Dibawah ini gambar 'Surat Perintah Raja Surakarta Adiningrat, Pakubuwanan IX', kepada Adipati Sasranagara, dalam aksara dan bahasa Jawa.
"Ingkang dihin salam ingsun dhawuh amarang sira Adipati Sasranagara, kapindone kang bareng iki, ingsun maringi layang wangsulan Bapa Tuwan Residen bab Pranatan kang pada duwe bedil kestul . . . dst.
Kang iku Adipati, pikiren wangsulaningsun marang Bapa Tuwan Residen, gawekna rereng pisan . . . dst".
Maksudnya adalah Perintah Raja Pakubuwana IX, kepada Adipati Sasranagara untuk membuat konsep surat balasan kepada Residen, mengenai aturan bagi orang yang mempunyai senjata, bedil maupun pistol.
Sebelah kiri adalah 'Stempel' resmi Raja Surakarta Hadiningrat, Paku Buwono IX, dalam aksara Jawa, bunyinya sbb : 'Kanjeng Susuhunan Pakubuwana Senapati Ing Ngalaga Ngabdurahman Sayidin Panata Gama ingkang kaping Sanga'
Disamping adalah kalimat penutup menunjukaan kapan surat perintah tersebut ditulis : 'Dhawuhing timbalan dalem ing dinten Selasa tanggal kaping 23 wulanDulkangidah ing tahun Dal, angkaning warsa 1799'. Maksudnya, perintah ini tertanggal 23 bulan Dulkaidah tahun Dal atau dalam angka 1799, itu adalah kalender Jawa (3 Februari 1871).
Pada alinea kedua : 'Wondene Bapa suka uninga dumateng kula, ing sapunika tiyang alit kathah ingkang anglampahi kedurjanan, awit kathah ingkang kanggenan sanjata sapununggalanipun dadamel ingkang kaungelaken sarana sandawa, . . . dst'.
Maksudnya : Bahwa Bapak (Residen) telah mengingatkan pada saya (raja), banyak orang biasa mertindak kriminal karena banyak yang mempunyai sejata dan lainnya yang dibunykan menggunakan mesiu . . . dst.
Selamat menikmati.
foto : Sinuwun Pakoeboewono IX
Sri Susuhunan Pakubuwana IX (lahir: Surakarta, 1830 – wafat: Surakarta, 1893) adalah raja Kasunanan Surakarta yang memerintah tahun 1861 – 1893.
Kisah Pemerintahan
Nama aslinya adalah Raden Mas Duksino, putra Pakubuwana VI. Ia masih berada di dalam kandungan ketika ayahnya dibuang ke Ambon oleh Belanda karena mendukung pemberontakan Pangeran Diponegoro. Ia sendiri kemudian lahir pada tanggal 22 Desember 1830.
Pakubuwana IX naik takhta menggantikan Pakubuwana VIII (paman ayahnya) pada tanggal 30 Desember 1861. Pemerintahannya ini banyak dilukiskan oleh Ronggowarsito dalam karya-karya sastranya, misalnya dalam Serat Kalatida.
Hubungan antara Pakubuwana IX dengan Ronggowarsito sendiri kurang harmonis karena fitnah pihak Belanda bahwa Mas Pajangswara (ayah Ronggowarsito yang menjabat sebagai juru tulis keraton) telah membocorkan rahasia persekutuan antara Pakubuwana VI dengan Pangeran Diponegoro. Akibatnya, Pakubuwana VI pun dibuang ke Ambon. Hal ini membuat Pakubuwana IX membenci keluarga Mas Pajangswara, padahal juru tulis tersebut ditemukan tewas mengenaskan karena disiksa dalam penjara oleh Belanda.
Ronggowarsito sendiri berusaha memperbaiki hubungannya dengan raja melalui persembahan naskah Serat Cemporet. Saat itu karir Ronggowarsito sendiri sudah memasuki senja. Ia mengungkapkan kegelisahan hatinya melalui Serat Kalatida, karyanya yang sangat populer.
Dalam Serat Kalatida, Ronggowarsito memuji Pakubuwana IX sebagai raja bijaksana, namun dikelilingi para pejabat yang suka menjilat mencari keuntungan pribadi. Zaman itu disebutnya sebagai Zaman Edan.
Pemerintahan Pakubuwana IX berakhir saat kematiannya pada tanggal 16 Maret 1893. Ia digantikan putranya sebagai raja Surakarta selanjutnya, bergelar Pakubuwana X.
Beliau bertugas mengawasi gerak-gerik pergolakan politik dan meredamnya, diantaranya aksi pencurian dan pembunuhan yang terjadi di Juwiring Klaten, perampokan dan pembunuhan di Tegalgondo Klaten, perampokan dan pembunuhan di Gondang Sragen, dan lain-lain masih banyak lagi। Hingga beliau umur tiga puluh tahun, beliau mengabdi pada tanah airnya dibidang militer dan kepolisian।
Seiring dengan beliau bertugas kemiliteran dan kepolisian, beliau juga berbisnis diantaranya : usaha batik, batu mulia, perhiasan dari logam mulia, meubel, dan lain-lain, yang menjadi komoditi eksport beliau, dalam hal ini beliau bekerjasama dengan keluarga Tuan Godlip (keluarga bangsawan dari Jerman), selain itu beliau mendapat pengakuan dari Karaton Soerakarta Hadiningrat, bahwa beliau mempunyai semua harta dan bahwa itu benar-benar milik beliau pribadi, karena keahlian beliau dalam berdagang dan berkarya, sehingga Sinuwun Pakoe Boewono IX memerintahkan pada Patih Kangdjeng Raden Adipati Sosrodiningrat menegaskannya dalam Soerat Pikoekoeh No.204 (yang dikeluarkan pada Jum'at Pahing, 2 September 1881,8 Sawal 1810 Tahun JIMAKIR Windu ADI Wuku PAHANG,7 Syawal 1298H). Mulai dari beliau berumur kurang lebih dua puluh tahun beliau selalu mempraktekkan apa saja ang pernah beliau pelajari di bangku kuliah maupun dari para guru dan empu, diantaranya membuat alat-alat eksplorasi,membuat usaha-usaha batik beraneka ragam,membuat usaha-usaha meubelair,membuat usaha-usaha pembuatan gamelan, membuat usaha-saha pembuatan wayang kulit,membuat usaha-usaha pembuatan mesiu,membuat beraneka ragam gending-gending jawa, membuat beraneka ragam tari-tarian,membuat tata praja modern, mengaudit keuangan, membuat usaha-usaha batu mulia, membuat usaha-usaha pembuatn besi mulia dan di eksport ke Negara-negara di Eropa, dan usaha-usaha lainnya. Selain itu beliau juga berbisnis dengan keluarga Tuan Godlip, yaitu berupa bisnis pembuatan perhiasan dari batu mulia, dan logam mulia, dan juga berbisnis pemurnian logam mulia yang dibutuhkan di sekitar Eropa dan Amerika, serta melayani pula alat-alat dibidang moneter dan perbankan, selain itu beliau dipercaya sebagai staf ahli pada salah satu bank terkenal di Eropa. Selain itu beliau juga sangat suka turun ke desa, disertai tirakat dan bertapa, dalam perjalanan beliau selalu disertai para abdidalem prajurit yang setia dan patuh pada beliau. Dalam perjalanan beliau turun ke desa, tak lupa beliau dan para abdidalem prajurit juga mengajarkan ilmu silat dan olah kesaktian, dan setelah beliau mengajarkannya lantas beliau memuridkan pemuda-pemuda desa sehingga terbentuklah padepokan bela diri disetiap desa yang beliau lalui.
Pada waktu beliau berumur tiga puluh tahun, beliau ditugasi oleh Sinuwun menjabat sebagai Pejabat Bagian Bea dan Cukai di Pelabuhan Soerabaia., yang ditugaskan oleh Sinuwun mengawasi kapal barang yang keluar masuk pelabuhan disamping itu beliau juga ditugasi memperbaiki sistem manajemennya.
Waktu beliau berumur empat puluh tahun, beliau menikah dengan Raden Adjeng Soemasti putri dari Kangdjeng Pangeran Hario Hadiwijaja putra Mangkoenagoro IV (= beliau adalah istri permaisuri/padmi/sah BKPH.Kol.Poerbodiningrat/RM.Koesen (karena baru dewasa ini bermunculan yang mengaku anak keturunan BKPH.Kol.Poerbodiningrat/RM.Koesen dari istri selir/tidak sah). Meskipun beliau menikah namun, lama beliau mempunyai anak, beliau mempunyai anak setelah beliau berumur lima puluh tahun. Anak yang terlahir sewaktu beliau berumur lima puluh tahun ialah seorang putri bernama Bandoro Raden Adjeng Bandiyah atau sering disebut dengan nama Raden Adjeng Soetarmi, dikarenakan beliau merasa tidak tenang setelah peristiwa suksesi di Karaton Soerakarta mulai tahun 1880 hingga 1893. Setelah meredanya gelombang suksesi di Karaton Soerakarta mereda yaitu setelah adik beliau menang suksesi dan bergelar Sahandhap Sampejandalem Ingkang Sinoehoen Kangdjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono X, beliau ditugaskan juga menjabat sebagai Pejabat Bagian Bea dan Cukai di Pelabuhan Semarang selain juga sebagai Pajabat Bagian Bea dan Cukai di Pelabuhan Soerabaia. Di Semarang beliau membuat lapangan pekerjaan yaitu berupa CV dan NV bersama-sama dengan teman kuliahnya. Saat beliau berumur lima puluh tahun, beliau juga membuka lapangan kerja yatiu berupa CV dan NV yang ergerak dibidang eksport –import tanaman hias dan bunga-bungaan.
Tepat beliau berumur lima puluh tahun, beliau pulang ke Karaton Soerakarta ikut menyaksikan bahwa anak/putri beliau bernama Bandoro Raden Adjeng Bandiah atau Raden Adjeng Soetarmi mendapat pengakuan dari Karaton Soerakarta Hadiningrat, bahwa anak/putri beliau tersebut mempunyai semua harta dan bahwa itu benar-benar milik dari beliau pribadi dan anak/putri beliau tersebut sebagai penerusnya, karena keahlian beliau dalam berdagang dan berkarya, sehingga Sinuwun Pakoe Boewono X memerintahkan pada Patih Kangdjeng Raden Adipati Sosrodiningrat menegaskannya dalam Soerat Pikoekoeh No.10 (yang diterbitkan pada Minggu Wage 17 Juni 1900,18 Sapar 1830Tahun Je Windu Sancaya Wuku Warigalit,18 Safar 1318 H)
B.R.Ay. Bandiyah Soetarmi Prodjokoesoemo putri RM.KOESEN
R.M.SOEGIYO ZALDY ZORRO DARSITA,Bc.Hk Cucunya RM.KOESEN
SAMPEYANDALEM HINGKANG SINUHUN KANGDJENG SUSUHUNAN PAKOEBOEWANA SENAPATI ING NGALAGA ABDULRACHMAN SAYIDIN PANATA GAMA KALIFATULAH HINGKANG KAPING IX
DI NAGARA KARATON KASUNANAN SURAKARTA HADININGRAT
Putra dari Sampeyandalem Hingkang Sinuhun P.B.VI, yang dilahirkan dari Istr Permaisuri yang bernama G.K.R. Ageng putri dari K.G.P.Adip. Mangkubumi I di Surakarta putra nomer 5, yang bernama kecil B.R.M.G. Duksino.
Alur Silsilah Sampeyandalem Hingkang Sinuhun P.B.IX dari Ibunda G.K.R. Ageng, yaitu :
1. Pangeran Adipati Benawa di Pajang, berputra :
2. Pangeran Kaputran di Pajang, berputra :
3. Pangeran Danupoyo, berputra :
4. Ki Singaprana di Walen, berputra :
5. Kyai Ageng Singaprana, berputra :
6. Ki Singawangsa, berputra :
7. R.Tasikwulan istri selir K.G.P.Adip.Mangkubumi, berputra :
8. G.K.R.Ageng istri permaisuri Sri Susuhunan P.B.VI, berputra :
9. Sampeyandalem Hingkang Sinuhun Kanjeng Susuhunan P.B.IX, bernama kecil B.R.M.G. Duksino.
Sri Susuhunan P.B.IX tidak mempunyai istri Permaisuri.
Istri selir bernama R.Ay.Kustiyah (cucu Sri Susuhunan P.B.VIII).
Istri selir Sri Susuhunan P.B.IX, yang bernama Raden Larasati atau R.Ay.Mandayaprana, berputra 1 orang yang bernama G.R.M. Suwito, meninggal di usia muda, jadi Beliau tidak mempunyai keturunan.
Tanggal kelahiran Beliau pada hari Rabu Kliwon 7 Saban 1758 jawa, atau 22 Desember 1830 M.
Diwisuda menjadi K.G.P.H. Prabuwijoyo, disaat Beliau berumur 17 tahun pada tanggal 21 Juni 1847 M.
Penobatan menjadi Raja pada tanggal 30 Desember 1861 M.
Wafat Beliau pada hari Jumat Legi 28 Ruwah 1822 jawa, atau 16 Maret 1893, pada usia 64 tahun 1 bulan 21 hari.
Istri selir Sri Susuhunan P.B.IX ada 53 orang, yang berputra ada 29 orang, dan yang tidak berputra 24 orang.
MELURUSKAN ARTIKEL YANG PERNAH DIBUAT DAN DITERBITKAN OLEH AYAH SAYA (ALMARHUM) RM.SOEGIYO ZALDY ZORRO DARSITA,BC.HK ALIAS KPH.POERBODININGRAT :
Pada tanggal 30 Desember 1861 (yang bertepatan pada hari Senin Legi, 30 Desember 1861,26 Jumadilakhir 1790 Tahun JE Windu SANGARA Wuku SUNGSANG, 27 Jumadilakhir 1278H) Bapak beliau yaitu Kangdjeng Goesti Pangeran Hario Praboewidjojo diangkat menjadi Raja di Karaton Soerakarta Hadiningrat yang selanjutnya bergelar Sahandhap Sampejandalem Ingkang Sinoehoen Kangdjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono IX, sehingga beliau Bandoro Raden Mas Abadi pun mendapat penganugerahan dari Pakoe Boewono IX dengan gelar Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat atau lebih dikenal dikalangan Eropa dengan nama Pangeran Hario Poerbodiningrat. Sewaktu beliau berumur dua belas tahun beliau disuruh Pakoe Boewono IX menemani dalam lawatan Sinuwun ke Eropa, dan di setiap menemani Sinuwun ke Eropa beliau selalu menyempatkan diri membeli buku-buku pengetahuan, ataupun membaca buku di perpustakaan serta melihat,mengamati dan mempelajari di laboratorium. Saat umur dua belas tahun itu pun beliau mendapatkan rekomendasi belajar ke A.M.S (Algemeene Midelbaare School), karena beliau nampak kepandaiannya, beliau menempuh sekolah itu hanya dalam waktu dua tahun, beliau juga disayangi dan disukai guru-guru beliau, hingga Hooge Meester (Kepala Sekolah A.M.S) merekomendasikan untuk beliau melanjutkan kuliah ke Leiden (kuliah dibidang militer), namun selain kuliah di bidang militer beliau juga mempelajari bidang-bidang keilmuan yang lainnya melalui teman-teman sekuliahnya. Lama kuliah beliau lima tahun, setelah bernajak umur tujuh belas tahun beliau lulus dari kuliah beliau. Selama beliau kuliah di Leiden, beliau sering memanggil dan menyuruh para abdidalem untuk mengamati perkembangan yang ada di dalam Keraton Soerakarta selama beliau kuliah.
Beranjak umur delapan belas tahun beliau pulang ke tanah air beliau, dan langsung menghadap Bapak beliau yaitu Sinuwun Pakoe Boewono IX sampai-sampai bahagia perasaan Sinuwun kala itu menemui anak beliau pulang dari kuliah. Namun kala itu tanah air beliau , sedang mengalami banyak pergolakan politik yang dilancarkan oleh beberapa pihak atau kelompok yang terkenal dengan “ begal,kecu,maling, dan gedhor “ (= yaitu sejenis pencurian dan perampokan dan tak ketinggalan pula disertai pembunuhan), hal ini terjadi karena adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh para tuan tanah dan pemodal yang memeras tenaga para pekerja dan mengupahnya dengan sangat murah, namun harga-harga kebutuhan pokok sangat mahal dan tidak terjangkau rakyat, dan banyak kelaparan disana sini). Maka dari itu beliau diperintahkan oleh Sinuwun untuk belajar ke Belanda di bidang intelejen sampai beliau berumur dua puluh lima tahun. Dan setelah beliau berumur dua puluh enam tahun, beliau ditugaskan dibidang militer dengan pangkat Luitenan Kolonel (Overste) dan juga diberi gelar oleh Sinuwun dengan pemberian nama Pangeran Ario Poerwodiningrat dan saat itu juga beliau membeli dari seorang belanda rumah yang sekarang berada di jl.suryo no.20 Kel.Purwodiningrat Jebres Surakarta (yang mulai th.1948-1949 disrobot oleh R.Wongsopandoyo (yang termasuk kelompok merah sepanjang bengawan solo dan diduga dia berasal dari sekitar Klaten, terindikasi termasuk gerombolan perampok dan pembunuh,sekarang ini rumah Pangeran Ario Poerbodiningrat atau Pangeran Ario Poerwodiningrat yang telah disrobot R.Wongsopandoyo, sekarang ditempati keturunannya yang bernama R.Wakidjo (yang sekarang berubah kepemilikan menjadi terpecah dalam ; RVO (Regleement Vereineging Ordonantie),Perceel 280 (yang berubah menjadi SHM No.349 atas nama R.Wakidjo), dan Perceel 228 (yang berubah menjadi SHM No.350 atas nama R.Wakidjo), pensertifikatannya tidak diketahui ahli waris maupun juga Kraton, hal ini mungkin akan berakibat cacat hukum atau batal demi hukum), lihat foto dibawah ini).
MELURUSKAN ARTIKEL YANG PERNAH DIBUAT DAN DITERBITKAN OLEH AYAH SAYA (ALMARHUM) RM.SOEGIYO ZALDY ZORRO DARSITA,BC.HK ALIAS KPH.POERBODININGRAT :
KISAH KELUARGA YANG SELALU BERBAKTI PADA TANAH AIRNYA:
I. BAKTI PADA TANAH AIRNYA KERATON SOERAKARTA
1. PANGERAN ARIO POERBODININGRAT : MASA KECIL HINGGA DEWASA SERTA LANGKAH MENITI KARIER
Langit diatas kota Surakarta cerah pada waktu itu tepat di hari Ahad/ Minggu Pon, 17 Agustus 1851 atau 18 Sawal 1779 Tahun ALIP Windu KUNTARA Wuku JULUNGWANGI atau 19 Syawal 1267H pada jam setengah tujuh sore hari (yang nantinya Beliau wafat pada Sabtu Pahing 7 Desember 1940, 6 Dulkangidah 1871 Tahun Dal Windu Adi Wuku Marakeh,7 Zulkaidah 1359 H) , terdengar tangis bocah kecil yang kelak akan bernama Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat,di dalam kompleks cepuri Karaton Soerakarta di kala itu, Bapak dari bocah kecil itu sedang berjuang untuk meraih tahta kerajaan Karaton Soerakarta (suksesi),yang kala itu kerajaan Karaton Soerakarta masih dipegang oleh pamannya yaitu Sahandhap Sampejandalem Ingkang Sinoehoen Kangdjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono VIII, waktu itu banyak kandidat calon pengganti raja diantaranya adik dari Pakoe Boewono VIII. Di saat ketegangan suksesi memuncak lahirlah bocah kecil bernama Bandoro Raden Mas Abadi yang kelak bernama Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat yang lahir dari Raden Dojoasmoro (yang nama sebenarnya adalah Raden Adjeng Koesnijah cucu Pakoe Boewono VIII) dengan Kangdjeng Goesti Pangeran Hario Praboewidjojo (yang kelak bernama Sahandhap Sampejandalem Ingkang Sinoehoen Kangdjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono IX). Tangisan bayi kecil Bandoro Raden Mas Abadi membuat hati para dayang-dayang dan seisi istana gembira dan bersuka cita. Lahirnya Bandoro Raden Mas Abadi ini begitu sangat menghibur hati Kangdjeng Goesti Pangeran Hario Praboewidjojo yang kala itu sedang resah dan gundah hatinya.
Begitu banyak cerita yang menarik tentang Bandoro Raden Mas Abadi diantaranya : beliau pada umur dua tahun begitu sangat aktif dan tidak bisa diam, dayang pengasuhnya sampai kewalahan mengasuhnya setiap benda yang ada didekatnya selalu dilemparkan ke orang-orang didekatnya. Beranjak umur tiga tahun beliau sudah nampak kecerdasannya, beliau sudah bisa membuat mainan sendiri dari bahan-bahan disekitarnya. Beranjak umur enam tahun Bandoro Raden Mas Abadi gemar menulis dan membaca, kegemarannya itu berlanjut samapai beliau tua dan beliau pun bisa membuat lukisan dan batik meskipun belum begitu sempurna membatiknya, teman bermain beliau adalah anak dari Tuan Godlip paman suami dari bibinya. Beranjak umur sebelas tahun Bandoro Raden Mas Abadi gemar melihat,mengamati dan belajar dari tukang besi,empu,tukang pembuat wayang dari kulit,tukang pengasah batu mulia,tukang pembuat perhiasan dari emas,tukang pembuat gamelan,guru karawitan,guru tari,guru silat dan olah kesaktian,guru keprajuritan,guru intelejen,pujangga,dan guru ketatanegaraan, dan lain-lain samapai-sampai tidak ada yang tidak beliau pelajari, dan semua yang beliau pelajari dapat beliau cerna dan pahami.
Langit diatas kota Surakarta cerah pada waktu itu tepat di hari Ahad/ Minggu Pon, 17 Agustus 1851 atau 18 Sawal 1779 Tahun ALIP Windu KUNTARA Wuku JULUNGWANGI atau 19 Syawal 1267H pada jam setengah tujuh sore hari (yang nantinya Beliau wafat pada Sabtu Pahing 7 Desember 1940, 6 Dulkangidah 1871 Tahun Dal Windu Adi Wuku Marakeh,7 Zulkaidah 1359 H) , terdengar tangis bocah kecil yang kelak akan bernama Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat,di dalam kompleks cepuri Karaton Soerakarta di kala itu, Bapak dari bocah kecil itu sedang berjuang untuk meraih tahta kerajaan Karaton Soerakarta (suksesi),yang kala itu kerajaan Karaton Soerakarta masih dipegang oleh pamannya yaitu Sahandhap Sampejandalem Ingkang Sinoehoen Kangdjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono VIII, waktu itu banyak kandidat calon pengganti raja diantaranya adik dari Pakoe Boewono VIII. Di saat ketegangan suksesi memuncak lahirlah bocah kecil bernama Bandoro Raden Mas Abadi yang kelak bernama Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat yang lahir dari Raden Dojoasmoro (yang nama sebenarnya adalah Raden Adjeng Koesnijah cucu Pakoe Boewono VIII) dengan Kangdjeng Goesti Pangeran Hario Praboewidjojo (yang kelak bernama Sahandhap Sampejandalem Ingkang Sinoehoen Kangdjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono IX). Tangisan bayi kecil Bandoro Raden Mas Abadi membuat hati para dayang-dayang dan seisi istana gembira dan bersuka cita. Lahirnya Bandoro Raden Mas Abadi ini begitu sangat menghibur hati Kangdjeng Goesti Pangeran Hario Praboewidjojo yang kala itu sedang resah dan gundah hatinya.
Begitu banyak cerita yang menarik tentang Bandoro Raden Mas Abadi diantaranya : beliau pada umur dua tahun begitu sangat aktif dan tidak bisa diam, dayang pengasuhnya sampai kewalahan mengasuhnya setiap benda yang ada didekatnya selalu dilemparkan ke orang-orang didekatnya. Beranjak umur tiga tahun beliau sudah nampak kecerdasannya, beliau sudah bisa membuat mainan sendiri dari bahan-bahan disekitarnya. Beranjak umur enam tahun Bandoro Raden Mas Abadi gemar menulis dan membaca, kegemarannya itu berlanjut samapai beliau tua dan beliau pun bisa membuat lukisan dan batik meskipun belum begitu sempurna membatiknya, teman bermain beliau adalah anak dari Tuan Godlip paman suami dari bibinya. Beranjak umur sebelas tahun Bandoro Raden Mas Abadi gemar melihat,mengamati dan belajar dari tukang besi,empu,tukang pembuat wayang dari kulit,tukang pengasah batu mulia,tukang pembuat perhiasan dari emas,tukang pembuat gamelan,guru karawitan,guru tari,guru silat dan olah kesaktian,guru keprajuritan,guru intelejen,pujangga,dan guru ketatanegaraan, dan lain-lain samapai-sampai tidak ada yang tidak beliau pelajari, dan semua yang beliau pelajari dapat beliau cerna dan pahami.
Pada tanggal 30 Desember 1861 (yang bertepatan pada hari Senin Legi, 30 Desember 1861,26 Jumadilakhir 1790 Tahun JE Windu SANGARA Wuku SUNGSANG, 27 Jumadilakhir 1278H) Bapak beliau yaitu Kangdjeng Goesti Pangeran Hario Praboewidjojo diangkat menjadi Raja di Karaton Soerakarta Hadiningrat yang selanjutnya bergelar Sahandhap Sampejandalem Ingkang Sinoehoen Kangdjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono IX, sehingga beliau Bandoro Raden Mas Abadi pun mendapat penganugerahan dari Pakoe Boewono IX dengan gelar Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat atau lebih dikenal dikalangan Eropa dengan nama Pangeran Hario Poerbodiningrat. Sewaktu beliau berumur dua belas tahun beliau disuruh Pakoe Boewono IX menemani dalam lawatan Sinuwun ke Eropa, dan di setiap menemani Sinuwun ke Eropa beliau selalu menyempatkan diri membeli buku-buku pengetahuan, ataupun membaca buku di perpustakaan serta melihat,mengamati dan mempelajari di laboratorium. Saat umur dua belas tahun itu pun beliau mendapatkan rekomendasi belajar ke A.M.S (Algemeene Midelbaare School), karena beliau nampak kepandaiannya, beliau menempuh sekolah itu hanya dalam waktu dua tahun, beliau juga disayangi dan disukai guru-guru beliau, hingga Hooge Meester (Kepala Sekolah A.M.S) merekomendasikan untuk beliau melanjutkan kuliah ke Leiden (kuliah dibidang militer), namun selain kuliah di bidang militer beliau juga mempelajari bidang-bidang keilmuan yang lainnya melalui teman-teman sekuliahnya. Lama kuliah beliau lima tahun, setelah bernajak umur tujuh belas tahun beliau lulus dari kuliah beliau. Selama beliau kuliah di Leiden, beliau sering memanggil dan menyuruh para abdidalem untuk mengamati perkembangan yang ada di dalam Keraton Soerakarta selama beliau kuliah.
Beranjak umur delapan belas tahun beliau pulang ke tanah air beliau, dan langsung menghadap Bapak beliau yaitu Sinuwun Pakoe Boewono IX sampai-sampai bahagia perasaan Sinuwun kala itu menemui anak beliau pulang dari kuliah. Namun kala itu tanah air beliau , sedang mengalami banyak pergolakan politik yang dilancarkan oleh beberapa pihak atau kelompok yang terkenal dengan “ begal,kecu,maling, dan gedhor “ (= yaitu sejenis pencurian dan perampokan dan tak ketinggalan pula disertai pembunuhan), hal ini terjadi karena adanya ketidakadilan yang dilakukan oleh para tuan tanah dan pemodal yang memeras tenaga para pekerja dan mengupahnya dengan sangat murah, namun harga-harga kebutuhan pokok sangat mahal dan tidak terjangkau rakyat, dan banyak kelaparan disana sini). Maka dari itu beliau diperintahkan oleh Sinuwun untuk belajar ke Belanda di bidang intelejen sampai beliau berumur dua puluh lima tahun. Dan setelah beliau berumur dua puluh enam tahun, beliau ditugaskan dibidang militer dengan pangkat Luitenan Kolonel (Overste) dan juga diberi gelar oleh Sinuwun dengan pemberian nama Pangeran Ario Poerwodiningrat dan saat itu juga beliau membeli dari seorang belanda rumah yang sekarang berada di jl.suryo no.20 Kel.Purwodiningrat Jebres Surakarta (yang mulai th.1948-1949 disrobot oleh R.Wongsopandoyo (yang termasuk kelompok merah sepanjang bengawan solo dan diduga dia berasal dari sekitar Klaten, terindikasi termasuk gerombolan perampok dan pembunuh,sekarang ini rumah Pangeran Ario Poerbodiningrat atau Pangeran Ario Poerwodiningrat yang telah disrobot R.Wongsopandoyo, sekarang ditempati keturunannya yang bernama R.Wakidjo (yang sekarang berubah kepemilikan menjadi terpecah dalam ; RVO (Regleement Vereineging Ordonantie),Perceel 280 (yang berubah menjadi SHM No.349 atas nama R.Wakidjo), dan Perceel 228 (yang berubah menjadi SHM No.350 atas nama R.Wakidjo), pensertifikatannya tidak diketahui ahli waris maupun juga Kraton, hal ini mungkin akan berakibat cacat hukum atau batal demi hukum), lihat foto dibawah ini).
Gambar: foto keluarga R.Wakidjo keturunannya
Wongsopandojo yang menyrobot rumah dan tanah R.Koesen B.K.P.H.Kolonel
Poerbodiningrat di Jl.Surya No.20 Poerwodiningratan Surakarta (foto
didapat penulis dari www.suaraparapangeran.blogspot.com)
Beliau bertugas mengawasi gerak-gerik pergolakan politik dan meredamnya, diantaranya aksi pencurian dan pembunuhan yang terjadi di Juwiring Klaten, perampokan dan pembunuhan di Tegalgondo Klaten, perampokan dan pembunuhan di Gondang Sragen, dan lain-lain masih banyak lagi। Hingga beliau umur tiga puluh tahun, beliau mengabdi pada tanah airnya dibidang militer dan kepolisian।
Seiring dengan beliau bertugas kemiliteran dan kepolisian, beliau juga berbisnis diantaranya : usaha batik, batu mulia, perhiasan dari logam mulia, meubel, dan lain-lain, yang menjadi komoditi eksport beliau, dalam hal ini beliau bekerjasama dengan keluarga Tuan Godlip (keluarga bangsawan dari Jerman), selain itu beliau mendapat pengakuan dari Karaton Soerakarta Hadiningrat, bahwa beliau mempunyai semua harta dan bahwa itu benar-benar milik beliau pribadi, karena keahlian beliau dalam berdagang dan berkarya, sehingga Sinuwun Pakoe Boewono IX memerintahkan pada Patih Kangdjeng Raden Adipati Sosrodiningrat menegaskannya dalam Soerat Pikoekoeh No.204 (yang dikeluarkan pada Jum'at Pahing, 2 September 1881,8 Sawal 1810 Tahun JIMAKIR Windu ADI Wuku PAHANG,7 Syawal 1298H). Mulai dari beliau berumur kurang lebih dua puluh tahun beliau selalu mempraktekkan apa saja ang pernah beliau pelajari di bangku kuliah maupun dari para guru dan empu, diantaranya membuat alat-alat eksplorasi,membuat usaha-usaha batik beraneka ragam,membuat usaha-usaha meubelair,membuat usaha-usaha pembuatan gamelan, membuat usaha-saha pembuatan wayang kulit,membuat usaha-usaha pembuatan mesiu,membuat beraneka ragam gending-gending jawa, membuat beraneka ragam tari-tarian,membuat tata praja modern, mengaudit keuangan, membuat usaha-usaha batu mulia, membuat usaha-usaha pembuatn besi mulia dan di eksport ke Negara-negara di Eropa, dan usaha-usaha lainnya. Selain itu beliau juga berbisnis dengan keluarga Tuan Godlip, yaitu berupa bisnis pembuatan perhiasan dari batu mulia, dan logam mulia, dan juga berbisnis pemurnian logam mulia yang dibutuhkan di sekitar Eropa dan Amerika, serta melayani pula alat-alat dibidang moneter dan perbankan, selain itu beliau dipercaya sebagai staf ahli pada salah satu bank terkenal di Eropa. Selain itu beliau juga sangat suka turun ke desa, disertai tirakat dan bertapa, dalam perjalanan beliau selalu disertai para abdidalem prajurit yang setia dan patuh pada beliau. Dalam perjalanan beliau turun ke desa, tak lupa beliau dan para abdidalem prajurit juga mengajarkan ilmu silat dan olah kesaktian, dan setelah beliau mengajarkannya lantas beliau memuridkan pemuda-pemuda desa sehingga terbentuklah padepokan bela diri disetiap desa yang beliau lalui.
Pada waktu beliau berumur tiga puluh tahun, beliau ditugasi oleh Sinuwun menjabat sebagai Pejabat Bagian Bea dan Cukai di Pelabuhan Soerabaia., yang ditugaskan oleh Sinuwun mengawasi kapal barang yang keluar masuk pelabuhan disamping itu beliau juga ditugasi memperbaiki sistem manajemennya.
Waktu beliau berumur empat puluh tahun, beliau menikah dengan Raden Adjeng Soemasti putri dari Kangdjeng Pangeran Hario Hadiwijaja putra Mangkoenagoro IV (= beliau adalah istri permaisuri/padmi/sah BKPH.Kol.Poerbodiningrat/RM.Koesen (karena baru dewasa ini bermunculan yang mengaku anak keturunan BKPH.Kol.Poerbodiningrat/RM.Koesen dari istri selir/tidak sah). Meskipun beliau menikah namun, lama beliau mempunyai anak, beliau mempunyai anak setelah beliau berumur lima puluh tahun. Anak yang terlahir sewaktu beliau berumur lima puluh tahun ialah seorang putri bernama Bandoro Raden Adjeng Bandiyah atau sering disebut dengan nama Raden Adjeng Soetarmi, dikarenakan beliau merasa tidak tenang setelah peristiwa suksesi di Karaton Soerakarta mulai tahun 1880 hingga 1893. Setelah meredanya gelombang suksesi di Karaton Soerakarta mereda yaitu setelah adik beliau menang suksesi dan bergelar Sahandhap Sampejandalem Ingkang Sinoehoen Kangdjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono X, beliau ditugaskan juga menjabat sebagai Pejabat Bagian Bea dan Cukai di Pelabuhan Semarang selain juga sebagai Pajabat Bagian Bea dan Cukai di Pelabuhan Soerabaia. Di Semarang beliau membuat lapangan pekerjaan yaitu berupa CV dan NV bersama-sama dengan teman kuliahnya. Saat beliau berumur lima puluh tahun, beliau juga membuka lapangan kerja yatiu berupa CV dan NV yang ergerak dibidang eksport –import tanaman hias dan bunga-bungaan.
Tepat beliau berumur lima puluh tahun, beliau pulang ke Karaton Soerakarta ikut menyaksikan bahwa anak/putri beliau bernama Bandoro Raden Adjeng Bandiah atau Raden Adjeng Soetarmi mendapat pengakuan dari Karaton Soerakarta Hadiningrat, bahwa anak/putri beliau tersebut mempunyai semua harta dan bahwa itu benar-benar milik dari beliau pribadi dan anak/putri beliau tersebut sebagai penerusnya, karena keahlian beliau dalam berdagang dan berkarya, sehingga Sinuwun Pakoe Boewono X memerintahkan pada Patih Kangdjeng Raden Adipati Sosrodiningrat menegaskannya dalam Soerat Pikoekoeh No.10 (yang diterbitkan pada Minggu Wage 17 Juni 1900,18 Sapar 1830Tahun Je Windu Sancaya Wuku Warigalit,18 Safar 1318 H)
B.R.Ay. Bandiyah Soetarmi Prodjokoesoemo putri RM.KOESEN
2. PANGERAN ARIO POERBODININGRAT : SEMASA SUKSESI
Mengulang
lagi kisah beliau Pangeran Ario Poerbodiningrat saat berumur empat
puluh tiga tahun, tepatnya pada tanggal 1 Januari 1893 (yang bertepatan
pada hari Minggu Legi, 1 Januari 1893,12 Jumadilakhir 1822 Tahun JE
Windu SANGARA Wuku WARIGAGUNG, 12 Jumadilakhir 1310H), ayah beliau yaitu
Sinuwun Pakoe Boewono IX memanggil beliau Pangeran Ario Poerbodiningrat
atau Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Kolonel Poerbodiningrat ke Istana
Tetirah di
R.M.SOEGIYO ZALDY ZORRO DARSITA,Bc.Hk Cucunya RM.KOESEN
(anak kandung satu-satunya dari B.R.Ay.Bandiyah Soetarmi Prodjokoesoemo)
Langenharjo, dengan disaksikan oleh Pangeran
Ario Praboewidjojo atau Pangeran Ario Hangabei, Pangeran Ario
Haryomataram, Pangeran Ario Praboeningrat , dan Pangeran Ario
Koesoemodiningrat, dalam hal ini Sinuwun Pakoe Boewono IX berpesan
(dalam Serat Wara Iswara) yaitu : “ Poma-poma trahingwang, aja sira
umadeg Aji, mung nyuwuna berkahipun luluhur Nata, sabab Ratu yen sinedya
dadi luput, amung Gusti Allah Sang Malikul Kusna kang hanetepke Adeging
Aji “. ( artinya : pesanku (Sinuwun) pada anak-anak keturunanku, jangan
lah kamu terlalu berharap berdiri sebagai Raja saja, tetapi selain dari
itu memintalah berkah nenek moyangmu para Raja, karena kalau hanya
berharap saja menjadi Raja jikalau tidak disertai doa dan permohonan
dengan ucapan syukur kepada Allah pastilah tidak terlaksana, karena yang
menetapkan seseorang menjadi Raja hanyalah Allah Sang Malikul Kusna ).
Pesan Sinuwun Pakoe Boewono IX tadi terucap disaat Sinuwun dalam keadaan
sakit oleh karena kelelahan setelah Acara Tingalandalem Jumenengan
Sinuwun yang ke tiga puluh satu. Hal kesehatan Sinuwun yang menurun
dikarenakan sewaktu Acara Tingalandalem Jumenengan Sinuwun menerima
banyak tamu yang tidak ada hentinya hingga tiga puluh hari tiga puluh
malam lamanya, para tamu yang datang itu diantaranya ialah : Raja/Ratu
Belanda,Tuan Gubernur Jenderal,Tuan Gubernemen, Tuan Residen, Tuan-tuan
Duta Besar Negara-Negara tetangga,Negara-Negara di seluruh Eropa,dan
Raja atau Perwakilan Negara-Negara di Seluruh Dunia, disamping itu juga
para Sentana (Kerabat/Keluarga Raja), dan Para Raja di seluruh
Nusantara. Karena Sinuwun sangat kelelahan sehingga Sinuwun bertamasya
ke vila relaksasi sinuwun di Langenharjo, selama Sinuwun relaksasi di
Langenharjo, Sinuwun memanggil keenam putranya yaitu :Bandoro Kangdjeng
Pangeran Hario Kolonel Poerbodiningrat, Pangeran Ario Praboewidjojo
atau Pangeran Ario Hangabei, Pangeran Ario Haryomataram, Pangeran Ario
Praboeningrat , Pangeran Ario Djojokoesoemo dan Pangeran Ario
Koesoemodiningrat, yang menghadap Sinuwun selain keenam putranya, yaitu
: B.R.Ay.Soeriodipoero, B.R.Ay.Wiriodiningrat, Pangeran Ario
Hadikoesoemo, B.R.Ay.Adipati Sosrodiningrat, dan Pangeran Ario
Pakoeningrat. Akan tetapi putra-putri Sinuwun yang lainnya tidak bisa
menghadap karena sudah pulang kembali ke daerah-daerah tugasnya
masing-masing. Pada pertemuan Sinuwun dengan putra-putrinya di
Langenharjo, Sinuwun banyak sekali memberikan pesan-pesan dan nasihat,
yang diantaranya ialah :
a)“ Sira kabeh padha rukuna nganti mengkone nadyan Ingsun wus kondur
ing jaman kelanggengan. Sira kabeh padha rukuna aja padha regejegan,nek
ana rembug dirembug aja padha cengkrah, nek ana rijeki sathithik padha
dipangan sithik,semono uga ana rijeki akeh padha dipangan akeh. Lan sing
baku sira kabeh padha gawe makmure Praja lan kawula, aja amung gawe
makmure dhewe “. (artinya : hei kalian semua putra-putriku, aku berpesan
hendaklah nantinya kalian hidup rukun satu sama lain, walau aku sudah
berpulang ke rahmatullah, aku harap kalian nantinya hendaklah hidup
rukun satu dengan lainnya, kalau ada permasalahan diantara kalian,
hendaklah kalian jangan bertengkar, dan kalau suatu saat ada rejeki
meskipun sedikit, hendaklah di bagi dengan adil, begitupun kalau suatu
saat ada rejeki besar. Tetapi yang terutama adalah kalian haruslah
membuat makmur dan sejahteranya Negara dan rakyat, jangan hanya mencari
keuntungan sendiri dan memperkaya diri sendiri kalian saja).
b) “ Sira kabeh padha ngastaa bawad pangreh praja ing kabisan
sira dhewe-dhewe aja padha iren ingirenan, marga kabisan kuwi
paringaning Gusti Allah, ora bisa manungsa tanpa Gusti Allah, kabeh sing
ngatur amung Gusti Allah, manungsa amung sadrema nglakoni, Gusti Allah
sing nemtokake. Dadi nadyan Ingsun wus kondur ing jaman kelanggengan
Ingsun njaluk sing mengko umadeg Ratu aja ngongkreh-ongkreh sedulure
marga iren. Apa maneh sing Ingsun dhewe ndhawuhake marang sira kanggo
Ratu mengkone, Ingsun njaluk ajenana dhawuh Ingsun. Apa maneh Ingsun wus
ngandika sing baku adeging HARJA TATA, lah ing kene sira kabeh wus
weruh Ingsun wus ngangkat amisudha Senapati Perang, ya Ingsun njaluk
sengkuyungen tumuju adeging Aji. Sokur sira kabeh gelem manut ing dhawuh
Ingsun. Amarga Ingsun amung mamrihake becike, ora ana Ratu mamrihake
ala “. (artinya : hei kalian semua putra-putriku, aku berpesan hendaklah
kalian dalam bertugas menjadi pemimpin di daerah-daerah tugas kalian
mampu mengemban tugas dengan sempurna berdasar keahlian kalian
masing-masing, karena keahlian itu harus kalian sadari bahwa keahlian
kalian itu berasal dari Allah, manusia itu tidak bisa apa-apa kalau
tidak diberi keahlian oleh-Nya, semua itu yang mengatur hanya Dia,
sebagai manusia hanya bisa melakukan tetapi Allah yang menentukan. Jadi
meskipun nanti aku telah dipanggil-Nya, aku minta pada kalian, bagi
siapapun nanti yang jadi Raja, pesanku jangan bertindak tidak adil pada
saudara-saudaranya karena sebelumnya punya perasaan saling iri hati.
Selain itu aku juga berpesan pada kalian, bahwa aku telah memilih dari
kalian untuk menjadi Raja (dalam hal ini yang dimaksud Sinuwun adalah
Pangeran Ario Poerbodiningrat), aku minta pada kalian hargailah semua
pesan dan perkataanku. Di atas semua itu, aku berpesan pada kalian,
yaitu tegakanlah berdirinya HARJA TATA (mengenai Sistem HARJA TATA akan
penulis terangkan pada bab selanjutnya), nah disinilah kalian semua
sudah mengerti maksudku, bahwa aku sudah mengangkat dan mewisuda seorang
Senapati Perang (dalam hal ini yang dimaksud Sinuwun adalah Pangeran
Ario Poerbodiningrat), dan permintaanku pada kalian untuk mendukungnya
dalam tugasnya sebagai Senapati Perang dan hingga menuju menjadikannya
dia menjadi Raja. Itupun yang aku harap kalian semua mau menurut
perintahku dan pesanku. Karena perlu kalian ketahui semua yang aku
sarankan adalah demi kebaikan kalian semua, tidak ada seorang bapak
apalagi Raja menyarankan yang tidak baik pada anak-anaknya)
Kisah
selanjutnya yaitu pada tanggal 2 Januari 1893 ( yang bertepatan pada
hari Senin Pahing, 2 Januari 1893,13 Jumadilakhir 1822 Tahun JE Windu
SANGARA Wuku WARIGAGUNG,13 Jumadilakhir 1310H) Sampejandalem Ingkang
Sinoehoen Kangdjeng Soesoehoenan Pakoe Boewono IX menerima tamu Tuan
Asisten Gubernur Jendral, yang melaporkan berkembang pesatnya kejahatan
pembunuhan dan berkembang pesatnya “ begal,kecu,maling,rampok,dan gedhor
“di seluruh pulau Jawa yang sukanya merusak,mencuri,merampok yang
disertai membunuh warga sipil dan terutama Tuan-Tuan V.O.C yang berada
di seluruh pulau Jawa terutama di daerah Klaten,Sragen,Wonogiri dan
Boyolali, dan Tuan Asisten Gubernur Jendral tadi juga berkata pada
Sinuwun, apabila Sinuwun tidak segera menatanya maka Sinuwun nantinya
tidak dipercaya lagi oleh pemerintah (dalam hal ini pemerintah Hindia
Belanda) menjadi Raja yang adil dan bijaksana. Mendengar laporan Tuan
Asisten Gubernur Jendral tadi Sinuwun hanya berkata dengan tenang pada
Tuan Asisten Gubernur Jendral demikian : “ Tuwan, kadadosan ingkang
makaten punika kalawau kalampahan amargi mboten wontenipun tepa salira
saha reh sathithik edhingipun para Tuwan-Tuwan tanah saha Tuwan V.O.C.
Kula kinten manawi para Tuwan-Tuwan wonten raos welas asih dhateng para
kawula dasih mbok bilih kadadosan ingkang kalawau mboten kalampahan “ (
artinya : Tuan, keadaan yang demikian itu terjadi oleh karena tidak
adanya rasa tepa salira/peduli dan tidak adanya rasa saling berbagi,dan
musyawarah mufakat untuk kebersamaan dari para Tuan tanah dan Tuan
V.O.C. Saya kira apabila para Tuan tanah dan Tuan V.O.C ada rasa welas
asih/belas kasih pada rakyat/warga sipil, mungkin kejadiannya tidak
seperti kejadian saat ini ). Mendengar penjelasan Sinuwun yang demikian
tadi, kecewalah Tuan Asisten Gubernur Jendral dan pergilah Tuan tadi
meninggalkan Sinuwun dengan pamit terlebih dahulu pada Sinuwun, dengan
mimik muka yang kecut. Seperginya Tuan Asisten Gubernur Jendral tadi
Sinuwun kelihatan bingung dan khawatir dengan yang telah Sinuwun
laporkan pada Tuan Asisten Gubernur Jendral tadi, dalam benak hati
Sinuwun bertanya-tanya kenapa Sinuwun melaporkan seperti itu, bagaimana
dengan kejadian yang terjadi nantinya. Sehingga Sinuwun memanggil
putranya yang bernama Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat
yang mempunyai nama lain Kangdjeng Goesti Pangeran Hario
Poerwodiningrat, bahwa baru saja Sinuwun kedatangan tamu yaitu Tuan
Asisten Gubernur Jendral yang melaporkan kepada Sinuwun mengenai
berkembang pesatnya fenomena “ begal,kecu,gedhor,maling, lan rampok “,
dan dalam hal ini diminta oleh pemerintah Hindia Belanda yang diwakili
oleh Tuan Asisten Gubernur Jendral diharapkan menata keadaan agar aman.
Sehingga Sinuwun memanggil dan memerintahkan pada Pangeran Ario
Poerbodiningrat untuk meredam situasi dan keadaan dan mengadakan perang
terhadap “ begal,kecu,gedhor,maling, lan rampok “ di seluruh tanah
Jawa, Batavia, Madura dan Bali (dalam hal ini Tuan Asisten Gubernur
Jendral hanya mencari-cari alasan untuk segera menggulingkan Sinuwun
dari tahtanya, karena sebelum Tuan Asisten Gubernur Jendral menghadap
Sinuwun, pemerintah Hindia Belanda mendengar desas desus bahwa Sinuwun
bersama Sultan mengadakan permufakatan akan memberontak pada Belanda,
Sinuwun akan balas dendam pada Belanda yang telah membuang ayahnya
Sinuwun Pakoe Boewono VI ke Ambon (mengenai Intrik-Intrik Politik,Taktik
dan Rencana Strategi Sinuwun Pakoe Boewono IX dalam mempersiapkan
perlawanan terhadap Belanda akan penulis bahas pada Bab selanjutnya).
Jadi mulai tanggal 3 Januari 1893 (yang bertepatan pada hari Selasa Pon,
3 Januari 1893,14 Jumadilakhir 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku
WARIGAGUNG,14 Jumadilakhir 1310H) hingga tanggal 20 Januari 1893 (yang
bertepatan pada hari Jum'at Kliwon, 20 Januari 1893,2 Rejeb 1822 Tahun
JE Windu SANGARA Wuku SUNGSANG,2 Rajab 1310H) beliau Pangeran Ario
Poerbodiningrat meredam dan mengadakan perang terhadap
“ begal,kecu,gedhor,maling, lan rampok “ sampai-sampai
tidak pernah pulang ke Karaton Soerakarta, beliau pulang ke Karaton
Soerakarta dan menghadap ayahnya Sinuwun Pakoe Boewono IX setelah beliau
berhasil meredam situasi dan keadaan………bersambung
2. PANGERAN ARIO POERBODININGRAT : SEMASA SUKSESI
(lanjutan…………………)
Lain
halnya dengan kisah keadaan di dalam Karaton selama beliau Pangeran
Ario Kolonel Poerbodiningrat pergi dari Karaton untuk menunaikan
tugasnya menumpas “ begal,kecu,gedhor,maling, lan rampok “. Bahwa keadaan
kesehatan Sinuwun kian hari kian memprihatinkan. Tidak hanya karena
Sinuwun pernah bersabda pada duta dari Gubernur Jenderal, tetapi juga
oleh karena hati Sinuwun merasa sedih karena perilaku putra-putrinya
yang selalu bersitegang dan berebut. Terlebih lagi Sinuwun bersedih hati pada perilaku putra-putranya yang bernama : Pangeran Ario Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno),Pangeran Ario
Notokoesoemo, Pangeran Ario Njokrokoesoemo dan Pangeran Ario
Praboeningrat (semasa pemerintahannya sebagai Raja Karaton Soerakarta
Sinuwun PB.IX tidak mempunyai Permaisuri, semua adalah Ampildalem/Selir
selama suksesi berlangsung hingga bertahtanya PB.X (seperti pada masa
PB.XII yang sebelumnya tidak pernah mengangkat Permaisuri), kalau
Sinuwun suruh atau memanggil mereka, pastilah mereka tidak segera
menghadap, malahan mereka bersikap acuh tak acuh pada panggilan
menghadap dari Sinuwun PB.IX. Dan yang lebih membuat Sinuwun PB.IX
merasa seperti dipercepat wafatnya adalah sabda Sinuwun PB.IX yang
berbunyi : “ Poma-poma trahingwang, aja sira umadeg Aji, mung nyuwuna
berkahipun luluhur Nata, sabab Ratu yen sinedya dadi luput, amung Gusti
Allah Sang Malikul Kusna kang hanetepke Adeging Aji “. ( artinya :
pesanku (Sinuwun) pada anak-anak keturunanku, jangan lah kamu terlalu
berharap berdiri sebagai Raja saja, tetapi selain dari itu memintalah
berkah nenek moyangmu para Raja, karena kalau hanya berharap saja
menjadi Raja jikalau tidak disertai doa dan permohonan dengan ucapan
syukur kepada Allah pastilah tidak terlaksana, karena yang menetapkan
seseorang menjadi Raja hanyalah Allah Sang Malikul Kusna ), sabda
Sinuwun yang demikian tadi dijadikan tren politik oleh Raden Mas Kasan atau BRM.Choesno Malikis
sehingga berubah nama menjadi BRM.Malikoel Choesno, yang menyebar
menjadi desas desus yang seolah-olah Sinuwun PB.IX menyebut penggantinya
adalah BRM.Choesno Malikis yang telah berganti nama menjadi
BRM.Malikoel Choesno tadi, padahal tidak demikian yang dimaksud oleh
Sinuwun PB.IX). Terlebih lagi kesehatan Sinuwun terganggu oleh karena
adanya berita dari Tuan Godlip bahwa diantara
para Pangeran/bangsawan Belanda dengan Jerman dan juga negara-negara
Eropa sedang bersitegang dan perang dingin. Setelah mendengar berita
dari Tuan Godlip yang demikian tadi, Sinuwun PB.IX lalu bersabda : “
Tuwan Godlip, ndhek wingi Ingsun disowani dutaning Guprenur Jendral,
mligine Ingsun dijaluki pitulungan supaya nyirep rerusuh sing dianakake
para begal,kecu,gedhor,maling, lan rampok.
Jarene kuwi sing ndadekake ora tentreme para Tuwan sudagar Landa.
Mungguh piye miturut panemu sira ? ”
(artinya
: Tuan Godlip, kemarin aku (Sinuwun) didatangi tamu dan menghadap aku
(Sinuwun) yaitu duta dari Tuan Gubernur Jendral, aku (Sinuwun) dimintai
tolong oleh Tuan tersebut untuk meredam kerusuhan yang dilancarkan oleh
para “begal,kecu,gedhor,maling dan rampok”, yang katanya sangat
meresahkan keamanan para Tuan belanda dan para Tuan saudagar
belanda/asing. Kalau menurut pendapatmu, aku (Sinuwun) harus bagaimana
Tuan Godlip ?). Selanjutnya Tuan Godlip menjawab pertanyaan Sinuwun
bahwa Tuan Asisten Gubernur Jendral yang menjadi duta dari Tuan Gubernur
Jendral yang menghadap Sinuwun adalah termasuk dari salah satu
keturunan bangsawan Kerajaan Belanda yang sedang berseteru dengan
Kerajaan Jerman dan kerajaan-kerajaan eropa sekitarnya, sehingga Tuan
Godlip menyarankan pada Sinuwun agar bertindak hati-hati dalam
menyikapinya,karena diduga ada persekongkolan dan konspirasi politik
dagang sangat rahasia diantara mereka dan para kartel yang ingin
mencederai Sinuwun, apalagi Tuan Gubernur Jendral mengutus dutanya untuk
menyampaikan pesannya yang demikian. Setelah mendengar penjelasan dari
Tuan Godlip yang demikian, Sinuwun lalu segera memanggil Patih Kangdjeng
Raden Adipati Sosrodiningrat untuk menghadap Sinuwun. Dalam hal ini
Sinuwun juga meminta pertimbangan dan saran dari Patih, mengenai
datangnya utusan Tuan Gubernur jendral yang menghadap Sinuwun, yang
utusan Tuan Gubernur Jendral tersebut menyampaikan pesan Gubernur
Jendral tentang berkembang pesatnya angka kriminalitas berupa
“begal,kecu,gedhor,maling dan rampok” di wilayah enclave Karaton
Soerakarta, seolah menurut pengamatan Patih, bahwa Tuan Gubernur Jendral
menyampaikan mosi tidak percaya dengan kepemimpinan Sinuwun,selanjutnya
Patih juga menyarankan pada Sinuwun untuk bersikap lebih berhati-hati
dan lebih teliti.
Setelah
mendengar penjelasan dan saran baik dari Tuan Godlip maupun Patih
Kangdjeng Raden Adipati Sosrodiningrat, lalu Sinuwun tampak sangat sedih
sampai-sampai Sinuwun tidak mau makan atau mengurangi makan dan minum,
dan juga mengurangi tidur dengan hamper setiap malam lewat jam 3 malam
Sinuwun begadang sampai pagi harinya. Saat keadaan Sinuwun yang demikian
dari putra-putri Sinuwun yang perhatian hanya putri-putrinya, sedangkan
para putranya kurang peduli dengan keadaan Sinuwun, karena mereka larut
dengan kesibukan mereka masing-masing. Keadaan Sinuwun yang demikian
tadi terjadi hingga tanggal 13 Februari 1893 (yang bertepatan pada hari
Senin Wage, 13 Februari 1893,26 Rejeb 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku
MONDOSIO, 26 Rajab 1310H), karena mendadak Sinuwun mendapatkan undangan
dari tuan Gubernur Jendral yang isinya mengundang Sinuwun untuk hadir
acara pertemuan para stake-holder di dalam V.O.C dan kongsi-kongsi
dagang asing lainnya dengan para pemimpin enclave-enclave yang tersebar
se nusantara, disebutkan disitu bahwa akan ada pesta tujuh hari tujuh
malam. Sehingga setelah menerima surat undangan itu sinuwun segera
berangkat meninggalkan Karaton untuk menuju ke Batavia, dalam hal ini
Sinuwun diiringi para prajurit , para pendekar, para putra-putri
beliau,cucu beliau dan para istri beliau secukupnya.
Singkat cerita bahwa Sinuwun telah sampai di Batavia
pada tanggal 18 Februari 1893 (yang bertepatan pada hari Sabtu Wage, 18
Februari 1893,1 Ruwah 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku MONDOSIO, 1
Syaban 1310H)
Semua rombongan pengiring Sinuwun dipersilakan beristirahat dahulu karena pada tanggal 19 Februari 1893 ( yang bertepatan pada hari Minggu Kliwon, 19 Februari 1893,2 Ruwah 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku JULUNGPUJUT,2 Syaban 1310H)dimulainya pesta seperti yang diterangkan dalam surat undangan dari tuan Gubernur Jendral tadi. Pada peristiwa pesta tanggal 19 Februari 1893 (yang bertepatan pada hari Minggu Kliwon, 19 Februari 1893,2 Ruwah 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku JULUNGPUJUT,2 Syaban 1310H) yang diadakan Tuan Gubernur Jendral yang dihadiri pula oleh para stake-holder di dalam V.O.C dan kongsi-kongsi dagang asing lainnya, selain itu dihadiri pula para pemimpin enclave-enclave yang tersebar se nusantara, tidak banyak kejadian-kejadian yang menarik yang perlu diceritakan.
Semua rombongan pengiring Sinuwun dipersilakan beristirahat dahulu karena pada tanggal 19 Februari 1893 ( yang bertepatan pada hari Minggu Kliwon, 19 Februari 1893,2 Ruwah 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku JULUNGPUJUT,2 Syaban 1310H)dimulainya pesta seperti yang diterangkan dalam surat undangan dari tuan Gubernur Jendral tadi. Pada peristiwa pesta tanggal 19 Februari 1893 (yang bertepatan pada hari Minggu Kliwon, 19 Februari 1893,2 Ruwah 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku JULUNGPUJUT,2 Syaban 1310H) yang diadakan Tuan Gubernur Jendral yang dihadiri pula oleh para stake-holder di dalam V.O.C dan kongsi-kongsi dagang asing lainnya, selain itu dihadiri pula para pemimpin enclave-enclave yang tersebar se nusantara, tidak banyak kejadian-kejadian yang menarik yang perlu diceritakan.
Kembali lagi pada kisah keadaan di dalam Karaton Soerakarta, selama Sinuwun meninggalkan Karaton dan pergi menuju ke Batavia
untuk menghadiri undangan dari Tuan Gubernur Jendral. Seperginya
Sinuwun ke Batavia, yang dipercaya oleh Sinuwun menjaga kestabilan
politik di dalam dan di luar Karaton adalah Pangeran Ario Praboewidjojo
atau Pangeran Ario Hangabei, Pangeran Ario Haryomataram, dan Pangeran
Ario Tjakraningrat (BRM.Satrio). Pada saat itu Pangeran Ario
Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno), katanya atau kabarnya
sedang pergi ziarah ke pemakaman Raja-raja Mataram di Imogiri, tepatnya
tanggal 19 Februari 1893.( yang bertepatan pada hari Minggu Kliwon, 19
Februari 1893,2 Ruwah 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku JULUNGPUJUT,2
Syaban 1310H)Namun ada kabar desas-desus dari bagian intelejen
Karaton,pasukan intelejen sinuwun PB.IX, bahwa MENURUT RENCANA YANG SUDAH DISEPAKATI ANTARA RM.KOESEN ATAU RM.ABADI ATAU KOLONEL BKPH.POERBODININGRAT DENGAN RM.KASAN ATAU RM.MALIKOEL CHUSNO ALIAS Pangeran Ario
Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno) DI LANGEN HARJO BAHWA BERHUBUNG S.I.S.K.S PB.IX MENGALAMI SAKIT SEHINGGA BELIAU BERDUA TADI BERSEPAKAT BAHWA RM.KASAN ATAU RM.MALIKOEL CHUSNO ALIAS Pangeran Ario
Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis MENJADI S.I.S.K.S PB.X , DENGAN SKENARIO BAHWA sebulan sebelum tanggal
19 Februari 1893 (yang bertepatan pada hari Minggu Kliwon, 19 Februari
1893,2 Ruwah 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku JULUNGPUJUT,2 Syaban
1310H) ( sebulan sebelum tanggal 19 Februari 1893 ialah sekitar tanggal
18 Januari 1893 yang bertepatan pada hari Rabu Pon 18 Januari 1893, 28
Jumadilakhir 1822 Tahun Je Windu Sangara Wuku sungsang, 29 Jumadilakhir
1310 H) telah diangkat oleh penatua Karaton,dan putra-putra sinuwun
PB.IX yang kontra dengan Sinuwun PB.IX, serta telah mengangkat dirinya
sendiri di negeri Belanda menjadi Sahandhap Sampejandalem
IngkangSinoehoen Ingkang Witjaksana saha Ingkang Minoelja Kangdjeng
Soesoehoenan Pakoe Boewono X dan pengangkatannya
menjadi Sinuwun PB.X didukung oleh Tuan Gubernur Jendral,para
stake-holder di dalam V.O.C dan kongsi-kongsi dagang asing lainnya,
serta para kartel asing lainnya. Kembali lagi pada kedaan Karaton pada
tanggal 19 Februari 1893, ( yang bertepatan pada hari Minggu Kliwon, 19
Februari 1893,2 Ruwah 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku JULUNGPUJUT,2
Syaban 1310H) mulai jam 10 siang di dalam Karaton belum ada kejadian
apapun, namun setelah masuk jam 5 sore hari, Karaton kedatangan banyak
serdadu Belanda yang dipimpin oleh Pangeran Ario Notokoesoemo yang
langsung menemui Pangeran Ario Praboewidjojo atau Pangeran Ario
Hangabei, Pangeran Ario Haryomataram, dan Pangeran Ario Tjakraningrat
(BRM.Satrio). Pada saat Pangeran Ario Notokoesoemo meminta ijin untuk
menyiapkan upacara Syukuran atas berdirinya Sinuwun PB.IX dalam memegang
tampuk pemerintahan selama 32 tahun yang tidak ada kendala dan
kegagalan selama Sinuwun memerintah, dan di saat itu Pangeran Ario
Notokoesoemo ,katanya, disuruh oleh Sinuwun PB.IX untuk menyiapkan
perlengkapan-perlengkapan upacara Syukuran tersebut. Sehingga dengan
alasan disuruh Sinuwun PB.IX, maka Pangeran Ario Praboewidjojo atau
Pangeran Ario Hangabei, Pangeran Ario Haryomataram, dan Pangeran Ario
Tjakraningrat (BRM.Satrio), diperbolehkan masuk ke kori Kamandungan dan
masuk ke Sasana Sewaka untuk mempersiapkan perlengkapan-perlengkapan
upacara Syukuran tersebut. Seperti kayaknya Pangeran
Ario Praboewidjojo atau Pangeran Ario Hangabei, Pangeran Ario
Haryomataram, dan Pangeran Ario Tjakraningrat (BRM.Satrio), tidak begitu
curiga dengan tingkah polah dari Pangeran Ario Notokoesoemo serta para
serdadu belanda. Dan setelah waktu menunjukan jam setengah tujuh malam,
persiapan upacara sudah tertata rapi, para ulama Karaton sudah datang,
demikian juga para sentana/kerabat Raja baik kerabat dekat maupun jauh
sudah pula datang serta abdi-abdi Karaton sudah berkumpul semua, minuman
dan makanan sudah tersedia, demikian juga sesaji sudah pula didoakan.
Namun saat itu Pangeran Ario Praboewidjojo atau Pangeran Ario Hangabei,
dan Pangeran Ario Haryomataram, sedang terlelap tidur dikarenakan cuaca
saat itu menyebabkan beliau keenakan tidur, disaat beliau-beliau sedang
terlelap tidur tiba-tiba beliau-beliau dikejutkan oleh karena
beliau-beliau dibangunkan oleh abdi beliau bahwa beliau-beliau sudah
dikepung oleh para serdadu belanda yang dipimpin oleh Pangeran Ario
Notokoesoemo dengan menodongkan keris dihadapan Pangeran Ario
Praboewidjojo atau Pangeran Ario Hangabei, dan Pangeran Ario
Haryomataram dengan mengancam agar beliau-beliau mau mendukung
berdirinya Pangeran Ario Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno) menjadi Putra Mahkota
bergelar Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati Anom, dan bertahtanya Pangeran Ario Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno), menjadi Sinuwun Pakoe
Boewono X menggantikan Pakoe Boewono IX. Apabila Pangeran Ario
Praboewidjojo atau Pangeran Ario Hangabei, dan Pangeran Ario
Haryomataram tidak mendukung, maka beliau-beliau akan dibunuh saat itu
juga.
Perlu dikisahkan disini bahwa Pangeran Ario Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno) datang ke Karaton pada
jam 8 malam, setelah dari makam Raja-raja Mataram di Imogiri, setibanya
di Karaton Pangeran Ario Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno) dan rombongan langsung
menuju ke Krobongan Probosoejoso, dan saat itu juga diwisuda menjadi
Putra Mahkota bergelar Kangdjeng Goesti Pangeran Adipati Anom Sudibja
Radja Poetra Narendra Mataram, dan saat itu pula khalayak tamu yang
datang juga menyaksikan Pangeran Ario Praboewidjojo atau Pangeran Ario
Hangabei, dan Pangeran Ario Haryomataram digiring oleh Pangeran Ario
Notokoesoemo serta serdadu-serdadu belanda dibelakangnya ke Krobongan
Probosoejoso ditempat upacara wisuda Pangeran Ario
Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno) menjadi Kangdjeng Goesti
Pangeran Adipati Anom Sudibja Radja Poetra Narendra Mataram (Putra
Mahkota), dan upacara diteruskan ke Siti Hinggil untuk selanjutnya
diwisuda menjadi Sinuwun PB.X, dan akhirnya dinobatkan secara aklamasi
menjadi Raja bergelar Sinuwun PB.X di Sasana Sewaka, yang dihadiri oleh
Tuan Asisten Gubernur Jendral, para duta Negara-negara sahabat,para duta
dari Negara-negara Eropa dan Negara-negara asing lainnya. Disaat-saat
upacara tersebut Pangeran Ario Tjakraningrat (BRM.Satrio) tidak ikut
mendukung penobatan Pangeran Ario Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno) menjadi Raja bergelar
Sinuwun PB.X, karena beliau keluar dari Karaton dan tidak kembali lagi
ke Karaton sampai akhir hayat beliau. Upacara penobatan tersebut
berlangsung sampai jam 1 malam dan dilanjutkan dengan acara pesta
syukuran 40 hari 40 malam lamanya. Pada saat tanggal menunjukkan 20
Februari 1893 (yang bertepatan pada hari Senin Legi, 20 Februari 1893,3
Ruwah 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku JULUNGPUJUT,3 Syaban 1310H ),
Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat yang mempunyai nama
lain Kangdjeng Goesti Pangeran Hario Poerwodiningrat, datang ke karaton
dengan tujuan akan melaporkan kepada Sinuwun PB.IX bahwa situasi sudah
aman dan terkendali dari kerusuhan yang dilancarkan oleh para
“begal,kecu,gedhor,maling dan rampok”. Namun sangatlah terkejut beliau
Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat setelah berjumpa dengan
kakak-kakaknya yaitu Pangeran Ario Praboewidjojo atau Pangeran Ario
Hangabei, dan Pangeran Ario Haryomataram bahwa Sinuwun PB.IX pergi
meninggalkan Karaton untuk mendatangi undangan dari Tuan Gubernur
Jendral di Batavia, dan selama Sinuwun PB.IX di Batavia, Pangeran Ario
Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno) telah merebut tahta
ayahnya yaitu Sinuwun PB.IX, dan menobatkan dirinya sendiri dengan
dukungan dari Belanda. Karena mendengar penjelasan dan berita dari
kakak-kakaknya yaitu Pangeran Ario Praboewidjojo atau Pangeran Ario
Hangabei, dan Pangeran Ario Haryomataram, maka marahlah Pangeran Ario
Poerbodiningrat dan beliau lalu pergi ke Batavia untuk menemui ayahnya
yaitu Sinuwun PB.IX. Singkat cerita, Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario
Poerbodiningrat yang mempunyai nama lain Kangdjeng Goesti Pangeran Hario
Poerwodiningrat,sudah tiba di Batavia pada tanggal 26 Februari 1893 (
yang bertepatan pada hari Minggu Pahing, 26 Februari 1893,9 Ruwah 1822
Tahun JE Windu SANGARA Wuku PAHANG,9 Syaban 1310H) jam 4 sore, beliau
langsung menuju ke kantor Gubernuran untuk menemui ayahnya yaitu Sinuwun
PB.IX, saat itu juga beliau melaporkan kepada Sinuwun PB.IX bahwa
situasi sudah aman dan terkendali dari kerusuhan yang dilancarkan oleh
para “begal,kecu,gedhor,maling dan rampok”, namun keadaan di dalam
Karaton lain, bahwa adik beliau yaitu Pangeran Ario Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno) telah merebut tahta
ayahnya yaitu Sinuwun PB.IX, dan menobatkan dirinya sendiri menjadi
Sinuwun PB.X dengan dukungan dari Belanda. Dan tindakan Pangeran Ario
Djojokoesoemo/BRM.Kusno Malikis (yang nantinya
merubah namanya menjadi BRM.Malikoel Choesno), yang demikian dapat
dinilai sebagai upaya mempercepat kematian ayahnya yaitu Sinuwun PB.IX.
Setelah mendengar laporan dari Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario
Poerbodiningrat yang demikian,Sinuwun PB.IX lalu sangatlah marah dan
bersabda demikian : “ Purbo,ngger,anak Ingsun, apa sajane luput Ingsun
dene si Choesno wanuh wani tumindak siya marang Ingsun, nganti tegel
nyuduk Ingsun saka mburi. Ingsun wirang dene dene wong tuwa wis ora dianggep maneh, wis ra diajeni maneh. Kaya-kaya Ingsun wis ora ana ajine maneh. Lan Ingsun kaya-kaya wis ora betah urip
suwe-suwe ning ndonya maneh. Apa ajine Ingsun jumeneng nata?, Ingsun
durung mati nanging keneng apa si Choesno wanuh wani jumeneng nata. Kuwi
tegese Ingsun wis
ditegakke patine. Yen kudune manawa arep jumeneng nata kuwi ngenteni
sabubare Ingsun mati. Ingsun isih urip, Purbo!, sih bisa nyampluk sira
utawa si Choesno nganti njengkelang mati !. Purbo, sing baku
sira lan anak putu sira estokna dhawuh Ingsun ing Pikoekoeh 204 mbiyen
kae, ora usah ngglape si Choesno. Wis Purbo sesuk esuk dherekna Ingsun
sarombongan kondur ngadhaton. Sabab Ingsun prasapa ora gelem diterke
mulih sapa bae, kajaba mung sira, Purbo!”. (artinya : Purbo,anak ku
(Sinuwun), sebenarnya apa kesalahanku hingga si Choesno berani berbuat
kejam pada ku (Sinuwun), sampai tega menusuk aku (Sinuwun) dari
belakang. Aku (Sinuwun) sangat malu karena aku (Sinuwun) sebagai orang
yang sudah tua sudah tidak dianggap lagi, sudah tidak dihormati lagi.
Seperti halnya aku (Sinuwun) sudah tidak dihargai lagi. Dan aku
(Sinuwun) seperti sudah tidak etah lagi hidup di dunia ini. Apa aku
(Sinuwun) masih ada harganya sebagai Raja?, aku (Sinuwun) belum mati
tapi kenapa si Choesno berani berdiri sebagai Raja menggantikanku. Itu
namanya aku (Sinuwun) sudah direlakan kematianku. Dan sebenarnya kalau
si Choesno ingin berdiri sebagai Raja, dia harus menunggu aku (Sinuwun)
sudah mati dulu. Aku (Sinuwun) masih hidup, Purbo!, masih bisa
menempeleng hingga mati kamu dan si Choesno ! Purbo, yang penting kamu
dan anak cucu keturunan mu harus melaksanakan perintah dan sabda ku
(Sinuwun) pada Pikukuh 204 (yang diterbitkan pada Jum'at Pahing, 2
September 1881,8 Sawal 1810 Tahun JIMAKIR Windu ADI Wuku PAHANG,7 Syawal
1298H) dulu itu, tidak usah mempedulikan ulah si Choesno pada ku
(Sinuwun). Dan Purbo besuk pagi-pagi benar antar aku (Sinuwun)
serombongan pulang ke Karaton. Karena aku (Sinuwun) telah berjanji tidak
akan mau diantar pulang oleh siapapun kecuali kamu, Purbo!). Mendengar
perintah Sinuwun demikian, maka Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario
Poerbodiningrat mengatakan iya bersedia untuk
mengantar Sinuwun ke Karaton. Pada waktu itu Sinuwun PB.IX tidak mau
mengendarai Kereta Kencana, tapi Sinuwun malah mengendarai Kereta biasa
milik Adipati Banyumas, dan Sinuwun PB.IX menghendaki yang menjadi kusir
Kereta beliau adalah Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat.
Jadi dalam hal ini, Sinuwun PB.IX mau pulang ke Karaton pada tanggal 27
Februari 1893 (yang bertepatan pada hari Senin Pon, 27 Februari 1893,10
Ruwah 1822 Tahun JE Windu SANGARA Wuku PAHANG,10 Syaban 1310H).Namun
seperginya Sinuwun PB.IX dari Batavia, Sinuwun PB.IX tidak menghendaki
segera pulang ke Karaton, malah Sinuwun PB.IX menghendaki
keliling-keliling ke kabupaten-kabupaten bawahan beliau, seperti
Priangan,Cirebon dan Banyumas, tak lupa pula Sinuwun PB.IX juga mampir
di Gua Selarong dan Gua Langse serta Pantai Selatan yaitu di
Parangkusumo serta tak lupa pula Sinuwun PB.IX berziarah ke pemakaman
Raja-raja Mataram di Imogiri, serta Sinuwun PB.IX juga menyempatkan
berkunjung ke Karaton Jogjakarta untuk menemui Sultan, baru setelah
berkunjung ke Karaton Jogjakarta, Sinuwun PB.IX menghendaki langsung
pulang ke Karaton. Namun selama perjalanan dari Jogjakarta menuju ke
Karaton Soerakarta, Sinuwun PB.IX hanya terdiam dan tidak ada
suara-suara beliau bersabda ataupun becerita, membuat curiga Bandoro
Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat, sehingga Bandoro Kangdjeng
Pangeran Hario Poerbodiningrat menepikan Kereta dan rombongan di
alun-alun Karaton Soerakarta, dan begitu terkejutnya Bandoro Kangdjeng
Pangeran Hario Poerbodiningratelah melihat tubuh Sinuwun PB.IX yang
terbujur kaku dan tak bernafas lagi dalam keadaan bersilang tangan di
dada. Bandoro Kangdjeng Pangeran Hario Poerbodiningrat sangat terkejut
setelah mengetahui bahwa Sinuwun PB.IX ayahnya tercinta telah berpulang
ke rahmatullah setelah sampai di alun-alun utara Karaton Soerakarta.
Sinuwun PB.IX meninggal dunia pada tanggal 16 Maret 1893 ( yang
bertepatan pada hari Kamis Kliwon, 16 Maret 1893,27 Ruwah 1822 Tahun JE
Windu SANGARA Wuku MARAKEH,27 Syaban 1310H) dalam usia 64 tahun, 1
bulan, 21 hari. Berita wafatnya Sinuwun PB.IX menebabkan begitu sedihnya
para putra-putri Sinuwun PB.IX semua, dan Sinuwun PB.IX dimakamkan di
makam Raja-raja Mataram di Imogiri Jogjakarta (mengenai kisah Suksesi hingga wafatnya Sinuwun PB.IX
akan kami uraikan secara gamblang dari awal hingga akhir beserta dengan
kejadian-kejadian implik-implik dan intrik-intrik politiknya pada bab
tersendiri). Tidak banyak kisah menarik pada prosesi pemakaman Sinuwun
PB.IX, sehingga tidak diceritakan disini.
(bersambung.........................)
No comments:
Post a Comment
Kami mengucapkan Terima Kasih atas Komentarnya saudara-saudara semua.
Dan Selamat Datang dan Bergabung dengan Kami,
Sukses Selalu berpihak pada saudara-saudara semua
Salam
Pemimpin Paguyuban Pakoe Boewono
RM.Soegiyo