan oleh Amangkurat II hingga masa Paku Buwana II (antara tahun 1680—1742 Masehi).
Pada masa pemerintahan Paku Buwana II, terjadi peristiwa “Geger Pecinan”, yaitu pemberontakan laskar-laskar Cina yang didukung oleh beberapa pangeran dan kerabat raja. Menurut www.kratonsurakarta.com, pemberontakan ini dimulai sejak 1740 ketika VOC memberlakukan kebijakan untuk mengurangi jumlah orang Cina di Batavia, sehingga banyak orang Cina yang mengungsi ke wilayah Jawa Tengah dan membentuk laskar-laskar perlawanan. Pelarian laskar-laskar Cina tersebut ternyata mendapat dukungan dari para bupati di wilayah pesisir. Secara diam-diam, Paku Buwana II juga mendukung gerakan perlawanan laskar Cina terhadap VOC ini melalui patih kerajaan, yaitu Adipati Natakusuma. Tujuannya untuk memukul mundur kekuasaan VOC di wilayah kekuasaan Mataram Kartasura.
Namun, melihat Kota Semarang yang menjadi pusat VOC di Timur Batavia tidak kunjung jatuh ke tangan orang-orang Cina, Paku Buwana II menarik dukungannya dan kembali memihak VOC untuk memerangi perlawanan laskar Cina. Untuk menutupi kecurigaan VOC, Susuhunan (artinya ‘yang disembah‘, sebutan untuk Raja) menangkap Adipati Natakusuma yang akhirnya dihukum buang ke Sailon (Srilanka). Akan tetapi, ternyata kekuatan pasukan Cina tidak berangsur surut, melainkan tambah kuat dengan dukungan Bupati Pati, Bupati Grobogan, dan beberapa kerabat raja. Bahkan laskar Cina ini mampu mengangkat Mas Garendi (cucu Amangkurat III) sebagai penguasa yang baru atas kerajaan Mataram Kartasura dengan gelar Sunan Kuning (yang bermakna raja yang didukung oleh orang Cina).
Pada tahun 1742, pihak kerajaan makin terdesak, sehingga Raja, kerabat, dan pengikutnya yang masih setia harus mengungsi ke Ponorogo, Jawa Timur. Para pemberontak berhasil menduduki dan merusak bangunan Keraton Kartasura. Pemberontakan baru dapat dipadamkan setelah Paku Buwana II dibantu pasukan VOC menyerbu laskar Cina. Meskipun kembali bertahta, namun Susuhunan merasa pusat kerajaan di Keraton Kartasura tidak layak lagi untuk ditempati. Sebab, menurut kepercayaan Jawa, keraton yang sudah rusak telah kehilangan “wahyu”. Oleh sebab itu, maka Susuhunan kemudian menugaskan Adipati Pringgalaya, Adipati Sindureja, Mayor Higendorp, serta beberapa ahli nujum seperti Tumenggung Hanggawangsa, Mangkuyuda, serta Puspanegara untuk mencari lokasi baru.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, maka Desa Solo ditetapkan sebagai lokasi baru untuk menggantikan Keraton Kartasura. Pembangunan keraton dilakukan dari tahun 1743 hingga 1745. Konstruksi bangunan keraton menggunakan bahan kayu jati yang diperoleh dari Alas Kethu di dekat Kota Wonogiri. Yang menarik, salah satu arsitek pembangunan keraton ini adalah Pangeran Mangkubumi, kerabat Susuhunan yang kelak memberontak dan berhasil mendirikan Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Sultan Hamengku Buwana I. Sehingga tidak mengherankan jika bangunan Keraton Yogyakarta memiliki banyak kemiripan dengan Keraton Surakarta. Setelah pembangunan selesai, keraton baru yang diberi nama Keraton Surakarta Hadiningrat tersebut resmi digunakan oleh raja pada tanggal 17 Februari 1745 (atau Rabu Pahing 14 Sura 1670 Penanggalan Jawa, Wuku Landep, Windu Sancaya).
Keraton Surakarta yang dapat dilihat sekarang bukan bentuk asli dari bangunan awal pada masa Paku Buwana II. Secara bertahap, bangunan keraton telah beberapa kali mengalami renovasi meskipun tetap mempertahankan pola dasar tata ruang aslinya. Renovasi secara besar-besaran dilakukan pada masa Paku Buwana X yang bertahta antara 1893—1939. Dalam renovasi terbesar ini, bangunan keraton mulai mengadopsi gaya bangunan Eropa dengan nuansa warna putih dan biru yang menjadi warna khas kerajaan.
Wisatawan yang ingin menikmati peninggalan sejarah Kerajaan Mataram Surakarta ini diwajibkan untuk mematuhi berbagai peraturan, seperti tidak memakai topi, kacamata hitam, celana pendek, sandal, serta jaket. Bagi wisatawan yang memakai celana pendek, dapat meminjam kain bawahan untuk digunakan selama mengelilingi kawasan keraton.
B. Keistimewaan
Mengunjungi Keraton Solo, dari arah depan Anda akan menyaksikan susunan kota lama khas Jawa, yaitu sebuah bangunan keraton yang dikitari oleh Alun-alun, Pasar Klewer, dan Masjid Agung Surakarta. Memasuki bagian depan keraton, wisatawan dapat melihat bangunan yang disebut Sasana Sumewa dan sebuah meriam berbahan perunggu bernama Kiai Rancawara. Bangunan ini dahulu digunakan sebagai tempat Pasewakan Agung, yaitu pertemuan antara Raja dan para bawahannya. Di tempat ini wisatawan masih bisa menyaksikan Dhampar Kencana (singgasana raja) yang terletak di Siti Hinggil Lor (Siti Hinggil bermakna tanah yang ditinggikan sebagai tempat kedudukan raja). Pengunjung dilarang menaiki area ini, sebab tempat tersebut sangat dihormati dan dianggap keramat.
Dari Siti Hinggil, wisatawan akan memasuki Kori Renteng dan Kori Mangu (kori bermakna pintu, renteng bermakna pertentangan dalam hati, sementara mangu berarti ragu-ragu). Pada bagian selanjutnya, wisatawan melewati Kori Brojonolo (brojo = senjata, nolo = pikiran). Jadi, mereka yang melewati pintu-pintu ini diminta untuk meneguhkan hati, membuang rasa ragu, dan memantapkan pikiran untuk selalu waspada. Pada bagian selanjutnya, pengunjung akan sampai di pelataran Kamandungan Lor, kemudian Sri Manganti dan akhirnya mengunjungi museum keraton yang bernama Museum Keraton Surakarta Hadiningrat.
Di museum ini, wisatawan dapat menyaksikan benda-benda peninggalan Keraton Kasunanan Surakarta serta beberapa fragmen candi yang ditemukan di Jawa Tengah. Pada ruang pertama, pengunjung dapat melihat benda-benda yang pernah digunakan sebagai alat memasak abdi dalem (pembantu raja), seperti dandang, mangkuk, serta beberapa peralatan dari gerabah. Ada juga ruangan yang digunakan untuk memamerkan senjata-senjata kuno, seperti tombak, pedang, meriam, hingga pistol jaman dulu yang digunakan oleh keluarga keraton. Berbagai peralatan kesenian yang biasa ditampilkan di Keraton Surakarta, seperti gamelan dan topeng, juga dipamerkan di museum ini. Koleksi menarik lainnya yang dapat dinikmati adalah kereta kencana, dayung sampan sepanjang 5 meter, serta topi kebesaran Paku Buwana VI, Paku Buwana VII, serta Paku Buwana X. Apabila ingin mengetahui sejarah pembagian Kerajaan Surakarta dan Yogyakarta berdasarkan Perjanjian Giyanti 1755, wisatawan dapat melihat silsilah para penguasa dan penerus Mataram Islam yang berpuncak pada Panembahan Senopati, raja pertama Mataram Islam.
Setelah puas menimba pengetahuan sejarah di Museum Keraton Surakarta, wisatawan bisa beranjak menuju Sasana Sewaka yang berada di samping museum. Pada halaman Sasana Sewaka yang dihiasi oleh pohon sawo kecik, wisatawan diharuskan melepas alas kaki untuk berjalan di hamparan pasir halus yang diambil dari Gunung Merapi dan pantai Parangkusumo. Di lingkungan Sasana Sewaka ini, wisatawan dilarang mengambil atau membawa pasir halus yang terdapat di tempat tersebut. Di kawasan ini juga terdapat sebuah menara yang disebut Panggung Sanggabuwana. Konon, menara tersebut digunakan oleh Susuhunan untuk bersemedi dan bertemu dengan Nyai Rara Kidul, penguasa Pantai Selatan. Selain sebagai tempat semedi, Panggung Sanggabuwana sebetulnya juga berfungsi sebagai menara pertahanan, yaitu untuk mengontrol keadaan di sekeliling keraton. Keraton Kasunanan Surakarta memiliki luas sekitar 500 meter X 700 meter yang dikelilingi oleh dinding pertahanan (benteng) yang disebut Baluarti. Dinding tersebut mengelilingi keraton setinggi 3 hingga 5 meter, tebal sekitar 1 meter, dengan bentuk persegi panjang.
C. Lokasi
Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat terletak di Pusat Kota Solo, yaitu di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
D. Akses
Kota Solo merupakan kota perlintasan Yogyakarta—Surabaya. Dari Yogyakarta, Solo terletak sekitar 65 kilometer arah Timur, sementara dari Surabaya, Kota Solo terletak sekitar 285 kilometer arah Barat. Dari kota besar lainnya, yaitu dari Semarang, Solo terletak sekitar 100 kilometer arah Tenggara. Untuk menuju Kota Solo, wisatawan dapat memanfaatkan transportasi udara mendarat di Bandar Udara Adi Sumarmo, Solo, atau menggunakan jasa bus dan kereta menuju Terminal Tirtonadi dan Stasiun Balapan Solo. Dari Bandara, terminal, maupun stasiun, wisatawan dapat memanfaatkan bus kota, angkot, taksi, maupun andong untuk menuju ke pusat kota mengunjungi Keraton Surakarta.
E. Harga Tiket
Wisatawan yang hendak berkunjung ke Keraton Surakarta dikenai biaya tiket sebesar Rp4.000,00 per orang. Jika membawa kamera, dikenakan tiket tambahan sebesar Rp2.000,00. Keraton Surakarta melayani kunjungan wisatawan setiap Senin hingga kamis pada pukul 09.00—14.00 WIB. Pada hari Sabtu dan Minggu pukul 09.00—15.00 WIB. Sementara hari Jumat tutup.
Apabila wisatawan berminat mengunjungi Museum Keraton Surakarta yang berada di dalam kompleks keraton, wisatawan akan dikenakan tiket tambahan, yaitu Rp4.000,00 untuk wisatawan domestik, dan Rp8.000,00 untuk wisatawan mancanegara. Untuk izin memotret, dikenakan tiket sebesar Rp2.000,00 untuk tiap kamera. Bagi pengunjung yang datang berombongan akan dikenai potongan tiket sebesar Rp500,00 per orang. Museum ini buka pada hari Senin hingga Kami pukul 09.00—14.00 WIB, Sabtu hingga Minggu pukul 09.00—15.00 WIB, sedangkan pada hari Jumat tutup.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Kawasan keraton telah dilengkapi dengan berbagai fasilitas yang diperuntukkan bagi wisatawan, seperti pemandu wisata, peminjaman pakaian khas Jawa, brosur wisata, serta toilet. Untuk keperluan Shalat, wisatawan dapat memanfaatkan Masjid Agung Surakarta yang terletak tidak jauh di depan keraton. Mengunjungi ini tentu belum lengkap jika tidak berbelanja baju batik atau benda-benda seni sebagai cenderamata yang dijual di sekitar keraton. Untuk memburu koleksi baju batik yang lebih lengkap, wisatawan dapat berjalan kaki menuju Pasar Klewer yang berjarak sekitar 200 meter dari Keraton Surakarta.
Sebagai sebuah kota transit yang berkembang pesat, Kota Surakarta juga telah memiliki berbagai fasilitas penginapan berupa hotel melati maupun hotel berbintang. Di kota ini juga tidak sulit untuk mencari rumah makan yang menyajikan menu masakan khas Solo, maupun menu makanan internasional.
A. Deskripsi
Kota Solo yang juga dikenal dengan sebutan Kota Surakarta dikenal sebagai salah satu pusat kebudayaan Jawa. Hal ini terlihat dari keberadaan Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Namun, mengunjungi Kota Solo wisatawan tidak hanya dapat menyaksikan peninggalan Kerajaan Mataram Surakarta tersebut. Di kota ini juga terdapat masjid kuno, Masjid Agung Surakarta, yang dibangun pada abad ke-18. Masjid ini terletak satu kompleks dengan Keraton Surakarta. Masjid Agung Surakarta merupakan Masjid Agung Negara atau masjid resmi keraton yang sejak dahulu digunakan sebagai tempat untuk melangsungkan berbagai ritual keagamaan, seperti Upacara Garebeg Sekaten yang hingga sekarang masih rutin dilaksanakan setiap tahun (setiap bulan Maulid). Sebagai Masjid Agung Negara, dahulu para pengurus atau takmir masjid merupakan abdi dalem (sebutan untuk pembantu raja) dengan gelar yang diberikan oleh keraton, seperti Kanjeng Raden Tumenggung Penghulu Tafsiranom (penghulu) dan Lurah Muadzin.
Dalam www.suaramerdeka.com disebutkan, bangunan Masjid Agung Surakarta pernah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran pertama dilakukan oleh Paku Buwana IV pada tahun 1794. Ketika itu seluruh tiang utama masjid diganti dengan kayu jati berbentuk bulat. Pada masa Paku Buwana VII, sekitar tahun 1850, pernah pula diadakan renovasi, yaitu mengganti mustaka (puncak) masjid yang tersambar petir dengan mustaka baru berlapis emas. Selain mengganti mustaka, dibangun juga serambi masjid, pagar di sekelilling masjid, serta bangunan Pagongan yang digunakan untuk sekaten.
Perubahan arsitektur bangunan juga terjadi pada masa Paku Buwana X (sekitar tahun 1914). Pada masa itu, dibangun sebuah menara masjid setinggi + 33 meter, bentuk gapura yang semula beratap limas diganti dengan gaya Arab-Persia, membuat kolam selebar 4 meter, serta mengganti mustaka berlapis emas yang pernah dicuri dengan bahan baru yang tidak terbuat dari emas. Paku Buwana X juga membangun Madrasah Mamba‘ul Ulum yang digunakan sebagai tempat untuk mengajarkan agama Islam.
Pada masa-masa berikutnya, atas inisiatif para takmir masjid dan masyarakat sekitar pengguna masjid, warna biru yang merupakan warna khas Keraton Kartasura dihilangkan. Selain itu, pihak takmir masjid juga mengganti atap dinding yang semula dari sirap kayu diganti dengan bahan metal roof, serta memperbarui lantai dengan batu granit yang didatangkan dari luar negeri. Meski demikian, perubahan-perubahan ini tidak banyak mengubah bentuk asli masjid sebagaimana dipugar oleh Paku Buwana X.
B. Keistimewaan
Masjid Agung Surakarta merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia yang menjadi salah satu saksi perkembangan Islam dan pelaksanaan ritual keagamaan di Keraton Surakarta. Masjid ini terletak di sisi Barat Alun-Alun Surakarta. Dari jauh, sebuah gapura unik berwarna putih yang dibangun pada masa Paku Buwana X menjadi penanda keberadaan masjid ini. Memasuki gapura, wisatawan akan memasuki serambi masjid yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang pada bagian depannya membentuk kuncung. Sebelum memasuki masjid, Anda dapat membasuh kaki pada kolam air yang mengelilingi serambi masjid. Kolam air ini dimaksudkan sebagai batas suci, sehingga kaki para jamaah atau pengunjung yang ingin memasuki masjid bisa dipastikan sudah bersih.
Masjid Agung Surakarta merupakan salah satu masjid kuno di Indonesia yang menjadi salah satu saksi perkembangan Islam dan pelaksanaan ritual keagamaan di Keraton Surakarta. Masjid ini terletak di sisi Barat Alun-Alun Surakarta. Dari jauh, sebuah gapura unik berwarna putih yang dibangun pada masa Paku Buwana X menjadi penanda keberadaan masjid ini. Memasuki gapura, wisatawan akan memasuki serambi masjid yang menjorok ke depan (tratag rambat) yang pada bagian depannya membentuk kuncung. Sebelum memasuki masjid, Anda dapat membasuh kaki pada kolam air yang mengelilingi serambi masjid. Kolam air ini dimaksudkan sebagai batas suci, sehingga kaki para jamaah atau pengunjung yang ingin memasuki masjid bisa dipastikan sudah bersih.
Pada ruang utama, wisatawan bisa menyaksikan dekorasi bangunan yang ditopang oleh 4 tiang utama (saka guru) dan 12 tiang tambahan (saka rawa). Dalam ruang utama ini terdapat mihrab (ruang shalat Imam) dan mimbar yang digunakan oleh Khatib pada saat shalat Jumat. Di kompleks Masjid Agung Surakarta juga terdapat kelengkapan lain, seperti tempat wudhu, Pawestren (tempat shalat untuk wanita), Balai Musyawarah, serta Pagongan, yaitu bangunan pendapa di kanan kiri masjid yang digunakan sebagai tempat gamelan ketika diadakan Upacara Garebeg Sekaten (upacara memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad). Terdapat juga sebuah istal (garasi kereta kuda) yang dahulu digunakan sebagai tempat memarkir kereta Susuhunan setiap Shalat Jumat maupun ketika menghadiri Upacara Garebeg. Sebuah menara azan juga menghiasi halaman masjid yang dibangun dengan gaya menara kutab Minar di India.
Hal menarik lainnya, sampai sekarang takmir Masjid Agung Surakarta masih menggunakan jam Istiwak, yaitu penunjuk waktu yang menggunakan patokan posisi matahari untuk menentukan waktu shalat. Jam Istiwak yang terdapat di halaman masjid ini menggunakan jarum penunjuk berupa sebatang logam, yang berdiri di atas pelat perunggu berbentuk setengah lingkaran dengan angka-angka menyerupai jam. Cara kerjanya, takmir masjid akan melihat bayangan batang logam yang tertimpa sinar matahari. Bayangan logam tersebut jatuh pada angka-angka tertentu yang akan digunakan sebagai penentu masuknya waktu shalat.
Di kompleks Masjid Agung Surakarta juga terdapat bangunan yang disebut Gedang Selirang, bangunan tempat tinggal yang diperuntukkan bagi para abdi dalem yang mengurusi masjid. Seperti umumnya masjid-masjid tua di Jawa, di bagian belakang Masjid Agung Surakarta juga terdapat kompleks pemakaman. Salah seorang keturunan Susuhunan yang dimakamkan di kompleks pemakaman ini adalah KPH. Noto Kusumo yang merupakan putera Paku Buwana III.
C. Lokasi
Masjid Agung Surakarta terletak di Kelurahan Baluwarti, Kecamatan Pasar Kliwon, Kota Surakarta Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
D. Akses
Masjid Agung Surakarta terletak di Pusat Kota Surakarta atau Kota Solo, sehingga untuk menuju masjid ini bisa ditempuh dengan berbagai moda transportasi yang ada. Dari luar kota, wisatawan dapat menggunakan jasa pesawat udara menuju Bandara Adi Sumarmo Solo, bisa juga memanfaatkan kereta api menuju Stasiun Balapan, atau menumpang bus antar-kota menuju Terminal Tirtonadi. Dari Bandara, terminal, maupun stasiun, wisatawan bisa memanfaatkan bus kota, angkot, taksi, maupun andong untuk menuju ke pusat kota menuju Masjid Agung Surakarta.
E. Harga Tiket
Tidak dikenai biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Wisatawan yang ingin melengkapi kunjungan wisatanya bisa berkunjung ke Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Keraton ini merupakan bukti sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Surakarta yang juga menjadi tonggak kelahiran Kota Surakarta. Tidak jauh dari masjid ini, wisatawan juga dapat berwisata belanja memborong suvenir maupun pakaian batik di Pasar Klewer. Apabila memerlukan penginapan, wisatawan tak perlu khawatir, sebab Kota Solo telah memiliki berbagai fasilitas penginapan berupa hotel melati maupun hotel berbintang. Di kota ini juga tidak sulit untuk mencari rumah makan yang menyajikan menu masakan khas Solo, maupun menu makanan internasional.
A. Deskripsi
Keberadaan istana-istana di Jawa biasanya juga dilengkapi dengan bangunan tempat ibadah. Jika Keraton Kasunanan Surakarta memiliki Masjid Agung Surakarta, maka Pura Mangkunegaran memiliki masjid di dekat istananya, yaitu Masjid Al Wustho Mangkunegaran. Pendirian masjid ini diprakarsai oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegara I. Semula, masjid ini dikenal dengan sebutan Masjid Mangkunegaran. Baru pada tahun 1949, Penghulu Masjid Mangkunegaran, yaitu Raden Tumenggung KH. Imam Rosidi memberikan tambahan nama menjadi Masjid Al Wustho Mangkunegaran. Hingga saat ini, tidak ada catatan mengenai arti khusus maupun alasan pemberian nama baru tersebut.
Pembangunan Masjid Al Wustho merupakan perwujudan dari fungsi Pura Mangkunegaran sebagai panotogomo, yaitu pemerintahan yang tidak hanya berfungsi secara politik, melainkan juga berfungsi melaksanakan syiar agama. Sebelumnya, Masjid Mangkunegaran terletak di wilayah Kauman, Pasar Legi. Karena dirasa jauh dari istana, maka masjid tersebut dipindah oleh KGPAA Mangkunegara II ke dekat istana Pura Mangkunegaran. Sebagai masjid resmi Pura Mangkunegaran, maka pengelolaan masjid ini dilakukan oleh para abdi dalem pura. Dahulu, masjid ini menjadi tempat ibadah khusus bagi keluarga pura, namun pada perkembangannya masyarakat umum juga diperbolehkan untuk beribadah atau sekedar menikmati keunikan arsitekturnya.
Pada masa KGPAA Mangkunegara VII, pemugaran besar-besaran dilakukan terhadap Masjid Al Wustho. Ketika itu, Mangkunegara VII meminta seorang arsitek Perancis untuk turut serta mendesain bentuk masjid. Mangkunegara VII memang dikenal sebagai penguasa Pura Mangkunegaran yang mendorong banyak pembangunan fasilitas umum pada masanya. Selain memugar Masjid Al Wustho, Mangkunegara VII juga membangun Lapangan Manahan, merenovasi Pasar Pon dan Pasar Legi, serta membangun kolam renang Balekambang.
B. Keistimewaan
Mengunjungi area masjid seluas 4.200 meter persegi ini wisatawan akan disambut oleh tembok gapura dengan ukiran ayat-ayat Al Quran yang membentuk kerucut. Terdapat dua gapura di masjid ini yang dari luar nampak kembar. Gapura pertama berada di tepi jalan dengan ukuran yang cukup besar. Gapura ini berfungsi sebagai jalan masuk menuju halaman masjid. Gapura kedua bentuknya lebih kecil dan merupakan pintu masuk menuju serambi masjid.
Menurut Abdul Baqir Zein dalam bukunya Masjid-masjid Bersejarah di Indonesia (1999:202), secara umum arsitektur Masjid Al Wustho mengikuti arsitektur Masjid Demak. Hal ini dapat dilihat dari atap tumpang bertingkat dengan puncak berupa mustaka masjid dan memiliki serambi. Masjid Al Wustho memiliki serambi depan yang disangga oleh 18 tiang. Di serambi ini terdapat sebuah bedug yang diberi nama Kyai Danaswara.
Pada salah satu sisi masjid, terdapat bangunan yang disebut Maligin yang dibangun oleh KGPAA Mangkunegara V. Bangunan dengan bentuk unik ini digunakan untuk melaksanakan khitan para putra kerabat Mangkunegaran. Selain itu, di bagian utara masjid, terdapat sebuah menara yang dibangun pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegara VII. Dahulu, menara tersebut berfungsi sebagai tempat untuk mengumandangkan adzan.
Keunikan lain dari masjid ini adalah nukilan-nukilan ayat Al Quran maupun Hadits yang menghiasi beberapa bagian masjid. Selain di gapura pertama dan kedua, kaligrafi Arab tersebut juga dapat disaksikan pada pintu-pintu masjid, jendela, serta saka guru (tiang utama) masjid. Ruang utama Masjid Al Wustho merupakan ruangan dengan 4 saka guru (tiang utama) dan 12 tiang tambahan. Tiap-tiap tiang tersebut berhiaskan kaligrafi Arab. Salah satu nukilan Hadits yang terdapat pada salah satu tiang masjid ini berbunyi: “Siapa yang membangun masjid ini untuk Allah, maka Allah akan mendirikan sebuah rumah untuknya di surga kelak” (Abdul Baqir Zein, 1999:203).
C. Lokasi
Masjid Al Wustho Mangkunegaran berada di dalam lingkungan Pura Mangkunegaran, tepatnya di Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
D. Akses
Mengunjungi Masjid Al Wustho biasanya menjadi satu paket kunjungan dengan Pura Mangkunegaran. Dari Pura Mangkunegaran, wisatawan cukup berjalan kaki sekitar 100 meter menuju lokasi masjid ini. Pura Mangkunegaran sendiri terletak di pusat Kota Surakarta atau Kota Solo, sehingga wisatawan dapat menuju lokasi istana ini dengan berbagai moda trasnportasi yang ada. Dari Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama di Kota Surakarta, wisatawan dapat menuju Pura Mengkunegaran melalui Pasar Triwindu. Apabila berangkat dari luar kota, wisatawan dapat menggunakan jasa pesawat udara menuju
Bandara Adi Sumarmo Solo, bisa juga memanfaatkan kereta api menuju Stasiun Balapan, atau menumpang bus antar-kota menuju Terminal Tirtonadi. Dari Bandara, terminal, maupun stasiun, wisatawan bisa memanfaatkan bus kota, angkot, taksi, maupun andong untuk menuju Pura Mangkunegaran dan Masjid Al Wustho.
E. Harga Tiket
Tidak dipungut biaya.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Masjid Al Wustho Mangkunegaran telah dilengkapi berbagai fasilitas untuk para pengunjung atau jamaah, seperti tempat penitipan barang (loker), tempat wudhu, kantor takmir masjid, serta poliklinik kesehatan yang dikelola oleh pengurus masjid. Apabila memerlukan penginapan, terdapat sebuah hotel yang dikelola oleh keluarga Pura Mangkunegaran, yaitu Mangkunegaran Palace Hotel yang berada tidak jauh dari masjid dan Pura Mangkunegaran.
A. Deskripsi
Kota Surakarta dikenal memiliki banyak bangunan bersejarah. Selain Keraton Kasunanan Surakarta yang merupakan kelanjutan dari dinasti Kerajaan Mataram Islam, terdapat juga sebuah bangunan keraton lain yang bernama Pura Mangkunegaran (pura = istana). Pura Mangkunegaran dibangun oleh Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo (KGPAA) Mangkunegara I, pendiri dinasti Praja Mangkunegaran (praja = negeri).
Sejarah berdirinya istana ini tidak bisa dipisahkan dari perjuangan Raden Mas (RM) Said yang juga dikenal dengan sebutan Pangeran Sambernyawa. RM Said adalah putera Kanjeng Pangeran Aryo (KPA) Mangkunegara yang lahir tahun 1725. KPA Mangkunegara merupakan kakak Paku Buwana II yang sekaligus berkedudukan sebagai penasehat susuhunan (sebutan untuk raja, dalam hal ini Paku Buwana II) di Keraton Kartasura. Ketika itu, pemerintahan Paku Buwana II telah dibayang-bayangi oleh intervensi Belanda. Oleh sebab itu, ketika KPA Mangkunegara dituduh telah bersekongkol akan menggantikan kedudukan susuhunan, maka ia kemudian dibuang ke Srilanka oleh Belanda (Hartono, 2007:3).
Pada 1742 meletus pemberontakan Cina (Geger Pecinan) yang mampu mengubrak-abrik Keraton Kartasura. Susuhunan Paku Buwana II beserta para pengikutnya melarikan diri ke Ponorogo, Jawa Timur. Para pemberontak yang juga didukung oleh sebagian bangsawan istana ini mengangkat Mas Garendi (Sunan Kuning) sebagai susuhunan atau raja baru di Keraton Kartasura. Sebagai putera bangsawan yang tersisihkan, RM Said yang ketika itu berusia sekitar 17 tahun, juga turut ambil bagian dalam pemberontakan bersama Mas Garendi melawan susuhunan yang didukung oleh Belanda.
Ketika pemberontakan Mas Garendi berhasil dipadamkan, dan Keraton Kartasura berpindah ke Surakarta, RM Said tetap gigih melakukan perlawanan terhadap Belanda maupun susuhunan. Bahkan perjuangan RM Said kemudian memperoleh dukungan dari Pangeran Mangkubumi (kelak Hamengku Buwana I, pendiri dinasti Kesultanan Yogyakarta). Pangeran Mangkubumi turut memberontak karena susuhunan dianggap tidak menepati janji memberikan hadiah atas jasanya membebaskan tanah Sukowati yang pernah dikuasai oleh RM Said dalam pemberontakannya.
Namun, perjuangan Pangeran Mangkubumi dan RM Said harus berpisah jalan setelah Pangeran Mangkubumi menyetujui adanya Perjanjian Giyanti 1755, yang membagi kerajaan mataram menjadi dua: Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Dalam perjanjian Giyanti disebutkan, Paku Buwana III berdaulat atas wilayah Kasunanan Surakarta, sementara Hamengku Buwana I berdaulat atas kerajaan baru bernama Kesultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.
RM Said baru menghentikan perlawanannya setelah Pakubuwana III membujuknya untuk kembali ke Keraton Surakarta, hidup berdampingan sebagai saudara sesama keturunan trah Mataram. Tawaran ini diterima oleh RM Said, asalkan status kebangsawanannya dikembalikan, serta kediaman dan wilayah-wilayah yang pernah ia kuasai selama memberontak diberikan kepadanya (info.indotoplist.com).
Kesepakatan ini kemudian dituangkan dalam Perjanjian Salatiga 1757, yang salah satu isinya menyatakan bahwa Penguasa Mangkunegaran berhak menyandang gelar pangeran (yaitu Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Aryo), namun tidak berhak menyandang gelar sunan atau sultan. Selain itu, ditegaskan pula bahwa Mangkunegaran menguasai wilayah bagian utara Surakarta (sekarang Kecamatan Banjarsari), seluruh wilayah Karanganyar, Wonogiri, serta sebagian daerah di Gunung Kidul (blognguik.blogspot.com).
Meskipun diakui sebagai penguasa yang sah, namun terdapat beberapa perbedaan mendasar antara Mangkunegaran dan Kasunanan. Untuk menyebut bangunan istana, misalnya, istilah pura lebih merujuk kepada tempat tinggal seorang pangeran, sementara keraton merupakan tempat tinggal raja. Meskipun berkuasa penuh atas wilayahnya, KGPAA Mangkunegara I dilarang duduk di atas singgasana, mendirikan Balai Winata, memiliki alun-alun beserta sepasang pohon beringin, serta menjatuhkan hukuman mati (Hartono, 2007:37). Batasan-batasan ini rupanya menjadi ciri pembeda antara “kekuasaan” yang dimiliki oleh Kasunanan Surakarta dan Pura Mangkunegaran berdasarkan Perjanjian Salatiga.
Selain itu, berbeda dengan raja-raja Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta yang umumnya dimakamkan di Makam Raja-raja Mataram di Imogiri, para penguasa Praja Mangkunegaran dimakamkan di Astana Mangadeg dan Astana Girilayu, di lereng Gunung Lawu. Makam Imogiri dibangun oleh Sultan Agung, Raja terbesar Mataram Islam. Makam Imogiri diperuntukkan bagi anak keturunan Sultan Agung, baik dari Keraton Kasunanan Surakarta maupun Kesultanan Surakarta.
Atas jasanya mengobarkan perlawanan terhadap Belanda, melalui Keppres RI No.048/TK/tahun 1988, RM Said atau KGPAA Mangkunegara I dianugerahi Bintang Mahaputra Adipurna (Kelas I) dan ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional. Saat ini, Pura Mangkunegaran telah berusia lebih dari 250 tahun. Kemegahan bangunannya tetap bisa disaksikan hingga kini. Meskipun tidak lagi berfungsi sebagai pusat pemerintahan, namun Pura Mangkunegaran tetap memainkan fungsinya sebagai pusat kebudayaan Jawa.
B. Keistimewaan
Pura Mangkunegaran memiliki luas sekitar 10.000 meter persegi. Bangunan istana yang ada sekarang diperkirakan dibangun pada masa KGPAA Mangkunegara II yang memerintah antara 1804—1866. Bangunan istana ini terdiri dari dua bangunan utama khas Jawa, yaitu Pendapa dengan bentuk joglo dan Dalem Agung dengan bentuk limasan. Istana ini mulai dibuka untuk kunjungan wisatawan sejak tahun 1968 (www.solo-kedu.com). Warna resmi Pura Mangkunegaran adalah hijau dan kuning emas yang disebut pareanom (padi muda). Warna resmi ini dapat dilihat pada bendera, pataka (lambang-lambang pasukan), serta sindur (selendang) yang digunakan oleh abdi dalem maupun kerabat istana.
Memasuki halaman Pura Mangkunegaran, wisatawan akan disambut oleh lapangan rumput dengan kolam berbentuk bulat di tengahnya. Halaman rumput ini merupakan bagian depan dari bangunan Pendapa. Pendapa Mangkunegaran berbentuk joglo dan ditopang oleh empat saka guru (tiang utama). Dahulu, tempat ini berfungsi sebagai lokasi untuk menerima tamu-tamu kerajaan. Namun, karena Pura Mangkunegaran tidak lagi berfungsi sebagai penguasa politik, maka pendapa ini sekarang lebih sering digunakan sebagai lokasi pementasan berbagai tarian khas Jawa.
Di sisi Barat Pendapa terdapat seperangkat gamelan yang diselubungi kain hijau. Perangkat gamelan pusaka bernama Kyai Kanyut Mesem tersebut berusia sekitar 200 tahun. Selain Kyai Kanyut Mesem, terdapat gamelan-gamelan lain yang juga dikeramatkan dan hanya ditabuh pada saat dilaksanakan upacara-upacara tertentu, seperti penobatan penguasa Praja Mangkunegaran yang baru, upacara perkawinan dan khitanan keluarga Mangkunegaran, serta upacara penyambutan tamu-tamu penting. Bangunan utama lainnya adalah Dalem Agung yang biasa digunakan untuk melaksanakan upacara-upacara tradisional keluarga Mangkunegaran. Dalem Agung merupakan bangunan berbentuk limas dengan luas sekitar 838,75 meter persegi. Bangunan ini ditopang oleh delapan saka guru, masing-masing setinggi sekitar 8,50 meter. Uniknya, bagian langit-langit Dalem Agung tidak ditutupi plafon, sehingga usuk-usuk kayu yang menjulur dari bubungan ke bagian tepi nampak seperti bulatan matahari dengan julur-julur sinarnya. Di dalam Dalem Agung terdapat barang-barang ampilan (barang khusus untuk digunakan) untuk berbagai pementasan tari, seperti Tari Bedaya, Srimpi, dan Langendriyan.
Tempat tinggal keluarga Mangkunegaran (Pracimoyoso) berada di belakang Dalem Agung. Dahulu, antara pangeran dan putri Mangkunegaran tinggal di bangunan yang terpisah. Pada bagian Timur disebut Bale Peni yang digunakan sebagai tempat tinggal para pangeran, sedangkan pada bagian Barat disebut Bale Warni yang merupakan tempat tinggal putri-putri Mangkunegaran. Tempat tinggal keluarga Mangkunegaran ini nampak asri, dihiasi dengan halaman berumput dan patung-patung bergaya Eropa klasik.
Selain menelusuri keunikan arsitektur dan berbagai peninggalan bersejarah tersebut, pengunjung sebaiknya meluangkan waktu untuk melihat-lihat koleksi perpustakaan Mangkunegaran, yaitu Rekso Pustoko yang didirikan pada 1867 oleh KGPAA Mangkunegara IV. Rekso Pustoko sendiri bermakna merawat buku (rekso = merawat, pustoko = buku), sehingga pendirian perpustakaan ini dimaksudkan sebagai upaya istana untuk menjaga khazanah keilmuan yang berkembang di Pura Mangkunegaran.
Para penerus trah Mangkunegaran memang tidak hanya dikenal sebagai penguasa politik, melainkan juga para pengembang kebudayaan Jawa. KGPAA Mangkunegara I, misalnya, dikenal sebagai pengarang Serat Sejarah Wiwit Nabi Adam Dumugi Ratu-ratu Tanah Jawi lan Sanesipun yang berisi kisah Nabi Adam hingga raja-raja di tanah Jawa. Sementara KGPAA Mangkunegara IV merupakan penggubah Serat Wedhatama yang mengajarkan kebajikan hidup. Raja selanjutnya, yaitu KGPAA Mangkunegara VII juga dikenal sebagai pengarang Serat Wulang Reh.
Perpustakaan Rekso Pustoko menyimpan koleksi sekitar 20 ribu buku sejak masa Mangkunegara I hingga Mangkunegara IX. Perkembangan pesat koleksi perpustakaan pernah terjadi pada masa KGPAA Mangkunegara VII, di mana tambahan koleksi tidak hanya berasal dari buku-buku beraksara Jawa, melainkan pula buku-buku latin berbahasa Asing, seperti berbahasa Perancis, Inggris, Jerman, dan Belanda. Perpustakaan Rekso Pustoko dibuka untuk umum dari pukul 09.00 – 12.30 WIB.
C. Lokasi
Pura Mangkunegaran terletak di bagian utara Kota Surakarta, tepatnya di Kecamatan Banjarsari, Kota Surakarta, Provinsi Jawa Tengah, Indonesia.
D. Akses
Pura Mangkunegaran terletak di pusat Kota Surakarta atau Kota Solo, sehingga wisatawan dapat dengan mudah menuju lokasi istana ini dengan berbagai moda trasnsportasi yang ada. Dari Jalan Slamet Riyadi yang merupakan jalan utama di Kota Surakarta, wisatawan dapat menuju Pura Mengkunegaran melalui Pasar Triwindu. Dari pasar ini, Pura Mangkunegaran terletak sekitar 500 meter. Pasar Triwindu adalah pasar barang antik terkenal di Kota Surakarta.
Apabila berangkat dari luar kota, wisatawan dapat menggunakan jasa pesawat udara menuju Bandara Adi Sumarmo Solo, bisa juga memanfaatkan kereta api menuju Stasiun Balapan, atau menumpang bus antar-kota menuju Terminal Tirtonadi. Dari Bandara, terminal, maupun stasiun, wisatawan bisa memanfaatkan bus kota, angkot, taksi, maupun andong untuk menuju Pura Mangkunegaran. Dari Terminal Bus Tirtonadi dan Stasiun Kereta Api Balapan, Pura Mangkunegaran berjarak sekitar 3-4 kilometer.
E. Harga Tiket
Wisatawan yang berkunjung ke Pura Mangkunegaran dikenakan biaya tiket seharga Rp2.500,00 per orang.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Wisatawan yang berkunjung ke Pura Mangkunegaran dapat memanfaatkan jasa pemandu dengan imbalan uang seikhlasnya. Pemandu tersebut akan menceritakan sejarah Pura Mangkunegaran serta memberikan keterangan mengenai makna dan filosofi benda maupun bangunan yang terdapat di istana ini. Selain itu, ada juga toko suvenir yang menjual pakaian dan aksesoris dari batik, toilet untuk pengunjung, serta tempat ibadah. Masjid Al-Wustho yang merupakan masjid resmi Pura Mangkunegaran hanya berada sekitar 100 meter dari istana ini.
Bagi wisatawan yang ingin menginap di lingkungan Pura Mangkunegaran, terdapat sebuah hotel persis di bagian Barat Daya istana, yaitu Mangkunegaran Palace Hotel. Dengan menginap di tempat ini, wisatawan dapat lebih leluasa menikmati nilai historis dan budaya yang dimiliki oleh Pura Mangkunegaran, misalnya dengan menyaksikan berbagai pentas kesenian khas Jawa di Pendapa yang digelar pada malam-malam tertentu.
Kunjungan ke Kota Surakarta atau Kota Solo tentu tidak lengkap jika belum mengunjungi obyek wisata lainnya, yaitu Keraton Kasunanan Surakarta, Masjid Agung Surakarta, Pasar Klewer, serta menikmati kuliner khas Solo, yaitu Nasi Liwet Solo.
A. Deskripsi
Tari Gambyong adalah suatu tarian yang disajikan untuk penyambutan tamu atau mengawali suatu resepsi perkawinan. Biasanya penarinya rata-rata masih muda dan berparas cantik. Sebagai suatu bentuk performance art, tari Gambyong menyajikan santapan estetis tersendiri bagi siapa saja yang menyaksikan sehingga sangat cocok untuk dijadikan objek wisata seni budaya.
Awal mula istilah Gambyong tampaknya berawal dari nama seorang penari taledhek. Penari yang bernama Gambyong ini hidup pada zaman Sunan Paku Buwana IV di Surakarta. Penari taledhek yang bernama Gambyong juga disebutkan dalam buku Cariyos Lelampahanipun karya Suwargi R.Ng. Ronggowarsito (tahun 1803-1873) yang mengungkapkan adanya penari ledhek yang bernama Gambyong yang memiliki kemahiran dalam menari dan kemerduan dalam suara sehingga menjadi pujaan kaum muda pada zaman itu.
Koreografi tari Gambyong sebagian besar berpusat pada penggunaan gerak kaki, tubuh, lengan, dan kepala. Gerak kepala dan tangan yang halus dan terkendali merupakan spesifikasi dalam tari Gambyong. Arah pandangan mata yang bergerak mengikuti arah gerak tangan dengan memandang jari-jari tangan menjadikan faktor dominan gerak-gerak tangan dalam ekspresi tari Gambyong. Hal ini dapat diamati pada gerak ukel asta (memutar pergelangan tangan) sebagai format gerak yang sering dilakukan.
Gerak kaki pada saat sikap berdiri dan berjalan mempunyai korelasi yang harmonis. Sebagai contoh, pada gerak srisig (berdiri dengan jinjit dan langkah kecil-kecil), nacah miring (kaki kiri bergerak ke samping, bergantian atau disusul kaki kanan di letakkan di depan kaki kiri), kengser (gerak kaki ke samping dengan cara bergeser/posisi telapak kaki tetap merapat ke lantai). Gerak kaki yang spesifik pada tari Gambyong adalah gerak embat atau entrag, yaitu posisi lutut yang membuka karena mendhak (merendah) bergerak ke bawah dan ke atas.
Penggarapan pola lantai pada tari Gambyong dilakukan pada peralihan rangkaian gerak, yaitu pada saat transisi rangkaian gerak satu dengan rangkaian gerak berikutnya. Sedangkan perpindahan posisi penari biasanya dilakukan pada gerak penghubung, yaitu srisig, singget ukel karna, kengser, dan nacah miring. Selain itu dilakukan pada rangkaian gerak berjalan (sekaran mlaku) ataupun gerak di tempat (sekaran mandheg).
B. Keistimewaan
Tari Gambyong sebagai tarian wanita mempunyai regulasi-regulasi dalam implementasi geraknya sehingga privasi geraknya tampak dibatasi. Hal ini dilakukan agar sifat kewanitaan yang halus selalu dapat dipertahankan atau ditonjolkan. Dalam tarian wanita jarang ditemukan luapan emosi, tetapi harus selalu lembut, halus, dan sopan. Sifat wanita yang ideal dan luhur ini selalu dihormati dengan ungkapan seni yang halus. Oleh karena itu, tidak ada gerak lengan yang lebih tinggi dari bahu, tidak pernah ada gerak meloncat, dan kedua paha selalu rapat. Bentuk torso (badan) wanita yang halus dan kelenturan anggota badannya menyempurnakan garis-garis kewanitaan menjadi sangat indah. Ini dapat tercapai dengan naluri dan budi pekerti yang halus.
Tari Gambyong sebagai tarian wanita mempunyai regulasi-regulasi dalam implementasi geraknya sehingga privasi geraknya tampak dibatasi. Hal ini dilakukan agar sifat kewanitaan yang halus selalu dapat dipertahankan atau ditonjolkan. Dalam tarian wanita jarang ditemukan luapan emosi, tetapi harus selalu lembut, halus, dan sopan. Sifat wanita yang ideal dan luhur ini selalu dihormati dengan ungkapan seni yang halus. Oleh karena itu, tidak ada gerak lengan yang lebih tinggi dari bahu, tidak pernah ada gerak meloncat, dan kedua paha selalu rapat. Bentuk torso (badan) wanita yang halus dan kelenturan anggota badannya menyempurnakan garis-garis kewanitaan menjadi sangat indah. Ini dapat tercapai dengan naluri dan budi pekerti yang halus.
Perkembangan tari Gambyong tidak terlepas dari nilai estetis yang mengungkapkan keluwesan, kelembutan, dan kelincahan wanita. Nilai estetis ini terdapat pada keharmonisan dan keselarasan antara gerak dan ritme, khususnya antara gerak dan irama kendang. Sinergitas antara gerak dan ritme ini menjadikan tari Gambyong tampil lebih sigrak (tangkas). Nilai estetis tari Gambyong akan muncul apabila penarinya juga menjiwai dan mampu mengekspresikan dengan perfek sehinga muncul ungkapan tari yang erotis-sensual.
Busana dan rias pada tari Gambyong mempunyai peran yang mendukung ekspesi tari dan faktor penting untuk suksesnya penyajian. Bentuk rias corrective make up yang menghasilkan wajah cantik dan tampak alami, menarik untuk dilihat.
Busana dan rias pada tari Gambyong mempunyai peran yang mendukung ekspesi tari dan faktor penting untuk suksesnya penyajian. Bentuk rias corrective make up yang menghasilkan wajah cantik dan tampak alami, menarik untuk dilihat.
Sementara itu, busana tari Gambyong yang disebut angkinan atau kembenan menjadikan lekuk-lekuk tubuh penari tampak terbentuk. Dengan demikian, bagian-bagian tubuh yang digerakkan kelihatan jelas sehingga gerak seperti ogek lambung yang bervolume kecil dapat tampak lebih jelas. Bentuk busana ini memungkinkan juga memberikan keleluasaan gerak sesuai dengan manifestasi dan kelincahan Tari Gambyong.
Dengan penggunaan kain yang diwiru, maka pada saat berjalan atau bergerak, lipatan kain (wiron) itu akan membuka dan menutup serta kelihatan hidup sehingga dapat memperkuat impresif kenesnya. Maka, busana yang dianggap sesuai dengan ekspresi tari Gambyong adalah busana angkinan dengan gelung gedhe.
Bagian bahu dibuat terbuka, bahkan kadang-kadang payudara dinaikkan sehingga tampak montok dengan sebutan glathik mungup (lekukan payudara, tampak seperti burung gelathik muncul). Perkembangan busana tari Gambyong yang beragam saat ini lebih terkesan dekoratif dan kurang memerhatikan kemungguhan (kesesuaian) tari. Meskipun demikian, perkembangan busana itu tetap membuat penyajian tari Gambyong semakin beragam dan menarik.
Penyajian tari Gambyong akan dapat mencapai nilai estetis apabila dilakukan oleh penari yang memiliki basis tari yang kuat. Kemantapan sajian tari dari seorang penari dipengaruhi oleh latar belakang budaya yang membentuk diri penari, di samping faktor kebiasaan dan kematangan. Kebiasaan dan kematangan pada tari Gambyong akan membentuk penari itu menjadi penari yang luluh atau menyatu dengan tari yang disajikan. Karena disadari penari tidak sekadar bergerak secara fisik saja, tetapi yang lebih penting adalah mampu mengungkapkan intuisi lewat gerak yang dinamis dan proporsional.
Tari Gambyong memiliki daya tarik yang sangat kuat karena estetika gerak-geraknya yang bersifat erotis. Motif-motif geraknya merupakan gerak-gerak nonrepresentatif (tan wadhag) atau gerak-gerak yang sangat distilisasi sehingga tari tersebut mempunyai yang lebih luas bagi penonton atau penikmat. Selain itu, motif-motif gerak yang bervariasi dengan tempo gerak yang cepat serta cekatan menjadikan tari Gambyong lebih dinamis. Juga karena spesifiknya motif-motif gerak tarinya yang disebabkan oleh tuntutan untuk dapat menimbulkan kesan erotis menjadikan penyajian tari Gambyong menarik untuk dinikmati para penonton atau penikmat.
C. Lokasi
Tari Gambyong bisa dinikmati di Kota Madya Surakarta.
D. Akses
Untuk menukmati Tari Gambyong, wisatawan dapat hadir pada acara resepsi pernikahan yang menggunakan adat Surakarta yang asli, atau menghadiri pagelaran seni tari yang diselenggarakan Keraton Surakarta.
E. Harga tiket
Untuk menikmati Tari Gambyong wisatawan tidak perlu membayar tiket (gratis).
F. Akomodasi dan fasilitas lainnya
Bagi wisatawan yang ingin melengkapi kunjungan wisatanya, bisa berkunjung ke keratin Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Keraton ini merupakan bukti sejarah berdirinya Kerajaan Mataram Hadiningrat yang juga menjadi tonggak kelahiran kota Surakarta. Tidak jauh dari masjid ini, wisatwan juga dapat mengunjungi Pasar klewer. Untuk akomodasi penginapan, wisatwan tak perlu khawatir, sebab di Kota Solo tersebar berbagai jenis penginapan, baikhotel berbintang atau penginapan berkelas melati. Di kota ini, wisatawan juga dapat mencicipi berbagai masakan khas Solo maupun Jawa Tengah pada umumnya.
A. Deskripsi
Selain hitungan hari, seperti Pahing, Pon, Wage, Kliwon, dan Legi, orang Jawa juga menggunakan hitungan Jawa sebagai penanda waktu tertentu yang dianggap sakral. Malem Selikuran adalah contohnya. Malem dalam bahasa Jawa berarti malam dan Selikuran berarti dua puluh satu, sehingga malem selikuran berarti malam yang kedua puluh satu. Adapan malam ke-21 yang disebut sebagai malem selikuran terletak pada bulan Ramadhan, yang dipercaya bertepatan dengan malam lailatul qadar.
Pada malam ini, Keraton Surakarta Hadiningrat dan masyarakat Solo biasanya menggelar tradisi berupa kirab seribu tumpeng dari halaman Pagelaran Keraton Surakarta, berjalan menyusuri Jalan Slamet Riyadi dan berakhir di Taman Sriwedari, Solo. Tradisi ini digelar untuk menyambut malam lailatul qadar, sebuah malam yang dianggap orang muslim sebagai malam yang istimewa lebih dari seribu bulan. Tidak heran jika tumpeng yang diarak berjumlah seribu buah.
Selain itu, tradisi ini ditujukan sebagai bentuk ucapan syukur kepada Yang Maha Kuasa dan wujud permohonan atas keselamatan serta sebagai salah satu bentuk upaya pelestarian budaya Jawa.
Kirab biasanya diawali oleh para prajurit keraton yang membawa simbol-simbol kebesaran keraton. Setelah itu, menyusul di belakangnya belasan wanita dengan pakaian kebaya berwarna-warni menyanyikan tembang-tembang Jawa yang bernuansa Islami. Selanjutnya adalah kereta kuda yang bernama Retno Puspo dan Retno Juwito yang ditunggangi oleh kerabat keraton.
Di belakang kereta kuda, diikuti barisan 24 ancak cantoko (tempat sesaji), yang berisi seribu tumpeng serta barisan 21 lampu ting, yang melambangkan peringatan "Malem Selikuran". Sesampai di Taman Sriwedari, seribu tumpeng tersebut diserahkan oleh salah seorang kerabat keraton kepada ulama keraton. Setelah didoakan, tumpeng dibagikan dan diperebutkan masyarakat. Mereka menyebutnya ngalap berkah. Sebagai sebuah peristiwa budaya, tradisi ini tentu selalu menarik untuk disaksikan.
B. Keistimewaan
Tradisi malem selikuran adalah tradisi budaya sekaligus religius yang penuh makna. Tentu hal ini sangat istimewa, karena Anda dapat menyaksikan bagaimana antara budaya dan religi saling bersatu dan menguatkan. Bagi Anda penyuka kajian agama dan budaya, tentu tidak akan mau ketinggalan peristiwa ini.
Ketika tradisi ini di gelar, banyak simbol-simbol budaya diikutsertakan sebagai bagian dari kirab, seperti tumpeng yang berjumlah seribu dan umbul-umbul kerajaan.
C. Lokasi
Tradisi malem selikuran digelar di tiga lokasi berbeda namun saling berhubungan, yaitu Keraton Surakarta, Jalan Slamet Riyadi dan berakhir di Taman Sriwedari Solo.
D. Akses
Jika Anda ingin menyaksikan tradisi ini, Anda cukup mudah mengaksesnya. Jika Anda ingin menyaksikan dari awal pergelaran, Anda dapat langsung menuju Keraton Surakarta lalu mengikuti kirab hingga ke Taman Sriwedari. Akan tetapi Anda disarankan untuk datang pagi hari karena jika sore hari jalanan sudah macet. Dari terminal Tirtonadi, Solo, Anda dapat naik becak atau angkutan kota yang menuju Keraton Solo dan turun di jalan dekat Keraton.
E. Tiket
Untuk menikmati tradisi malem slikuran ini, Anda tidak dipungut biaya sepeser pun. Anda hanya diminta untuk menjaga kebersihan dengan tidak membuang sampah sembarangan.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Tradisi ini menyediakan berbagai ritual kirab dan atraksi seni budaya yang rugi jika Anda lewatkan. Anda yang menyukai fotografi juga pasti akan mendapatkan obyek-obyek yang menarik dan menantang untuk diabadikan.
Sekaten Solo Bersamaan dengan mulai ditabuhnya gamelan pusaka di bangsal Pradangga Masjid Agung Solo, ratusan orang di kompleks masjid yang sebagian besar kaum perempuan, serta merta mengunyah kinang. Seperangkat kinang yang terdiri dari sejumput tembakau, satu buah kembang kantil dan beberapa helai daun sirih ini jika dikunyah pada saat gamelan pusaka ditabuh, diyakini akan membawa berkah kesehatan, awet muda dan kelancaran rejeki. Oleh karenanya, pada hari gamelan ditabuh pertama kali, para penjual kinang berdatangan dan menggelar dagangannya di pelataran kompleks masjid Agung. Satu perangkat kinang yang dimasukkan dalam wadah berupa conthong (kerucut) dari daun pisang, kini dijual seharga 500 rupiah.
Selain tradisi nginang, sebagian besar warga juga punya kepercayaan bahwa pecut (cambuk) yang dibeli saat itu dapat membuat hewan-hewan ternak mereka lebih produktif. Sehingga selain penjual kinang, para penjual pecut juga memenuhi kompleks pelataran masjid Agung. Karena adanya kepercayaan ini serta demi kemudahan pengaturan dan tetap terjaganya kerapian masjid, pihak keraton membuat peraturan bahwa pedagang yang boleh berjualan di dalam kompleks masjid hanya pedagang kinang, pecut , 4 macam makanan tradisional khas sekaten yakni cabuk rambak, wedang ronde, telor asin dan nasi liwet serta mainan tradisional gangsingan. Tabuhan gamelan pusaka menandai dimulainya perayaan maleman sekaten Solo 2007. Gamelan yang ditabuh adalah Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari dengan gending utama Rambu dan Rangkur.
Tabuhan gamelan sekaten ini konon adalah kreasi wali sanga pada sekitar abad ke 15, untuk menarik perhatian warga dan melakukan syiar Islam. Karena ditujukan untuk menarik perhatian, gamelan yang dibuat pada jaman kerajaan Majapahit ini oleh wali sanga dirombak menjadi lebih besar dari ukuran gamelan biasa agar suara yang dihasilkan bisa terdengar sampai jauh. Maleman Sekaten sendiri oleh wali sanga ditujukan untuk mengenalkan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW kepada para warga, sebagai awal untuk mengenalkan agama Islam.
Sekaten berasal dari kata Syahadatain (dua kalimat syahadat tanda KeIslaman). Kalimat Syahadat pertama yang menyatakan kepercayaan kepada ke-Esa-an Tuhan (Asyhadu an laa Illaaha Ilallah) disimbolkan dengan Kyai Guntur Madu, sedangkan kalimat kedua yang mengakui kenabian Rasulullah Muhammad SAW (wa Asyhadu anna Muhammaddarrasulullah) dilambangkan dengan Kyai Guntur Sari. Sebelum gamelan ditabuh, para wali biasanya memberi pencerahan tentang Islam kepada para warga yang telah berdatangan.
Dan hasilnya tidak sedikit orang-orang yang langsung bisa mengucapkan kalimat syahadat begitu gamelan mulai mengalunkan gending. Syiar tentang keIslaman ini terus dilakukan selama Maleman Sekaten digelar selama 7 hari. Oleh karenanya, gamelan pusaka juga terus dimainkan selama itu. Kini, selain tetap memelihara syiar Islam, Maleman Sekaten juga ditujukan untuk kepentingan ekonomi dan pariwisata. Rangkaian ritual adat sekaten atau lebih dikenal sebagai Grebeg Maulud tetap dipelihara dengan baik sebagai tradisi leluhur juga sebagai acara untuk menarik para wisatawan.
Sementara Maleman sekaten diperpanjang menjadi satu bulan untuk memberi keuntungan ekonomi bagi para pedagang dan masyarakat sekitar. Rangkaian ritual adat Grebeg Maulud secara lengkap adalah : 1. Tabuhan Gamelan Pusaka Kyai Guntur Madu dan Kyai Guntur Sari. Memboyong gamelan pusaka dari keraton ke Masjid Agung Solo kemudian menabuh gending Rambu dan Rangkur sebagai prosesi Pembuka Maleman Sekaten. Ritual ini dilakukan pada tanggal 5 Mulud (Tahun Jawa). Kedua gamelan terus ditabuh hingga menjelang pelaksanaan Grebeg Gunungan Sekaten tujuh hari kemudian.
2. Jamasan Meriam Pusaka Kyai Setomi Menjamasi (membersihkan) meriam pusaka yang terletak di Bangsal Witono, sitihinggil utara Keraton Kasunanan Surakarta. Dilakukan 2 hari sebelum Grebeg Gunungan Sekaten. 3. Pengembalian Gamelan Pusaka ke dalam Keraton. Pagi hari sebelum pemberian sedekah Raja, para abdi dalem keraton memboyong kembali gamelan pusaka dari Masjid Agung.. Gamelan Kyai Guntur Madu langsung dimasukkan ke dalam ruang pusaka, sedangkan Kyai Guntur Sari dibawa ke depan Sasana Sewaka. Kyai Guntur Sari akan dibawa dan ditabuh kembali untuk mengiringi Hajad Dalem Gunungan Sekaten ke Masjid Agung 4. Pemberian sedekah Raja berupa gunungan di Masjid Agung Raja Sinuhun Pakoeboewono memberikan sedekah kepada rakyatnya berupa makanan tradisional dan hasil bumi yang disusun dalam bentuk gunungan jaler (laki-laki) dan estri (perempuan).
Gunungan ini akan diarak menuju Masjid Agung diiringi oleh seluruh sentana dan abdi dalem, para prajurit serta gamelan Kyai Guntur Sari yang dimainkan sambil berjalan. Gunungan ini akan didoakan oleh ulama Keraton di masjid Agung kemudian dibagikan kepada seluruh warga. Grebeg Gunungan digelar bersamaan dengan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW yakni tanggal 12 Mulud (Tahun Jawa).
Sebagai pusat budaya Jawa, Solo (Surakarta) sangat kaya dengan simbol-simbol kebudayaan. Salah satunya adalah keris. Dalam masyarakat Solo, keberadaan keris hampir selalu seiring dengan mitos-mitos ”isi” dan “kesaktian” yang melingkupinya. Tak bias dipungkiri memang bahwa keris selalu menyimpan rahasia. “Keris itu sinengker karana aris, artinya ada rahasia yang dipendam di dalamnya. Rahasianya tak lain adalah falsafah Jawa,” kata Wakil Pengageng Sasana Wilapa Keraton Kasunanan Surakarta, KRAT Winarno Kusuma. .
Sayang, lanjut dia, falsafah kehidupan yang terkandung dalam keris belum banyak diketahui. Sebagian besar masyarakat Solo bahkan lebih memahami keris sebagai senjata pusaka, jimat yang mampu memberikan berkah dan kemudahan. ”Masyarakat masih terjebak pada mitos karena kita telah kehilangan akar budaya. Tulisan berisi ajaran keris dijarah Belanda dan Inggris, dipelajari di sana dan kita hanya ditinggali takhayulnya,” jelas Winarno.
Menurut kerabat keraton yang juga pelaku budaya itu, anggapan bahwa keris merupakan benda sakti seperti itu tak sepenuhnya salah. Sebab pada awalnya keris memang dikenal sebagai benda pusaka, benda sakti, yang merupakan salah satu senjata pamungkas kerajaan. Ironisnya, para orang tua atau mereka yang tahu tentang keris, terus-menerus menanamkan pemahaman “kesaktian” keris kepada generasi beriuktnya, bahkan ketika zaman telah berubah.
“Banyak orang tua yang mengingatkan anaknya agar tidak menyentuh keris, karena keris itu berbahaya dan sakti. Akibatnya sampai sekarang masih ada sebagian masyarakat memanfaatkannya sebagai jimat,” tambah dia. Namun di luar mitos kesaktian keris, Winarno mengungkapkan, bagi sebagian besar masyarakat Solo (termasuk enam kota di sekitarnya; Sukoharjo, Klaten, Boyolali, Sragen, Karanganyar, dan Wonogiri), keris hingga kini masih memiliki tempat yang tinggi dalam kasanah kebudayaan. Keris tidak dilihat sebagai sekadar senjata, tetapi sebagai benda yang sakral. Hampir seluruh ritual budaya dan kesenian di lingkungan keraton dan ritual-ritual kejawen misalnya, tetap melibatkan keris sebagai perlengkapan utama. Pada tataran budaya, anggapan sakral masyarakat terhadap keris masih sangat kental. Menurut Sukamdi, pengrajin keris di Banyu Agung, Solo, tataran budaya yang dimaksud misalnya menempatkan keris dalam ritual-ritual kebudayaan baik di dalam atau di luar lingkungan keraton. “Dalam acara mantenan (pengantin), masyarakat Solo masih selalu menyertakan keris. Keris di sini bukan sebagai lambang kesombongan, tetapi justru menjadi simbol kerendahhatian. Nilai-nilai luhur keris seperti itulah yang seharusnya diajarkan,” jelas Sukamdi. Sementara pada tataran sosial, menurut pelaku budaya yang juga pengrajin keris Ronggojati Sugiyatno, sebagian besar masyarakat Solo masih menempatkan keris dalam ruang-ruang khusus, merawat, dan meyakininya sebagai kekuatan yang mampu memberikan “pertolongan” jika mereka menghadapi kondisi sulit.
“Masyarakat Solo masih percaya bahwa keris merupakan sebuah simbol kekuatan leluhur dan alam semesta,” katanya. Sugiyano menjelaskan selama ini banyak orang yang salah kaprah dan tersesat pada mitos mengenai keris. Banyak orang menganggap bahwa keris yang bagus adalah keris yang mengandung kekuatan gaib sehingga mampu mendatangkan rezeki, memberikan kewibawaan, dan bahkan jabatan. Orang-orang tersebut pun datang ke pembuat keris, kolektor, atau pedagang keris dan membeli dengan harga berapa pun asal mendapatkan keris yang digdaya, keris yang sakti, keris yang mereka kira mampu memberikan banyak kemudahan.
“Mahalnya keris bukan karena keris itu isi atau mempunyai kekuatan gaib, tetapi salah satunya karena sisi artistiknya. Keris sebagai karya seni. Harganya akan lebih mahal lagi jika keris itu memiliki jejak sejarah yang kuat,” ujar Sugiyatno.
Keindahan keris akan semakin terlihat pada seni hidup dan filosofinya. Sebab pada dasarnya budaya (keris) itu adalah seni kehidupan. Filosofi keris harus dimasukkan dalam kehidupan supaya manusia lebih bermartabat. Oleh karena itu keris harus didalami filosofinya. Keris bukan sekadar senjata tajam, karena di dalam keris tersimpan simbolisasi hidup baik sesuai etika, norma, agama, dan negara.
“Sayangnya tidak banyak masyarakat yang tahu pemahaman seperti itu. Bahkan masyarakat Solo yang nota bene tinggal di pusat kebudayaan Jawa pun tidak banyak yang tahu. Mereka tahunya keris itu keramat. Sudah itu thok,” ujar Sugiyatno yang juga mengkoleksi puluhan keris klasik tangguh Surakarta karya Empu Brojoguna, Brojokarya, Brojo Sentika,dan Empu Japan.
Namun Sugiyatno mengakui adanya beberapa jenis besi (sebagai bahan dasar keris) yang memiliki aura tertentu. Aura tersebut semacam candra (kode alam), seperti halnya yang terkandung dalam batu mulia, atau benda-benda alam lain. Dia mencontohkan adanya dua jenis besi yang tidak bisa disatukan, yaitu pulosani dan kamboja. “Kalau nekat disatukan dalam satu keris, maka keris itu akan cepat rusak. Kalau dua keris yang berbahan besi itu saling didekatkan, ya akan saling bertolak. Bukan karena keris itu sakti, tapi karena materi dasarnya sudah berlawanan,” jelas dia. Sugiyatno juga menyebutkan beberapa jenis ukir yang memiliki makna. Ukir Sekar Sri Mulyo misalnya, bermakna harapan agar pemilik keris hidup sukses, atau Sekar Mudang, di mana pemilik keris dapat dipercaya, menjaga kehormatan, dan bertanggung jawab terhadap keluarga.
“Sebuah ironi memang. Kota Solo yang selama ini dikenal sebagai pusat kebudayaan Jawa, sebagian besar masyarakatnya belum memaknai keris sebagai proses karya yang penuh makna.”
Winarno Kusuma menambahkan selain sebagai karya seni yang agung, pihak keraton juga memandang keris sebagai pelengkap ritual budaya. Ia mencontohkan bahwa raja harus mengenakan keris ketika dalam prosesi rirual Tingalan Jumenengan.
“Keris di sini diperlukan karena untuk melengkapi busana raja, jadi bukan karena keris itu dianggap sakti atau mempunyai kekuatan magis.”
Winarno mengutip apa yang pernah disampaikan Paku Buwono X bahwa keris merupakan bagian terpenting dalam kelompok tosan aji (senjata pusaka) yang di masa silam melambangkan status dan kewibawaan seorang manusia Jawa. Dalam dunia tosan aji, manusia Jawa merumuskan doa yang diwujudkan dalam sebentuk pusaka keris. Doa itu dilantunkan dalam laku, mulai tapa, matiraga, tapa bisu, dan lainnya.
“Jadi keris sesungguhnya media untuk berdoa. Cita-cita dan harapan manusia Jawa dimantramkan dalam keris. Ia adalah sebuah keyakinan dan buku hidup. Wujud keris yang ber-luk (berlekuk) adalah simbol kebijaksanaan, sedangkan keris lurus adalah simbol keteguhan prinsip. Kebijaksanaan dan tekad itu harus seimbang dan akhirnya bermuara ke atas (Tuhan). Karena itu, keris ujungnya lancip,” ujar Winarno.
Subandi, pengrajin keris asal Jaten, Karanganyar, Jawa Tengah Subandi sependapat dengan Winarno. Dalam kasanah budaya di Solo, peran keris memang masih kental. Para penggemar keris di Solo pun sebagian besar adalah para pelaku budaya, kerabat keratin, atau mereka yang mempunyai minat dan ketertarikan dengan masalah budaya. Jika ada kelompok yang masih salah kaprah menyikapi keris, menurut Subandi, hal itu wajar karena mereka pada umumnya masih awam dengan dunia perkerisan. Namun Subandi menolak jika persoalan ekslusivitas yang menjadikan keris tak terjamah oleh masyarakat awam. “Di ISI (Institut Seni Indonesia) Surakarta sudah ada jurusan keris yang terbuka bagi siapa saja yang ingin belajar. Saya kira itu meruapkan salah satu upaya agar masyarakat tidak lagi tersesat dalam mitos keris sebagai benda sakti,” ujarnya.
Subandi melanjutkan sekarang ini bahkan bukan hanya ISI, para pengrajin keris pun membuka besalen-besalen (tempat pembuatan keris) untuk masyarakat umum. Pemahaman atas keris harus dipahami dengan masa sekarang.
“Kalau masa sekarang ini ada pengrajin keris yang membuat keris dengan berdiam diri di goa, itu hanya akal-akalan pengrajin agar kerisnya laku mahal,” tuturnya.
Dalam pandangan Ronggojati Sugiyatno, keris merupakan produk kriya budaya peradaban yang terus bergerak dinamis, keris dipahami sebagai bagian yang tak terpisahkan dari seluruh dimensi nilai hidup manusia (Jawa). Secara filosofis, keris menjadi ekspresi nilai-nilai artistik, estetik, etik, dan intrinsik dalam satu kesatuan karya kriya budaya. Meminjam dimensi filosofi di balik tongkat Nabi Musa dan pedang nabi Muhammad SAW, sebagian kalangan meyakini, keris mengandung metadaya tertentu. Meskipun bukan merupakan mukjizat Ilahiyah.
“Kalau kemudian keris diartikan sebagai benda sakti kemudian untuk berbuat macam-macam, itu ya penyalahgunaan oleh pemilik keris ” kata dia. Pasopati, sebuah komunitas pencinta keris dan tosan aji di Solo, lewat beberapa pameran mencoba mengubah stigmatisasi masyarakat bahwa keris adalah karya seni, bukan benda sakti. Dalam pameran Tosan Aji di Sitihinggil Kasunanan Surakarta pertengahan bulan Juli lalu, Beny, salah satu panitia pameran, menegaskan hal itu. “Keris yang pada mulanya diciptakan sebagai senjata, kini merupakan benda seni tanpa meninggalkan kekokohan nilai budayanya,” katanya. Pameran bukan sekadar memajang ratsusan keris, tapi juga menunjukkan secara terbuka proses pembuatan keris. Dengan cara irtu, menurut Beny, mereka tidak lagi mengistimewakan keris sebagai benda sakti, melainkan karya seni warisan budaya Indonesia yang harus dilestarikan. “Kita seharusnya menempatkan keris sebagai produk peradaban manusia Indonesia. Keris juga sebagai salah satu tanda betapa nenek moyang bangsa ini adalah bangsa yang beradab.”
Tujuh perempuan itu beriringan memasuki pendapa dengan pelan. Ratusan pasang mata menatap ke tengah pendapa,menyaksikan ketujuh perempuan muda dan cantik yang mulai menari. Setiap gerakan betapa indahnya setiap gerak mereka. Tubuh yang meliuk lembut, tangan-tangan yang gemulai menyibakkan selendang. Gerak ketujuh penari pun begitu ritmis dan kompak, meski mereka tidak selalu berhadap-hadapan. Sesekali mereka bergerak menyebar menjadi dua atau tiga kelompok, untuk kemudian kembali berjajar dalam satu garis. Pada awal-awal pementasan, ketujuh penari itu memang seperti membawakan peran yang sama. Namun ternyata tidak. Menjelang akhir tarian, mereka ternyata memerankan dua kelompok yang berseberangan. Para penonton seperti tersihir menyaksikan penampilan ketujuh perempuan yang sedang membawakan tari “Bedhaya Bedhah Madiun” karya Kanjeng Pangeran Adipati Aryo (KPAA) Mangkunegoro IV. Itulah tari yang mengawali pergelaran Mangkunegaran Performing Art 2010, di Pendapa Agung Pura Mangkunegaran pada Kamis-Jumat (2-3/7) lalu.
“Bedhaya Bedhah Madiun” menggambarkan peperangan antara Raja Mataram Panembahan Senopati dengan Retno Dumilah, putri Adipati Ronggolumpeno di Madiun. Namun meski mengisahkan peperangan, tarian ini tidak tampil layaknya tarian perang lain. Bedhaya Bedhah Madiun justru penuh dengan gerakan lembut. Pereselisihan justru berakhir dengan luluhnya Retno Dumilah yang kemudian menjadi istri Panembahan Senopati. Tak hanya “Bedhaya Bedah Madiun”, sejumlah karya tari masterpiece koleksi Pura Mangkunegaran juga ditampilkan dalam Mangkunegaran Performing Art. Adalah “Gatutkaca Dadung Awuk”, sebuah taria karya KGPAA Mangkunegara V.
Tarian yang menceritakan perang tanding antara Gatotkaca melawan raksasa penunggu hutan Dadung Awuk ini pernah tampil dua kali di Paris, Perancis. Pertama, tarian ini tampil dalam peresmian Menara Eiffel tahun 1889. Penampilan kedua terjadi pada tahun 1989 dalam perayaan 100 tahun berdirinya menara itu.
“Dari catatan yang ada, tahun 1889 tarian Gatotkaca Dadung Awuk ikut tampil bersama tarian dari Keraton Cirebon dalam peresmian menara Eiffel,” ujar Pengageng Pura Mangkunegaran GPH Herwasto Kusumo.
Dia menambahkan Bedhaya Bedhah Madiun dan Gatotkaca Dadung Awuk merupakan tarian yang biasa disuguhkan untuk tamu-tamu kehormatan Pura Mangkunegaran.
“Lewat ajang ini, kami ingin menampilkan untuk masyarakat umum agar mereka juga tahu tari-tari koleksi Mangkunegaran.”
Tak kalah menarik adalah “Srimpi Moncar” yang dibawakan oleh empat perempuan penari. Tarian yang diciptakan oleh KGPAA Mangkunegara VII ini menampilkan dua penari dengan kostum China warna merah menyala beriku dengan selendang. Di pinggang penari terselip sepucuk pistol. Sementara dua penari lainnya mengenakan kostum Srimpi khas Pura Mangkunegaran. Pada pertengahan tarian, dua penari berkostum Srimpi ini bersenjatakan panah untuk melawan Putri China. Tarian klasik itu sendiri bertutur tentang perselisihan antara Adanenggar dan Kelaswara yang memperebutkan Wong Agung Menak. Uniknya, meski kisah yang disampaikan penuh dengan adegan perang, namun tarian ini justru dibawakan dalam ritme pelan dan halus.
Lepas dari “Srimpi Moncar” adalah Tari Dewi Sekartaji yang merupakan fragmen atau potongan cerita dari Wayang Gedog. Lagi-lagi, tarian ini berkisah tentang perang. Kali ini pertempuran antara Kelana Sewandana dari Kerajaan Bantarangin melawan Panji Inukertapati dari Kediri yang memperebutkan pitri Kerajaan Daha, Dewi Sekartaji. Konon, Sekartaji adalah titisan Dewi Widowati dari kayangan. Bagi siapa pun yang berhasil memperistrinya akan menurunkan raja-raja besar di Jawa.
Berbeda dengan dua tarian perang sebelumnya, Tari Dewi Sekartaji yang dibawakan dua penari bertopeng ini memiliki warna yang sedikit rancak terutama pada gerakan-gerakan tangan dan kepala. Tarian ini juga terkesan lebih segar karena pada beberapa bagian terdapat gerakan-gerakan kocak, misalnya ketika seorang penari meledek penari lainnya dengan cara membuat gerakan menggeleng.
“Tari ini juga sering disebut Tari Topeng Dewi Sekartaji. Topeng-topeng itu mewakili karakter yang dibawakan. Meski tarian ini cukup dikenal, namun sudah jarang yang bias membawakannya,” kata Herwasto Kusumo.
Pada hari kedua tampil “Tari Gambyong Retno Kusumo” yang dibawakan oleh delapan orang penari. Tarian untuk menyambut tamu agung kerajaan ini diciptakan pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegaran VIII. Tari kedua adalah “Tari Wireng Bandabaya” atau tarian prajurit yang diciptakan pada masa pemerintahan KGPAA Mangkunegaran IV.
Seperti hari pertama, pergelaran hari kedua Mangkunegaran Performing Art 2010 juga penuh sesak penonton. Mereka bahkan berdesakan di pinggir pendapa, karena kursi-kursi penuh terisi. Pergelaran tari ini tampaknya juga membuktikan bahwa seni-budaya tradisional, dalam hal ini tari, masih memiliki banyak penggemar.
Herwasto Kusumo yang juga ketua penyelenggara mengungkapkan bahwa sebagian besar klasik dalam Mangkunegaran Performing Art masih dalam bentuk aslinya. Tarian-tarian itu selama ini bahkan jarang ditampilkan untuk umum.
“Bedaya Bedhah Madiun itu termasuk tarian sakral. Tarian itu misalnya pernah disajikan saat pernikahan Ratu Wilhelmina di Belanda,” ujarnya. Namun, tambah Herwasto, dari sejumlah nomor tari yang ditampilkan memang ada yang udah dimodifikasi menjadi tarian rakyat, seperti Tari Bondobayan dan Tari Golek Motro.
Tidak hanya tari, even yang digelar dua hari itu juga menampilkan peragaan busana adat keluarga inti Pura Mangkunegaran, seperti putra–putri dari kecil hingga pernikahan, serta busana permaisuri dan raja.
“Ini salah satu upaya kami mengenalkan seni-budaya keraton, sekaligus untuk mempromosikan Kota Solo dan menarik minat wisatawan,” kata Kepala Diparbud Kota Solo Purnomo Soebagyo.
Ajang Mangkunegaran Performing Art juga sebagai salah satu cara melestarikan dan mengembangkan seni dan budaya Jawa. Even tahunan yang sudah berlangsung untuk ketiga kalinya itu selama ini tergolong sukses mengangkat citra Solo sebagai kota budaya. Setidaknya hal itu jika dilihat dari sisi jumlah an antusias pengunjung yang dating dari berbagai kota, termasuk wisatawan asing.
A. Deskripsi
Jika Anda berkunjung ke Kota Surakarta, atau sering dikenal dengan sebutan Solo, terasa kurang lengkap sebelum menikmati kelezatan Nasi Liwet, masakan khas dari Solo. Nasi Liwet adalah masakan yang terdiri dari nasi putih yang dimasak pulen dan dilengkapi dengan berbagai jenis sayur dan lauk, seperti sayur labu siam, ayam areh yang disuwir-suwir (diiris-iris) dengan bentuk memanjang, dan telur pindang. Nasi Liwet juga tambah nikmat jika disantap dengan kerupuk rambak, yaitu sejenis kerupuk yang terbuat dari kulit sapi.
Keberadaan masakan ini sudah cukup terkenal sampai ke kota-kota di sekitarnya, seperti Yogyakarta, Klaten, dan Boyolali. Nasi Liwet ini juga telah dikenal di Kota Jakarta, Bandung, dan Surabaya. Banyak restoran-restoran di kota itu yang menjadikan Nasi Liwet khas Solo ini sebagai salah satu menu utamanya.
B. Keistimewaan
Nasi Liwet terkenal dengan teksturnya yang pulen dan rasanya yang gurih. Rasa gurih ini muncul dari hasil rebusan nasi yang dimasak dengan cara dikaru (dituangi) dahulu dengan air santan kelapa. Nikmatnya Nasi Liwet ini juga semakin bertambah lezat bila ditambah dengan sayur dan lauk-pauk pendukungnya.
Keunikan lain dari masakan ini ialah disajikan dengan menggunakan daun pisang, baik sebagai pembungkus maupun suru-nya, yaitu sendok yang dibuat dari daun pisang. Konon, daun pisang tersebut dapat menambah rasa gurih pada masakan ini. Sebab selain bentuknya yang alami, daun pisang juga jauh dari kontaminasi zat-zat kimiawi.
Di samping rasanya yang lezat, masakan ini juga aman dikonsumsi bagi penderita kolesterol. Sebab, masakan ini tidak banyak mengandung minyak dan kandungan-kandungan berbahaya lainnya. Keistimewaan lainnya ialah Nasi Liwet tergolong menu jajanan yang murah, mudah didapatkan, dan sekaligus mengenyangkan.
C. Lokasi
Untuk mendapatkan Nasi Liwet Solo ini, pelancong dapat berkunjung ke Kota Surakarta, Jawa Tengah. Banyak pedagang yang menjajakan masakan khas ini di setiap sudut kota. Selain itu, terdapat juga sejumlah pedagang Nasi Liwet di timur Pasar Klewer, yang biasa berjualan di waktu pagi.
D. Harga
Dengan mengeluarkan uang sebesar Rp 5.000—Rp 7.500, pengunjung dapat menikmati satu porsi Nasi Liwet yang terdiri dari Nasi Liwet, berbagai macam lauk, dan kerupuk rambak. Tak hanya itu, pengunjung juga akan mendapatkan segelas air minum gratis. Namun, jika pelancong membeli masakan ini di restoran-restoran, jangan kaget jika harganya dapat mencapai puluhan hingga ratusan ribu rupiah.
Bukan hanya warung hik saja, yang biasanya digunakan untuk menikmati suasana malam kota Solo. Tapi banyak lho tempat tempat makan di Solo yang sudah terkenal dan top markotop. Pokok’e uenak tenan. Setelah kangen dan rindu dengan kota Solo, dan bila mudik atau mampir ke kota Solo, jangan lupa makanan khas solo yang pasti ngangeni.
Berikut ini adalah makanan dan tempat makan di Solo yang memanjakan lidah kita:
Berikut ini adalah makanan dan tempat makan di Solo yang memanjakan lidah kita:
1. Nasi Liwet: ideran pagi hari, jam 5.00-10.00
2. Brambang Asem, Tumpang: Mekar Sari Jl.Honggowongso No.91 A, utara perempatan Pasar kembang, Barat jalan, jam 10.00-21.00
3. Sate Buntel: Pak Bejo Jl.kapten Mulyadi, Lojiwetan,
belakang/timur benteng. Jam 7.00-13.00
belakang/timur benteng. Jam 7.00-13.00
4. Sate Kambing:
- Mbok Galak, Jl.Letjen Suprapto, Sumber, Nusukan, timur pertigaan, utara jalan, jam 7.00-14.00
- Sate Darso,: selatan pertigaan sebelum pasar Pengging, barat jalan, dekat rumah Gogon, jam 7.00-14.00
5. Tengkleng, Genthan , Laweyan, selatan Tugu Pajang, dekat Pak Solet, emperan, jam 8.00-13.00
6. Sate kere/Sate sapi/Sate tempe gembus:
· Yu Rebi-1: Teposanan belakang Sriwedari, utara jalan, timur perempatan RS Jiwa Mangkujayan, jam 10.00-15.00
· Yu Rebi-2, Penumping, barat perempatan RS Jiwa Mangkujayan, utara jalan, jam 15.00-21.00
· Yu Rebi-1: Teposanan belakang Sriwedari, utara jalan, timur perempatan RS Jiwa Mangkujayan, jam 10.00-15.00
· Yu Rebi-2, Penumping, barat perempatan RS Jiwa Mangkujayan, utara jalan, jam 15.00-21.00
7. Tahu Kupat, Pak Midin, Jl.Museum, Sriwedari sebelh timur, barat jalan, jam 7.00-21.00
8. Sosis Solo, Warung Kita: Jl.Honggowongso No.107 C, selatan Hotel Novotel, barat jalan, jam 9.00-21.00.
9. Ketoprak (Sotomi Solo): Yu Nani, Jl.Gatot Subroto Sraten, timur lapangan Kartopuran sebelah selatan, emperan, utara jalan, jam 9.00-14.00
10. Getuk, Subur, Jl.Museum/Sriwedari sebelah barat jalan, los 1,2,3, jam 8.00-21.00
11. Martabak telor,
· Angkringan depan getuk Subur No.10, jam 17.00-21.00
· Pak Wi, selatan pertigaan Jl.Honggowongso dan Jl.M.Yamin(Notosuma n), barat jalan, jam 17.00-21.00
· Angkringan depan getuk Subur No.10, jam 17.00-21.00
· Pak Wi, selatan pertigaan Jl.Honggowongso dan Jl.M.Yamin(Notosuma n), barat jalan, jam 17.00-21.00
12. Pecel nDeso (bumbu pecel tidak pakai kacang tetapi pakai wijen), Pasar Besar pintu masuk utara, dasaran, jam 7.00-10.00.
13. Soto daging,
· Soto Triwindu, dalam pasar Triwindu, belakang Balai Muhamadiyah, Jl.Teuku Umar, jam 7.00-21.00.
· Soto Ngasem, dekat perempatan pertama dari lanud Adi Sumarmo kearah Solo/Kartosuro jam 7.00-20.00
· Soto mBah Hadi, Jl.Teposanan 24, belakang Sriwedari arah ketimur, utara jalan, jam 8.00-13.00
· Soto Triwindu, dalam pasar Triwindu, belakang Balai Muhamadiyah, Jl.Teuku Umar, jam 7.00-21.00.
· Soto Ngasem, dekat perempatan pertama dari lanud Adi Sumarmo kearah Solo/Kartosuro jam 7.00-20.00
· Soto mBah Hadi, Jl.Teposanan 24, belakang Sriwedari arah ketimur, utara jalan, jam 8.00-13.00
14. Masakan Cina: Centrum, Jl.RE Martadinata No.200, Warungmiri, 0271.633 275, jam 11.00-21.00
15. Bakmi Jawa/Sop Ayam,
· Pak Solet, Genthan, Laweyan, selatan tugu Pajang, barat jalan masuk gang 50 m, jam 9.00-20.00
· Pak Sri, Jl.Tipes, utara jalan, depan Nugroho motor, tenda kaki lima, jam 18.00-24.00
· Pak Solet, Genthan, Laweyan, selatan tugu Pajang, barat jalan masuk gang 50 m, jam 9.00-20.00
· Pak Sri, Jl.Tipes, utara jalan, depan Nugroho motor, tenda kaki lima, jam 18.00-24.00
16. Bakso:
· Bakso Notosuman, Jl.Prof.M.Yamin No.15, Notosuman, 0271.635789, jam 12.00-21.00
· Bakso Kalilarangan: Jl.Kalilarangan No.17, jam 12.00-21.00
· Bakso Notosuman, Jl.Prof.M.Yamin No.15, Notosuman, 0271.635789, jam 12.00-21.00
· Bakso Kalilarangan: Jl.Kalilarangan No.17, jam 12.00-21.00
17. Ayam Goreng, Ayam Goreng Kleco, dekat tugu perbatasan kota, Pabelan, utara jalan, jam 12.00-21.00
18. Ayam Bakar,
· Ojo Gelo, Jl.BrigJen Slamet Riyadi No.494, Purwosari, utara jalan, jam 8.00-21-00
· Pengging, dekat sate Darso sebelum Pengging timur jalan, siang
· Ojo Gelo, Jl.BrigJen Slamet Riyadi No.494, Purwosari, utara jalan, jam 8.00-21-00
· Pengging, dekat sate Darso sebelum Pengging timur jalan, siang
19. Gudeg, Bu Kasno, Jl.Monginsidi, Margoyudan, timur perempatan
Banjarsari, barat SMAN I (dulu SMA Margoyudan), utara jalan, emperan, jam 02.00-05.00
Banjarsari, barat SMAN I (dulu SMA Margoyudan), utara jalan, emperan, jam 02.00-05.00
20. Serabi Solo:
· Serabi Notosuman Jl.Prof.M.Yamin No.52, Notosuman, jam 06.00-18.00
· Serabi Gajah, Timur Balapan, bawah jalan layang rel KA, jam 8.00-12.00
· Serabi Notosuman Jl.Prof.M.Yamin No.52, Notosuman, jam 06.00-18.00
· Serabi Gajah, Timur Balapan, bawah jalan layang rel KA, jam 8.00-12.00
21. Abon, Srundeng, Intip, Usus ayam,Cabuk Toko Abon Varia, Jl.Coyudan No.114, utara jalan, 0271.637844, jam 9.00-20.00
22. Cabuk Rambak, Pasar Besar pintu timur, dasaran, jam 7.00-12.00
23. Roti Mandarin, Toko Orion, Jl.Urip Sumohardjo No.92, Mesen, jam 9.00-21.00
24. Gembukan, Janggelut: Jl.KH.A.Dahlan, utara pertigaan Jl.Slamet Riyadi, timur jalan, selatan Hotel Kusuma Sahid . jam 18.00-21.00.
25. Roti Kecik, Roti Ganep, Jl.Sutan Syahrir No.178, tambak Segaran, jam 9.00-21.00.
26. Es Krim: Tentrem Ice Cream Palace, Jl.Urip Sumohardjo No.93/97 Mesen. 0271635597, jam 10.00-21.00
27. Dawet, Pasar Gede sebelah dalam, jam 7.00-11.00
28. Beras Kencur, Pak Sumardi, Jl.Tamtaman II No.99, Baluwarti, timur kraton, masuk gang, 0271.652811, botolan untuk dibawa, jam 8.00-20.00
29. Rujak, Lotis: Bu Slamet, Jl.Gatot Subroto , Kemlayan, selatan toko Busana Jawi, timur jalan, iam 10.00-14.00
30. Aneka es, Es Masuk, Jl.Kratonan, utara perempatan Gemblegan, timur jalan, jam 10.00-19.00
31. Cao Gletak, Pasar Grogol, timur jalan, jam 7.00-14.00.
32. Tetes gula cao gletak, Pasar Sukohardjo sebelah utara, tempat penitipan sepeda, selatan jalan.
33. Kulit Ceker Ayam Goreng: Jl.Dr.Rajiman kearah Pajang, sebelum Tugu belok selatan, sebelum tanjakan, timur jalan, Bratan, Laweyan.jam 7.00-20.00
34. Karak: Mbah Wig, Bratan, Laweyan, selatan No.32 ada pertigaan tilpun umum belok kanan, 10 m dari pertigaan, selatan jalan, rumah hijau, bukan toko, rumahan.
35. Tongseng Bokong Kambing, Pas pertigaan Jl.Dr.Rajiman dan Jl.Agus Salim (Tugu Lilin) Laweyan, selatan jalan. Bokong kambing sudah dipajang, pilih sendiri yang kecil cukup untuk 3 orang, minta jangan terlalu manis, jam 9.00-14.00
36. Bebek Bacem Goreng:
· Bu Siswo, Dari Solo lewat Klaten, +/- 1km sebelum pabrik gula Klaten, selatan jalan, desa Gondang, jam 7.00-5.00, istirahat jam 9.00-15.00.
· Barat Stasiun KA Prambanan +/- 50m utara jalan jam 7.00-19.00, istirahat jam 9.00-15.00
· Bu Siswo, Dari Solo lewat Klaten, +/- 1km sebelum pabrik gula Klaten, selatan jalan, desa Gondang, jam 7.00-5.00, istirahat jam 9.00-15.00.
· Barat Stasiun KA Prambanan +/- 50m utara jalan jam 7.00-19.00, istirahat jam 9.00-15.00
37. Belut Goreng: Depan pasar Pengging pertigaan, barat dan utara jalan, jam 7.00-19.00
38. Kroncongan: Jika ingin melihat dan mendengarkan kroncong asli sambil makan soto.
39. Soto Ledokan, sebelah barat terminal Kartosuro, utara jalan, jam 6.00-11.00
40. Wedangan Pak Wiryo, Jl Perintis Kemerdekaan daerah purwosari, sego kucinge pulen & enak. Bila ada kesempatan ke kota Solo, silahkan menikmati.
Setiap daerah selalu memiliki menu khas untuk berbuka puasa. Khas, karena menu-menu tersebut biasanya memang hanya dibuat khusus pada bulan suci Ramadhan. Di Kampung Jayengan, Kecamatan Serengan, Solo, Jawa Tengah, mempunyai kuliner unik dan khas selama bulan suci Ramadhan. Sebuah masjid di kampung itu, Masjid Darussalam, selalu memasak dan membagikan bubur samin atau bubur banjar kepada warga. Disebut bubur samin, karena bubur tersebut menggunakan minyak samin untuk penyedap. Bubur tersebut juga dikenal dengan nama bubur banjar, karena menu khas itu konon dibawa ke Solo oleh para saudagar dari Banjar, Kalimantan Selatan, hampir 70 tahun seabad silam.
Tidak ada yang tahu secara persis sejak kapan bubur samin menjadi tradisi menu berbuka di masjid tersebut. Namun menurut Ketua Takmir Masjid Darussalam, HM Rosyidi Muchdlor, puluhan tahun lalu banyak masyarakat dari Kota Banjar yang merantau ke Solo untuk berdagang batu permata Martapura. Mereka menjadikan Masjid Darussalam sebagai tempat berkumpul, hingga akhirnya mereka menetap di perkampungan sekitar masjid. Satu hal benar bahwa sebagian besar masyarakat yang tinggal di sekitar masjid Darussalam saat ini memang merupakan keturunan orang-orang Banjar. “Sejak saya kecil bubur ini sudah ada. Dulu saya juga sering antre untuk mendapatkan bubur samin setiap kali menjelang berbuka puasa,” kata Rosyidi Muchdlor. Sekilas, bubur samin memang seperti bubur ayam pada umumnya. Yang yang membedakannya adalah bumbu dan isi bubur yang terdiri dari potongan daging sapi, aneka rempah-rempah serta sayuran seperti wortel dan daun bawang serta susu.
Proses memasak bubur samin sendiri dilakukan oleh sejumlah pekerja takmir masjid mulai pukul pukul 12.00 hingga pukul 15.00. Setiap hari selama bulan Ramadhan, Takmir Masjid Darussalam sedikitnya memasak 40 kilogram beras untuk konsumsi sebanyak 600 orang. Sejumlah pekerja pun tampak sibuk mengaduk bubur secara bergantian karena banyaknya bubur yang dimasak.
Selain beras, komposisi bubur khas ramadhan ini antara lain berupa santan, aneka sayur dan rempah-rempah, susu serta daging sapi. Tak heran jika bubur ini sangat bergizi. Aroma masakan khas Banjar ini semakin kental dengan campuran rempah-rempah serta minyak kapulaga Arab atau minyak samin yang menjadikan bubur berwarna kekuning-kuningan. Rosyidi menuturkan tradisi membuat bubur samin tersebut muncul jauh sebelum berdirinya masjid. Yang jelas, lanjut Rosyidi, Masjid Darussalam didirikan oleh para perantau dari Banjar, Kalimantan Selatan, sekitar tahun 1950. Namun kondisi fidik masjid belum semegah sekarang. Bisa jadi, sebagai sesama perantau, rasa solidaritas orang-orang Banjuar tersebut terjalin dengan erat. Hingga akhirnya setiap bulan Ramadhan, mereka membuat menu berbuka seperti layaknya di tempat asal mereka. Tradisi memasak dan membagikan bubur samin ini kemudian dilakukan secara turun temurun hingga sekarang.
“Menurut cerita kakek saya, dulu pembuatan bubur ini hanya untuk berbuka anggota jamaah masjid yang sebagaian besar adalaj orang-orang Banjar . Namun sejak tahun 1985, porsinya dibuat lebih banyak dan diberikan kepada siapa saja yang menginginkannya. Semuanya gratis,” ujar Rosyidi. Menjelang waktu berbuka, tepatnya selepas waktu Ashar atau sekitar pukul 16.00, ratusan orang berdatangan silih berganti untuk mengambil bubur samin. Mereka membawa piring dan rantang untuk membawa bubur pulang. Mereka bukan hanya warga Jayengan, tapi juga dating dari kawasan Solo lain, seperti Laweyan, Semanggi, Pajang, Cemani, Pajang, Banjarsari, dan Mojosongo. “Bubur yang kami bagikan ke masyarakat sekitar 500 porsi, sedangkan sisanya sekitar 100 porsi untuk berbuka bersama jamaah masjid,” ujar Anwar, seorang anggota takmir masjid. Cita rasa bubur samin tersebut memang tergolong unik, lantaran diolah dengan banyak rempah-rempah dan campuran susu.
Apalagi para juru masak menambah racikan bubur dengan kayu manis, pandan wangi, sere, jahe, bawang, wortel, dan santan kelapa.
Apalagi para juru masak menambah racikan bubur dengan kayu manis, pandan wangi, sere, jahe, bawang, wortel, dan santan kelapa.
“Sejarah bubur samin ini memang tidak dapat dupisahkan dengan kedatangan orang-orang Banjar ke Solo. Meskipun sekarang sudah hampir tidak ada orang Banjar yang dagang batu permata di Solo, namun tradisi membuat bubur samin ini tetap dilakukan,” tambah Anwar.
Tidak hanya bubur, Masjid Darussalam juga menyediakan minuman khas sebagai pelengkap bubur, yaitu kopi susu. Berbeda dengan kopi susu lain yang dimasak secara terpisah, kopi susu Darussalam ini dimasak dengan cara mencampurkan kopi, susu dan air ke dalam sebuah drum, kemudian memasaknya bersama-sama. Setidaknya dibutuhkan biaya sekitar Rp 1.500.000 setiap harinya untuk membuat bubur samin dan minuman kopi susu, yang seluruhnya ditanggung oleh takmir masjid.
”Semuanya bisa membawa bubur ini, tanpa membedakan asal dan pekerjaan mereka. Bukan hanya rakyat kecil, pengusaha dan anggota DPR pun banyak yang datang untuk menikmati lezatnya bubur samin ini,” kata Anwar di sela-sela proses memasak bubur.
Begitulah. Selepas adzan Ashar, orang-orang pun berdatangan membawa piring dan rantang untuk membawa bubur pulang. Namun sebagian dari mereka akan tetap tinggal untuk menikmati lezatnya bubur samin di masjid saat berbuka puasa tiba.
Nama pusat kuliner malam di Solo ini Galabo, atau Gladag Langen Bogan. Nama Gladag dipakai, karena lokasi pusat kuliner ini memang berada di kawasan Gladag, tepatnya di Jalan Mayor Sunaryo yang melintang di depan Pusat Grosir Solo, Beteng. Inilah tempat berkumpulnya seribu satu makanan khas solo, bentuk keragaman kuliner kota ini. Dengan kata lain, hampir semua tempat kuliner yang bertebaran di berbagai sudut kota berkumpul tempat ini, mulai menjelang Magrib hingga tengah malam, setiap hari.
Maka, jika Anda tak ingin repot mencicipi makanan khas Solo yang tempatnya menyebar dan mungkin berjauhan antara satu dengan lainnya, Anda bisa langsung datang ke tempat ini. Sebab, makanan yang Anda indginkan dapat dipastikan ada di tempat ini. Sebut saja misalnya tengkleng Pasar Klewer, susu shejack, nasi liwet, bubur lemu, wedang dongo, bestik lidah, gudeg ceker, sate sapi dan masih banyak lagi. Untuk menikmati hidangan makanan dan minuman serba ada di Galabo, tinggal pilih mau lesehan disediakan tempat sepanjang trotoar, atau di bawah payung dan tenda. Malam hari, setidaknya sekitar 100 gerobak kuliner menutup Jalan Mayor Sunaryo bagi kendaraan bermotor, sehingga para pejalan kaki leluasa melenggang dan lesehan di kawasan ini.
Galabo ini berupa sebuah kawasan, atau tepatnya jalan besar, yang disulap menjadi ruang terbuka. Area sepanjang sekitar 200 meter ini pada pagi dan siang hari digunakan sebagai jalan raya biasa. Namun pada malam hari jalan raya ini ditutup, dan jadilah pusat kuliner itu di sini. Galabo, saat dibuka resmi 13 April 2008 lalu, adalah salah satu ikon pariwisata, berdampingan dengan Pasar Klewer, Kampoeng Batik Kauman, Kampoeng Batik Laweyan, Pasar Gede, dan Keraton Surakarta.
Di Galabo, semua pun tersaji, mulai Kue Lekker, Lumpia, Kebab, aneka minuman khas Solo, aneka jus, bestik jawa, bebek goreng, sop buntut, sate, kambing oven, hingga shisa pun ada disini. Anda ingin memesan Shawarma dengan isi daging yang berbumbu khas timur tengah yang begitu lembut dan lezat ditemani dengan jus Buah Naga? Atau ingin menyantap Bebek Goreng Remuk ditemani satu gelas es teh untuk menghalau pedasnya sambal korek atau sambal bawang untuk bebek? Atau menikmati Lumpia Solo ditemani segelas Es Teh Kampul yang benar-benar terasa khas Solo-nya.
Anda bisa juga memilih sekitar 75 macam makanan khas yang digelar di Galabo ini. Bila tidak betah duduk menikmati menu, silakan memanfaatkan area jalan raya yang ditutup dengan menggelar tikar untuk menyantap hidangan yang disajikan dengan cara lesehan. Lokasi Galabo yang berada di tengah kota menjadikannya mudah dijangkau. Dari Bandara Adi Sumarmo bisa ditempuh selama 30 menit dengan taksi, atau 10 menit dari Terminal Tirtonadi, Stasiun Balapan, Jebres, atau Stasiun Purwosari.
Pusat jajan baru di Solo ini tepatnya mulai buka pukul 17.00 sampai dini hari, walau ada juga yang buka pagi dan siang hari. Galabo wisata kuliner di Solo Jawa Tengah ini didukung Departemen Perdagangan, dengan memberikan bantuan 100 gerobak masing-masing senilai Rp 6,5 juta untuk PKL.
Galabo ini selalu dikunjungi wisatawan lokal maupun dari berbagai daerah. Dengan adanya Galabo ini wisatawan mudah mencari makanan kesukaannya, karena hampir semua selera lidah tersedia. Jika berminat menikmati berbagai pepes, tersedia di warung Mbak Har cabang Spesialis Pepes Mbak Mur yang buka di Jalan Slamet Riyadi (Pojok Lapas Surakarta) atau di kios pintu keluar PGS. Menurut Atik yang sering membantu familinya di Pepes Mbak Har maupun Pu’ol, kalau tidak hujan pusat kuliner ini ramai dikunjungi wisatawan, namun saat hujan, sepi. Seperti gudeg ceker Margoyudan bisa menghabiskan 25 kg ceker saat ramai, tapi kalau sepi karena hujan hanya separonya.
Setiap hari, Galabo bisa dikunjungi sekitar 1.500 sampai 2.000 orang. Kunjungan ini meningkat dua kali lipat pada hari-hari libur, seperti hari besar, Sabtu atau Minggu.
Keunikan dari pusat kuliner Galabo ini terletak di satu ruas jalan dan pengunjung bisa menikmati hidangan di tengah jalan yang aman dan bersih. Di salah sudut jalan itu, terdapat panggung yang disediakan bagi kelompok kesenian untuk tampil di panggung. Saat tak ada acara kesenian, bisa digunakan sebagai tempat santai sambil menikmati lalu lalang pengunjung Galabo.
Setiap hari, Galabo bisa dikunjungi sekitar 1.500 sampai 2.000 orang. Kunjungan ini meningkat dua kali lipat pada hari-hari libur, seperti hari besar, Sabtu atau Minggu.
Keunikan dari pusat kuliner Galabo ini terletak di satu ruas jalan dan pengunjung bisa menikmati hidangan di tengah jalan yang aman dan bersih. Di salah sudut jalan itu, terdapat panggung yang disediakan bagi kelompok kesenian untuk tampil di panggung. Saat tak ada acara kesenian, bisa digunakan sebagai tempat santai sambil menikmati lalu lalang pengunjung Galabo.
A. Deskripsi
Pasar Klewer merupakan salah satu pusat perbelanjaan yang cukup terkenal di Solo, Kota Surakarta, Jawa Tengah. Pasar yang letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta ini merupakan pusat perbelanjaan kain batik terlengkap, sehingga menjadi tempat rujukan kulakan para pedagang, baik dari Yogyakarta, Surabaya,Semarang, dan kota-kota lain di pulau Jawa. Selain itu, kain batik di pasar ini juga terkenal dengan harganya yang murah jika dibandingkan dengan pusat perbelanjaan di kota-kota lain di Indonesia. Pasar yang dibangun pada tahun 1970 ini, terdiri dari dua lantai yang cukup luas. Pasar ini menampung sejumlah 1.467 pedagang dengan jumlah kios sekitar 2.064 unit.
Menurut cerita masyarakat setempat, pada zaman pendudukan Jepang di Indonesia, kawasan ini merupakan tempat pemberhentian kereta api, yang juga digunakan sebagai tempat jualan para pedagang pribumi. Karena dijadikan sebagai tempat jualan itulah kemudian terkenal dengan sebutan Pasar Slompretan. Kata slompretan diambil dari suara kereta api ketika akan berangkat yang mirip dengan tiupan terompet (slompret). Pasar Slompretan ini merupakan tempat para pedagang kecil yang menawarkan barang dagangan berupa kain batik yang ditaruh pada pundaknya sehingga tampak berkeleweran jika dilihat dari kejauhan. Dari barang dagangan (kain batik) yang berkeleweran inilah kemudian pasar ini terkenal dengan nama Pasar Klewer hingga sekarang.
B. Keistimewaan
Bagi Anda pecinta batik, terasa belum lengkap jika belum melihat berbagai macam koleksi batik di Pasar Klewer. Dengan mengunjungi pasar ini, pelancong akan mendapatkan kesan tersendiri yang tak pernah didapatkan di pasar maupun pusat perbelanjaan batik lain pada umumnya. Sebab, di pasar ini koleksi jenis dan motif batiknya lengkap dan harganya pun cukup murah. Pasar ini juga menjadi pusat perbelanjaan kain batik terbesar di seluruh Jawa Tengah. Adapun harga kain batik di pasar ini mulai dari belasan ribu hingga ratusan ribu rupiah, tergantung kualitas, motif, dan jenis kain batiknya.
Sentra grosir kain batik ini menyediakan berbagai macam motif dan jenis batik, di antaranya batik tulis motif Solo, batik cap (print), dan motif-motif batik lainnya. Ada juga berbagai jenis batik Surakarta, seperti batik asli Surakarta, batik antik kraton Surakarta, batik pantai kraton Surakarta, daster batik Surakarta, batik saerah Surakarta, batik putri Solo, batik "kelelawar" Surakarta, dan lain-lain. Selain itu, terdapat juga berbagai macam jenis batik Yogyakarta, Pekalongan, Banyumas, Madura, Betawi, dan berbagai jenis batik dari kota-kota lainnya. Di pasar ini juga menyediakan kain batik untuk baju, sprei, sarung bantal, dan segala aksesoris-aksesoris lain yang berbau batik.
Saat membeli kain batik di pasar ini, setiap pengunjung disarankan untuk menawarnya terlebih dahulu. Jika pengunjung pandai menawar, harga yang diajukan penjual akan berkurang. Kesesuaian kualitas dengan harga mungkin juga menjadi patokan bagi penjual dalam menawarkan dagangannya. Menurut pengakuan para pembeli, berbelanja di pasar ini pasti tidak akan mengecewakan, sebab di samping harganya yang terjangkau, keramahan para penjual juga membuat para pembeli merasa nyaman.
Selain terkenal dengan pusatnya batik, pasar yang di dalamnya terdapat 2.064 unit kios ini juga menyediakan aneka macam barang-barang kebutuhan lainnya, di antaranya pakaian non batik, makanan, kerajinan, pernak-pernik, barang-barang elektronik, emas, peralatan dapur, dan masih banyak lagi. Selain itu, terdapat juga kerajinan-kerajinan khas masyarakat Solo yang berkualitas ekspor, di antaranya cermin kayu ukir, kaca ukir, dan berbagai macam suvenir yang berbahan dasar kaca.
Jika dilihat dari gaya arsitekturnya, bangunan Pasar Klewer terdiri dari dua lantai yang dihubungkan dengan tangga yang cukup luas. Dengan tangga yang seperti ini, suasana berdesak-desakan para pengunjung antarlantai dapat terhindarkan. Keistimewaan lainnya ialah letaknya bersebelahan dengan Keraton Surakarta. Sehingga selain berbelanja, pelancong dapat juga menengok keindahan keraton itu.
Pengunjung juga dapat berkunjung ke pabrik batik tulis yang berada di Kampung Kauman dan Kampung Batik Laweyan yang berjarak sekitar 5 km dari pasar ini. Di tempat tersebut, wisatawan dapat melihat secara langsung proses pembuatan batik, mulai dari pembuatan pola sampai dengan proses pewarnaannya. Di samping melihat tempat produksinya, di kampung ini juga tersedia kios-kios pakaian batik yang siap pakai.
Keistimewaan lainnya, sebelum membeli kain batik pelancong juga dapat memesan atau berkonsultasi melalui fasilitas internet. Para pedagang kain batik di pasar ini sebagian sudah menggunakan media transaksi via internet atau sistem online. Sehingga pelancong dapat memilih dan memesan terlebih dahulu sebelum datang ke lokasi pasar ini.
Selain berbelanja, pengunjung juga sekaligus dapat berwisata melihat situs sejarah seperti Keraton Surakarta, Masjid Agung, Alun-alun Utara, dan situs sejarah lainnya. Pengunjung juga dapat melihat acara tahunan yang diselenggarakan oleh Keraton Surakarta, yaitu sekaten. Dalam acara ini terdapat berbagai macam pentas kesenian, pertunjukan kebudayaan, dan pasar tiban (pasar malam) yang digelar di alun-alun utara tersebut, tepatnya di sebelah utara Pasar Klewer.
C. Lokasi
Pasar Klewer terletak di sebelah barat Keraton Surakarta, Kota Surakarta, Propinsi Jawa Tengah, Indonesia.
D. Akses
Untuk menuju lokasi Pasar Klewer perjalanan dapat dimulai dari Terminal Tirtonadi. Dari terminal ini, wisatawan dapat naik angkutan kota atau taksi menuju lokasi pasar. Perjalanan dari Terminal Tirtonadi sampai ke Pasar Klewer biasanya membutuhkan waktu sekitar 30 menit.
E. Harga Tiket
Memasuki kawasan Pasar Klewer pelancong tidak dipungut biaya. Namun, bagi wisatawan yang membawa kendaraan pribadi dikenai biaya parkir.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Di sekitar kawasan Pasar Klewer ini terdapat berbagai macam fasilitas, di antaranya area parkir, masjid, pusat informasi belanja, studio karaoke, kamar mandi, dan beberapa kios masakan khas Solo, yaitu thengkleng, racikan salat, krupuk karak, timlo Solo, sayur tumpang, dan lain-lain.
A. Deskripsi
Jika Anda penyuka wisata belanja, Pasar Windujenar Surakarta adalah salah satu pilihan yang tepat. Selain memiliki latar belakang sejarah kebudayaan Keraton Solo sebab Pasar Windujenar juga merupakan lokasi murah untuk berbelanja. Bagi Anda yang senang belanja sekaligus ingin mengenang romantika sejarah Kerajaan Surakarta masa lalu, datanglah ke pasar ini.
Pasar Windujenar awalnya dikenal dengan sebutan Pasar Triwindu, karena pasar ini hanya ada setiap triwindu atau tiga windu sekali. Bila satu windu sama dengan delapan tahun, berarti total, Pasar Triwindu hanya digelar setiap 24 tahun sekali. Menurut sejarahnya, Pasar Triwindu Pasar Windujenar adalah hadiah ulang tahun ke-24 Gusti Putri Mangkunegara VII yang bernama Nurul Khamaril. Oleh karena itu, sebagai peringatan ke-24 tahun atau tiga windu kenaikan tahta Mangkunegara VII, maka pada tahun 1939 dibangunlah Pasar Windujenar ini. Pada mulanya, lokasi pasar tersebut adalah kandang kuda. Pasar Windujenar ini sejak 5 Juli 2008 telah mengalami pemugaran untuk disesuaikan dengan arsitektur budaya Solo.
Pasar Tradisional Windujenar merupakan pusat penjualan benda-benda antik. Awalnya, penjual di sini menggunakan sistem barter dengan menggelar barang dagangannya di meja-meja. Akan tetapi seiring perkembangan zaman dan pedagang semakin bertambah maju, maka sejak tahun 1960 para pedagang mendirikan kios.
Di area Pasar Windujenar ini, setiap tahunnya juga digelar sebuah festival seni budaya yang terkenal dengan Festival Seni Pasar Panji. Panji dipercaya sebagai Pangeran Jawa yang piawai berolah seni, pemain musik, penari, pemain drama (sendratari), penulis puisi, serta tokoh teladan masa lampau yang mengembangkan lingkungan dengan cara-cara yang sarat dengan nilai ekologis. Nilai-nilai kultural Panji inilah yang diambil warga Solo agar menjadi inspirasi dalam pelestarian pusaka budaya serta ekonomi kreatif. Selain pentas seni budaya, festival ini juga diisi dengan pameran fotografi tentang pasar-pasar tradisional di Solo.
B. Keistimewaan
Sebuah pasar tradisional dan berlatar belakang sejarah Keraton Solo, sungguh sangat istimewa jika dikunjungi dan dikaji. Apalagi di area pasar ini tergelar festival seni budaya yang berkaitan erat dengan sejarah pendirian pasar. Tentu bagi Anda yang menyukai kebudayaan tradisional tak akan melewatkan untuk berkunjung saat festival atau setiap saat.
Pasar Windujenar merupakan salah satu situs masa lalu yang hingga kini masih terpelihara dengan baik. Pemerintah kota Solo tampaknya ingin menjadikan pasar ini selain sebagai ruang ekonomi tetapi juga sekaligus sebagai ruang ekspresi seni dan budaya. Dalam konteks pelestarian kebudayaan, tentu ini sangat istimewa dan kunjungan Anda juga merupakan salah satu bukti kepedulian terhadap budaya tradisi.
C. Lokasi
Aktivitas Pasar Windujenar dimulai dari pukul 09.00 s/d 18.00 WIB. Pasar ini berlokasi di Kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Atau tepatnya di depan Pura Mangkunegaran yang semula sebagai alun- alun milik Mangkunegaran
Aktivitas Pasar Windujenar dimulai dari pukul 09.00 s/d 18.00 WIB. Pasar ini berlokasi di Kelurahan Keprabon, Kecamatan Banjarsari Kota Surakarta. Atau tepatnya di depan Pura Mangkunegaran yang semula sebagai alun- alun milik Mangkunegaran
D. Akses
Jika Anda ingin mengunjungi dan menikmati nostalgia Pasar Tradisional Windujenar, maka untuk mencapainya cukup mudah, baik ketika Anda menggunakan kendaraan pribadi maupun umum. Jika menggunakan kendaraan umum, dari terminal Tirtonadi, Solo, Anda cukup naik becak atau angkutan kota jurusan Pasar Windujenar lalu turun di depan pasar.
E. Tiket
Untuk mengunjungi Pasar Windujenar ini, Anda tidak dipungut biaya sepeser pun. Anda hanya diminta untuk menjaga keamanan dan kebersihan pasar dengan tidak membuang sampah sembarangan.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Pasar Windujenar menyediakan beberapa akomodasi dan fasiltas bagi pengunjung, antara lain berupa kantor pasar, area Parkir, musholla, toilet, pos keamanan, sarana pemadam kebakaran, sarana bongkar muat barang, dan tempat sampah.
A. Selayang Pandang
Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS) Surakarta yang disebut juga UNS Solo atau UNS, telah lebih dari tiga dasawarsa berkiprah di dunia pendidikan sejak didirikan pada 11 Maret 1976. Tujuan pendirian kampus UNS Solo adalah untuk meningkatkan kualitas pendidikan tinggi di Surakarta. Semenjak berdiri, UNS terus mengembangkan diri untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dengan seluruh potensi yang dimilikinya dan bertekad menjadi perguruan tinggi berkelas internasional di masa yang akan datang.
Mulai tahun 1976 hingga saat ini, UNS sudah menempuh perjalanan panjang dalam dunia pendidikan. Tentunya, pengalaman di tahun-tahun perkembangan perguruan tinggi ini, membuatnya semakin maju dalam berbagai hal.
Tahap awal perkembangan UNS adalah pada lima tahun pertama setelah didirikan, ketika mulai membangun gedung kampus sendiri yang dimulai tahun 1980. Kampus yang semula tersebar di beberapa tempat, kemudian disatukan di lahan seluas 60 hektar di Kentingan, di tepi Sungai Bengawan Solo. Pembangunan gedung kampus tahap pertama memakan waktu sekitar lima tahun.
Setelah pembangunan fisik selesai, kemudian dilanjutkan dengan pengembangan sumber daya nonfisik. Peningkatan sumber daya nonfisik dimulai setelah terpilih rektor baru, Prof. Dr. Koento Wibisono pada 1986. Selama lima tahun di bawah kepemimpinan Koento Wibisono, UNS telah menunjukkan perubahan yang signifikan. Perubahan itu dapat dilihat pada perkembangan dalam bidang akademik, penambahan jumlah staf, dan penguatan infrastruktur kampus.
Hal tersebut tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun setelah masa jabatan Koento Wibisono selesai. Kemajuan kampus ini semakin terlihat nyata. Sekarang ini UNS telah menjadi universitas muda yang memiliki pertumbuhan yang amat pesat. Beberapa potensi yang ada di kampus ini, seperti dokter bedah kulit di Fakultas Kedokteran yang mempunyai reputasi nasional, penemuan starbio dan padi tahan garam oleh Fakultas Pertanian, dan kemajuan pada masing-masing fakultas menjadi modal perkembangan UNS.
B. Keistimewaan
Hingga Juli 2010, mahasiswa yang terdaftar di UNS telah mencapai 25.722 orang. Sedangkan lulusannya mencapai 111.927 alumni yang tersebar di seluruh Indonesia dan telah berperan penting di masyarakat. Mahasiswa UNS berasal dari berbagai daerah di Indonesia, dari berbagai agama, suku, dan tingkat ekonomi. Hal ini menjadikan kampus UNS kaya akan keberagaman.
Barangkali biaya pendidikan yang tidak terlalu mahal di kampus ini juga menjadi pertimbangan mengapa UNS dipilih. UNS menjadi alternatif yang kualitasnya bisa dipertanggungjawabkan ketika banyak kampus mengarah pada wilayah komersial. Selain itu, lokasi kampus juga mudah dijangkau dengan kendaraan umum, sehingga mahasiswa yang tidak mempunyai kendaraan sendiri tidak terlalu kesulitan. Tambahan pula, di dekat lokasi kampus ini terdapat banyak rumah indekos dengan biaya yang tidak terlalu mahal.
UNS Surakarta menyelenggarakan berbagai jenjang pendidikan, mulai dari Diploma 3 (D3) dan Diploma 4 (D4), Strata 1 (S1), Master (S2), dan Doktor (S3). Fakultas yang ditawarkan kampus ini untuk jenjang S1, antara lain Fakultas Sastra dan Seni Rupa, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Fakultas Hukum, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik, serta Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Beberapa fakultas yang ada di kampus ini juga membuka perkuliahan untuk jenjang D3 dan D4. Seperti Fakultas Kedokteran yang membuka jenjang D4 dengan Program Studi Kebidanan dan Kesejahteraan Kerja. Kemudian jenjang D3 ada di Fakultas Sastra dan Seni Rupa yang meliputi Program Studi Bahasa Inggris, Usaha Perjalanan Wisata, Desain Komunikasi Visual, dan Bahasa Cina; Fakultas Ekonomi yang menaungi Program Studi Akuntansi, Perpajakan, Manajemen Pemasaran, Manajemen Industri, Bisnis Internasional, Keuangan dan Perbankan; serta berbagai Fakultas seperti Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Fakultas Kedokteran, Fakultas Pertanian, Fakultas Teknik, dan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam.
Program Pascasarjana yang diselenggarakan UNS mencakup berbagai bidang keilmuan. Program Studi pada jenjang S2 di kampus UNS, yaitu Program Studi Pendidikan Sejarah, Linguistik, Program Studi Lingkungan, Pendidikan dan Lingkungan Hidup, Ilmu Keolahragaan, Teknologi Pendidikan, Magister Managemen, Magister Kedokteran, Pendidikan Matematika, Pendidikan Bahasa Indonesia, Program Studi Pendidikan Sains, Ilmu Komunikasi, Ilmu Hukum, Agronomi, Penyuluhan Pembangunan/Manajemen Pemberdayaan Masyarakat, Ilmu Gizi, Magister Administrasi Publik, Biosains, Pendidikan Bahasa Inggris, Magister Ekonomi dan Studi Pembangunan, Magister Teknik Sipil, Magister Akuntansi, Kajian Budaya, Sosiologi, Ilmu Fisika, Pendidikan Ekonomi, Agribisnis, dan Teknik Mesin. Untuk Program Doktor UNS membuka Program Studi antara lain Program Studi Linguistik, Ilmu Hukum, Pendidikan Bahasa Indonesia, Penyuluhan Pembangunan/Pemberdayaan Masyarakat, Ilmu Ekonomi, Ilmu Lingkungan, dan Ilmu Pendidikan.
Dalam rangka membantu peningkatan keahlian dalam bidang profesi tertentu, UNS juga menawarkan berbagai program khusus dalam bidang kedokteran, yaitu Program Pendidikan Dokter Spesialis. Program khusus ini dapat diikuti oleh para dokter yang ingin mendalami bidang khusus, misalnya Ilmu Penyakit Dalam, Ilmu THT dan Bedah Kepala Leher, Ilmu Kesehatan Anak, Penyakit Jantung dan Pembuluh Darah, dan berbagai bidang lain.
Perguruan Tinggi ini memberikan berbagai beasiswa kepada para mahasiswa, baik yang berprestasi maupun yang tidak punya biaya untuk kuliah. Beasiswa tersebut merupakan hasil upaya Bagian Kerjasama UNS dalam menjalin kerjasama dengan berbagai kampus dan institusi dalam negeri maupun luar negeri. Beasiswa untuk jenjang S2 juga ada. Beberapa beasiswa yang diberikan kepada mahasiswa, yakni Beasiswa Yayasan Astra Honda Motor, Beasiswa Tugas Akhir untuk Mahasiswa, Beasiswa S2 ke Jepang, Beasiswa BPRI UNS, dan beragam beasiswa lainnya.
Keunggulan kampus ini tidak hanya berhenti di situ saja, dalam bidang pengajaran, UNS Surakarta didukung para dosen yang mumpuni di bidangnya masing-masing. Ada 1.571 dosen di kampus ini. Dari jumlah tersebut, 5,3 persen di antaranya adalah guru besar, 62,2 persen yang lain telah bergelar Master, dan 13,7 persennya bergelar Doktor. Dalam memberikan pelayanan kepada mahasiswa, UNS didukung oleh 1.018 tenaga administrasi yang cukup profesional. Semua tenaga di kampus tersebut merupakan aset untuk mewujudkan visi, misi, dan tujuan UNS untuk menjadi kampus internasional.
C. Lokasi
Kampus UNS terletak di Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Kampus ini berdekatan dengan kampus ISI Surakarta.
Kampus UNS terletak di Jl. Ir. Sutami 36A, Kentingan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Kampus ini berdekatan dengan kampus ISI Surakarta.
D. Akses
Lokasi kampus UNS dapat dicapai dengan mudah oleh berbagai sarana transportasi, sarana transportasi umum maupun kendaraan pribadi. Bagi Anda yang menggunakan kendaraan umum, jalur kendaraan yang dapat Anda gunakan, yakni, Anda yang naik bus dari arah Yogyakarta, Semarang, Kudus, dan kota lainnya bisa turun di Kleco atau Kerten, Surakarta. Setelah itu baik bus kota jurusan Palur, turun di Kentingan. Anda dapat pula turun di Terminal Tirtonadi. Dari terminal naik bus kota jurusan Palur, turun di Kentingan.
Bagi Anda yang ke Surakarta menggunakan transportasi Kereta Api dapat turun di Stasiun Jebres maupun Stasiun Balapan dari kedua stasiun tersebut perjalanan dilanjutkan dengan bus kota jurusan Palur, turun di Kentingan. Ongkos bus kota adalah Rp 2.500,00 (Agustus 2010).
Anda yang melakukan perjalanan dengan bus dari arah timur, seperti Surabaya dan sekitarnya dapat langsung turun di Jl. Ir. Sutami (langsung turun di kampus), di Kentingan.
E. Harga Tiket
Untuk mengunjungi Kampus UNS Surakarta Anda tidak dikenakan biaya apa pun.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Sebagai penunjang kegiatan pendidikan UNS dilengkapi dengan berbagai fasilitas dan prasarana. Beberapa fasilitas dan prasarana di kampus ini adalah:
- Fasilitas Teknologi Informasi
Pembangunan fasilitas ini merupakan upaya untuk mengikuti perkembangan teknologi informasi. Fasilitas teknologi informasi yang telah dikembangkan di UNS adalah jaringan internet baik di tingkat universitas maupun tingkat fakultas. Internet dimanfaatkan untuk pendaftaran dan registrasi secara online. Selain registrasi dan pendaftaran, internet juga dimanfaatkan untuk memudahkan mahasiswa dalam mencari referensi dalam bentuk perpustakaan sistem online.
- Fasilitas Kesehatan
Bentuk kepedulian UNS terhadap kesehatan terwujud melalui pendirian fasilitas kesehatan di kampus ini. Fasilitas kesehatan tersebut diberi nama Medical Centre yang menangani empat divisi, yaitu Kesehatan Umum, Gigi, THT, dan Mata. Sarana kesehatan di kampus ini didukung oleh para dokter dan tenaga medis profesional yang juga merupakan para pengajar di Fakultas Kedokteran UNS. Medical Centre juga menjadi sarana penunjang kegiatan belajar mengajar bagi mahasiswa Fakultas Kedokteran.
- Fasilitas Kemahasiswaan
Untuk menunjang kegiatan mahasiswa, kampus UNS membangun berbagai fasilitas untuk mahasiswa. Berbagai sarana tersebut, misalnya gedung Unit Kegiatan Mahasiswa sebagai sekretariat masing-masing UKM. Dalam hal sarana olahraga dan kesenian, UNS juga membangun stadion sepak bola dengan standar internasional. Selain stadion, UNS juga mempunyai Gelanggang Olahraga tertutup yang dapat digunakan untuk beragam olahraga indoor, seperti bola basket, bola voli, bulu tangkis, dan futsal. UNS juga memiliki gedung Student Center. Gedung ini biasa digunakan untuk kegiatan seminar, pertemuan yang melibatkan peserta yang banyak, workshop, maupun kegiatan olahraga seperti Tae Kwon Do, atau pencak silat, dan karate. Sedangkan auditorium digunakan untuk kegiatan kesenian seperti pentas ataupun konser musik. Dalam bidang kesenian, mahasiswa diberi sarana perlengkapan karawitan, peralatan musik modern, serta marching band. Kampus ini juga mempunyai asrama dengan biaya yang sangat murah sebagai tempat tinggal mahasiswa.
- Fasilitas Ibadah
Kampus UNS mempunyai sarana peribadatan yang mencakup lima agama di Indonesia, yaitu Kristen, Katolik, Hindu, Islam, dan Buddha. Untuk sarana masjid saja kampus ini mempunyai 4 buah yang tersebar di tiap lokal kampus. Dari keempat masjid tersebut, masjid yang terbesar adalah Masjid Nurul Huda. Masjid tersebut menjadi pusat kegiatan keagamaan di Kampus UNS.
A. Deskripsi
Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta atau lebih dikenal dengan sebutan ISI Solo merupakan salah satu perguruan tinggi seni di Indonesia. Kampus ini mempunyai sejarah panjang dan telah mengalami berbagai perubahan hingga menjadi seperti sekarang ini. ISI Surakarta adalah metamorfosa dari Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) yang kemudian berubah menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI).
ASKI dibuka pada tahun 1964 atas inisiatif beberapa seniman muda Surakarta yang mengajukan usulan kepada pemerintah untuk mendirikan sebuah lembaga pendidikan seni. Perguruan tinggi tersebut berada di bawah naungan Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan Dasar dan Kebudayaan. Waktu itu ASKI Surakarta masih menggunakan fasilitas milik Konservatori Karawitan Indonesia yang sekarang menjadi SMKN 8 Surakarta. Kemudian pada tahun 1972 Proyek Pengembangan Kesenian Jawa Tengah di Surakarta, yang pada saat itu menempati bangunan Keraton Kasunan Surakarta Hadiningrat, memberikan bangunan pagelaran, Sitihinggil, dan Sasonomulyo Keraton Surakarta pada ASKI Surakarta.
Dalam beberapa tahun ASKI Surakarta menempati bangunan milik Keraton Surakarta tersebut. Waktu itu pemerintah sedang mempersiapkan bangunan kampus yang berada di Kentingan, Kecamatan Jebres, Kota Surakarta. Pada tahun 1985 pembangunan gedung kampus selesai. Sejak itu kegiatan administrasi dan kegiatan akademik menempati gedung kampus baru di Kentingan.
Tahun 1988, tiga tahun setelah menempati kampus baru, nama ASKI Surakarta resmi berubah menjadi STSI Surakarta dengan terbitnya SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0446/O/1988, tanggal 12 September 1988. SK ini sekaligus mengubah status kampus ini yang semula akademi menjadi sekolah tinggi.
Status STSI Surakarta kemudian meningkat menjadi institut melalui Peraturan Presiden RI No. 77 Tahun 2006 yang terbit pada 20 Juli 2006. Penerbitan Perpres ini sekaligus mengubah nama STSI Surakarta menjadi ISI Surakarta. Nama baru ini diresmikan oleh Menteri Pendidikan Nasional Prof. Dr. Bambang Sudibyo pada 11 September 2006 di pendopo kampus.
Meski ISI Surakarta telah mengalami perubahan nama dan status hingga tiga kali, hari lahir kampus ini tidak serta-merta berubah. Hari lahir ISI Surakarta ditetapkan tanggal 15 Juli. Penetapan ini mengikuti tanggal terbitnya keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan RI No. 068/1964 yakni 15 Juli 1964. Keputusan itu berisi tentang pembukaan Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta sebagai cikal bakal ISI Surakarta.
ISI Surakarta mempunyai dua kampus, yaitu kampus satu di Kentingan dan kampus dua di Mojosongo. Kampus satu digunakan untuk Program Pascasarjana dan Fakultas Seni Pertunjukan. Kampus dua untuk Fakultas Seni Rupa dan Desain serta Fakultas Seni Media Rekam.
B. Keistimewaan
Suasana yang sejuk di kampus ini menjadikan proses belajar dan mengajar berlangsung sangat nyaman. Berbagai pepohonan yang tumbuh di kampus ini menambah asri suasana ISI Solo. Bukan cuma nyaman, kampus ini dilengkapi dengan fasilitas berbasis teknologi. Ini terlihat pada ruang belajar mengajar yang telah dilengkapi dengan sarana multimedia.
Kampus ISI Surakarta juga menyediakan fasilitas belajar luar ruangan (outdoor) berupa taman, panggung teater, dan panggung terbuka. Sebuah taman kecil yang diberi nama Taman Eden merupakan ruang bagi mahasiswa untuk berdiskusi. Panggung terbuka digunakan untuk menggelar pertunjukan di luar ruangan. Sedangkan pementasan teater, musik, pementasan tari, maupun pementasan kesenian yang lain dapat menggunakan Teater Humardani dan Teater terbuka.
Selain mengikuti perkuliahan, sebagian mahasiswa tergabung dalam berbagai organisasi kemahasiswaan, di antaranya Dewan Amanat Mahasiswa (DAM) dan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM), baik di tingkat kampus maupun di tingkat jurusan. Separuhnya lagi tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM). Beberapa UKM yang ada di ISI Surakarta adalah UKM Band, Orkes Melayu, Paduan Suara Mahasiswa, Keroncong, Kethoprak, UKM Teater Jejak, UKM Bulu Tangkis, Basket, Karate, Panahan, Futsal, dan UKM Menwa, dan UKM Mapala.
Kampus ini merupakan salah satu kampus di Indonesia yang mencetak para seniman yang andal dalam bidangnya masing-masing, selain ISI Yogyakarta dan ISI Denpasar. ISI Surakarta mempunyai dua fakultas pada jenjang S-1 yaitu Fakultas Seni Pertunjukan dan Fakultas Seni Rupa dan Desain. Fakultas Seni Pertunjukan mencakup beberapa jurusan di antaranya Jurusan Karawitan, Jurusan Etnomusikologi, Jurusan Tari, dan Jurusan Pedalangan. Sedangkan jurusan di Fakultas Seni Rupa dan Desain adalah Jurusan Kriya Seni, Jurusan Seni Rupa Murni, Jurusan Seni Media Rekam, dan Jurusan Desain. ISI Surakarta juga mempunyai Program Pascasarjana yang menawarkan dua Minat Konsentrasi. Dua program itu adalah Minat Studi Pengkajian Seni dan Minat Studi Penciptaan Seni.
ISI Surakarta menawarkan beasiswa bagi mahasiswa yang tidak mampu dan berprestasi. Baik yang berasal dari pemerintah dan nonpemerintah. Beasiswa tersebut antara lain Beasiswa Peningkatan Prestasi Mahasiswa bagi mahasiswa baru, Beasiswa Bantuan Belajar Mahasiswa bagi mahasiswa yang kurang mampu, Beasiswa Supersemar, Beasiswa Pemerintah provinsi Jawa Tengah, Beasiswa Japan Foundation, dan berbagai sumber beasiswa lain.
C. Lokasi
Institut Seni Indonesia Surakarta beralamat di Jl. Ki Hadjar Dewantara No. 19 Kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia.
D. Akses
Kampus ISI Surakarta terletak di Kota Surakarta sehingga mudah dijangkau dengan kendaraan umum maupun kendaraan pribadi. Untuk sampai di ISI Surakarta Anda bisa menggunakan berbagai jenis transportasi seperti bus, kereta api, becak, dan taksi. Anda juga dapat menggunakan kendaraan pribadi. Kendaraan umum yang dapat Anda gunakan menuju kampus ini adalah:
Dari arah utara seperti Salatiga, Semarang, Pekalongan, Tegal, Jepara, Pati Demak, atau arah selatan seperti Yogyakarta, Bandung, serta dari arah yang lain bisa turun di Terminal Tirtonadi. Jarak Terminal Tirtonadi dengan Kampus ISI Surakarta hanya 3 km. Dari Terminal Tirtonadi Anda naik bus jurusan Tawangmangu, turun di Perempatan Pedaringan dengan ongkos Rp 2.500,00. Dari terminal Anda dapat pula naik taksi dengan kisaran ongkos Rp 25.000,00, mengendarai ojek dengan biaya sekitar Rp 7.500,00, dan angkutan kota nomor 3 yang ongkosnya Rp 3.500,00. Jika Anda dari arah timur seperti daerah Surabaya dan sekitarnya, Anda dapat langsung turun di Perempatan Pedaringan dan berjalan sekitar 200 meter ke Kampus ISI Surakarta.
Kendaraan yang dapat Anda gunakan dari Stasiun Balapan adalah bus “Atmo” jurusan Palur, turun di Perempatan Pedaringan dengan ongkos Rp 2.500,00. Dari Stasiun Jebres Anda bisa naik bus “Damri” jurusan Palur, turun di Perempatan Pedaringan, tarif bus Rp 2.500,00. Jarak Stasiun Jebres dengan kampus ini hanya terpaut 1,5 km.
E. Harga Tiket
Tidak ada biaya apa pun bagi Anda yang ingin berkunjung ke kampus ini.
F. Akomodasi dan Fasilitas Lainnya
Beberapa fasilitas sebagai penunjang pendidikan di kampus ini adalah:
- Sarana Pembelajaran
Terdiri dari dua jenis yaitu, sarana pembelajaran dalam ruangan (indoor) dan luar ruangan (outdoor). Sarana pembelajaran luar ruangan didukung oleh suasana kampus yang teduh. Beberapa sarana tersebut antara lain Teater Terbuka, Teater Humardani, dan Taman Eden. Sedangkan sarana pembelajaran dalam ruangan meliputi Teater Kecil, kelas atau ruang multimedia, dan studio-studio yang ada di setiap Jurusan/Program Studi.
- Fasilitas Olah Raga
ISI Surakarta mempunyai beberapa sarana olah raga yang memadai, yaitu lapangan basket, lapangan volley, lapangan tenis, dan sarana lain sebagai pendukung kegiatan mahasiswa yang tergabung dalam Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
- Masjid
Masjid menjadi tempat untuk melaksanakan kegiatan keagamaan civitas akademika dan masyarakat sekitar. Rencananya Masjid Kalimasada akan direnovasi agar mampu menampung jamaah sekitar 400 orang.
- Klinik Kesehatan
- Laboratorium Bahasa
- Ruang Seminar
Ruang seminar berada di jantung kampus satu yang terletak di lantai 1 perpustakaan pusat. Ruang ini merupakan wahana untuk menghidupkan pemikiran seni secara ilmiah. Ruang seminar ini didukung oleh layanan wifi, sound system, dan AC. Ruang ini digunakan sebagai tempat untuk menyelenggarakan berbagai seminar di tingkat lokal, nasional, dan internasional.
Panjengandalem dapat pula membaca di :
0 comments:
Post a Comment